NovelToon NovelToon

The Wedding

1. The Ice Queen

Pernikahan. Apa yang ada di dalam benak setiap orang jika mendengar satu kata itu? Pernikahan adalah sebuah ikatan yang dilandasi dengan cinta dan juga dua orang yang saling mencintai. Sangat jarang sebuah pernikahan terjadi karena cinta yang bertepuk sebelah tangan, cinta yang tidak terbalaskan. Setiap wanita selalu mendambakan hal yang sama yaitu bisa menikah dengan lelaki pujaannya, lelaki yang dicintainya, lelaki yang bisa membuat jantungnya berdebar kencang saat bersama dengan lelaki itu.

Apa yang akan terjadi jika tidak ada cinta di dalam sebuah pernikahan? pernikahan yang terjadi antara dua orang asing yang tidak saling mengenal? Bagaimanakah kehidupan mereka akan berlangsung? Tinggal di rumah yang sama, menjalani hari bersama bahkan tidur di atas ranjang yang sama.

Cora Dianthe, wanita cantik berusia tiga puluh tahun, wanita karir yang sukses dalam karirnya, ia termasuk wanita yang sukses dalam pekerjaannya tetapi gagal dalam kehidupan percintaan. Cora selalu mengalami kegagalan cinta. Bukan karena wajahnya yang menyebabkannya gagal mendapatkan cinta sejati. Cora adalah seorang wanita cantik yang memiliki mata bulat, alis tebal, bulu mata lentik dan tebal bagaikan sebuah kipas, rambut ikal sebahu berwarna hitam sempurna, kulit seputih salju, ia bisa dikatakan sebagai seorang wanita yang sempurna dari penampilan luarnya, wanita secantik dewi Yunani.

Tetapi karena sifat dingin dan posisinya sebagai direktur pemasaran di sebuah perusahaan besarlah yang membuat nyali lelaki di sekelilingnya menciut saat berhadapan dengannya. Ia adalah satu-satunya direktur wanita di perusahaannya itu, satu-satunya wanita yang terbilang sukses diperusahaannya itu, hanya dalam waktu lima tahun Cora sudah bisa menduduki bangku direktur pemasaran. Jabatan yang didapatkannya dengan kerja kerasnya sendiri tanpa bantuan tangan siapapun. Ia adalah wanita yang selalu mendedikasikan seluruh tenaga dan pikirannya hanya untuk pekerjaannya.

Di balik sifat dingin Cora, ia menyimpan pribadi yang menyenangkan, pribadi yang lembut dan manja layaknya wanita pada umumnya, walau bagaimanapun juga Cora adalah seorang wanita normal yang memiliki sisi lembut dibalik sifat dinginnya. Hanya saja Cora tidak bisa menjadi pribadi yang lembut dan menyenangkan saat bersama dengan makhluk yang bernama lelaki. Cora tidak pernah mengalami kejadian menyakitkan dengan kaum adam itu, Cora selalu meninggalkan lelaki yang menjadi pasangannya, banyak alasan yang dikatakannya kepada lelaki itu saat ia sudah mulai bosan dengan hubungan mereka dan bukan sedikit lelaki yang membencinya karena ia selalu mencampakkan mereka begitu saja. Cora bukanlah seorang playgirl , ia hanya tidak tahu bagaimana caranya berinteraksi dengan lelaki dan sebagai wanita ia sudah lupa bagaimana rasanya jatuh cinta. Ia juga lupa bagaimana caranya untuk mencintai seorang lelaki.

Walaupun percintaannya selalu gagal Cora tidak pernah berputus asa untuk menemukan cinta sejatinya. Cora selalu berharap dapat bertemu dengan lelaki yang dapat membuat jantungnya berdebar dengan kencang.

Lelaki yang dapat membuatnya salah tingkah saat bersamanya, lelaki yang akan selalu dirindukannya, lelaki yang akan membuat perasaannya bercampur aduk dan lelaki yang akan selalu memenuhi benaknya dan membuatnya selalu memikirkan lelaki itu. Walau bagaimanapun menemukan cinta sejati adalah impian dari semua wanita yang ada di dunia ini bukan?

...***...

"Nita, tolong masuk ke ruangan saya sekarang." Cora menekan intercom dan memanggil sekretarisnya yang bernama Nita untuk masuk ke ruangannya.

"Ada apa, Bu?" Wanita berwajah oriental dengan rambut yang disanggul ke atasitu berjalan mendekati Cora, wanita yang terlihat rapi dengan rok di atas lutut itu tersenyum manis kepada Cora.

"Tolong ke ruangan Susan dan ambil dokumen yang saya suruh dia kerjakan, seharusnya dokumen itu sudah selesai sekarang." Cora berkata dengan datar, ia tidak dapat mengalihkan pandangannya dari dokumen yang tengah berada di hadapannya seakan matanya melekat pada tumpukan dokumen itu.

"Baik, Bu." Nita menjawab singkat dan segera meninggalkan Cora yang masih terlihat sibuk itu. Cora terkenal dengan sifat dinginnya di perusahaan tempatnya bekerja, tidak ada satu orang pun yang berani menatap matanya, mereka akan merasa terintimidasi saat mata mereka bertemu dengan mata Cora. Pandangan mata Cora yang tajam itu selalu berhasil membuat orang yang memandangnya merasa terintimidasi.

Karena sifat dinginnya itu hingga saat ini Cora tidak dapat menemukan lelaki yang dapat meluluhkan hatinya mungkin lebih tepatnya lagi tidak ada lelaki yang mempunyai nyali besar dan mencoba untuk menaklukkan hatinya.

