Siang beranjak. Waktu bagai tombak cahaya yang melesat menuju senja. Aku yang semakin terasing di bawah cakrawala, bertarung dengan bidang waktu, mengeja cerita pada dasar memoar yang mengendap dalam ingatku. Cerita semu yang tak mampu kurangkai, sebagian hilang, sebagian samar, sebagian tak kukenal. Aku yang kehilangan sebagian ingatanku, pasrah pada alur hidup yang tak menentu.
Dalam keterasingan, senja adalah oase ketenangan. Semburat jingga di ujung barat yang mendamaikan, membuatku jatuh cinta pada alam. Andai dapat kupotong senja dan kuabadikan, tak akan kubiarkan warna jingga itu hilang tergantikan pekat malam.
Ah, betapa naif diri ini. Aku rasa, tak akan pernah ada keabadian sama sekali. Hangatnya pagi yang menghilang ditelan terik siang, dan senja yang lenyap ketika rembulan mulai menggeliat dalam peraduan.
Di tempat asing ini, aku mulai terbiasa menikmati senja. Senja yang lengkap dengan telaga dan taman bunga, serta kupu-kupu yang menjadi teman bermainku. Setiap senja datang, aku bersiap menulis baris-baris cerita, menulis bait-bait rindu yang tak kutahu untuk siapa, lalu menyelipkan diantara sayap kupu-kupu, membiarkan terbang menghambur ke pusara senja yang jauh.
Aku, senja, dan kupu-kupu memiliki dunia kami sendiri. Dunia yang membuatku tak merasa asing. Dunia yang membuatku lupa bahwa aku tak ingat apa-apa bahkan tentang nama sendiri saja.
"Vio!" Sebuah suara mengeluarkanku dari dunia senjaku.
Vio, begitu mereka memanggilku, aku tak menolak karena aku memang tak ingat siapa namaku.
"Kak Sean, kau menjemputku lagi?"
Kak Sean, laki-laki yang menemukanku terdampar di tepi telaga lima bulan yang lalu. Sebuah luka di kepala dan ingatan yang hilang entah kemana.
"Ayo pulang, senja sudah pergi bukan?"
Aku melihat sekililing, hari mulai temaram. Kak Sean mengulurkan tangannya, memberiku setangkai dandelion. Sementara, ditangan kirinya memegang sebuah kotak kaca, berisi seekor kupu-kupu. Meski hari mulai remang, dapat kuliah betapa cantik warna sayapnya.
"Terima kasih, Kak", kataku sambil meraih dandelion dari tangannya. "Dari mana Kak Sean mendapat si cantik ini?" lanjutku dengan pandangan tertuju pada kotak kaca berisi kupu-kupu. Dia tahu, aku menyukai dandelion tapi aku juga lebih tertarik pada kupu-kupu yang ditangkapnya.
"Kau suka? Ayo kita bawa pulang dan kita lepas di taman bunga belakang", katanya sambil tersenyum.
"Tentu", jawabku riang sambil mengikuti langkah Kak Sean yang mulai beranjak meninggalkan tepi telaga.
Aku berhenti sebentar, sejenak menoleh. Melihat telaga yang semakin remang. Kupu-kupu yang telah raip dari bunga-bunga yang bermekaran. Tiba-tiba hatiku disergap rindu. Rindu pada senja dan tarian kupu-kupu. Senja yang baru berlalu membawa rangkaian ceritaku. Cerita tentang keterasingan dan ingatan yang telah hilang.
Di tempat ini, aku seperti kupu-kupu tanpa sayap. Tak dapat terbang, atau lebih tepatnya lupa cara terbang. Bahkan, untuk dapat bertahan aku tak akan mampu jika tak ada Kak Sean. Seorang asing yang memungutku, menampungku agar tak jadi gelandangan.
"Masih mau berdiri di situ?" teriak Kak Sean yang rupanya telah menungguku jauh di depan.
