Setelah jam berdentang sepuluh kali malam itu, Davina bergegas keluar dari musholla sambil membawa mukenna. Ia memutuskan untuk segera beristirahat karena besok pagi ada jadwal ujian tahap pertama di KM. Dan setelah itu langsung mengikuti kuliah umum hari terakhir di pusat. Namun, begitu kakinya menapaki teras wisma, dilihatnya seseorang sedang duduk di teras aula. Dan perasaannya berdesir mana kala tahu kalau itu adalah Madina Shafa.
Gadis ayu itu sejak semalam memang tak mengatakan apa-apa. Sepulang dari Al-Hasyimi pusat ia langsung sholat isya dan memilih tidur di wisma. Dan Davina yakin kalau ia tak akan serta merta dapat meraih tidurnya. Mungkin Madina justru terjaga di kala sunyi dengan sejuta pikiran yang berkecamuk dan tak menemukan muara.
Dan ketika pagi, Madina juga hanya memilih tetap diam saja. Bahkan gadis itu cenderung menghindari tiap kali Davina atau pun Nabila menyinggung-nyinggung soal pertunangannya. Madina memilih mengalihkan pembicaraan dengan raut wajah yang tak tampak bahagia, tapi juga tak terlihat sedang berduka.
Sikap diam sahabatnya itu, justru sangat menggelisahkan jiwa Davina. Ia tau pasti kalau Madina terluka, tapi enggan untuk bicara. Padahal Davina bersedia melakukan apa pun untuk sahabatnya itu, demi untuk bisa melihat binar cerah di wajahnya yang ayu kembali seperti semula. Tapi, Madina memang telah menutup pintu untuk bercerita. Atau mungkin gadis ayu itu lebih suka mengadukan perasaannya hanya pada tuhan, dalam diam, karena tak menemukan bahasa ungkapan yang cukup tepat untuk menggambarkan.
Yang pasti kini, air matanya terlihat berlinang.
Davina perlahan duduk di depannya.
"Din." Ia menegur lembut.
Madina Shafa terlihat kaget, dan segera menghapus air matanya. Kemudian ia berusaha untuk tersenyum menatap Davina. "Kau sudah sholat isya?" tanyanya segera. Selalu seperti itu, ia mendahului bertanya ketika Davina sedang memergoki kesedihannya. Sepertinya ia tak ingin Davina akan bertanya perihal air matanya.
"Sudah," sahut Davina seraya memerhatikan raut wajah ayu sahabatnya.
"Bicaralah, Din. Walau hanya dengan sepatah kata," ujar Davina dengan suara lirih.
"Aku gak papa, Davina."
"Aku tau, Madina ..." Namun belum juga Davina selesai dengan ucapannya, Madina sudah memangkas ucapan tersebut dengan kata-katanya.
"Besok kita ujian hari pertama ya ... aku malah gak sempat buka buku sama sekali."
Davina hanya mengangguk dengan perasaan yang tak nyaman. Terdengar panggilan masuk di ponsel Madina. Satu kali panggilan yang diabaikan. Hingga panggilan kedua dan ketiga, Madina tetap memilih untuk mengabaikan saja. Davina terdongak menatap sahabatnya itu.
"Dari Ra Fattan?" tanyanya.
Madina mengangguk.
"Kenapa tidak kau jawab?"
"Sudahlah, tidak apa-apa," sahut Madina.
Dan kemudian terdengar notifikasi pesan masuk. Lama Madina memerhatikan ponselnya tersebut. Pikirannya sedang bingung, apakah akan melihat pesan tersebut atau mengabaikan saja, seperti beberapa telepon barusan. Namun, kemudian ia pun memutuskan untuk membacanya.
Jika karena kesibukan kau tak bisa menjawabku, maka maafkanlah aku yang telah mengganggu waktumu.
Jika karena ketidaktahuan kau mengabaikan panggilanku, percayalah bahwa aku akan selalu memahamimu.
