Suara riuh tercipta disalah satu jalanan yang ada dipusat kota. Mereka adalah para anak muda yang tengah melakukan balap liar dan mengambil alih arus lalu lintas dengan seenaknya sesuka hati meraka. Apalagi saat itu Leo memimpin semua yang ada disana.
Leo Respati_anak seorang ketua mafia paling ditakuti dikotanya. Ia selalu memakai nama sang ayah untuk memuaskan kesenangannya, karena tak akan ada yang bisa membantah saat Leo mengeluarkan Id card miliknya. Namun, semua itu sudah terlalu meresahkan karena Leo terlalu brutal bahkan sanggup merusak fasilitas umum dikota itu.
Meski ayahnya seorang Bos mafia, tapi mereka selalu bisa menjaga diri agar tak merugikan masyarakat lain atas geliat mereka. Bahkan mereka terkenal selalu bisa membantu masyarakat dengan apa saja yang mereka bisa.
Sejak Ibunya meninggal saat Ia SMA, Leo menjadi brutal seperti ini. Ia kadang mencari perhatian sang ayah yang amat jarang meluangkan waktu untuk keluarga dan terlalu fokus bekerja dengan kelompok dan dunia hitamnya. Bahkan karena itulah, sang Ibu meninggal dalam segala kepedihan karena sang Ayah tak menemuinya disisa napas terakhirnya.
Sang Ibu meminta Leo memaaafkan sang Ayah, karena Ibu Leo paham benar semua pekerjaan itu amat berat dan penuh tanggung jawab. Namun, Leo sudah terlanjur sakit hati dan dendam pada ayahnya itu. Hingga Ia bertingkah seperti ini sebagai sebuah protes pada ayahnya.
Balap liar itu semakin menggila saat hari semakin malam. Ronde demi ronde mereka lakukan dengan teriakan histeris penuh dengan kepuasan. Apalagi bagi mereka yang menang dan mendapat sejumlah uang dari hasil taruhan. Yang sebenarnya, Leo tak butuh itu semua. Leo tak pernah kekurangan uang sela hidupnya.
Akibat dari ulahnya kali ini, begitu banyak kerugian yang diderita dari tertutupnya jalan. Bahkan polisi melapor langsung pada ayah Leo, bertanya bagaimana cara menangani putranya yang sudah kelewatan itu.
"Tangkap, biarkan dia merasakan bagaimana hukuman itu." ucap Tuan Respati pada para polisi yang menghubunginya.
Tak ada cara lain bagi mereka, dan akhirnya turun langsung kejalan menangkap semua yang ada disana dengan Leo sebagai sasaran utama. Leopun segera ditangkap bersama para sahabatnya dan bahkan menginap didalam jeruji besi selama semalam. Senagaja sang Ayah tak datang untuk membebaskanny kala itu.
"Dia tak perduli lagi padaku?" gumam Leo dalam hati. Dan bahkan polisi yang menanganinya seperti tak takut lagi seperti biasa ketika Ia menyebut nama sang Ayah sebagai tamengnya.
Pagi hari, Leo dibangungkan oleh seorang penjaga didalam kantor polisi itu. Rupanya seseorang menjemputnya untuk pulang, tapi hanya kaki tangan sang Ayah. Ia juga membebaskan para sahabat Leo dengan mengajukan beberapa persyaratan yang Leo tak pernah tahu apa itu. Yang jelas, mereka semua telah meninggalkan Leo sekarang.
"Kau tak lelah?" tanya Pak Hadi, saat keduanya telah ada didalam mobil dan berjalan untuk pulang.
"Lelah untuk?"
"Segala masalah yang kau ciptakan." ucap Pak Hadi, karena Iapun jengah dengan segala tingkah Leo yang sulit terkontrol. Bahkan terasa semakin menjadi saat merasa ada yang melindungi dan membelanya, terutama atas nama sang Ayah.
"Kenapa harus lelah? Itu semua menyenangkan." jawab Leo dengan santainya.
"Dompetmu," Pak Hadi mngulurkan tangan meminta dompet Leo. Tak bertanya, dan Leo segera memberikan dompet itu padanya dengan wajah datar.
"Dompetmu," Pak Hadi mngulurkan tangan meminta dompet Leo. Tak bertanya, dan Leo segera memberikan dompet itu padanya.
"Mau apa?" tanya Leo. Namun belum dijawab, Pak Hadi mengeluarkan semua credit card yang ada padanya. Hanya menyisakan sebuah Atm yang Ia tahu isinya tak seberapa disana.