Aku menoleh, lalu bergegas setengah berlari ke arahnya.
"Maafkan aku, Kak."
"Maaf? Untuk apa? Ayo jalan!", katanya sambil tersenyum dan melangkah.
Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal, membuat senyum palsu. Lalu berjalan di dibelakangnya.
"Kak Sean, kau terlalu baik," gumamku dalam hati.
Senja berlalu pergi. Waktu tak mungkin berputar mundur kembali. Senja hari ini entah besok dapat kutemui lagi atau hanya sekedar angan dalam hati. Aku tak tahu pasti, yang jelas saat ini petang telah menyembulkan gelapnya pekat malam. Tak ada arah yang mampu kulihat kecuali menggantungkan diri pada langkah Kak Sean dan berharap esok dapat bertemu sinar mentari. Melihat terang dan mungkin menemukan jalan pulang.
Ah, pulang? Adakah tempat untukku pulang? Entah perasaan apa yang menyelinap dalam hatiku. Rasa yang lirih berkata bahwa tak ada tempat bagiku untuk pulang. Setelah lima bulan berlalu, tak pernah ada yang mencariku. Entah seburuk apa diri ini di masa lalu. Mungkin aku adalah orang buangan yang kehadirannya tak diinginkan, lebih baik disingkirkan!
Dingin menyelinap dalam pori-poriku, menjalar masuk hingga menusuk tulang. Aku menggigil, berada dalam kubangan air. Basah. Baju dan rambutku tak lagi kering.
Aku meronta. Tak ada suara yang mampu keluar. Hanya hati yang menjerit kesakitan. Tak ada yang mendengar. Sunyi dalam hening yang mencekam. Membentuk rasa takut yang kian tebal. Hanya aku, tanpa orang tempat meminta pertolongan. Sendirian ditempat yang tak kukenal.
Aku membuka mata, mencoba bangkit. Gagal. Lunglai tubuhku seakan tak bertulang. Tak berdaya, lemas tanpa tenaga. Kepalaku terasa sakit, nyeri yang sangat. Perlahan, mataku kembali terpejam. Aku kehilangan kesadaran.
* * *
"Kau sudah sadar?" tanya seorang lelaki padaku.
Aku masih terdiam. Tak menjawab. kuperhatikaan sekelilingku. Sebuah kamar yang cukup luas. Tempat yang nyaman tapi begitu asing.
Kupegang kepalaku yang nyeri, ada perban yang membalutnya. Ah, sebuah luka yang mampu kurasa. Seperti bekas benturan, tapi aku tak ingat bagaimana aku mendapatkannya.
"Apa kau baik-baik saja?"
Lelaki itu kembali bertanya. Aku masih terdiam. Mencoba mencari tahu di mana diriku berada.
"Tenanglah, kau aman di sini," ucapnya seakan tahu apa yang aku pikirkan.
"Siapa namamu?" ia kembali bertanya sambil mendekat padaku.
Aku mencoba duduk. Dengan sigap ia membantuku.
"Namaku?"
Kulihat ia mengerutkan dahinya, "Iya, siapa namamu?"
Aku terdiam. Menggelengkan kepala. Oh, Tuhan, siapa namaku? aku tak mampu mengingatnya...
Lelaki itu terlihat heran.
"Kau tidak ingat namamu?" katanya lagi.
Aku mengangguk.
"Mungkin karena luka di kepalamu," ucapnya sambil mengulurkan sebuah piring lengkap dengan makanan yang terlihat lezat. "Makanlah, kau pasti lapar".
Aku memandangnya. Tak mengambil apa yang ia sodorkan. Ia lalu duduk di dekatku dan mulai menyuapiku. Aku membuka mulutku. Ia tersenyum. Rasanya aku memang sangat lapar.
"Enak?"
Aku mengangguk seraya berkata, "Di mana aku?"
Dia kembali tersenyum, "Aku kira kamu tak dapat bicara, hahahaha". Tawanya pecah sejenak menghambur di udara.
