NovelToon NovelToon

Teganya Kau Berikan Rasa Sakit Dan Bahagia Secara Bersamaan!

bab 1

Perkenalkan, namaku sadiyah. Aku adalah seorang ibu rumah tangga yang memiliki dua orang anak.

Aku menjalani kehidupanku sebagai ibu rumah tangga dengan ikhlas dan tanpa mengeluh sedikitpun walaupun kadang terasa sangat lelah.

Kehidupan kami bisa dibilang cukup secara finansial, meskipun aku tidak diperbolehkan mengelola keuangan rumah tangga tapi aku berani yakin jika uang gaji suamiku sangat-sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup kami berempat selama satu bulan.

Iyaa selama empat tahun aku berumah tangga, aku memang tak diperbolehkan memegang keuangan rumah tangga oleh suamiku. Alasannya adalah karna banyak hutang yang harus ia bayarkan pada saat itu, hingga saat ini aku pun tak pernah meminta untuk mengatur keuangan kami. Kenapa? Jawabannya adalah pasti selalu ada saja alasannya.

Begitulah suamiku, berwatak keras dan tidak mau disalahkan dan tidak mau menerima koreksi. Bahkan kadang jika kami sedang bertukar pendapat, selalu saja ada hal yang menurutnya kurang pas dan akhirnya pendapatnya sendiri yang dia pakai. Kadang, aku berfikir. Lantas, untuk apa ia meminta pendapat padaku.

Seperti saat ini, ia meminta pendapatku untuk membukakan kakak lelaki warung kopi sedangkan aku sedang hamil tujuh bulan dan memerlukan uang banyak karna dokter sudah mengatakan jika aku harus melakukan operasi Cesar karna posisi jalan lahir tertutup oleh ari-ari dari bayiku.

"Jangan dulu mas, kita memerlukan uang banyak untuk aku melahirkan. Kamu tau sendiri dokter sudah menyarankan untuk aku melahirkan Cesar, sedangkan kita ngga punya asuransi kesehatan apapun. Kamu pun aku minta bikinkan selalu banyak alasan, sekarang jika uang itu untuk membukakan warung kopi abangmu belum tentu akan balik modal dalam jangka waktu yang dekat. Nanti bagaimana untuk biasa persalinan aku" jawabku ketika ia meminta izin menggunakan uang tabungan untukku melahirkan yang dipegang olehnya.

"Tapi, kasian Abang. Maksud aku biar dia ngga lontang Lantung ngga jelas seperti itu Bun" jawab suamiku pada saat itu.

"Mas, kamu ingatkan waktu dia baru aja pulang setahun yang lalu? Abang kamu meminta diambilkan motor kredit, tapi setelah diambilkan. Dia bahkan ngga pernah mencicilnya sekalipun mas, ngga sesuai dengan ucapannya sewaktu minta diambilkan kredit itu. Bahkan sekarang mana motornya? Setelah setahun dia menghilang dan kamu yang mengambil alih pembayaran motor itu, dia pulang dengan tiba-tiba tanpa membawa motornya mas." Jawabku yang sudah merasa sedikit kesal.

"Jangan perhitungan begitu Bun sama keluargaku, mereka juga keluargamu Bu" jawabnya dengan ketus.

"Aku perhitungan? Dimana nya mas? Kamu selalu berkata begitu jika aku mengungkit kesalahan mu mengambil tindakan, padahal kamu sendiri aja memberikan uang makan sehari lima puluh ribu padaku. Bahkan kamu juga mengeluh jika aku memasak makanan yang itu itu aja, dan lagi ketika aku ngidam kamu juga bilang jika aku mengambil kesempatan dengan kata ngidam. Kamu waras mas?" Jawabku yang merasa kesal dengan perkataan suamiku kala itu.

"Yang sudah-sudah jangan diingat ingatlah, sekarang juga kamu udah ngga ngidam lagi kan" jawabnya tak mau kalah.

"Alaaahh susahlah ngomong sama kamu, kalo pun aku ngidam kamu juga gaakan beliin kan?!" Jawabku sinis.

"Loh loh loh jadi kemana-kemana kan, orang lagi dimintain pendapat soal membukakan warung kopi Abang kok" katanya dengan nada yang mulai tak enak didengar.

