Naskah Dialog Audio Drama
Senandung Sad Aria
Icha
Selamat malam bintang. Kau tak berlangit. Kau sepi senandungkan puisi. Bernada rindu. Melafalkan cemas yang bermetafora pada sosok yang entah siapa.
Icha
Aku ragu menyambut fajar romansa itu. Ini sedang musim kemarau. Kata-kataku kering berdebu. Mungkin para pendengar hendak mencaci sebab rasa menguap tak berketenteraman.
Icha
Permisi?
Siapa kau? Tetiba aroma diksimu membuatku enggan meneruskan senandung ini.
Vian
Senandungmu merdu. Menghujani sanubari yang kian gersang. Aku selalu kuyub dibasahi haru. Dulu, bahkan bunga-bunga di taman tak mengerti dengan lagu yang kau suarkan.
Icha
Siapa kau? Atau kau hanya berpura-pura mengenaliku? Siapa keparat yang menyebarkan masa laluku dengan serampangan?
Vian
Akulah masa lalu itu.
Icha
Masa laluku sudah lama wafat. Membiru terkujur kaku. Terpatri oleh rasa muak. Sempat kurawat agar bertahan hidup, tapi akhirnya ia kehilangan napasnya. Sajak tak lagi berdegup, majas tak lagi berdenyut.
Betapa semesta begitu kejam. Itu sebab kini kulari menjadi pelacur diksi.
Vian
Lalu bagaimana bisa si tuna wicara kini menjadi begitu merdu?
Puan, tidak ada petir yang tiba-tiba menyambar tanpa mendung, tanpa badai. Yang tak pernah kau tahu segemuruh apa ia di atas sana.
Icha
Ya, aku memang tak pernah tahu. Namun, nyatanya semua yang dulu itu kini sudah mati, terbakar dengan sangat tak berperi.
Icha
Jangan beralegori lagi. Enyahlah. Jangan ganggu waktuku. Ada banyak telinga yang menanti puisiku membelai-belai mereka.
Vian
Ya, siapa aku yang bukan apa-apa bagimu. Aku hanya salah satu di antara para pendengarmu yang sekian banyak itu. Bahkan kau selalu tak menyadari kehadiranku. Bahkan sejak debut pertamamu dulu.
Icha
Owh? Terima kasih. Ternyata kau adalah si pendengar setiaku itu. Berganti-ganti jubah aksara yang tak seorangpun mampu mengenali.
Vian
Selama ini aku berjudi dengan iktikad polisemi. Berulang-ulang kutata kata hanya untuk menyapamu, tapi ku tak berani. Berlatih di depan cermin, membunuh cabar hati. Namun, tetap aku dibungkam oleh huruf-huruf geram.
Vian
Hemh, dengarlah. Rupanya hujan bertandang. Ingatkah kau akan akan laki-laki yang selalu menawarimu boncengan saat pulang sekolah? Selalu kau tolak dan akhirnya kau terima kala hujan. Sempat kita meneduh di bawah pohon kersen dan di atas sepeda yang sama kau tawariku sebelah penyuara jemala ke telingaku. Aku masih ingat betul lagu favoritmu kala itu. Mozart.
Icha
Hey! Kaukah itu? Aku tak percaya. Hey! Apakah itu benar-benar kau, kekasihku?
Mengapa kau pergi saat itu? Aku menjadi seperti ini karena kau, Tuan! Sampai tak cukup langit yang luas itu menampung sajak-sajak piluku. Mereka runtuh dan menghantam isi kepala para pecandu metafora. Aku pun terseret menjadi pelacur diksi seperti saat ini.
Vian
Maafkan aku, Puan.
Pergiku adalah demi merdu suaramu itu. Butuh banyak materi untuk mewujudkannya. Hingga aku rela menjual perasaanku dan menjadi gelandangan afeksi.
Icha
Tuan.
Benarkah demikian? Bukan karena jenuhmu kepada perempuan bisu yang sealu merepotkanmu?
Icha
Kemari kekasih. Dekap aku, jangan pergi lagi. Mengapa tak sejak dahulu kau ungkapkan semuanya? Mengapa tak sejak dulu?
Selama ini kau hanya bersembunyi di antara rima yang tak berirama. Mereka sekian banyak jumlahnya tapi tak satupun merdu berkata merindu.
Mengapa tak sejak dulu?