Menit demi menit berlalu, Susan telah tiba di ruangan Cora dengan wajah yang terlihat cemas, kemudian Susan duduk sambil menundukkan kepalanya di hadapan Cora. Sementara Cora sedang sibuk memeriksa dokumen yang telah dikerjakan oleh Susan. Sesekali Cora membolak- balikkan dokumen yang berada di tangannya, beberapa kali ia menghela nafas panjang saat memeriksa dokumen itu, dokumen itu tidak sesuai dengan harapannya. Cora menatap Susan dengan tajam dan Susan yang dipandangi oleh Cora hanya bisa menundukkan kepalanya.

"Kerjakan kembali, saya tunggu sampai jam lima, jika tidak selesai sore ini juga, kamu belum boleh pulang. Saya sudah memberikan kamu waktu seminggu untuk menyelesaikan dokumen penawaran ini bukan?" Cora melemparkan dokumen yang dipegangnya tadi ke atas meja, ia tidak puas dengan pekerjaan bawahannya itu. Cora adalah seorang wanita yang perfeksionis, ia ingin semua pekerjaannya berjalan dengan baik, ia tidak dapat menerima sedikitpun kesalahan dari bawahannya. Ia ingin semuanya terlihat baik dan sempurna, ia tidak ingin kesalahan kecil itu dapat mengakibatkan kegagalan proyek yang sedang dikerjakannya saat ini. Pekerjaan adalah hidupnya, ia bahagia dengan pekerjaannya. Ia tidak pernah menyadari bahwa pekerjaannya itu hanyalah sebagai kedok agar ia tidak terlihat sebagai wanita yang sangat menyedihkan.

"Baik, Bu . . . akan saya selesaikan sebelum jam lima hari ini." Susan berkata dengan lemas, ia menundukkan kepalanya dan berjalan keluar dari ruangan Cora. Susan keluar dari ruangan Cora dengan wajah yang hampir saja ingin menangis, matanya tampak berkaca-kaca, tetapi dia berusaha sekuatnya agar airmatanya itu tidak keluar pada saat ia meninggalkan ruangan Cora. Ia mengerjakan dokumen yang Cora berikan dengan sangat teliti, ia tidak mengerti di mana letak kesalahannya, tetapi ia tidak berani untuk menanyakan langsung kepada wanita es itu. Bertanya letak kesalahannya ada di mana bisa membuat Cora semakin murka.

"Disuruh ulang lagi kerjaan kamu, San?" seorang wanita berparas bule itu menegur Susan yang terlihat lesu saat memasuki pantry.

"Iya biasalah . . . kamu tahu sendiri gimana bu Cora, aku heran lihat kamu, Erine. Kenapa dulu kamu bisa tahan kerja bareng bu Cora? susah kerja di bawah Ice Queen." Susan menghela nafas panjang. Ia menarik bangku kosong yang berada di sebelah wanita bernama Erine itu.

"Ya mau nggak mau aku harus bertahan karena aku butuh pekerjaan ini." Erine mengendikkan bahunya dengan tak acuh.

"Iya sih . . . aku juga butuh pekerjaan, nggak mungkin kalau aku membangkang dan akhirnya di pecat." Susan menghela nafas panjang untuk yang kesekian kalinya.

"Sayang banget ya cantik-cantik kaku, galak dan sedingin es. Hari-harinya cuma buat bekerja dan terus bekerja, lama-lama bu Cora itu bakalan jadi perawan tua ya. Ice queen itu seharusnya cari calon suami aja dari pada ngurusin kerjaan." Erine mencibir.

"Kamu doain aja semoga ice queen itu cepat nikah, biar dia nggak sedingin es seperti sekarang." Susan berkata dengan suara yang terdengar begitu lelah.

"Jadi dokumen kamu salah apa lagi?" Erine membuka dokumen yang terletak di atas meja kecil di hadapan mereka.

"Nggak tahu, kalau nanya pasti makin dimarahin. Tahu sendiri mantan bos kamu itu matanya jeli banget, salah titik koma aja dia pasti marah dan nyuruh kita ngulang semua pekerjaan kita, perfeksionis banget."

Mereka berdua menghela nafas panjang secara bersamaan. Cora selalu membuat bawahannya tidak tahan dengan sikap perfeksionisnya itu. Cora selalu memperhatikan perkerjaan yang dikerjakan oleh bawahannya itu dengan teliti, salah penempatan titik dan koma adalah kesalahan fatal bagi Cora. Huruf besar dan kecil juga selalu diperhatikan oleh Cora dalam dokumen yang dikerjakan oleh bawahannya itu. Cora yang terkenal kaku, perfeksionis dan sedingin es itu secara tidak sadar telah membangun sebuah tembok tinggi bagi dirinya sendiri, tembok yang terbangun dengan kokoh telah membuat nyali para lelaki di perusahaannya menjadi ciut. Tidak sedikit dari rekan kerja Cora yang tertarik dengan kecantikan wanita itu, tetapi mereka lebih memilih untuk tidak mendekati Cora.

Hubungan percintaan Cora hanya bisa bertahan selama beberapa bulan. Setelah ia bosan dengan pasangannya ia akan mencari cara apapun untuk mencampakkan lelaki yang menjadi pasangannya itu.

Bukan, ia bukan kejam ataupun seorang play girl, ia hanya tidak ingin terus-menerus memberikan harapan palsu kepada pasangannya, ia tidak ingin membuat hati para lelaki itu lebih terluka lagi dengan harapan palsu yang ia berikan.

"Ini masih jam kerja, kenapa kalian malah nge-gosip di sini?" Cora berkata dengan datar dan melirik kedua orang karyawannya. Susan dan Erine saling berpandangan.