"Percuma mas, kamu minta pendapat padaku jika pada akhirnya kamu pun tak akan memakai apa yang aku ucapkan." Jawabku dengan kesal.

Aku pun masuk kedalam kamar dirumah kontrakan kami dengan menggandeng anak pertamaku yang saat itu berusia tiga tahun, rasa malas menanggapi perkataan suamiku pun hadir dan rasa kesal itu pun terus membekas hingga beberapa hari.

Hingga disaat aku mulai merasa akan melahirkan, aku terbangun pukul setengah dua dini hari. Aku merasa air ketubanku mulai pecah diatas kasur, padahal aku tak merasakan mulas sama sekali. Aku pun membangunkan suamiku dengan menggoyangkan bahunya beberapa kali.

"Mas, bangun mas air ketuban aku sudah pecah" kataku mencoba membangunkannya.

"Apaa si diaaahhh, yaampun masih jam berapa ini" katanya mengusap matanya agar bisa menyesuaikan dengan sinar lampu.

"Masih setengah dua mas, air ketuban ku sudah pecah ini loh. Tapi aku ga mulas mas, ayok kita kerumah sakit" ajakku padanya.

"Hah! Kamu serius?!" Tanyanya dengan terkaget, matanya pun membelalak seolah tak percaya dengan apa yang aku katakan.

"Iyaa makanya ayok buruan, biar aku pakai pempers dewasa yang udah siapkan dulu. Nanti kita titipin dulu Nayla dirumah mama, sekalian lewat" jawabku yang segera bangun dan berjalan kearah kamar mandi setelah mendapatkan satu buat pempers dewasa yang memang sudah aku persiapkan untuk berjaga-jaga.

Setelah kami semua siap, aku pun membonceng suamiku menggunakan motor dengan anak pertama kami yang berada ditengah antara aku dan juga mas Lukman.

Lukman hakim adalah nama suami ku, suami yang sudah menikahi ku selama lima tahun ini. 

Setelah sampai didepan rumah orang tuaku, aku pun menitipkan Nayla pada ibuku. Perlu kalian ketahui, saat ini bapakku sedang terkena stroke akibat gula darah yang tinggi disertai dengan penyakit darah tinggi yang sudah menyumbat pembuluh darahnya.

Aku pun meninggalkan Nayla dirumah orang tuaku, kemudian kami berdua melanjutkan perjalanan menuju rumah sakit terdekat dari rumah kami.

Akhirnya kami pun sampai, aku langsung dilarikan ke UGD sebelum masuk kedalam ruang bersalin. Didalam ruang UGD aku harus di rapitd tes karna keadaan sedang besarnya kasus covid-19. Begitupun dengan suamiku juga melakukan tes covid-19 tersebut karna akan bertugas menjagaku selama dirumah sakit.

Setelah beberapa hari dirumah sakit akhirnya aku pun diperbolehkan pulang hari ini, kami pun kembali berdebat. Karna saat itu mas Lukman kekeh membukakan warung kopi untuk kakak lelakinya, padahal ia tau sendiri jika biasa operasi Cesar mahal.

"Bagaimana mas, apa kamu ada uangnya untuk membayar administrasi?" Tanyaku pada saat itu.

"Emm uangnya kurang Bun" jawabnya dengan sedikit ragu.

"Kurang gimana? Bukannya kamu janji kalo uang itu akan kembali sebelum aku melahirkan? Nyatanya mana?" Kataku dengan nada kesal.

"Namanya juga baru buka usaha Bun, harus lebih sabar lagi lah pelanggan juga belum banyak" jawabnya dengan seolah tak bersalah.

"Alaaahh udahlah percuma kamu ngga bisa diandalkan!!" Jawabku dengan kesal. Akhirnya aku pun terpaksa menelpon adikku untuk meminta tambahan biaya rumah sakit.

"Ingat ya mas, ini minjam bukan minta. Kamu harus ganti uang Rey saat gajian nanti. Tunggu Rey kesini, nanti Rey yang bayar pakai semua uang yang ada diatm kamu baru sisahnya dia yang lunasin" kataku pada mas Lukman pada saat itu.

"Kok gitu Bun, kenapa ngga separuh-separuh dulu. Nanti kan kita pasti perlu untuk hal-hal yang lain" jawab mas Lukman seolah tak terima dengan perkataanku.

