Tubuh seorang pria muda yang masih berstatus SMA itu menegang. Dia telah melepaskan sesuatu dalam dirinya ke dalam milik seorang gadis dewasa yang terpaut 5 tahun darinya.
"Cell, makasih untuk malam ini. Kau sudah menolongku," ucap wanita itu sembari menyisipkan wajahnya ke dada bidang Marcel.
"Marcell minta maaf ya Kak! Maaf sudah menodai kesucian Kak Anggi," bisik Marcell di telinga gadis bernama Anggika itu. Nada menyesal begitu terdengar dari suara pria muda itu.
Gadis bernama Anggi itu menggeleng. Semua yang telah terjadi bukan sepenuhnya salah Marcell, namun juga dirinya.
Mungkin yang paling bersalah ada keadaan waktu itu.
Mulai dari Anggi yang di tinggalkan teman-temannya di hutan kala mereka sedang camping. Kemudian tanpa sengaja bertemu dengan Marcell di tengah jalan saat dia berusaha mencari jalan pulang. Ia sedikit beruntung karena bisa menumpang pada motor yang Marcell kendarai.
Namun, belum motor Marcell melaju dengan jauh, tiba-tiba saja motor itu malah mogok di tengah jalan.
Hampir satu jam mereka mendorong motor itu untuk mencari sebuah bengkel. Namun hasilnya sia-sia. Sepanjang mereka mendorong, tak mereka temukan sebuah bengkel di jalan dekat hutan itu.
Dan yang lebih sial lagi, langit tiba-tiba menurunkan hujan dan petir. Hingga membuat keduanya segera mencari tempat untuk berteduh.
Dan sampailah mereka di sebuah rumah kecil di dekat hutan. Rupanya rumah tersebut tak berpenghuni alias kosong. Mereka yang basah kuyup, memilih untuk berteduh di tempat itu.
Namun setelah menunggu hingga beberapa jam, hujan tak kunjung reda juga. Tubuh Anggi yang basah kuyup pun semakin menggigil dan wajahnya menjadi pucat.
Melihat hal itu, Marcell begitu panik dan juga takut. Dengan beraninya, Marcell membuka pakaian yang melekat di tubuhnya dan menempelkan tubuh hangatnya pada tubuh Anggi.
Anggi sedikit terkejut. Dia memeluk tubuh atas Marcell yang sudah polos.
Semakin lama, pergerakan Anggi membuat sesuatu dari dalam diri Marcell menegang. Membuat Marcell berani melakukan hal yang menuntut lebih.
Dengan pelan, tangan Marcell bergerak menuju kaos berwarna putih yang Anggi kenakan. Tanpa sadar, Anggi pun menerimanya.
Marcell semakin gencar menyentuh bagian tubuh Anggi.
Anggi seolah terbuai dan menerima setiap sentuhan tangan Marcell. Pemuda yang masih kelas 3 SMA itu memberanikan dirinya untuk melepaskan satu persatu pakaian yang melekat pada tubuh Anggi.
Kini tubuh kedua insan itu sudah sama-sama polos. Marcell akhirnya mulai melakukan insting prianya untuk merasakan indahnya surga dunia yang baru pertama kali keduanya lakukan.
Penyatuan yang awalnya menyakitkan dan membutuhkan waktu untuk menerobosnya, kini membuat keduanya tak hentinya menikmati indahnya surga dunia.
Hujan deras dan langit malam di luar rumah kosong itu, menjadi saksi pergulatan panas kedua anak manusia yang tanpa ikatan tersebut.
Tubuh basah kuyup serta hawa dingin yang sebelumnya menusuk tulang, kini berubah menjadi hawa panas ketika mereka saling menyatukan diri.
"Kak, Marcell sudah tak tahan lagi!" seru Marcell dengan memompa tubuhnya semakin cepat.
Begitupun dengan Anggi. Gadis yang berusia lebih tua dari Marcell itu juga hampir sampai pada pusatnya.
"Marcell...!" Lenguhan itu pun membuat tubuh Anggi menegang. Sementara Marcell pun juga merasakan hal yang sedemikian rupa. Keduanya sama-sama merasakan kenikmatan yang sama sekali belum pernah mereka rasakan sebelumnya.
Tubuh Marcell ambruk di samping Anggi. Tangannya meraih tubuh Anggi dan membawanya ke dalam pelukannya.