Dan jika karena kesengajaan kau enggan menjawab teleponku, ketahuilah! Aku tak sanggup menerima semua itu, wahai biji mataku ...
Madina Shafa terperangah. Sangat besar keinginannya untuk membaca pesan teks itu untuk kedua kalinya. Namun, pandangannya keburu mengabur karena ada air yang mengambang pada sepasang matanya. Dan lalu titik beningnya itu pun jatuh. Bahkan kemudian ia terisak, dadanya terasa sebak.
Sebenarnya inilah yang ditakutkan oleh Madina, kenapa ia memilih untuk mengabaikan saja. Tidak menjawab telepon ataupun membaca pesannya. Karena dia tak akan mampu, dia tak akan bisa untuk bertetes air mata, seiring rasa hatinya yang terasa begitu lara.
Tak disangka jika ujian akhir di KM itu menjadi ujian yang paling berat bagi mereka. Bukan hanya sebatas pada ujian materi pembelajaran, pengetahuan dan kreatifitas. Namun, terlebih lagi adalah ujian hati, yang tak hanya menguras keringat dan tenaga, tapi juga air mata.
Air mata yang sesekali terlihat di wajah Kanza Davina. Dan air mata yang juga terlihat beberapa kali menghiasi wajah ayu Madina Shafa. Begitu pula dengan Zaskia Arifa.
Nabila Alia, yang menjadi saksi kisah yang menggugah rasa dari ketiga sahabatnya di KM (kulliyatul muallimin) itu, hanya bisa beberapa kali menarik napasnya. Satu hal yang sangat ia sadari, bahwa tidaklah sebuah kejadian itu terjadi, melainkan karena sudah digariskan demikian oleh Ilahi Rabby.
Namun, kendati demikian pelik lakon hidup yang harus mereka perankan, mereka tetap tampil biasa saja. Bahkan juga tetap bersama dalam menjalani setiap aktifitas dan rutinitas tiap harinya. Tetap saling berkomunikasi akrab. Namun, tak bisa dipungkiri adanya mendung yang berkelebat dalam setiap tatap. Bahkan di beberapa kesempatan saat mereka tengah sendirian, arakan mendung itu terlihat kian pekat, lalu menjelma menjadi badai. Terlihat dari seberapa banyak tangisan yang tercurah, karena guncangan perasaan.
Akan tetapi sungguh hebat cara mereka mengatasi semuanya. Mereka mampu menetralisir perasaan itu, tidak dengan cara curhat, mengadu atau apa pun yang melibatkan pihak lain. Tapi, lebih pada kegiatan kian mendekatkan diri pada sang Kholik, dengan cara mengaji atau pun mengkaji. Dari hal itu jelas terlihat, bahwa mereka saling menghargai. Apa pun yang terjadi, tak ingin mereka jadikan bahan konsumsi, yang banyak orang lain bisa mencicipi. Karena ini menyangkut diri, sahabat terkasih, serta orang yang dicintai.
Assalamualaikum...
Kita ketemu di sini ya, di cerita terbaru yang kisahnya sangat jauh berbeda dari kisah Tuan Muda Emerald William ataupun papahnya.
Ohya, yang sudah pernah membaca kisah tentang Rafardan dan Quinsha dalam judul, TERNYATA SAHABATKU, MERTUAKU, pasti ingat kan ketika Rafrdhan yang adalah artis terkenal itu bermain web series. Judul web seriesnya, BERTARUH CINTA DI ATAS TAKDIR. inilah kisahnya. Kisah yang diperankan oleh Rafardhan itu. Kalian cukup baca kisah ini saja ya, untuk tahu gimana alur ceritanya. Jadi gak usah repot-repot menonton web series yang dimainkan Rafardhan tersebut. (Karena sampai sekarang juga belum jelas web series itu tayang di mana ha..ha..ha..)