"Aku mencari solusi mas agar ga menumpuk hutang, urusan setelah dirumah nanti ya kembali lagi menjadi urusanmu. Lagian kemana semua uang tabungan kita, selama ini kamu yang pegang keuangan rumah. Sedangkan aku hanya kamu berikan lima puluh ribu sehari" jawabku sedikit membentak.

Mas Lukman pun hanya diam, hingga tak lama adikku Rey pun datang dan langsung mengajak mas Lukman kebagian administrasi.

Tak lama keduanya pun kembali, Rey pun menunjukkan bukti pembayaran yang dilakukan secara dua kali.

"Ini mbak, aku hanya menambahkan lima juta rupiah" katanya membuatku merasa tak enak karna memakai uang tabungan miliknya.

"Makasih ya Rey, maaf jika mbak merepotkan. Nanti pasti diganti jika mas Lukman sudah gajian" jawabku pada Rey yang hanya tersenyum dan menganggukan kepala.

"Yasudah yuk pulang Bun, aku beresin dulu. Kamu mau anterin kan Rey kami pulang kerumah?" Tanya mas Lukman dengan tak tau malunya.

"Maaf mas, aku naik motor. Ngga mungkin kan aku goncengin kalian berdua apalagi bawa bayi merah" jawab Rey dengan menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Gapapa Rey, nanti kita pesan taksi online aja" jawabku.

Akhirnya aku dan mas Lukman pun pulang menggunakan taksi online diikuti oleh Rey dibelakang yang menggunakan motor matic miliknya.

bab 2.

Untuk sementara, aku pun memilih tinggal dirumah kedua orang tua ku. Semua ini aku pilih karna aku sangat yakin jika aku kembali kerumah tidak akan ada yang bisa membantuku dalam hal pekerjaan rumah, jangan ditanya bagaimana dengan mertuaku.

Bahkan sedekat apapun posisi rumah kami, tentu saja dia tidak akan bersedia membantuku untuk melakukan pekerjaan rumah. Jangankan setelah aku melahirkan, bahkan ketika aku sakit sekali pun dia sama sekali tak pernah menjenguk ataupun bertanya keadaanku.

Aku si maklum ya, karna mertuaku tinggal dengan anak perempuannya dan memiliki dua cucu dari anak perempuannya tersebut. Sedangkan aku hanya menantunya yang pasti akan kalah dengan ipar perempuan, bukankah sudah hukum alam seperti itu? Menantu perempuan akan kalah dengan anak perempuan mertua hehehehe.

Tak lama kami pun sampai dihalaman rumah kedua orangtuaku, memang tak terlalu jauh jarak antara rumah sakit tempat aku melahirkan dengan rumah orang tuaku hanya ditempuh dengan jarak lima belas menit kami pun sampai.

Aku keluar dari taksi online dengan menggendong bayiku dan dipapah oleh suamiku, ntah jika urusan uang ia memang selalu perhitungan tapi jika urusan perhatian jangan lagi ditanya. Dia adalah orang yang sangat perhatian pada anak dan juga istrinya.

Aku pun dipersilahkan masuk dan duduk diruang tamu sekaligus ruang keluarga dirumah mamaku itu.

"Nih pak nih, cucu nya yang bayi udah sampai nih. Alhamdulillah selamat dan lahirannya lancar" kata mamaku mengambil alih bayi mungil yang sedari tadi berada dalam gendonganku.

Terlihat mata bapakku berkaca-kaca menatap bayi kecil yang berada dalam gendongan mama, aku sangat merasakan bagaimana antusiasnya bapak atas kehamilan kedua ku saat itu. Sampai pernah ketika aku mengidam menginginkan pesmol ikan buatan mama, bapak pun jauh-jauh mengantarkannya sendiri kerumahku menggunakan sepeda motor yang pernah aku belikan untuknya sewaktu aku kerja dulu. Tepatnya tujuh tahun yang lalu.

Mama berusaha mendekatkan bayiku agar bapak bisa mencium dan meraih tangannya yang kecil, aku bisa melihat bapak meneteskan air mata. Begitu bahagia masih sempat melihat cucu keduanya meskipun tak bisa langsung menggendongnya seperti waktu aku melahirkan anak pertamaku.