***
Keesokan harinya.
Pagi-pagi sekali, Anggi terbangun terlebih dahulu. Kelopak matanya mulai mengerjap pelan seiring cahaya yang mulai masuk kedalam iris matanya.
Dia melihat Marcell yang tidur di sampingnya hanya mengenakan CD nya saja. Dia pun menyingkap jaket lembab milik Marcell yang menutupi tubuh polosnya.
"Akhh...." rintihanya saat hendak turun dari sebuah dipan usang itu. Anggi merasakan sakit dan juga perih pada miliknya di bawah sana.
Marcell mengerjapkan matanya setelah mendengar rintihan yang keluar dari bibir Anggi. "Kak, sudah bangun?"
"Perih sekali," ucap Anggi dengan lirih.
Marcell merasa begitu bersalah. "Maafin Marcell ya Kak. Marcell sudah bikin kakak seperti ini," kata Marcell.
"Sudahlah Cell, jangan terus menerus minta maaf. Anggap jika yang terjadi di antara kita tak pernah terjadi. Lagipula tidak akan ada yang tahu jika di antara kita tetap diam." Perkataan bodoh itu keluar begitu saja dari mulut Anggi.
"Tapi Kak!" Belum sempat Marcell menyelesaikan ucapannya, jari telunjuk Anggi ia taruh di bibir Marcell bermaksud agar pria itu berhenti bicara.
"Lagipula kita melakukannya cuma sekali. Semoga saja tidak hamil." Anggi mengatakannya sementara dalam hatinya dia begitu takut jika hal itu akan terjadi.
"Jika seandainya Kakak sampai hamil, kakak cari Marcell ya? Kita jalani semua bersama." Marcell menatap wajah Anggi dengan serius.
Marcell mulai bangkit. Dia memungut pakaiannya juga Anggi yang tercecer. Bahkan dia juga membantu Anggi mengenakan pakaiannya. Pria muda itu terlihat begitu perhatian dan perduli kepada Anggi.
Keduanya sama-sama melakukan hal gila itu untuk pertama kalinya. Marcell baru pertama kali merasakan permainan ranj.ang, dan Anggi yang memberikan kesuciannya secara cuma-cuma kepada pria yang umurnya masih muda darinya.
Jika saja kedua orang tua Anggi sampai mengetahui hal yang Anggi lakukan, tentu saja mereka akan sangat marah dan kecewa.
Setelah mengenakan pakaian mereka, keduanya bergegas meninggalkan rumah kosong tersebut. Anggi berjalan dengan pelan karena masih merasakan sakit di bawah sana. Sementara Marcell mendorong motor gede nya yang mogok.
"Kak, jangan jalan kaki. Naik di sini saja. Biar aku yang mendorong motornya." ucap Marcell.
"Nggak usah Cell. Kakak bisa jalan. Kau tak perlu khawatir." Anggi memberikan seulas senyumannya.
Sejujurnya, Anggi mau saja menaiki motor itu. Hanya saja dia kasihan melihat Marcell yang pagi-pagi sudah berkeringat karena mendorong motor gede miliknya itu.
"Marcell serius ini Kak!" Marcell menghentikan langkahnya, sementara tangannya menahan motor tersebut. Marcell menatap Anggi dengan tersenyum kecil.
Anggi pun ikut menghentikan langkahnya. Dia menatap Marcell yang tersenyum kecil menatap dirinya. Sungguh, Anggi begitu terpesona melihat Marcell saat ini. Pria itu terlihat begitu tampan menurutnya.
"Tampan sekali," ucap Anggi tanpa sadar.
Marcell yang mendengarnya pun tersenyum lebar.
Pemuda tinggi dengan tubuh yang mulai berisi itu, memang begitu tampan. Kulitnya putih dan berhidung mancung. Aplagi ketika pria muda itu tersenyum. Terdapat lesung pipi yang menambah aura ketampanan Marcell semakin membuat Anggi terbengong.
***
Sampai di rumah Mama dan papanya, Anggi mindik-mindik takut jika ketahuan papanya bahwa dirinya tak pulang semalaman.
Anggi menoleh ke kanan dan ke kiri saat hendak masuk kedalam kamarnya.
"Aman," gumamannya pelan.
Namun ketika Anggi baru mengangkat kakinya untuk melangkah, suara menginterupsi papanya terdengar di telinganya.