Dan lagi, Rafardhan juga sudah pensiun jadi artis, ia sekarang sudah beralih profesi sebagai dokter speasialis bedah, dan menggunakan nama aslinya, RAFASYA ADITYA ZAIDAN. Bagi yang belum baca kisahnya, boleh jalan-jalan dulu ke kisah yang berjudul TERNYATA SAHABATKU, MERTUAKU.
Dan tentang kisah BERTARUH CINTA DI ATAS TAKDIR INI, saya gak perlu banyak menjelaskan, kalian simak aja kisahnya, dalam setiap bab, dibaca pelan-pelan. jangan lupa berikan like dan komen ya, lengkapi juga dengan gift serta vote dalam setiap minggunya. Serta yang tak kalah penting lagi, kasih bintang lima ya..Saya berharap banget..
Terakhir, selamat membaca, Semoga ceritanya berkenan di hati teman-teman semuanya.
Salam penuh cinta.
NAJWA AINI.
Sederet nomor yang tak dikenal, memenuhi layar ponselnya. Angka-angka itu begitu banyak dan panjang, tak sebagaimana lazimnya. Hal itulah, yang membuat tangan gadis itu terasa berat untuk menerima telepon yang telah merampas tidurnya yang lena. Padahal, hampir semenit sudah dering ponsel itu meminta perhatian dari yang punya.
"Kenapa gak diangkat?" tanya Davina, yang cukup lama menyaksikan reaksi temannya atas telepon tengah malam tersebut.
"Nomor gak dikenal, banyak juga," sahutnya dengan tatap mata ragu, hal itu memantik rasa penasaran Davina untuk melihat pada layar ponsel yang sama.
"Meidina, ini Kayak kode dari luar negeri," kata Davina.
"Luar negeri? Siapa ya, yang menelponku dari luar negeri, jam segini lagi." Gadis berparas ayu itu melongok pada jam dinding, jarumnya mengarah pada angka 3 dini hari. Waktunya tahajjud.
"Untuk tahu, angkat saja!" usul Davina.
Meski dengan rasa ragu yang menggelayut di kalbu, akhirnya jemarinya bergerak juga untuk mengangkat telepon itu.
"Assalamualaikum, Madina Shafa." Suara penelepon dari seberang, suara seorang laki-laki yang ketika mendengarnya saja, Madina langsung meraba dada, karena detak jantung yang tiba-tiba lebih dahsyat dari biasanya.
"Waalaikumsalam," sahutnya dengan suara pelan dan hampir tercekat di tenggorokan.
"Maaf, saya mengganggu kamu, Madina."
"Ee." Gadis itu masih tetap dengan mode tercekatnya.
"Ini saya, Rayyan Ali Fattan."
Semakin dia menjelaskan siapa dirinya, denyut jantung Madina Shafa, semakin tak bisa dikondisikan saja. Sebenarnya, dari suaranya saja, gadis itu sudah bisa menduga, kalau dia adalah putra Kyai Muhajir, pengasuh pesantren Darul ulum. Tempat di mana Madina Shafa dan Kanza Davina membaktikan ilmunya sebagai tenaga pengajar Madrasah Diniyah di sana. Pesantren Darul Ulum ini pula, yang membuka jalan bagi Davina dan Madina untuk menempuh pendidikan Kulliyatul Muallimin di pesantren Al-Hasyimi, tempat mereka belajar sekarang.
Gadis itu masih rasa tak percaya jika putra mahkota Darul Ulum yang tampan dan pendiam itu meneleponnya.
"I-iya, Ra." Gugup suara Madina menjawabnya. Ra, adalah singkatan dari Lora. Lora adalah sebutan untuk putra Kyai di Darul Ulum. Karena Rayyan Ali Fattan adalah putra Kyai pengasuh pesantren Darul-Ulum, maka dia dipanggil Lora.
Kata tanya dengan menyebut sebutan singkat itu, membuat Davina yang hendak keluar dari wisma, masih menghentikan langkah dan menatap ke arah sahabatnya tersebut. Tatap matanya memancarkan tanya yang tak terucap dengan kata. Tapi, Madina Shafa hanya fokus pada si penelepon saja.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Ra Fattan, dan itu cukup mengurai kegugupan yang dirasakan oleh Madina.