"Maaf, Bu . . . ini kita sudah mau kembali bekerja." Susan berkata dengan pelan, mereka tersenyum tipis dan menganggukkan kepala mereka kepada Cora, mereka segera berlari kecil meninggalkan Cora.

Selalu manggil aku dengan nama ice queen, emang aku itu ratu es?

Cora bergumam di dalam hatinya, ia mengeleng-gelengkan kepalanya. Cora menarik nafas panjang dan menghelanya, ia menatap kosong gelas yang berada di tangannya, mendengar seluruh karyawannya membicarakannya adalah hal yang normal dan sangat biasa bagi Cora. Ini bukan pertama kalinya ia mendengar para karyawannya itu mengatakan sesuatu yang membuat kupingnya panas. Bahkan mereka memberikan julukan ice queen untuk Cora.

...***...

🌷🌷🌷

.

2. Perjodohan

"Iya, Ma . . . Cora ingat, Cora sedang dalam perjalanan menuju restoran." Cora memutuskan panggilan telepon dari ibunya itu. Ia mendengus kesal, entah sudah berapa banyak perjodohan yang telah dihadirinya. Charista, ibu Cora tidak mengenal kata menyerah dalam menjodohkan anaknya dengan lelaki pilihannya. Ia selalu mencari lelaki terbaik untuk menjadi pasangan anaknya itu. Saat pertama kali ibunya mulai menjodohkannya, Cora hanya menerima saja karena ia tidak ingin sang ibu menjadi murka karena ia menolak perjodohan yang sudah diatur oleh ibunya itu, ia tidak ingin disebut sebagai anak durhaka karena tidak memenuhi permintaan ibunya.

Awal mula perjodohan itu, Cora dikenalkan dengan seorang pria kaya dan tampan, bernama Robert. Robert adalah seorang pengusaha mobil import yang memiliki beberapa showroom mobil yang tersebar diseluruh Indonesia. Ia adalah anak dari tante Andien, teman arisan ibu Cora. Menyusul Robert ada beberapa lelaki lain yang sudah Cora temui dalam acara perjodohan itu. Cora sudah tidak bisa mengingat lagi nama para lelaki yang dijodohkan sang ibu kepadanya, perjodohan adalah hal yang biasa baginya, hampir setiap bulan ia harus bertemu dengan lelaki pilihan ibunya. Nasib percintaan yang sangat menyedihkan bagi wanita secantik dan secerdas Cora. Diantara begitu banyaknya lelaki yang di jodohkan oleh ibunya itu, Cora masih mengingat satu lelaki bernama Robert, ia mengingat Robert karena sampai saat ini ia masih sering bertemu dengan lelaki itu.

Bagi Robert dan Cora hubungan mereka tidak akan bisa lebih dari sekedar pertemanan. Robert merasa nyaman berteman dengan Cora, begitupun sebaliknya, Cora merasa nyaman berteman dengan Robert. Robert selalu menjadi pelampiasan kekesalan Cora saat ibunya tidak henti-hentinya menjodohkannya dengan lelaki pilihannya. Cora tidak bisa menghitung sudah berapa banyak acara perjodohan yang sudah ia hadiri, acara perjodohan yang selalu diatur oleh ibunya itu, acara yang selalu membuat Cora dan ibunya bertengkar. Cora sudah merasa lelah mengikuti permainan ibunya, perjodohan yang selalu dipaksakan oleh ibunya itu. Tetapi Cora tidak bisa menolak ibunya, ia tahu bahwa dirinya lah penyebab sang ibu menjadi seperti sekarang ini. Cora tidak tega membuat ibunya khawatir karena anaknya yang sudah berusia tiga puluh tahun itu masih belum mendapatkan pasangan hidup. Puteri yang selalu disebut oleh teman-teman ibunya sebagai perawan tua itu membuat Cora mengalah pada ibunya.

Cora tiba di sebuah restoran Perancis, restoran yang terletak di kawasan Senopati di bilangan Jakarta Selatan. Dari luar, resto ini terlihat seperti rumah tinggal. Tetapi begitu memasuki restoran itu, kita akan langsung disambut oleh kemewahan yang elegan, khas restoran Perancis di tarafnya. Apalagi ditambah dengan sofa yang sangat nyaman, cocok untuk duduk-duduk sambil menyecap wine. Dari segi perpaduan dekorasi dan desain arsitekturnya, restoran yang bernama TeAimeitu bahkan digadang-gadang sebagai salah satu restoran Perancis tercantik yang ada di Jakarta saat ini.

Pelayanan di restoran ini begitu ramah, seorang pelayan tersenyum ramah menyambut Cora dan menanyakan kepada Cora "Apakah ibu sudah membuat reservasi di sini?" Cora menjawab, "Sudah, atas nama Anthony Eul Collin." Cora menyebutkan nama lelaki yang diberitahukan oleh ibunya dan pelayan yang ramah itu mengangguk pelan, pelayan yang terlihat ramah itu mengantar Cora menuju meja yang sudah ditempati oleh seorang lelaki.

Mata Cora bertemu dengan mata seorang lelaki yang mempunyai pandangan mata yang setajam elang itu. Sosok lelaki berparas bule itu tersenyum tipis kepada Cora membuat Cora yakin bahwa dialah lelaki yang dikatakan oleh ibunya. Tubuh lelaki itu terlihat tegap walau dalam posisi duduknya, rahang yang kokoh, mata berwarna biru safir dan ia memiliki pandangan mata yang tajam dibalik kacamatanya, kulit sawo matang, rambut coklat yang terlihat sangat rapi, ia terlihat tampan dan berwibawa.