Pak hadi dengan wajah datarnya, memberikan dompet itu kembali pada Leo. Leo bertanya mengenai credit card itu dan beberapa pertanyaan lain, namun Pak hadi hanya diam hingga mereka tiba dirumah besar itu.
Diruang tamu, Tuan Respati tengah duduk dan tampak sedikit tegang bersama tas ransel milik sang putra. Leo langsung menyapa dan duduk didekatnya tanpa merasa curiga sama sekali. Biasanya itu hanya sindiran, agar Leo kembali kekampus dan melanjutkan kuliahnya yang juga sudah amat sering mendapat peringatan dari pihak kampus.
"Apa ada surat lagi?" tanya Leo dengan santai.
"Tak akan ada surat lagi yang datang." jawab Tuan Respati dengan wajah datar dan dinginnya.
"Lalu?"
"Kau yang pergi," Ucapan itu lantas membuat Leo tercengang dan menatap ayahnya dengan tajam.
Apa maksud pergi itu? Apakah sang Ayah mengusirnya?
Hati Leo pun bertanya-tanya. Dan jujur, Ia merasa tak mugkin jika sang Ayah bisa dan sanggup mengusirnya dari rumah itu.
"Dady serius?" tanya Leo, saat menatap wajah ayahnya memang amat serius saat ini.
Tuan Respati hanya mengangguk diam tanpa sepatah katapun. Hanya Pak Hadi yang kemudian melanjutkan semua ucapan yang seharusnya diucapkan sang ayah saat itu.
"Kau harus belajar, agar tahu bagaimana rasanya sulit diluar sana. Bekerja, mencari tempat tinggal dan bertahan dari semua yang ada diluaran sana."
"Apa makna dan fungsinya?" tanya Leo, datar. "Katakan saja, jika kalian ingin membuangku."
"Leo!" sergah Pak Hadi, namun mendapat uluran tangan dari Tuan Respati.
"Kau yang tak menghargai hidupmu, Leo. Dan saat ini, ayah ingin kamu belajar bagaimana caranya menghargai hidup. Apa yang Dady berikan, Dady cabut sementara. Dan gelar keluaga dibelakang namamu, Dady hilangkan selama semua proses yang ada."
Sebenarnya kecewa dengan ucapan sang ayah. Apalagi Ia adalah anak satu-satunya anak dalam keluarga itu, namun dengan segala yang diucapkan sang ayah seolah meremehkan dirinya yang tak pernah mandiri selama ini. Leo seperti merasa tertantang, hingga menyanggupi semua persyaratan yang ada.
Leo meraih tas ranselnya yang cukup berat. Sepertinya berisi beberapa pakaian didalamnya, dan sang ayah memberi beberapa lembar uang beserta kunci motor kesayangannya.
"Isi atm itu adalah biaya selama kau pergi. Jika tak tersentuh sedikitpun, maka kau lolos dalam ujian ini." tantang sang ayah padanya.
Leo hanya mengangguk dan meraih semuanya. Ia lantas keluar mencari motor dan segera pergi tanpa pamit atau bahkan mencium tangan sang ayah.
" Hadi... " panggil Tuan Respati, saat Ia menatap kepergian sang putra. Meski berat, tapi itu sudah menjadi keputusan mereka bersama. Bahkan dengan para anggota kelompoknya, saat mereka ingin menjadikan Leo sebagai pengganti sang ayah dikemudian hari, tapi mereka harus terlebih dulu mendidik kepribadian Leo dengan baik.
Jika Leo dibiarkan begini, mereka takut jika Leo akan dengan gampang dimanfaatkan oleh orang lain yang akan mengaku sebagai sahabatnya. Karena menurut pengamatan, Leo sendiri belum bisa membedakan mana sahabat dan mana orang yang hanya ingin memanfaatkan dirinya saat ini.
" Ya, Tuan... Semoga saja ini keputusan terbaik dan bisa memberinya pelajaran tentang bagaimana kerasnya hidup. Saya tahu berat untuk tuan, tapi ini jalan terbaik. Saya akan selalu mengawasinya," ucap Pak Hadi.
Dan kini Leo menjalani kehidupan yang amat berbanding terbalik dari biasanya. Ia hanya tinggal disebuah Rusun kecil dan sempit, dan Ia hanya bekerja sebagai waiters di sebuah Restaurant dengan gajia yang pas-pasan untuk hidupnya.