"Baik, Ra."
"Betah di Alhasyimi?"
"Iya, Alhamdulillah."
"Masih lama pelajarannya?" Nada tanya datar seperti itu memang yang menjadi salah satu ciri khas seorang Rayyan Ali Fattan. Datar dan berwibawa.
"Sekitar empat bulan lagi, Jennengan sudah kembali ke Darul Ulum, Ra?" tanya Madina pelan.
"Tidak. Saya masih di Al-Azhar."
"Oh." Dan semakin heranlah perasaan Madina, mana kala tahu kalau putra Kyai Muhajir itu meneleponnya dari Kairo. Jauh sekali. Gerangan ada apa, pemuda yang sudah selama dua tahun ini berada di sana, tiba-tiba meneleponnya di saat menjelang waktu shubuh begini.
"Doakan saya, Madina. Mungkin hanya doa kamu yang bisa membuat saya merasa tenang." Suara Fattan terdengar berat saat berkata demikian.
"Jennengan kenapa, Ra?" Madina jadi bertanya dengan raut wajah yang panik.
"Belakangan ini, Saya sering teringat sama kamu . Dan itu membuat saya kurang bisa fokus. Padahal saya sedang mengerjakan tesis sekarang."
"Oh" Madina hanya bisa menghempaskan napasnya tertahan. Sungguh ia belum sepenuhnya paham apa maksud dari ucapan Rayyan Ali Fattan.
"Doakan saya ya, dan iklashkan apa yang saya rasakan." Kenapa suara Ra fattan saat berkata demikian itu terdengar lebih lembut di pendengaran, apa karena ia berkata dengan sepenuh perasaan. Ah. Madina tak berani menebak-nebak, apalagi menyimpulkan. Ia memilih sibuk untuk memaknai perasaannya sendiri yang terasa bergetar karena mendengar ucapan demikian.
Dan pada akhirnya, setelah beberapa jenak terdiam, ia pun mengatakan, "Iya, Ra, saya doakan, dan saya iklashkan."
"Alhamdulillah, terima kasih, Madina, saya ..." sampai pada kalimat itu, tiba-tiba suara Ra Fattan menghilang, dan yang terdengar kemudian adalah nada tut..tut..tut...
Sepertinya sambungan terputus, atau memang sengaja diputus. Madina terdiam dengan rasa hati yang berkabut. Ia pandangi ponselnya yang memang sudah tak ada aktifitas sambungan di sana. Bahkan dengan beraninya ia mendial nomor tersebut. Namun, hanya kembali nada yang memekakkan telinga itu yang memenuhi ruang dengarnya.
"Ra Fattan yang meneleponmu?" tanya Davina yang sudah menjadi saksi atas semuanya.
"Iya," sahut Madina lesu.
"Beliau menelepon dari Kairo ya," tebak Davina. Karena saat ini, putra Kyai Muhajir itu memang sedang mengambil program pascasarjana di sebuah Universitas ternama, di Kairo.
Madina hanya mengangguk saja.
"Kenapa jadi lesu, Din? Beliau bilang apa?"
"Beliau hanya minta doaku, katanya beliau sedang mengerjakan tesis," sahut Madina.
"Iya," kata Davina, seakan dia memang sudah tahu perihal itu.
"Tapi ..." Madina tampak ragu untuk melanjutkan ucapannya.
"Kenapa?" Davina memerlihatkan senyum, dan itu membuat keraguan dalam diri Madina kabur. Tak layak, bahkan termasuk dosa jika harus meragukan sahabat yang sudah seperti saudara. Demikian ikatan yang ada antara Kanza Davina dan Madina Shafa.
"Beliau minta doa dan keikhlasanku, beliau sering gak fokus mengerjakan tesisnya, karena sering ingat padaku. Apa maksudnya ya, Vina?"