Bule? Cora berkata di dalam hatinya, ia menghela nafas panjang. Lelaki pilihan ibunya memang tidak pernah mengecewakannya, kebanyakan dari mereka memiliki ketampanan diatas rata-rata. Cora selalu merasa salut melihat selera ibunya terhadap seorang lelaki. Begitu banyak lelaki tampan yang sudah dijodohkan kepada Cora, tetapi tidak ada satupun yang dapat meluluhkan hati dinginnya. Ia tidak butuh lelaki tampan diatas rata-rata, ia tidak peduli dengan penampilan luar seorang lelaki, ia hanya ingin seorang lelaki yang dapat membuat jantungnya berdebar dengan kencang. Lelaki yang akan membuatnya menjadi wanita yang berbeda hanya untuk lelaki itu. Cora berjalan mendekati lelaki itu dengan langkah ragu.

"Anthony eul Collin?"

"Iya . . . anda Cora Dianthe? Cukup panggil saya Tony." Tony berdiri dan mengulurkan tangannya kepada Cora, Cora menyambut tangan lelaki itu dan tersenyumtipis. Karena kekakuan mereka, mereka lebih terlihat seperti rekan bisnis, bukan seperti dua orang yang dijodohkan. Bahkan rekan bisnis bisa terlihat lebih santai daripada keadaan mereka saat ini.

Bule ini bisa bahasa Indonesia? Cora bergumam di dalam hatinya. Baru kali ini ibunya menjodohkannya dengan seorang lelaki berparas bule, walaupun semua lelaki yang dijodohkan ibunya itu memiliki ketampanan di atas rata-rata, tetapi sebelumnya ibunya tidak pernah menjodohkannya dengan seorang lelaki berparas bule seperti saat ini.

Mungkin selera mama sudah berubah, Cora bergumam di dalam hatinya sambil terus memperhatikan wajah tampan di hadapannya.

"Silahkan duduk, anda mau pesan apa?" Cora merasa dirinya sedang berbicara dengan atasannya yang selalu menggunakan sebutan saya dan anda. Cora yang sangat tidak bisa berinteraksi dengan lelaki merasa semakin canggung karena gaya bahasa mereka yang terlalu formal. Bahasa yang terlalu formal untuk sebuah acara perjodohan.

"Apa saja yang menurutmu enak." Cora menggendikkan bahunya, ia hanya ingin segera menyelesaikan acara perjodohan yang membuatnya bosan itu.

"Baiklah . . . saya pesankan untuk anda." Tony tersenyum percaya diri, ia membolak-balik buku menu di hadapannya dan memanggil seorang pelayan untuk memesan makanan.

Tony terlihat sangat mengerti dengan makanan Perancis, ia mengucapkan dengan mudah nama makanan yang bisa membuat lidah Cora terkilir saat mengucapkannya. Makanan Perancis adalah makanan kesukaan Cora selama ini, tetapi saat ini ia tidak ingin memakan apapun, pikirannya hanya ingin segera meninggalkan tempat ini.

"Kamu bukan orang Indonesia?" Cora memberanikan dirinya untuk membuka mulutnya dan menanyakan pertanyaan yang dianggapnya konyol itu.

"Ayahku Inggris dan ibuku Manado." Tony tersenyum tipis, Cora menganggukkan kepalanya dengan pelan.

Blasteran, mata biru itu pasti dari ayahnya. Cora larut dalam pikirannya.

Mereka terjebak dalam keheningan, Cora tidak mengerti apa yang harusdibicarakan pada pertemuan pertama mereka. Biasanya lelaki yang dijodohkan ibunya terbilang cerewet, mereka selalu memulai percakapan dan terkadang lelaki yang dijodohkan oleh ibunya itu tidak pernah bisa berhenti bicara. Tetapi lelaki yang ada di hadapannya ini sama kakunya dengan Cora.

Cora memandang ke sekelilingnya, ia memandang setiap orang yang berada didalam restoran itu, tidak ada keheningan dimeja mereka, restoran yang terasa begitu hangat itu tidak terasa hangat bagi Cora. Ia merasa seakan ada sebongkah batu es besar di meja makannya yang membuat mejanya itu terasa begitu dingin. Semua tamu disekelilingnya tampak sangat menikmati makanan dan pembicaraan mereka, tidak seperti Cora yang merasa bosan setengah mati saat ini.

"Hmm . . . apa anda sudah siap menikah?" Tony mencairkan keheningan diantara mereka, pertanyaan Tony tentang pernikahan itu membuat Cora terkejut. Ia mengerutkan keningnya memandang Tony.

"Menikah? apa yang harus disiapkan dalam sebuah pernikahan? Aku rasa setiap orang pasti akan menikah dan mereka harus sudah siap untuk menikah. Aku selalu siap menikah, aku rasa pernikahan itu hanya sebuah ikatan untuk mengikat pasanganmu untuk hidup bersama denganmu." Cora berkata dengan datar, Tony terkekeh pelan mendengarkan jawaban Cora, jawaban yang tidak pernah terpikirkan olehnya akan keluar dari mulut Cora, jawaban yang seharusnya tidak keluar dari mulut seorang wanita.

"Anda wanita yang menarik." Tony memandang tepat kedalam manik mata Cora, ia tersenyum lebar membuat Cora bergindik ngeri melihat senyuman lelaki di hadapannya itu.

"Terima kasih, tapi bisakah kita merubah bahasamu berbicara, ini terlalu formal. Aku merasa sedang membicarakan proyek dengan seorang rekan bisnis." mata mereka saling bertemu, Cora yang sangat percaya diri, tidak pernah merasa canggung sedikitpun untuk berbicara sambil menatap tepat ke dalam mata lawan bicaranya.