"Kau di rumahku, tadi pagi aku menemukanmu di tepi telaga. Kepalamu terluka, tapi dokter sudah mengobatinya," jelasnya padaku.
Aku hanya diam mendengar penjelasannya. Aku berusaha mengingat apa yang terjadi, siapa diriku, dan kenapa aku bisa sampai di sini. Tapi gagal. Tak ada yang kutemukan dalam ingatanku kecuali rasa sakit yang tiba-tiba menyergap kepalaku. Aku memegang kepalaku erat seraya merintih menahan sakit...
\*
Perkataan kotornya membludak, meledak-ledak kencang, menghambur memenuhi udara yang panas. Kemarahannya benar-benar tak tertahan hingga menampakkan sisi lain dari dirinya yang beringas. Seperti singa lapar yang mendapatkan mangsanya, dicengkeramnya lenganku kuat-kuat. Matanya melotot, memandangku tajam tanpa berkedip. Kusembunyikan rasa takutku dengan tetap memasang wajah ketus yang dipaksakan.
"Aku tidak membutuhkanmu lagi. Sekarang pergilah!" ucapnya kasar padaku.
"Apa maksudmu? Bukankah kita akan menikah?"
"Menikah? Dasar wanita bodoh, siapa yang mau menikahimu? Aku telah mendapatkan apa yang aku inginkan, jadi enyahlah dari hadapanku sekarang!"
"Mendapatkan apa? Apa yang kamu maksudkan?"
"Hahahaha... Tentu saja semua hartamu, kamu beru saja menandatangi pengalihan kekuasaan atas semua asetmu, jadi aku sudah tidak butuh dirimu lagi!"
"Tidak, itu tidak mungkin. Alex, katakan kamu hanya bercanda 'kan?" mataku mulai terasa panas, ada alir air yang tak mampu lagi kubendung. Tangisku mulai pecah, tak percaya dengan apa yang baru kudengar. Kenyataan pahit yang baru saja kuterima.
"Buka telingamu dan dengar baik-baik, aku tidak bercanda! Sekarang semua sudah menjadi milikku dan kamu sudah tidak punya apa-apa. Pergilah dari hadapanku dan jangan pernah muncul lagi," kata-katanya semakin membuat tangisku kian menjadi-jadi. "Dan satu hal lagi, aku memang akan segera menikah, tapi tidak denganmu, aku akan menikah dengan Jesy!"
Kata-katanya seakan menjadi badai petir yang menyambarku... Jesy! Tidak mungkin. Bagiamana sahabatku mengkhianatiku. Aku tiba-tiba menggila. Histeris. Aku meronta. Mengamuk. Memukulnya sambil berteriak tak percaya. Aku memaki bahkan mengumpatnya habis-habisan.
"Dasar kau bajing*n! Kau laki-laki bus*k! Aku selalu baik padamu, tapi kenapa kau tega melakukan semua ini padaku?" Mulutku tak terkendali lagi menumpahkan semua kemarahanku. Demikian juga tanganku yang terus berusaha memukul dan mencakar Alex sekenanya.
Dia memegang tanganku, menghentikan amukanku dan tiba-tiba menghempaskanku. Aku terjerembab. Kepalaku membentur sudut meja. Ada rasa sakit yang sangat. Kupegang kepalaku. Ada darah segar yang keluar disertai bau anyir. Tubuhku mendadak terasa berat. Mataku tak mampu terbuka. Gelap!
\*
Aku kesakitan, memegagi kepalaku. Merintih dan mulai menangis.
"Hei, tenanglah! Jangan paksakan dirimu. Tak apa jika kamu belum bisa mengingat apapun".
Laki-laki itu memelukku sejenak, menenangkanku yang meronta. Setelah aku mulai bisa menguasai diriku, dia melepas pelukannya dan berkata, "Jika sesuatu membuatmu sakit dan menderita, maka lupakan saja. Mulai saat ini namamu Viola. Kamu boleh tinggal di sini. Namaku Sean, kamu boleh memanggilku Kak Sean".