"Kamu benar gak ngerti, Din?" Davina menatap lekat pada Madina Shafa yang terlihat menggeleng pelan. Gelengang yang tak menunjukkan keyakinan. Dibilang dirinya tidak sepenuhnya mengerti maksud ucapan itu, rasanya bohong. Madina itu sangat cerdas dan peka. Di KM, atau singkatan dari kulliyatul Muallimin, dia adalah ketua BES, badan executive santri. Setara dengan BEM dalam tingkat perkuliahan.
Tapi, perlu diketahui, memahami tentang rasa, tak hanya diperlukan cerdas secara intelektual saja. Karena rasa, muaranya ada dalam hati. Dan tidak ada yang bisa memahami tentang hati, atau pun bahasa hati, kecuali dengan hati pula. Dan apa tentang hal ini, Madina juga belum memahami? Jawabannya sudah. Hanya saja, jika itu tentang hati, dia ingin lebih berhati-hati. Apalagi ini adalah tentang seseorang yang sudah bertahta dalam hati secara diam-diam selama ini. Seseorang yang dikenal selalu berhati-hati dalam setiap kata dan tindakan. Madina, jelas tidak ingin terburu-buru mengambil kesimpulan.
Lain halnya dengan Davina, ketika dia mengatakan pada Madina, apa yang menjadi ulasan dan alasannya, semua itu bukan hasil penilaian yang semena-mena, melainkan setelah melewati kajian sebelumnya. Kajian tak resmi, yang telah ia lakukan cukup lama.
"Madina, Ra Fattan itu selalu teringat padamu. Selalu memikirkanmu, sampai ia tak bisa fokus untuk mengerjakan tesisnya. Karena itulah ia minta doa dan keikhlasanmu atas apa yang ia rasakan." Demikian ucap Davina menjabarkan.
Madina terdiam. Ia bukan tak paham, tapi hanya tak ingin salah paham.
"Dan inti dari semuanya adalah, Ra Fattan itu menyukaimu," lanjut Davina kemudian.
Madina masih terdiam, ia hanya menatap sahabatnya itu untuk beberapa lama dan enggan beralih pandang. Sedangkan Davina malah segera keluar dari kamar mereka itu dan tak menambahkan keterangan. Karna ia pun tahu, kalau sahabatnya yang ayu itu bukan tak paham dengan apa yang ia katakan.
"Setiap sore, aku pasti meluangkan waktu untuk duduk di sini. Hanya sekedar ingin melihat Irfan Arafka Wafdan, lewat ..."
Zaskia menghela napas, bukan hanya untuk pertama kalinya ia menyadari kalau perbuatannya itu sebagai suatu hal yang sia-sia, dan buang-buang waktu percuma, atau apa pun istilah yang lainnya. Tapi, di atas semua hal yang sudah disadarinya itu, nyatanya ia tak dapat menghentikan keistiqamahan yang sudah dilakoninya sejak lama tersebut. Sepertinya hal itu sudah menjadi
Panggilan kewajiban yang tak bisa dilalaikan. Selayaknya sholat lima waktu.
Walaupun ia melakoni semuanya karena berharap bisa melihat satu nama. Tapi, ketika pemilik nama yang sudah disukainya diam-diam tersebut melintas, ia justru tak kuasa untuk mendongak menatap wajah tampannya. Gadis itu hanya mampu tundukkan wajah, dan sekilas melirik dengan ujung mata. Itupun dihalangi oleh hijab yang selalu setia menghiasi kecantikannya.
"Ehemm. Belum lewat ya." Tiba-tiba terdengar suara tanya dengan nada menggoda, yang membuyarkan segenap lamuna Zaskia.
"Mbak Nabila." Zaskia jadi terlihat gugup saat melihat siapa yang menghampirinya dan yang sudah memergokinya. "Si-siapa yang belum lewat, Mbak?"
"Yang sedang ditunggu oleh Ning Zaskia," sahut Nabila sambil tersenyum lembut.