Bapak mencoba meraih anakku dalam gendongan mama, namun tak bisa. Kemudian ia menatapku dengan sendu, aku balas tatapannya dengan senyum lembut dan menganggukan kepala. Menandakan tidak apa-apa jika tidak bisa menggendongnya, bapak pun mengerti ia tersenyum menatapku yang hampir meneteskan air mata.

"Aku akan tinggal disini selama beberapa hari, gapapa kan ma?" Tanyaku pada mama yang langsung tersenyum lebar dan menganggukan kepala.

"Gapapa dongg, mama malah seneng. Rumah ini jadi rame ada suara tangis bayi, iyakan pak?" Jawab mama menatap bapak yang langsung tersenyum menjawab pertanyaan mama.

Alhamdulillah aku bersyukur mendapatkan orangtua sebaik mama dan juga bapak, bahkan mama ngga pernah sedikitpun mengeluh mengurus bapak yang hanya bisa duduk dikursi roda.

"Makasih ya ma, pak. Tapi nanti mungkin aku akan merepotkan" jawabku merasa tak enak.

"Ngga ada kata merepotkan Diah, kamu anak mama dan juga bapak sama seperti adik-adikmu yang lain. Apa yang akan direpotkan" jawab mama dengan senyum diwajahnya yang penuh binar bahagia.

"Aku pasti akan merepotkan ma, mama pasti akan bertambah kerjaannya jika ada aku dirumah ini. Belum lagi ada pakaian bayiku yang harus dicuci setiap hari" jawabku membuat mama tersenyum dan menggelengkan kepala.

"Tenang aja, kamu ngga usah pikirin itu. Kan nanti ada adikmu Sintia yang akan membantu mencucikan, lagian pakaian bayi palingan sepuluh menit juga selesai dikucek" jawab mama dengan yakin.

"Apa dia mau ma, mama tau sendiri Sintia gimana" jawabku dengan ragu.

"Pasti mau, bahkan Sintia mau loh membersihkan kotoran bapak kalo mama sedang keluar rumah. Anak itu biar pun sedikit malas, tapi hatinya sangat sangat bersih. Mama salut sama dia" jawab mama mulai membuatku yakin jika adikku pasti bersedia membantuku untuk mengerjakan cucian milik bayiku.

"Masa iya ma? Sebegitunya?" Tanyaku yang merasa sedikit tak percaya.

"Iyaa, iyakan pak? Mama ngga bohong loh, nanti tanyakan kalo dia pulang sekolah. Kebetulan hari ini ada jadwal tatap muka, sebentar lagi juga pulang sih dia" jawab mama membuatku menganggukan kepala dan menatap bapak yang juga tersenyum menatapku.

Sementara mas Lukman dan juga Rey tengah mengopi dihalaman depan setelah tadi Rey membuatkan kopi tersebut untuk iparnya. Sungguh pemandangan yang enak dipandang bukan jika ipar begitu akrab.

Sampai sekarang aku bahkan sangat mempertanyakan, kenapa suami selalu diterima baik dirumah keluarga istrinya sedangkan istri pasti ada saja konflik dengan mertua dan ipar perempuannya. Apa kah hanya aku yang seperti itu?

"Kamu udah makan belum Diah? Mama masak sayur bening tadi untuk bapak, kamu bisa makan itu biar asi nya lancar. Besok mama masakin sayur bening katuk biar asinya semakin deras" kata mama membuatku menatapnya dengan haru.

"Aku udah makan si ma, tadi sebelum pulang aku udah dapat makan jatah dari rumah sakit" jawabku dengan senyum mengembang.

"Yaudah kalo gitu, nanti kalo mau makan lagi bilang aja ya. Kamu pasti belum bisa banyak bergerak abis Cesar, istirahat aja dulu. Mau disini atau dikamar?" Tanya mama membuatku menyerit.

"Dikamar? Aku disini aja deh ma. Lagian sofa ini kan bisa dijadiin tempat tidur, kalo dikamar biar Sintia sama Nayla aja. Nanti sempit kalo aku juga ikut dikamar" jawabku membuat mama menganggukan kepalanya.

"Yaudah kalo gitu, ia mama ngga inget kalo ada Nayla juga disini. Eehh tapi kemana anak itu yaa, tadi sama si Nabil sama mamanya diajak kemana itu anak yaa" kata mama membuatku tertawa kecil.