"Baiklah, kita bisa berbicara menggunakan bahasa yang lebih santai." Tony berkata dengan datar, Cora tersenyum tipis. Mereka kembali terjebak di dalam keheningan. Menit demi menit berlalu hingga makanan yang mereka pesan sudah ditata rapi di hadapan mereka, mereka menyantap makanan dalam keheningan.

Walaupun Cora seorang wanita yang kaku, tetapi Cora bukan termasuk seorang wanita yang suka makan dalam keheningan, ia tidak menyukai suasana hening seperti saat ini, suasana yang membuatnya tidak nyaman dan canggung. Ia lebih menyukai keadaan dimana mereka saling bertukar cerita disaat mereka menyantap makanan, hal yang biasa dia lakukannya dengan kedua orang tuanya ketika mereka sedang berada dimeja makan.

Kali ini Cora merasa heran dengan pilihan ibunya, bagaimana bisa sang ibu menjodohkan Cora dengan lelaki yang memiliki kepribadian yang sama sepertinya, lelaki yang memiliki sifat dingin dan kaku sepertinya. Tidak seperti biasanya, ibunya sangat mengerti dirinya yang kaku dan selalu menjodohkan Cora dengan lelaki yang talkactive dan ramah. Kali ini Cora tidak dapat mengerti jalan pikiran ibunya, ibunya tanpa sadar sudah menyiksa dirinya dengan menjodohkannya dengan seorang lelaki yang membuatnya merasa canggung dan bosan setengah mati.

"Sehabis makan kita langsung pulang, tidak baik jika seorang wanita pulang terlalu malam." Tony tersenyum tipis, Cora membuka lebar kedua matanya, lelaki di hadapannya ini sopan atau terlalu sopan? Cora merasa seperti anak sekolah yang diberikan jam malam oleh orang tuanya, bagi Cora ia yang sudah berumur tiga puluh tahun sangat tidak pantas diberitahukan tentang jam malam. Dengan cepat Cora merubah raut wajahnya yang terkejut menjadi datar.

"Ok." Cora menghela nafas panjang, ia merasa sedikit lega karena sebentar lagi ia akan bebas dari keadaan canggung yang sedang di hadapinya itu.

Menit demi menit berlalu, Tony menawarkan diri untuk mengantar Cora pulang karena merasa tidak enak melihat seorang wanita pulang membawa mobil seorang diri pada malam hari, padahal jam yang melingkar ditangan kanan Cora baru menunjukkan pukul sepuluh malam. Cora yang selalu mandiri menolak tawaran Tony, ia merasa sangat tidak nyaman diperlakukan seperti anak ABG yang harus diantar-jemput oleh pasangannya, tetapi Tony tetap memaksanya dan menyuruh supir pribadinya untuk membawa mobil Cora kembali kerumahnya, sedangkan ia mengantar Cora dengan mobilnya. Cora yang tadinya sudah merasa sedikit lega karena acara mengheningkan cipta mereka akan selesai, sekarang merasa gusar kembali karena ia harus menahan diri lagi untuk terjebak dalam keheningan diperjalanan pulangnya.

"Hmmm . . . apa kamu tahu rumahku? kamu tidak menanyakan alamatku." Tony tertawa geli mendengarkan pertanyaan yang dilayangkan Cora padanya.

"Tidak perlu kamu beritahu karena aku sudah tahu alamatmu Cora." Tony mengedipkan sebelah matanya kepada Cora.

Ternyata lelaki ini bisa terlihat menggoda juga, mungkin dia cucunya seorang dukun. Hebat sekali bukan, tanpa aku memberitahukan alamatku, lelaki ini sudah tahu di mana aku tinggal. Cora berkata di dalam hatinya.

"Kita sudah sampai." Tony menyadarkan Cora dari lamunan panjangnya, Cora memandang sekelilingnya dan melihat mobil Tony sudah berhenti di depan rumahnya. Ia menghela nafas lega, ia sangat lega akhirnya perjalanan yang kaku itu telah berakhir.

"Terima kasih untuk malam ini." Cora melepaskan seatbelt-nya dan ingin segera keluar dari mobil, tetapi langkahnya terhenti oleh tangan Tony yang menarik lengannya, membuat wajahnya hanya berjarak beberapa cm dari wajah Tony.

"You are mine, bersiaplah untuk hidup baru kita." Tony melepaskan kacamatanya, ia menatap ke dalam manik mata Cora dan mengecup bibir ranumnya. Kecupan yang sangat lama bagi Cora, kecupan tanpa gerakan bibir apapun, bibir mereka hanya saling bersentuhan. Perbuatan Tony membuat Cora terkejut, jantungnya seakan berhenti dalam hitungan detik sampai akhirnyaia mendapatkan kesadarannya kembali, ia mendorong wajah Tony menjauh darinya. Tanpa banyak berpikir lagi, ia segera berlari keluar dari mobil lelaki itu dan meninggalkan Tony tanpa sepatah katapun. Sekarang ia terlihat seperti anak remaja yang merasa ciuman pertamanya hilang karena dicuri oleh Tony. Walaupun kecupan itu terasa normal dan biasa saja, tetapi ia tetap tidak bisa menerima perlakuan Tony yang telah mencuri kecupan bibirnya di hari pertama pertemuan mereka.

Cora duduk di tepi ranjangnya, mencoba mencerna kejadian di mobil yang mengejutkannya, jantungnya seakan berhenti dalam hitungan detik. Lelaki di restoran yang terlihat begitu tenang, dingin dan kaku. Tiba-tiba saja berubah menjadi orang yang berbeda, dia terlihat seksi, liar dan gila. Lelaki itu pantas dikatakan gila karena berani mencuri kecupan dari bibir Cora dan mengatakan kata-kata yang tidak dapat dimengerti olehnya.