"Eh." Zaskia langsung menunduk dengan wajah yang bersemu merah karena merasa malu.
Tak dapat ia ingat, ini adalah sore yang keberapa, ia melakoni semua rutinitas penantian diam-diamnya itu. Mungkin sudah hampir sebulan lamanya, tepatnya ketika asrama kulliyatul muallimin sementara dipindahkan pada kawasan studio alam Al-Badar--sebuah grup shalawat milik pesantren Al-Hasyimi, yang semua personilnya adalah santri--menyusul semakin banyaknya pelajar KM yang berdatangan dari berbagai daerah, Membuat wisma untuk para pelajar yang memang sudah tersedia tidak lagi dapat menampung jumlah pelajar yang kian membludak.
Maka, bangunan wisma KM itu pun direnovasi, serta menambah beberapa bangunan baru. Untuk siswi KM tingkat tiga, sementara mereka menempati tiga wisma di samping aula yang ada di kawasan studio alam Al-Badar itu. Maka di sanalah, mereka dapat melihat atau pun bertemu dengan beberapa personil Al-Badar. Termasuk Irfan Arafka Wafdan, nama yang disebut oleh Zaskia barusan.
Mungkin sudah cukup lama Nabila memerhatikan rutinitas Zaskia di tiap sore, hingga ia paham, apa yang sebenarnya sedang ditunggu oleh putri Kyai Fadholi--pengasuh Al-Hasyimi cabang--itu.
"Sa-saya gak lagi nunggu siapa kok, Mbak. Hanya itu, hanya menikmati pemandangan langit sore saja," kilah Zaskia. Gadis yang telah terdidik santun sejak kecil, karena terlahir dari kalangan keluarga Kyai itu, pasti juga terdidik untuk selalu berkata jujur. Sehingga saat kebohongan yang keluar dari lisannya, ia terlihat gugup, dan bahasa tubuhnya juga tampak tak nyaman.
Nabila tersenyum. "Kami sudah tau kok, Ning," ujarnya lembut.
"Ka-kami? Maksud mbak itu siapa saja?" Zaskia bertanya dengan raut wajah sedikit panik.
"Saya, Davina dan Madina."
"Oh." Zaskia langsung tertunduk. Wajahnya yang cantik dan memilik pipi ranum yang bersemu merah itu, kini terlihat kian merah seperti diberi pewarna. Ia malu, dan merasa sangat malu, ketika rahasia hati yang selama ini sangat ia jaga, ternyata diketahui oleh Nabila. Dan tak hanya Nabila, tapi juga dua orang temannya yang lain. Kanza Davina dan Madina Shafa.
"Jatuh cinta itu bukan dosa kok, Ning, tidak perlu merasa malu," kata Nabila lembut. Ia paham apa yang sedang dirasakan oleh putri kyai Fadholi itu.
"Iya, Mbak. Tapi ..." Zaskia sejenak terdiam dan menarik napasnya dalam-dalam. "Selama ini saya berusaha untuk menutup rapi apa yang saya rasa. Saya gak ingin ada orang lain yang tau, walau pun ini bukan aib. Tapi ..." kembali gadis cantik itu menghela napasnya. "Apa sangat terlihat ya, Mbak?"
"Tidak. Kami mengerti semua ini karena sekitar dua hari yang lalu, kami melihat dan mendengar sendiri saat kau bersujud dan berdoa untuk Arafka. Kami pikir, kau tidak akan sampai begini, kalau bukan karena ada rasa yang istimewa di hatimu untuknya," terang Nabila menguraikan apa yang menjadi ihwal penilaiannya.
"Ya Allah, saya jadi malu, Mbak." Zaskia sampai menutup wajah dengan kedua tangannya.
"Gak papa kok, Ning. Gak ada yang salah dengan apa yang kau rasa," ujar Nabila sambil tersenyum.