"Darimana kamu, Anggika?!" Papa melangkah mendekati putrinya.
Anggi seolah mati kutu. Gadis itu memejamkan matanya ketakutan. "Mati Aku," ucapnya dalam hati.
Gadis itupun segera membalikkan badannya dan tersenyum menatap papanya. Tentu saja dengan senyum yang di buat-buat, sehingga membuatnya tersenyum aneh.
"Eh, Papa. Udah bangun, Pa?" tanya Anggi basa-basi untuk menutupi ketakutannya.
"Jawab pertanyaan papa. Dari mana kamu semalaman?!" Papa bertanya dengan tegasnya.
Anggi meneguk salivanya dengan susah. Rasanya saat ini suaranya ikut menghilang tertelan bersama salivanya itu.
"Eumm... Itu Pa, anu... Semalam pas mau pulang kan hujan. Anggi takut kehujanan, jadi Anggi nginep gitu di rumah teman Anggi," ucap Anggi beralasan.
Dia hanya berharap papanya akan percaya dengan ucapannya. Anggi berusaha terlihat agar kebohongannya tak terbongkar dengan menampilkan senyum semanis mungkin di depan sang Papa.
"Kalau begitu cepat masuk. Bukankah hari ini Kau ada kuliah?"
"Siap Pa!" Anggi memberikan hormat seperti seorang bawahan ke komandannya. Kemudian dia pun segera memasuki kamarnya.
"Selamat," ucapnya seraya mengelus dadanya. Anggi lega sang Papa percaya dengan ucapannya.
Sejujurnya saat ini Anggi enggan untuk pergi ke kuliah. Rasa sakit di bawah sana masih begitu terasa. Namun jika dia tidak pergi, papanya pasti akan kembali lagi bertanya. Atau mungkin akan merasa curiga.
Daripada nantinya papanya akan curiga, dia lebih memilih untuk pergi kuliah dan mengomeli kawan-kawannya karena sudah meninggalkannya saat akan pulang camping.
Andai saja kawan-kawannya tak meninggalkannya, pasti kejadian semalam bersama Marcell tak akan pernah terjadi.
***
Sampai di kampusnya, Anggi langsung turun dari mobilnya. Dan seketika itu, ketiga kawannya langsung menghampirinya.
"Ang, Kamu tidak apa-apa kan?" Gavin langsung menanyakan keadaan Anggi.
"Gimana keadaan kamu, Anggi?" Pertanyaan serupa Karin dan Sena tanyakan kepada sahabatnya.
Anggi menatap jengah kepada temannya itu. Saat ini ia sungguh merasa kesal kepada mereka.
"Kalian lihat sendiri kan? Aku tidak apa-apa. Tidak usah sok khawatir gitu deh. Lagipula kalian benar-benar tega sekali meninggalkan ku di hutan. Sudah malam, hujan lagi!" Anggi menatap sinis ke arah teman-temannya.
"Maaf, Anggi. Kami benar-benar tidak tahu jika kamu masih berada di hutan. Kami sadar jika kau hilang, saat berada di pom bensin dekat kota." Gavin merasa sangat menyesal.
Pria itu sudah menyimpan rasa kepada Anggi sejak lama. Namun tak pernah berani mengatakannya.
Kebetulan malam kemarin, dia sendiri yang mengemudikan mobilnya. Ketika ia bertanya kepada Sena apakah semuanya sudah lengkap, Sena mengatakan sudah. Bodohnya Gavin percaya saja tanpa kembali mengeceknya sendiri.
"Sudahlah, Aku malas bicara sama kalian," ucap Anggi ketus dan langsung meninggalkan mereka menuju koridor kampus.
Ketiga orang itu saling berpandangan seolah saling melemparkan tanya bagaimana cara membujuk kawannya itu.
"Tuh kan, dia benar-benar marah," ucap Gavin.
"Sudahlah Vin, lebih baik kita biarkan Anggi sendiri dulu. Nanti jika dia sudah tidak marah lagi, pasti akan mendatangi kita lagi kok. Kau tahu kan gimana Anggi jika sudah marah?" Sena menepuk pundak Gavin.
Sena tahu jika Gavin menyukai Anggi. Namun sejujurnya gadis itu pun juga menyukai pria yang mencintai sahabatnya itu.