"Yah... Ayah, jangan! Ayah!!" Bela memekik dan berusaha merebut dompetnya saat sang Ayah mulai memgambil semua isi yang ada didalam.
Ayahnya sangat tahu jika hari ini adalah gajihan Bela dari Restaurant tempatnya bekerja. Ia yang biasanya amat jarang pulang, akan segera datang dan menguras habis isi dompet itu dan hanya menyisakan beberapa lembar untuk anaknya. Usai mengambil semua isinya, Ayah kania melempatnya sembarangan dan tertawa dengan puas memegang segepok uang hasil jerih payah Bela selama satu bulan penuh itu.
"Kau dapat bonus?" tanya Sang ayah saat sadar uang gaji itu lebih besar dari biasa yang Ia ambil dengan senyumnya yang semakin lebar.
"Itu dari hasil Bela lembur, Yah. Tolong, jangan diambil semua." rengeknya bersimpuh dilantai semen yang dingin dan tanpa alas itu.
Dia Bella Fortuna. Nama itu menyaratkan arti sebuah keberuntungan sebenarnya, namun hidupnya sama sekali tak pernah beruntung dalam hal apapun sejak Ia kecil. Seperti Dua sisi mata uang yang berbeda antara harapan dan kenyataan.
Gadis ini baru berusia 19tahun kala itu, namun ujian hidup yang Ia alami teramat pahit dibandingkan anak lain seusianya yang mana mereka selalu ingin bersenang-senang bersama para sahabatnya. Nongkrong, makan, clubing, atau mencari kebahagiaan yang lainnya. Ia memang pekerja keras, tapi sayang hasil kerja kerasnya itu selalu saja direbut sang Ayah untuk modelnya berjudi dan bermain wanita diluar sana. Bella sebenarnya tak heran, karena itu memang kebiasaan sang Ayah sejak Ibunya masih ada.
Bella memiliki cita-cita untuk kuliah tinggi agar bisa bekerja diperusahaan besar dan memperbaiki hidupnya. Bersyukur jika dengan itu Ia juga bisa lari dari ayahnya. Demi apapun, Ia amat ingin bebas dari pria biadaab itu secepatnya dan bagaimanapun caranya.
Pernah terbesit oleh Bella, jika Ia ingin membu nuh sang ayah dengan racuun atau menghunusskan sebuah pisau tepat di jantungnya. Tapi Ia tak pernah bisa melakukan itu, dan entah kenapa tak pernah tega.
Plaaak!
Lima lembar uang merah dijatuhkan dalam pangkuan Bella saat itu. Bella meraihnya dengan perasaan yang amat pilu, karena jumlah itu tak akan cukup untuk biaya hidupnya selama menunggu gaji berikutnya.
"Cuma buat ongkos pulang pergi, kan? Kalau cuma makan, minta saja sama Bosmu disana. Atau, kau makan saja sisa para pelangganmu yang tak habis. Biar sisa, tapi itu masih makanan mahal dan enak." ucap Ayah Bella dengan amat santai.
Tangis Bella tak terbendung lagi kala itu. Ia menggenggam uangnya dan berdiri meraih jaket, lalu pergi meninggalkan sang ayah sendirian dirumahnya. Ia bahkan tak memasak atau membuatkan teh pada lelaki itu dan masa bodoh Ia akan memakan apa disana nanti. Ia hanya ingin pergi, dan tak lagi ingin melihat wajah ayahnya itu sampai kapanpun.
"Tuhan... Apakah jahat jika aku berdoa, agar Ayah matii dijalanan sana?" gumam Bella dalam hati, dengan segala rasa sakit hatinya saat ini.
Bella bahkan tak memiliki kendaraan sendiri meski sudah Tiga tahun bekerja di Restaurant. Bagaimana tidak, jika semua gajinya diambil oleh sang Ayah tanpa sisa. Bahkan saat Bella menitipkan gajinya pada Bos pemilik Restaurant, Ayahnya nekat datang dan nyaris menghancurkan Retaurant itu dengan segala amukannya. Beruntung Bella tak dipecat atau harus membayar kerugian dari semua yang diperbuat sang Ayah.
Kini, didalam bus yang sepi itu Bella duduk termenung merutuki nasibnya. Antara doa akan kematian sang ayah, Bella berdoa jika akan ada seseorang yang bisa membawanya pergi suatu hari nanti. Entah karena cinta, atau karena hanya ingin menyelamatkan dirinya dari sang Ayah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!