"Iya, Mbak." Zaskia kembali menghela napas, dan sepasang matanya jadi berkaca-kaca saat bicara. "Bila saya merasa dada saya sesak, karena perasaan yang memuncak, saya hanya bisa mengadu pada Allah. Karena hanya Allah yang berkuasa untuk bisa menjadikan perasaan saya ini tetap lestari, atau harus saya bunuh mati."
"MasyaAllah." Nabila sampai mengusap-usap pundak gadis cantik itu lembut. Ia merasa terharu atas keluhuran budi Zaskia Arifa atas rasa yang ia punya.
"Saya gak tau, mulai kapan saya suka pada mas Rafka. Mungkin sudah dari awal, tapi saya gak sadar. Saya hanya tahu, kalau perasaan saya makin menguat dan meningkat setiap waktu." Akhirnya untuk pertama kalinya, Zaskia mengurai rasa kasih yang lama terpendam itu dalam sebentuk ungkapan pada orang lain. Tak sebagaimana selama ini, yang hanya bisa ia ceritakan pada dirinya saja serta tuhannya.
"Saya dengar kabar, kalau mas Rafka itu punya masa lalu yang hitam. Tapi, semua itu tak mengurangi perasaan saya sedikitpun. Bahkan saya sering bermimpi kalau dia akan menjadi imam saya. Namun, keinginan saya ini pasti ditentang oleh keluarga saya. Karena saya tau, sosok seperti apa yang diinginkan aba sebagai imam saya, sangat jauh dari kriteria mas Rafka. Ya Allah, Mbak. Saya kok jadi sejauh ini ya ngomongnya." Zaskia mengusap air mata dengan rasa malu yang menyelimuti dada karena sudah terlalu banyak bicara.
"Gak papa, Ning. Setiap orang yang mencintai, pasti punya mimpi," kata Nabila.
"Ah gak, Mbak. Saya gak ingin terlalu terbawa perasaan yang kemudian berubah jadi ambisi dan lalu melawan takdir. Saya hanya akan tetap meminta Allah ridho, jika tidak, semoga saya sabar dan mampu mengikhlaskan."
"Amiin Ya Rabb." Sekali lagi Nabila menepuk pundak Zaskia. "Kau sungguh sangat luhur budi, Ning," pujinya pada gadis yang berusia lebih muda setahun darinya itu.
"Rapat Bes untuk besok, bisa dimajukan nanti malam, tidak?" Terdengar pertanyaan ke arah keduanya. Yang membuat mereka serempak menoleh. "Eh ada apa ini? Ning Zaskia kok menangis?" Gadis berparas ayu yang senantiasa menghias wajahnya dengan pasmina itu bertanya heran.
"Gak papa, Mbak Madina. Ini hanya habis kelilipan saja, saya," canda Zaskia sambil tertawa renyah. Sementara Madina sudah bertukar pandang dengan Nabila.
"Saya siap kok kalau rapatnya mau dimajukan," kata Zaskia.
"Aku juga patuh," ucap Nabila.
"Gak ada jadwal teleponan sama ustadz Widad?" goda Zaskia sambil senyum-senyum pada Nabila.
"Ah gak." Nabila jadi sedikit tersipu digoda demikian.
"Berarti tinggal Davina ya. Apa ada yang lihat dia di mana?"
"Di musholla," jawab Zaskia dan Nabila bersamaan. Madina jadi tersenyum dengan kekompakan keduanya itu.
"Dia banyak melamun dari tadi. Apa ada masalah ya Din? Tapi waktu aku tanya dia bilang gak papa," terang Nabila.
"Aku temui dia dulu ya," pamit Madina dan segera berlalu dari hadapan Nabila dan Ning Zaskia.
Madina Shafa. Kanza Davina, Nabila Alia dan Zaskia Arifa, mereka adalah bintang kelas Kulliyatul Muallimin atau KM. Keluarga besar pesantren Al-Hasyimi pasti mayoritas mengenal nama-nama ini, karena prestasi akademik yang sudah mereka torehkan selama ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!