Tak memperdulikan ucapan Sena, Gavin pun langsung menyusul Anggi.
Sena merasa kesal Gavin tak perduli padanya. "Kenapa sih, Gavin selalu saja perhatian sama Anggi? Sudah tahu Anggi selalu cuek padanya. Apa dia tidak bisa gitu, melihat ku di sini yang selalu perhatian padanya?" Sena memberengut kesal dengan sikap Gavin.
"Sudahlah, Sena. Kita itu bersahabat. Lagipula Anggi tidak akan menyukai Gavin kok. Dia pernah cerita ke Aku jika dia hanya menganggap Gavin sebagai teman saja." Karin berusaha menenangkan Sena. Dia tak ingin persahabatan mereka rusak hanya karena seorang pria.
"Benarkah Anggi bilang seperti itu?"
Karin tersenyum mengangguk, membuat Sena menyunggingkan senyum tipisnya.
"Yasudah, lebih baik kita susul Anggi." ajak Karin. Sena mengangguk setuju.
***
"Anggi!" panggil Gavin. Pria itu berjalan cepat.
Anggi tak bergeming. Dia terus saja melangkah tanpa mau menoleh sedikitpun.
Dengan langkah lebar, Gavin menghentikan langkah Anggi dengan menghadangnya.
"Apa sih?!" ucap Anggi menatap kesal kearah pria yang menghadangnya.
"Kamu jangan marah dong, Anggi. Kami benar-benar tidak sengaja meninggalkan mu di hutan kemarin. Tolong jangan marah sama kita ya?" Gavin berusaha meraih tangan Anggi. Namun langsung di tepis oleh sang empunya.
"Apa sih, jangan pegang-pegang!" sentak Anggi. Dia tidak suka ada cowok yang menyentuhnya. Namun dia sendiri heran, mengapa semalam dia menerima sentuhan Marcell.
"Kamu kenapa selalu nolak ketika Aku memegang tangan mu, Anggi? Apa Aku sebegitu menjijikkan hingga Kau membenciku?" Gavin merasa kecewa.
"Aku tidak benci sama kamu. Tapi Aku tidak suka ada cowok yang pegang-pegang." jawab Anggi tanpa mau menatap ke arah Gavin.
"Kamu pergi aja deh Vin. Aku sedang ingin sendirian."
Dengan berat hati, Gavin pun pergi meninggalkan Anggi.
'Kau lihat saja, Anggi. Aku akan berjuang untuk mendapatkan hatimu.' batin Gavin.
"Dasar pria bodoh. Kenapa Kau bertahan untuk untuk seseorang yang tidak pernah menganggapmu?" gumam Sena pelan.
***
Gavin sedang membawa motornya ke bengkel tempatnya bekerja. Kebetulan hari ini dia libur, jadi dia bisa memperbaiki motornya setelah selesai bekerja nanti.
Gavin Andara, seorang pria muda yang sekolah sambil bekerja. Dia hanya tinggal bersama dengan pamannya.
Sementara orangtuanya, Gavin menutup diri mengenai identitas dirinya. Ada kenyataan pelik yang membuatnya tak ingin membahas tentang kedua orang tuanya.
Bahkan pria yang dia katakan sebagai Paman, sebenarnya hanya seseorang yang di kenalinya dengan akrab. Gavin pernah membantunya di masa lalu, jadi menampungnya adalah bentuk balas budi oleh pria yang ia sebut sebagai pamannya.
Satu bulan berlalu.
Anggi maupun Marcell tak pernah lagi bertemu setelah kejadian tempo hari. Keduanya menjalani kehidupan masing-masing seolah tak pernah terjadi apapun di antara keduanya.
Hari ini Anggi merasa kepalanya begitu pusing. Bahkan rasa mual hebat tengah menderanya. Dia berpikir, mungkin karena semalam dirinya tidur dengan membiarkan jendela kamarnya terbuka. Jadi dia masuk angin.
"Kamu kenapa, Anggi? Wajahmu terlihat begitu pucat. Apa Kau sakit?" tanya Gavin kala melihat Anggi yang sejak tadi hanya mengaduk-aduk makana yang telah ia pesan.
Wajah Anggi memang terlihat pucat. Mendengar ucapan Gavin barusan, membuat Karin dan Sena pun menatap ke arah sahabatnya.