"Yaudah si gapapa ma, biarin aja nanti juga datang sendiri" jawabku dengan masih tertawa.

Baru saja diomongin orangnya udah nongol diteras rumah, ketiga orang tersebut langsung memasuki rumah dengan raut wajah heran terbit diwajah Nayla dan juga Nabil yang heran melihat uti nya menggendong bayi.

"Utii, uti itu Dede nya siapa ti?" Tanya Nabil yang memang sudah jelas berbicaranya karna umurnya memang sudah empat tahun setengah.

"Dedenya uti dong, masa dedenya kamu" jawab mama membalas dengan candaan membuat anak kecil tersebut memicingkan mata.

"Nayla, itu Dede kamu ya nay" tanyanya lagi kepada anakku, Nayla. Nayla yang juga tak mengerti pun menggelengkan kepala membuatnya bertambah kesal.

"Mamah itu dedenya Nayla bukan si mah, aku mau liat mah" kata Nabil pada mamahnya yang tertawa melihat tingkah anaknya.

"Iyaalah itu dedenya Nayla bil, liat tuh bunda Nayla aja udah kempes perutnya" jawab mama Nabil membuat binar-bibar Dimata Nayla dan juga Nabil terbit.

"Yang bener ante, itu adik aku?" Tanya Nayla yang sedari tadi tak mengeluarkan suara cemprengnya.

"Iyaalah nay, lihat gih sana sama uti" jawab mama Nabil menyuruh kedua anak tersebut mendekati mama, mereka pun menurutinya dengan senyuman merekah.

"Uti-uti kita mau liat Dede nya donggg" kata keduanya dengan sangat antusias.

"Iyaa iyaa sebentar, pelan-pelan kasian ini dedenya bobo loh masih bayi banget" kata mama meringis melihat sangat antusiasnya kedua anak tersebut.

Akhirnya mama pun meyertarakan tingginya dengan kedua anak tersebut, terlihat binar Dimata Nayla melihat adik nya yang masih bayi. Aku sangat beruntung ternyata Nayla sangat antusias dengan adik bayinya, karna aku fikir anak seusianya akan merasa kasih sayang yang berkurang dari orangtuanya tapi tidak dengan Nayla.

"Ini lihat dedenya ya kakak-kakak, boleh cium tapi jangan digigit ya" kata mama dengan senyuman.

"Lucu ya nay adik kamu, lihat masih imut banget" kata Nabil pada Nayla yang tersenyum memperlihatkan seperti giginya.

"Iyaa dongg, adik aku laahh" jawab Nayla dengan tertawa kecil.

Aku pun tertawa melihat tingkah kedua anak tersebut, keduanya perempuan dan kini mereka pun mendapatkan adik bayi perempuan juga. Tapi tetap terlihat binar antusias dimatanya.

"Perempuan lagi mbak?" Tanya leha, mama Nabil padaku.

"Iyaa ha, Alhamdulillah dikasihnya perempuan lagi" jawab ku dengan senyuman.

"Iyaa gapapa mbak Alhamdulillah masih dikasih lagi, aku yang berharap dikasih aja belum dikasih-kasih mbak" jawabnya dengan wajah sendu.

"Gapapa, nanti juga dikasih lagi" jawabku menguatkan.

Bersambung.....

bab 3.

"iyaa amin, semoga nanti dikasih lagi" jawabnya dengan pandangan lurus kedepan.

Aku pun menatapnya dan tersenyum melihat betapa inginnya sepupuku satu ini mendapatkan momongan lagi, tapi sayang keinginannya belum terkabul karna ia baru saja sebulan yang lalu mengalami keguguran dan di vonis untuk sudah hamil lagi oleh dokter kandungan.

Sungguh miris jika mendengar vonis dokter yang sangat-sangat menyinggung perasaan seorang perempuan mengenai rahim, semoga sepupuku bisa bersabar dengan segala apa yang dideritanya.

"Oiyaaa bagaimana rasanya melahirkan Cesar mbak? Selain biayanya yg besar pasti ada sedikit yang berbeda kan rasanya sama melahirkan normal. Apalagi mbak juga pernah lah merasakan lahiran normal, kali ini malah Cesar" tanyanya dengan dahi mengkerut.