Cora menghempaskan tubuhnya di atas kasur empuknya, memandangi langit-langit kamarnya, ia menyentuh bibirnya dengan jarinya.

Ia tidak mengerti kepribadian orang asing yang baru dikenalnya itu, Anthony eul Collin. Lelaki yang seakan memiliki dua kepribadian yang berbeda. Cora merasakan amarah yang meledak-ledak di dalam dirinya, walaupun ia tidak langsung memaki lelaki itu, ia tidak henti-hentinya merutuk Tony di dalam hatinya. Lelaki yang tidak sopan, lelaki yang telah mengecup bibirnya dengan santai seperti kebudayaan barat yang terbiasa dengan ciuman dibibir. Bagi Cora walaupun ia hidup dizaman moderen, Cora masih berpegang teguh dengan tradisi timur yang dengan tidak mudah mencium bibir lawan jenisnya. Ia tidak akan pernah mau bertemu dengan lelaki itu lagi didalam hidupnya, untuk sekarang dan selamanya, cukup satu hari yang dikacaukan oleh lelaki itu, ia tidak ingin hidupnya lebih kacau dengan bertemu kembali dengan lelaki gila itu.

...***...

🌷🌷🌷

.

3. Perkenalan atau Lamaran?

Cora merutuk jam wekernya yang entah mengapa hari ini tidak berbunyi sedikit pun dan membuatnya terburu-buru untuk menyiapkan dirinya pagi hari ini. Kejadian tadi malam membuatnya tidak bisa tidur, baru kali ini ada seorang lelaki yang dapat membuat Cora tidak bisa tidur dengan pulas. Kata-kata lelaki itu terus-menerus terngiang di dalam benaknya, kejadian di mobil itu terputar ulang secara otomatis di dalam benaknya, membuatnya tidak dapat memejamkan matanya.

"Cora, sayang . . . kamu sudah bangun? mari kita sarapan, sehabis sarapan kita harus mempersiapkan dirimu." Charista membuat Cora terkejut dan menghentikan langkah kakinya, saat ini Cora terlihat seperti patung dan tidak bergerak sedikit pun, ia mencoba mencerna kata-kata ibunya, Cora tidak boleh salah mengartikan setiap kata yang keluar dari mulut ibunya itu, jika ia salah mengerti perkataan ibunya maka malapetaka akan terjadi bagi dirinya.

"Bersiap-siap? kita mau kemana, Ma? jangan macam-macam ma, hari ini Cora ada rapat penting." Cora tersadar bahwa ibunya merencanakan sesuatu yang sudah pasti tidak akan disukainya.

"Mama sudah menelfon kantormu dan mengatakan kamu tidak bisa masuk hari ini." Cora mengerutkan keningnya, ia memicingkan kedua matanya seakan tidak percaya dengan apa yang ibunya katakan. Ibunya terdengar sangat aneh saat ini dan Cora yakin ibunya itu sudah merencanakan sesuatu untuknya. Cora yakin ibunya berencana untuk memaksanya pergi ke acara perjodohan yang lain.

"Apa? nggak bisa . . . mama pasti merencanakan sesuatu, aku mohon hentikan rencana jahat mama itu." Cora menyatukan kedua tangannya dan meletakkannya dihadapan wajahnya, ia memohon kepada ibunya yang terlihat sangat antusias itu. Charista tersenyum licik melihat putrinya yang terlihat terkejut itu. Charista berjalan mendekati puterinya yang masih terlihat bingung itu.

"Tenang, Cora . . . mama tidak mungkin menjerumuskanmu, mama selalu memberikan yang terbaik untukmu. Cepat mandi, banyak yang harus kita persiapkan hari ini." Charista mendorong tubuh puterinya menuju kamar mandi.

"Tapi, Ma. . .." Cora membalikkan tubuhnya dan memandang wajah ibunya itu dengan tatapan yang tersiksa.

"Mama akan menceritakannya saat kita sarapan nanti, cepat mandi." Cora tidak ingin terus berdebat dengan ibunya, ia selalu tidak bisa menang jika melawan ibunya itu. Tidak ada kata penolakkan yang bisa diterima oleh ibunya itu. Ia mengikuti kehendak ibunya dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Umur Charista yang sudah mencapai kepala lima itu tidak menghilangkan sifat kekanak-kanakan dan sifat egoisnya. Cora sempat bertanya-tanya apakah ayahnya mencintai ibunya? ia sebagai anak saja selalu merasa kesal menghadapi sifat egois ibunya itu. Tetapi ayahnya yang sabar selalu tersenyum menghadapi ibunya. Memang didalam rumah tangga seorang istrilah yang menjadi bosnya, itulah yang selalu dipikirkan oleh Cora.

Tetapi ayahnya berkata lain, ayahnya selalu mengatakan bahwa Cinta itu bukan hanya sekedar mencari kesempurnaan, cinta itu mengharuskan kita menerima kekurangan pasangan kita dan kita membutuhkan seseorang yang mencintai kita dengan tulus untuk menyempurnakan kita. Ayah Cora mencintai ibunya dengan tulus dan tidak menuntut lebih dari ibunya itu, ia mencintai sang ibu apa adanya, mencintai ibunya itu tanpa syarat apapun.

Cora berlari kecil menuruni anak tangga menuju ruang makan. Langkahnya terhenti saat ia mendekati ruangan itu. Kakinya seakan tidak dapat digerakkan saat ia mendengar suara yang terasa begitu familiar ditelinganya. Ia melangkahkan kakinya dengan pelan. Dugaannya tepat, wajah yang tidak mau dilihatnya lagi dan suara yang tidak mau didengarnya lagi itu membuat paginya hancur. Seakan malamnya yang sudah dihancurkan oleh lelaki itu tidak cukup untuk menyiksanya. Ia mematung, menatap nanar pemandangan dihadapannya.