"Iya Anggi, wajahmu terlihat pucat. Apa Kau sakit?" tanya Karin.
Anggi menggeleng. Sejujurnya sedari tadi, dia menahan rasa mual kala mencium bau nasi goreng yang di pesan oleh Gavin dan kedua sahabatnya.
"Hweek...hweek...." Anggi tak dapat menahan gejolak di perutnya lagi. Dia pun berlari menuju toilet untuk memuntahkan isi perutnya.
Ke tiga teman Anggi saling berpandangan. Kemudian mereka menyusulnya ke toilet untuk melihat keadaan Anggi
Di sana, Anggi masih memuntahkan cairan bening dari perutnya. Jelas saja, karena memang dari kemarin malam, Anggi tidak memasukkan apapun ke dalam mulutnya.
Setiap kali dia mencium bau masakan, pasti perutnya akan terasa diaduk-aduk dan berakibat dirinya akan mual dan muntah.
"Kamu tidak apa-apa, Anggi?" tanya teman-temannya merasa khawatir.
Anggi menggeleng pelan. Setelah dirasa perutnya sedikit nyaman, gadis bermata legam itu pun memilih untuk pulang dan istirahat.
"Anggi, sebaiknya kita mengantarkanmu ke dokter," usul Karin.
"Tidak usah. Aku hanya masuk angin biasa. Aku mau pulang dan istirahat saja," ucap Anggi dengan suara lemahnya.
"Biar aku saja yang mengantarmu," ucap Gavin. Dia hendak memapah tubuh Anggi, namun Anggi menolaknya.
"Tidak usah. Aku sudah menghubungi sopir untuk menjemputku." Anggi segera menolaknya.
Gavin merasa kecewa. Lagi-lagi Anggi menolak bantuan darinya. Entah mengapa, sangat sulit sekali untuk mendekati gadis cantik bersurai hitam itu.
Mereka semua memutuskan untuk mengantar Anggi ke parkiran dan menemaninya hingga sang sopir datang menjemputnya.
Tak berapa lama pun, sopir datang untuk menjemput Anggi. Akhirnya berpisah dengan temannya kala mobil yang Anggi tumpangi mulai meninggalkan kampus tersebut.
***
Ketika sampai di rumah, kebetulan saat itu Papa Anggi sedang pulang untuk mengambil berkas penting yang tertinggal.
Beliau mengernyit heran melihat putrinya yang pagi ini sudah pulang dari kuliahnya. Pria paruh baya permata tajam itu pun menghampiri Sang Putri untuk menanyakan perihal yang membuat putrinya itu pulang lebih awal.
"Anggi... Kenapa kau sudah pulang? Apakah dosen yang mengajar di kelasmu tidak datang sehingga kau pulang sepagi ini?" tanya Papa menghentikan langkah kaki Anggi ketika hendak menaiki tangga.
Anggi menoleh ke arah Papanya. "Itu Pa, Anggi sedang tidak enak badan. Sepertinya masuk angin karena semalaman Anggi lupa menutup jendela kamar Anggi," jelas Anggi kepada Papanya.
"Kalau begitu biar paman Dirga datang untuk memeriksamu. Papa akan menghubunginya."
"Tidak usah, Pa. Dibuat istirahat sebentar saja pasti Anggi akan sembuh," tolak Anggi.
"Yasudah, Kamu istirahat saja. Jangan lupa makan dan minum obat," ucap Papa kemudian mengusap lembut kepala Anggi.
"Iya, Pa."
Papa berjalan meninggalkan Anggi. Sementara Anggi kembali melanjutkan langkahnya untuk menaiki tangga menuju kamarnya.
Namun, Baru mencapai satu langkah saja, tiba-tiba kepala Anggi terasa begitu pening hingga tubuhnya tak mampu menahan tumpuannya dan membuat gadis cantik itu jatuh pingsan.
Brrukkh!
Papa yang baru melangkah beberapa langkah saja itu pun menghentikan langkahnya kalau mendengar suara benda jatuh.
Matanya membulat sempurna saat melihat tubuh putrinya yang sudah tergeletak di lantai.
"Anggi!" Papa menghampiri tubuh tak berdaya putrinya. "Anggi, bangun Nak. Kau kenapa?!" Papa begitu panik. Dia langsung memanggil para ART untuk membawa tubuh putrinya ke sofa.