Icha
Tuan, apa gerangan yang membuatmu gemetar kian dahsyat seperti ini?
Apakah kau baik-baik saja?
Vian
Maafkan aku. Maafkan aku yang baru mengatakannya saat ini. Sebab umurku tak akan lama lagi. Hemh… Semesta telah berbaik hati. Mengijinkanku merasakan kehangatan ini sebelum pergi.
Icha
Apa yang terjadi?
Kekasih! Kekasihku! Jangan pergi!
Icha
Aku memeluk erat cinta yang tak berkesudahan ini. Tak lama, desir angin berbisik lirih. Menceritakan kabar pilu yang ku amini. Kekasihku begini oleh sebab ada hati lain yang diam-diam tersakiti.
Icha
Di menit-menit terakhirnya kekasihku kabur dari angsal rawat inapnya. Melepaskan selang infus dan alat klinis lainnya. Demi menjumpaiku dan mengatakan semua ini sebelum pergi.
Icha
Kini kusadari. Cinta rupanya tak musti saling memiliki.
Ditulis dengan penuh kerinduan yang mendekam.
Lampung, 1 November 2022.
little peace of heaven
Rima🌹
Lihatlah, kau tak perlu repot-repot begini. Untuk pertemanan kita yang telah berjalan sekian tahun, semua ini terlalu... terlalu...
Rima🌹
Terlalu romantis. Lihat semua ini. Meja kayu berukir klasik, lilin aromatik, mawar di dalam vas, dua gelas anggur dan dua piring stik sapi.
Rima🌹
Tentu saja? Oh ya, tentu saja. Tentu saja ini hanya makan malam. Sesekali kita perlu mencoba suasana yang berbeda, bukan?
Rimu🌹
Bukan hanya makan malam, Puan. Sebentar. Aku menaruhnya dimana ya. Oh, ini. Ini dia.
Rimu🌹
Maukah kau...? Maksudku, ku pikir.. Bagaimana kalau... Bagaimana kalau hubungan kita ini kita lanjutkan ke jenjang berikutnya.
Rima🌹
Ini... Ini... Apakah kau sedang melamarku?
Rima🌹
Ha? Apa kau bercanda? Hahaha...
Rimu🌹
Tidak, aku serius. Maukah kau menikah denganku?
Rima🌹
Pernikahan? Apa aku tak salah dengar? Hahaha... Pernikahan?
Rima🌹
Hahaha... Kita ini hanya berteman, Tuan. Kenapa kau bisa berpikir kita akan menikah. Hahaha... Kau lucu sekali. Hahaha...
Rima🌹
Kenapa apanya? Kau masih bertanya? Hahaha...
Rimu🌹
Kenapa kau menertawaiku seperti itu? Apakah aku sehina itu?
Tahukah kau seberat apa aku memperjuangkan semua ini? Aku rela memeras keringat, membanting tulang, semua demi kau, Puan.
Kini kau justru menolakku dengan penghinaan seperti ini. Aaargh... Sini kau!
Rima🌹
Apa yang... Apa yang akan kau lakukan?
Rimu🌹
Aaargh... Kalau aku tak bisa memilikimu, maka tidak ada seorangpun yang akan bisa memilikimu! Aaargh! Rasakan!
Rima🌹
Aaaaaa... Hentikan, Tuan! Ampuni aku Tuan!
(Gimik tersiksa ditikam)
Rimu🌹
Hahahaha... Rasakan! Mampus kau! Mampus!
Aaargh, hg
(Gimik memukul/menikam/menyiksa)
Rimu🌹
Lihatlah bagaimana kulit sehalus porselen ini tergores oleh mata pisau. Dengan luka yang melebar. Ku koyak, sekoyak-koyaknya. Menganga hingga ke lapisan tulang yang paling putih bercucur darah.
Rimu🌹
Rasakan lah bagaimana kuku-kuku dan rambut cantikmu terkelupas. Cantikmu tak berguna, Sayang. Dan telinga mungil itu, siapa kira begitu renyah. Aaargh.. arghh...
Rimu🌹
Lihatlah semua ketidakberdayanmu, Puan. Kuhujamkan senjataku berulang kali. Kau tak memberontak. Kita buktikan kini siapa yang sedang memimpin. Hahaha...
Rimu🌹
Aaargh...
Baiklah. Aku sudah puas menikmati semua kesombonganmu. Aku menjadi lapar.