"Cora sayang. . . kok malah bengong di situ, sini duduk." Charista memanggil Cora dengan lembut. Cora berjalan menuju meja makan dan duduk di bangku kosong yang tersedia, bangku yang sangat tidak ingin untuk didudukinya saat ini, bangku di sebelah lelaki yang menghancurkan harinya.

"Ada apa ini? Mama berhutang penjelasan kepadaku." ketus Cora, ia menaikkan sebelah alisnya memandang lelaki yang saat ini tersenyum manis di sebelahnya.

"Kamu kok galak gitu sayang. . . ini loh. . .nak Tony berkunjung kemari untuk lebih kenal sama keluarga kita." Charista tersenyum bahagia, senyum yang menurut Cora terlihat seperti senyuman seorang iblis.

Cora memijat-mijat pelipisnya. Pantas saja hatinya merasa tidak enak pagi ini, ibunya benar-benar wanita berbahaya yang sangat suka memanipulasi orang disekelilingnya.

"Pagi-pagi buta datang kerumah orang, emang nggak ada kerjaan ya?"

Cora berkata dengan sarkastis. Charista menendang kaki Cora yang duduk dihadapannya, membuat Cora meringis dan mengeluarkan wajah kesakitan.

"Maafkan aku Cora . . . mungkin ibumu belum bercerita padamu, hari ini aku datang untuk memintamu sebagai istriku karena aku adalah seorang yatim piatu aku meminta asisten keluarga kami yang sudah aku anggap sebagai keluarga untuk mewakili orangtuaku, kenalkan James Stapphord." James mengulurkan tangannya kepada Cora. Pria paruh baya yang terlihat sangat tampan diusia senjanya itu tersenyum pada Cora. Walaupun terkejut dengan apa yang dikatakan Tony, Cora tetap menyambut tangan James dengan hangat. Ia menatap Tony dengan kesal, lelaki itu saat ini terlihat tenang dan berwibawa, tetapi Cora tidak akan tertipu dengan wajah tenangnya itu untuk yang kedua kalinya.

"Maafkan aku . . . apa kamu sakit? atau kamu adalah lelaki yang tidak waras? Bagaimana bisa kamu meminta orang yang baru kamu temui kemarin untuk menjadi istrimu?"

"Bukankah kamu bilang pernikahan hanyalah sebuah ikatan untuk mengikat pasanganmu? Aku kira kamu bukan seorang wanita yang mengharapkan perasaan cinta dalam sebuah pernikahan." Tony tersenyum tipis.

"Sudahlah Cora. . . bukankah ini baik bagimu, akhirnya ada lelaki yang ingin menikahimu." Charista menatap tajam ke arah putrinya itu.

"Jangan terlalu memaksa Cora, Ma . . . dia berhak untuk memilih pasangan hidupnya." Charley, ayah Cora, ia menggenggam erat lengan istrinya. Terlihat jelas raut yang penuh dengan kekecewaan di wajah kedua orangtuanya, membuat Cora merasa bersalah atas sikapnya.

"Maafkan Mama, Nak Tony . . . Mama ingin berbicara berdua dengan Cora." Cora menatap tajam kearah Tony dan tersenyum sinis, ada perasaan menggelitik dihatinya saat ia mendengar ibunya yang sudah terlihat akrab dengan Tony sehingga memanggil dirinya dengan sebutan mama. Charista menarik tangan Cora dan membawanya masuk ke dalam kamar tamu yang terletak di lantai satu rumah mereka.

"Apa maksud semua ini, Ma? ini bukanlah zaman Siti Nurbaya yang kebanyakan orang menikah karena dijodohkan oleh orangtuanya. Aku tidak mengenalnya, bagaimana aku bisa menikah dengannya? Hidup bersama dengannya? bahkantidur diatas ranjang yang sama dengannya?" Cora meninggikan suaranya, ia mencoba menahan tangisnya. Selama ini ibunya tidak pernah memaksanya untuk menikah seperti saat ini, ibunya selalu mendengarkan pendapatnya tentang pernikahan. Charista menjodohkannya dengan beberapa lelaki, tetapi jika Cora merasa tidak cocok dan tidak ingin melanjutkan hubungannya dengan lelaki tersebut, Charista selalu menerima kehendak Cora dan mengatakan masih banyak lelaki lain yang menunggu Cora. Tetapi saat ini Cora bisa melihat kekecewaan yang begitu besar dimata ibunya.

"Maafkan Mama bertindak egois dan tidak menceritakan apapun padamu, sudah saatnya kamu menikah sayang. . . Mama dan Papamu sudah tidak muda lagi dan kami tidak tahu kapan ajal akan menjemput kami. Apa kamu tahu kalau Mama selalu iri melihat teman-teman mama yang selalu direpotkan oleh cucu-cucu mereka? Mama iri dan Mama takut, ajal akan menjemput Mama sebelum Mama merasakan bermain dengan cucu Mama. Kamu anak kami satu-satunya. Mama sudah mengenal Tony, dia lelaki baik dan bertanggung jawab, dia punya masa depan yang cerah. Mama tidak mungkin memaksamu menikah dengan sembarangan lelaki hanya karena mama ingin menimang seorang cucu." Terlihat jelas raut kesedihan pada wajah Charista.