"Yaa begitulah seperti yang kamu tau, dan lagi kamu tau ngga. Ruang operasinya itu dingiiiiinnn banget, aku sampe menggigil setelah disuntik anastesi" jawabku dengan ekspresi memperlihatkan raut yang meyakinkan.

"Iyaaa untungnya aja aku dapat urutan pertama operasi kan jam delapan lewat dua puluh, tapi ternyata oprasinya berlangsung hampir jam setengah sepuluh. Aku nungguin didalam ruangan operasi sendirian, duuuhh rasanya itu deg deg ser tau ngga si ha" jawabku membuatnya meringis.

"Hehehe maaf yaa ngga bermaksud buat kamu takut deh, tapi memang gitu si yang aku rasain. Apalagi setelah biusan habis, aaammpuuunn sakit nya bekas operasinya ha. Yaallah aku sampai emm apa ya, buat miring aja tuh ngilu banget padahal memang disuruh ngelatih miring kanan kiri dulu kan. Tapi aku ga sanggup, aku mending latih gerakin kaki dulu setelah agak mendingan sakitnya baru aku belajar miring-miring" jawabku diakhiri dengan suara lirih.

"Sampe segitunya mbak?" Tanyanya seolah tak percaya dengan apa yang aku katakan.

"Iyaa serius loh, emm kemarin waktu pertama kali aku mau pup paska operasi duuhh mana mas Lukman ngga ada kan. Aku sampe senderan ditembok, nemplok gitu biar bisa sampai di kamar mandi tau" jawabku dengan menepuk pelan punggung tangannya.

"Loh emangnya mas Lukman kemana mbak? Kok ngga ada?" Tanyanya dengan raut wajah penasaran.

"Mas Lukman kan kemarin pulang dulu kerumah tuh pas jam sepuluh kayanya terus balik lagi sore" jawabku memberitahukan.

"Berarti mbak ditinggal sendirian dong?" Tanyanya penasaran. Aku pun hanya menganggukan kepala sebagai jawaban atas pertanyaannya.

"Dih gimana sih dia itu, udah tau istrinya masih belum bisa leluasa bergerak malah ditinggal pulang" gumamnya dengan pelan takut mas Lukman mendengar apa yang dikatakaj olehnya.

"Gapapa si, lagian dia pulang juga karna memang harus mencuci baju-baju mbak bekas persalinan kan? Meskipun ngga ada darahnya, tapi kan tetap aja bekas air ketubannya kemana-kemana itu loh" jawabku berusaha menetral pikiran leha pada mas Lukman.

"Yaa tetep aja mbak, emangnya ngga bisa apa dia minta tolong sama mamanya itu. Kan memang harusnya begitu kata orang tua jaman dulu, kalo menantu perempuan melahirkan baju yang bekas dipakai untuk melahirkan itu tugas suami untuk mencucinya seandainya suaminya ngga sempat atau ngga bisa mencuci berarti beralih kepada saudara si suami tersebut terutama orangtua perempuannya" jawab leha yang kesal dengan tindakan mas Lukman.

"Yaa kamu kan tau sendiri gimana keluarga mas Lukman ha, mana mau mereka mencucikan baju-baju mbakmu ini. Makanya mbak milih tinggal dirumah ini dulu, karna mbak yakin jika dirumah mbak pun ngga ada yang membantu mbak untuk mengurus semua keperluan nantinya" jawabku membuatnya menganggukan kepala.

"Iyaa lah mbak bener banget emang kalo mau tinggal disini dulu, ya seengganya sampai mbak kuat lah ya buat ngapa-ngapain atau sampai nanti bekas operasinya dibuka dan udah ga kenapa-kenapa" jawabnya yang seketika membuatku menganggukan kepala.

"Iyaa mbak juga mikirnya gitu, tapi mbak ga enak aja sama mama ini kalo sampe ngerepotin lagi. Mama kan udah repot ngurusin bapak, masa mbak mau ngerepotin lagi dengan adanya mbak disini" jawabku yang masih tak enak dengan mama karna kehadiranku dirumah tersebut.

"Yaudah si gapapa kali mbak, uti juga keberatan kok ada cucunya disini. Malahan seneng kali mbak, apalagi mbak kan juga belum bisa ngapa-ngapain. Pasti uti maklumlaah" jawabnya dengan lembut.