Tak berapa lama dokter Dirga datang untuk memeriksa kondisi Anggi.
Setelah memeriksa kondisinya, dokter Dirga terdiam sejenak. Tepat di saat itu, Anggi pun mulai tersadar dari pingsannya.
Papa langsung mendekati Anggi dan mengusap lembut telapak tangannya.
"Kau sudah bangun, Nak? Sebenarnya Kau ini kenapa?" ucap Papa khawatir.
"Anggi tidak tahu, Pa. Tadi tiba-tiba kepala Anggi sangat pusing," jawab Anggi.
"Dirga, cepat katakan! Bagaimana kondisi putriku?"
Dokter Dirga tak langsung menjawab. Dia menatap Ayah dan anak itu. Kemudian menghela nafas sejenak.
"Anggi, kapan terakhir kali Kau menstruasi?"
Pertanyaan dari dokter Dirga membuat Papa menautkan kedua alisnya. "Putriku pingsan. Kenapa Kau malah menanyakan kapan terakhir kali dia menstruasi?!" Papa menggelengkan kepalanya tak habis pikir dengan pertanyaan dari sahabatnya itu.
"Gibran, Saya serius menanyakan ini kepada putri mu. Karena ini menyangkut masa depannya."
"Maksudmu?" Papa semakin bingung.
Sementara Anggi sejak tadi berpikir keras, kapan terakhir kali dia mengalami palang merah bulanannya. Otaknya sedikit terkesiap kala mengingat jika terakhir kali dia menstruasi adalah bulan lalu. Dan bulan ini sudah hampir akhir bulan, namun dirinya belum mengalami palang merah.
Tiba-tiba rasa takut menyeruak kedalam hatinya. Ingatan ketika dirinya dan Marcell melakukan hal terlarang terngiang-ngiang dalam memori nya.
Anggi merasa sangat ketakutan sekarang. Apalagi Papanya dan juga dokter Dirga masih menunggu jawaban darinya.
"Eumm... Itu Om, Anggi... Anggi bulan ini belum menstruasi," ucap Anggi takut-takut. Ekor matanya melirik kearah Papanya yang kini menatapnya.
Dirga mengusap wajahnya gusar. Dia takut apa yang ada dalam pikirannya benar-benar terjadi. Dirga sudah menganggap Anggi sebagai keponakannya sendiri. Dia menyayangi Anggi seperti putrinya sendiri.
"Kalau begitu Kau harus melakukan tes sekarang juga," ucap dokter Dirga. Kemudian dia memanggil salah satu asisten rumah tangga di sana, dan membisikkan sesuatu dan di balas anggukan mengerti.
ART tersebut langsung menuruti perintah dokter Dirga. Sementara Papa masih tidak mengerti dengan yang terjadi di sini.
Tak lama ART tadi datang dengan membawa sesuatu yang sudah dokter Dirga beli.
"Anggi, cepat gunakan ini ke toilet dan berikan hasilnya pada Om," titahnya.
Papa yang melihat benda yang Dirga berikan pada Anggi pun matanya membola sempurna.
Papa tahu benda apa yang Dirga berikan kepada putrinya.
Anggi begitu ketakutan. Namun dia tetap menuruti apa yang dokter Dirga perintahkan. Kali ini dia menunduk tak berani melihat ekspresi papanya ketika melihat benda yang dia terima.
""Apa maksudmu memberikan benda itu kepada putriku, Dirga?"
"Aku harus memastikan semuanya, Gibran. Semoga saja hasil pemeriksaan ku salah."
5 menit kemudian, Anggi keluar dari toilet dengan membawa tespek di tangannya. Air matanya bercucuran, kakinya seolah sulit untuk dia gerakan. Tangannya bergetar menahan gejolak antara rasa takut kepada Papanya dan juga yang terjadi dengan dirinya.
Kepalanya menunduk seraya memberikan hasil dari tespek di tangannya kepada dokter Dirga.
Papanya menatapnya tajam dengan tatapan glare yang seolah mengulitinya. Ini adalah hari terburuk dari semua yang terburuk dalam hidupnya. Mendapati kenyataan bahwa dirinya hamil melalui tespek tadi membuat dunia Anggi seolah terguling.
Dia tidak tahu apa yang akan Papanya lakukan padanya jika mengetahui kehamilannya ini.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!