"Aku seorang wanita, ma . . . aku ingin menikah dengan lelaki yang kucintai dan lelaki yang mencintaiku. Aku ingin menjadi pasangan seperti papa dan mama yang saling mencintai. Aku memang munafik saat aku mengatakan pernikahan hanya sebuah ikatan untuk mengikat pasangan kita, aku munafik saat aku tidak mengatakan bahwa aku ingin dicintai dan mencintai." Cora tidak dapat menahan perasaannya lagi, tanpa disadari air mata keluar dari sudut matanya.

"Mama mengerti, Sayang . . . mama juga seorang wanita. Mama ceritakan satu rahasia kepadamu. Awalnya mama membenci papamu. Mama membenci sikap papamu yang terlalu lembut sebagai seorang lelaki, mama membencinya karena dia terlalu sabar sebagai seorang lelaki begitu banyak hal yang mama benci dari papamu. Tetapi papamu tidak pernah menyerah untuk mencintai mama dan tanpa mama sadari cinta itu hadir dihati mama. Cinta hadir di antara kami.

Apa kamu percaya jika mama katakan cinta akan hadir pada saat yang tepat, mungkin nanti kamu akan jatuh cinta padanya atau dia akan mencintaimu seperti papamu mencintai mama. Percayalah sayang dia akan membuatmu jatuh cinta, hanya satu yang mama minta sama kamu sayang, menikahlah dengan tony, anggap saja ini permintaan terakhir dari kedua orangtuamu." Charista menggenggam tangan puterinya dengan erat, ia menatap kedalam manik mata puterinya itu, mencoba meyakinkan puterinya bahwa inilah yang terbaik untuknya.

"Ma . . . aku . . .aku. . .." Cora tidak dapat melanjutkan ucapannya, perasaannya bercampur aduk saat ini. Ia tidak bisa menolak permintaan ibunya, tetapi hati kecilnya menolak untuk menuruti ibunya dan menikahi lelaki yang hanya ia tahu namanya itu.

"Cora . . . kamu adalah hadiah terindah dari Tuhan untuk kami. Kami sangat mencintaimu dan kami ingin kamu bahagia, orangtua mana yang tidak bahagia melihat anaknya bahagia?" Charista menarik tubuh Cora yang bergetar ke dalam pelukannya.

"Baiklah, Ma . . . jika itu yang bisa membuat kalian bahagia." Cora memeluk erat tubuh ibunya, seakan tubuh yang sudah renta itu dapat menampung sedikit kegelisahan hatinya.

Saat keduanya sudah merasa sedikit tenang. Charista menarik tangan Cora untuk keluar menuju meja makan dan membicarakan pernikahan puterinya itu.

"Maaf sudah menunggu lama . . . kenapa pada belum makan?" Charista kembali ke posisi duduknya semula. Cora menundukkan wajahnya dan kembali duduk disebelah Tony.

Tony menatap wanita disebelahnya dengan lembut, matanya terlihat sembab tetapi Tony tidak akan mengurungkan niatnya untuk menikahi Cora. Saat Cora sedang larut dalam pikirannya sendiri sebuah kesepakatan telah terjadi diantara keluarga Cora dan Tony. Keluarga Tony juga sudah membawakan berbagai seserahan untuk dirinya seperti pakaian mewah, perhiasan dan segala macam barang-barang mahal untuk dirinya. Barang-barang mewah yang tidak menarik perhatian Cora sedikitpun. Pernikahan mereka akan dilangsungkan dalam dua minggu kedepan. Saat mendengarkan kata dua minggu, Cora menarik nafas panjang dan menghelanya, ia semakin menundukkan kepalanya, lidahnya seakan kelu, ia tidak dapat berkata-kata lagi saat mendengarkan keputusan yang dibuat begitu saja tanpa memikirkan perasaannya, sebuah keputusan tanpa mendengarkan pendapatnya. Ia hanya pasrah pada sang takdir. Jika ia tidak bisa merasakan cinta lagi tetapi bisa membuat orangtuanya bahagia, mungkin itu yang sudah takdir rencanakan untuknya.

"You are mine and always be mine." Tony membisikkan kata-kata yang membuat Cora melotot kearahnya. Cora baru mengerti apa yang dikatakan Tony malam itu, Tony memang sudah merencanakan semua ini. Ia berencana untuk menikahi Cora. Cora tidak mengerti apa yang ada dipikiran lelaki itu. Lelaki itu telah berhasil membuat hari-harinya kacau, atau bisa disebut juga lelaki yang berhasil membuat hidupnya hancur dan berantakan.

Pertemuan yang dipikir Cora hanya sebagai perkenalan antara dua keluarga itu, berakhir dengan sebuah lamaran. Perkenalan yang lebih bisa disebut dengan sebuah acara lamaran, itu membuatnya frustasi.

Bagaimana tidak disebut dengan acara lamaran jika saat ini Tony sudah memberinya barang-barang mewah sebagai seserahan dan memutuskan tanggal pernikahan mereka. Cora hanya bisa menerima takdirnya dengan perasaan gelisah.

Ia tidak mengerti apakah ia bisa bertahan untuk hidup selamanya dengan lelaki asing yang baru saja dikenalnya kemarin, ia tidak tahu apakah cinta bisa tumbuh di antara mereka. Memikirkan semua yang akan terjadi di dalam kehidupan pernikahan mereka nanti membuat kepalanya sakit. Tapi apa daya, Cora bukanlah seorang anak durhaka yang selalu memberontak kedua orang tuanya. Walaupun ia tidak bisa menerima keegoisan ibunya itu, tetapi ia tidak mungkin membantah perintah ibunya, ia tidak ingin membuat ibunya itu merasa kecewa dan tersakiti, walau bagaimanapun Cora sangat mencintai kedua orang tuanya.

...***...

🌷🌷🌷

.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!