Begitulah aku tinggal di sini sejak lima bulan yang lalu. Hanya sebongkah ingatan menyakitkan yang mampu kuingat. Bukan tantang jati diriku, tapi tentang dua nama yang mengukir rasa sakit di hatiku; Alex dan Jesy.
Sebongkah ingatan yang kuperoleh, yang jika bisa memilih, aku akan memilih untuk tidak mengingatnya. Tapi takdir yang tak dapat kutolak. Tuhan mengirim sepenggal ingatan menyakitkan untuk tetap bersemayam dalam benakku. Ingatan yang membuat sepotong hati dalam diriku dipenuhi kebencian yang dalam dan kelam.
Pagi menyapa. Hangat mentari mulai menguapkan butir embun yang bercumbu dengan daun dan ranting. Kuncup-kuncup bunga yang mulai merekah, mengundang kupu-kupu untuk mendekat, menikmati ranum nektar. Jamuan besar yang disuguhkan aneka bunga untuk para serangga. Tentu ada imbal balik saling menguntungkan, bantuan serangga dalam penyerbukan yang diharapkan bunga-bunga yang mekar.
Seperti biasanya, pagi adalah moment berharga bagi Kak Sean. Ia akan menghabiskan waktu, menikmati pagi di taman belakang. Kadang ditemani secangkir teh hitam favoritnya, atau sesekali bermain dengan peralatan melukisnya. Ya, Kak Sean memang seorang pelukis. Sebuah ruang besar di rumahnya penuh dengan lukisannya.
Taman di belakang rumah Kak Sean juga bukan sekedar taman biasa. Ada ratusan bunga beraneka jenis dan warna, serta sebuah tempat penangkaran kupu-kupu. Entah berapa jenis kupu-kupu yang ia biakkan. Aku tak mampu menghitungnya. Suatu kali ia pernah bercerita, beberapa diantaranya adalah jenis kupu-kupu langka. Ada dua tenaga ahli yang ia pekerjakan untuk merawatnya. Ah, entahlah. Aku tak paham. Aku hanya tahu, aku menyukai kupu-kupu karena sayapnya yang indah.
"Kemarilah," panggilnya saat tahu aku memerhatikannya dari sudut taman.
"Kak Sean sedang melukis?"
"Hemmm", jawabnya tanpa menoleh ke arahku.
"Kak, maaf, apa kakak tinggal sendiri di sini? Maksudku tak ada keluarga kakak yang lain?" tanyaku karena setelah sekian lama menumpang di rumahnya aku tak melihat ada keluarganya. Hanya ada para pembantu yang bekerja sesuai tugasnya masing-masing. Mungkin ada belasan atau bahkan puluhan orang. Rumah ini memang terlalu besar, bahkan taman belakang ini entah berapa ratus meter luasnya. Ada sekitar lima pekerja yang setiap hari merawatnya, tidak termasuk dua orang ahli yang mengurusi kupu-kupu di dalam rumah kaca. Iya, taman ini mungkin dapat dikatakan sebagai surga kupu-kupu.
Kak Sean menaruh kuasnya, berhenti melukis. "Iya, aku tinggal sendiri di sini," jawabnya sambil tersenyum. "Tapi ini bukan rumahku," lanjutnya kemudian.
Aku mengerutkan dahi. Bingung dengan penjelasannya.
Kak Sean beralih duduk di dekatku. Mengambil cangkir tehnya. "Seseorang menganggapku seperti adiknya, lalu menyuruhku tinggal di sini serta membantu menjalankan beberapa usahanya. Dalam waktu-waktu tertentu dia akan pulang ke sini."
Aku masih menggantung bingung, ”Apa dia tahu Kak Sean menampungku di sini? Dia tidak marah ada orang asing sepertiku tinggal di rumahnya?"