Rimu🌹
Oh ya, belum sempat kita habiskan makan malam kita tadi bukan? Ku dudukkan kau di hadapanku. Hey, kenapa kau sangat lemas begitu? Berulang-ulang kau jatuh. Bagaimana bila kuikat saja tubuhmu di kursi itu.
Rimu🌹
Nah, bersikaplah baik-baik di sana. Aku mau makan dulu. Daging stik dengan saus merah kentalmu, juga anggur beraroma anyir, lebih nikmat dari aroma parfummu.
Rimu🌹
Eehm.. nikmat nikmat nikmat. (Gimik sendawa)
Hay sayang, kau sedang apa? Dari tadi diam saja.
Rimu🌹
Tunggu, luka-lukamu itu. Mari sini kuperbaiki. Kujahit kulit-kulitmu yang koyak. Kusambung sendi-sendi juga lehermu yang nyaris putus.
Rimu🌹
Kini kau sudah cantik, sayang. Mari kita berdansa dengan lagu kesukaan kita.
Na na na 🎶 na na na 🎶
Rimu🌹
Tidak mungkin! Kau hidup?
Rimu🌹
Tunggu! Jangan ambil jantungku! argh (kesakitan)
Rimu🌹
A-aku... Aku ada dimana?
Rima🌹
Lihatlah Tuan Lucifer. Dia sudah sadarkan diri.
Rimu🌹
Aaargh... Jangan bakar aku! Ampun!
Rima🌹
Hahaha...
Mampus kau. Hahaha...
Rimu🌹
Ampuni aku, Puan. Aku mencintaimu. Lepaskan aku dari lahar panas ini.
Rima🌹
Mencintaiku kau bilang?
Rima🌹
Kalau begitu, mari kita menikah. Bagaimana Tuan Lucifer? (Jeda)
Ah, lihatlah. Cinta kita direstuinya.
Hg... Larilah sayang.
Rimu🌹
Ayo cepat, sayang! Itu gerejanya!
Rima🌹
Mari kita bunuh semua Jamaat ini sayang. Hahaha...
Rimu🌹
Baiklah. Tersisa pendeta seorang. Kau! Segera nikahkan kami!
Rimu🌹
“Saya mengambil engkau menjadi istriku, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya; Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai neraka memisahkan kita, sesuai dengan hukum satan yang kudus, dan inilah janji setiaku yang tulus.”
Rima🌹
Hahaha... Kita sudah jadi suami istri.
Rimu🌹
Ya, sayang. Aaargh... Baiklah pendeta. Terima kasih. Ambil upahmu di neraka. Hahaha...
Rima🌹
Hahaha... Kemarikan jantungnya, sayang. Aku menyukai bagian itu.
Rimu🌹
Ini, makanlah. Hahaha...
Rima🌹
Kita rayakan keabadian kita, sayang! Hahaha... Bunuh! Bunuh semua mereka.
dialog diucapkan bersama:
Demi keabadian.
Demi kenistaan.
Demi nama mulia satan. Untuk selama-lamanya.
Backstreet
Vian
Tumben muji.
Biasanya menghujat
Icha
Heh.
Udahlah ga usah pake muqaddimah
Vian
Apa? Kamu mau pinjem duit?
Vian
Kita sama-sama paham tentang perasaan kita
🌚
Icha
Ga cukup, Vian.
Aku ga mau kita selalu main kucing-kucingan begini di depan mereka
Vian
Kamu mau mengumumkan ke mereka?
Icha
Kamu takut?
Takut selir-selirmu pada kabur?
Icha
So?
Oh aku tahu
Kamu dan Dita jangan-jangan beneran jadian
Vian
Kamu cemburu sama Dita?
Icha
Apaan.
Ga level banget
Icha
Ya udah iya deh iya.
Terus gimana kita sekarang?
Vian
Sekarang waktunya belum tepat, Ichaa
Icha
Nah kan.
Basi banget kata-katanya
Vian
Aku cuma ga mau mereka tahu hubungan kita.
Kamu tahu kan kecanggungan seperti apa di circle kita nantinya
Icha
Udahlah.
Basi.
Mendingan kita break
Vian
Cha, ga gitu harusnya
Icha
Iya harusnya gak gitu.
Harusnya dari dulu kita ga pernah seperti ini.
Harusnya kita cuma teman
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!