"Vio, jika aku membawa sepuluh orang sepertimu untuk tinggal di sini, dia tidak akan marah. Tenang saja, dia teramat baik".
Aku ingin bertanya lagi, tapi ponsel Kak Sean berbunyi. Dilihatnya layar ponsel dan bergegas menerima panggilan seraya berjalan agak menjauh dariku. Sepertinya sesuatu yang penting, begitu pikirku.
Aku berdiri, melangkah mendekati kanvas. Melihat apa yang Kak Sean lukis. Seorang gadis. Teramat cantik. Rambutnya tergerai panjang dengan warna gold. Senyumnya manis lengkap dengan lesung pipit di pipinya. Gadis dalam lukisan ini sepertinya orang yang sangat berarti untuk Kak Sean. Atau mungkin ini adalah kekasihnya.
"Vio, ada beberapa urusan yang harus kuselesaikan. Jika kamu bosan, kamu bisa jalan-jalan di sekitar telaga. Akan kusuruh seseorang menemanimu," ucap Kak Sean. Ia tersenyum, lalu beranjak pergi setelan aku mengangguk.
\*
"Tuan muda, apa anda sudah membaca email dari nona?" tanya Bryan, asisten sekaligus orang kepercayaan Sean.
"Iya, kakak baru saja menghubungiku. Bryan, aku rasa kamu bisa menyelesaikan masalah ini sendiri bukan? Pergilah ke perusahaan, dan bereskan tikus-tikus itu."
"Tuan muda tidak ingin ke sana dan melihat langsung?"
"Tidak perlu, kakak sudah memberitahuku apa yang perlu kulakukan. Akan kucek ulang kontrak proyek tersebut dan kuhubungi para investor. Untuk para penghianat itu, kamu pasti paham bagaimana harus membuat mereka jera!"
"Saya mengerti," kata Bryan sambil membungkuk, undur diri. Bergegas meninggalkan ruang kerja pribadi Sean.
"Satu lagi," kata Sean tiba-tiba. Bryan berhenti tepat di depan pintu ruangan. "Cari tahu tentang jati diri Viola. Lakukan dengan bersih tanpa diketahui siapapun. Aku rasa, dia sengaja dicelakai seseorang".
"Baik, Tuan muda. Saya mengerti".
Selepas kepergian Bryan, Sean mulai membuka laptopnya. Sebuah simbol burung Phoenix terpampang di sana. Perusahaan tempat Sean bekerja tanpa diketahui banyak orang bernama Phoenix Group. Sebuah perusahaan raksasa yang bergerak diberbagai lini, tapi tak seorangpun tahu siapa pemilik resmi perusahaan itu. Dalam setiap pertemuan penting, Presdir perusahan tak pernah hadir. Hanya ada perwakilan, orang kepercayaan, atau pimpinan cabang yang ditunjuk sebagai perwakilan.
Sean adalah direktur devisi keuangan di perusahaan tersebut. Meski bukan CEO, tapi posisinya tak dapat dianggap remeh. Dia memiliki banyak kendali untuk mengambil berbagai keputusan dalam perusahaan. Ya, Sean adalah salah seorang kepercayaan di perusahan tersebut. Tetapi tak banyak orang yang tahu mengenai hal tersebut.
Sean jarang datang ke kantor, semua dia kerjakan dan kendalikan dari ruang kerja di rumahnya. Bryan yang dengan setia akan datang ke kantor untuk melakukan pengecekan langsung. Seperti halnya petinggi perusahaan Phoenix Group yang lain, hanya dalam kondisi dan waktu tertentu saja Sean akan langsung melakukan pengecekan ke perusahaan. Selama ini, Sean lebih dikenal sebagai pelukis dan pemilik sebuah cafe serta toko bunga di pinggiran kota. Semua yang berhubungan dengan petinggi Phoenix Group memang sengaja dirahasiakan. Entah apa alasannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!