"Iyaa si tadi mama juga bilang gitu, tetep aja aku kan harus cuci pakaian si bayi masa nanti mama yang harus cuci pakaian si bayi" jawabku dengan menundukkan kepala.

"Yaa gampang itu, suruh aja Sintia yang nyuci dia pasti mau deh. Lagian nyuci pakaian bayi ngga akan lama lah, sambil dia mandi pun kan bisa" jawabnya.

"Iyaa si, tadi mama juga bilang gitu. Tapi aku yang sangsi dia bakalan mau" jawabku membuatnya tertawa kecil.

"Pasti mau mbak, aku yakin deh. Lagian ya selama bapak sakit aja yang sering ngurusin bapak itu Sintia loh mbak, mulai dari kotorannya sampai kalo bapak ngompol pun dia mau beresin" jawabnya sama dengan apa yang mama katakan padaku sebelumnya.

"Iyaa tadi mama bilang gitu juga, malah aku ngga nyangka jika Sintia mau melakukan itu. Aku fikir anak pemalas itu ngga akan mau bantuin mama bahkan untuk sekedar memberikan minum untuk bapak" jawab ku membuat leha tertawa kecil.

"Mungkin dia sadar kali, kapan lagi waktunya berbakti dengan bapaknya jika bukan disaat sakit seperti ini. Kita ngga pernah tau umurkan, bukannya mendoakan bapak yang ngga-ngga aku si ya mbak. Cuma ya kita pikir kedepannya aja" jawab leha membuatku menganggukan kepala, menatap bapak dengan mata yang berkaca-kaca.

Benar apa yang dikatakan leha, melihat kondisi bapak seperti ini kami harus siap kapanpun bapak dipanggil oleh penciptanya. Karna sudah banyak sekali pengobatan yang dijalani oleh bapak, mulai dari alternatif, pijat urut, bahkan sampai kerumah sakit pusat syaraf pun tak ada perubahannya.

Aku pun melamun, membayangkannya membuatku tiba-tiba meneteskan air mata. Rasanya tak sanggup kehilangan bapak, tapi aku sangat tahu kami sebagai manusia pasti akan kembali kepada penciptanya. Aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk kesembuhan bapak, amiinn.

"Mbak, eehh malah bengong. Ngga usah dipikirin mbak nanti banyak pikiran malah pengaruh sama hormon setelah melahirkan. Kata babbyblues gitu hihihi" kata leha membuatku terkaget dan mengalihkan pandangan padanya.

"Iihh apaan si, aku cuma lagi bayangin kalo apa yang kamu bilang tadi itu bener. Apa aku akan sanggup kehilangan bapak, aku sebagai anak merasa belum membahagiannya sampai detik ini" jawabku menundukkan kepala.

"Doa kan terus mbak, doa kan untuk kesembuhan bapak. Doakan untuk kesehatannya" jawabnya, tak terasa aku pun meneteskan air mata yang sedari tadi tertahan.

"Bun, aku pulang dulu ya kerumah. Besok aku kerja, mau istirahat dulu dirumah" kata mas Lukman yang tiba-tiba datang menghampiri kami berdua. Seketika kami pun menghentikan obrolan yang tengah berlangsung.

"Oohh yasudah mas, kamu ngga makan dulu?" Tanyaku pada mas Lukman.

"Ngga usah deh, lagian ini hampir sore pasti nanti dijalan banyak yang udah pada buka tenda malem" jawabnya membuatku menganggukan kepala.

"Yasudah kalo gitu" jawabku pelan, mas lukman memberikan sebuah amplop yang aku tebak isinya adalah uang.

"Itu uang buat pegangan kamu selama disini, sama buat nanti beli bahan kalo udah Puput pusat" kata mas Lukman, aku pun menghitung uang yang ada didalam amplop tersebut. Satu juta rupiah untuk pegangan dan untuk membeli bahan masakan jika sudah Puput pusat. Apakah cukup? Pikirku.

Aku pun menatap bingung mas Lukman yang menyeritkan dahi melihat ekspresi ku.

"Kamu kapan kesini lagi?" Tanyaku dengan wajah tanpa ekspresi.

"Nanti lah kalo Puput pusarnya, itu pun kalo jadwal off kerja" jawabnya membuatku menganggukan kepala.

"Jangan sampai ngga kesini loh, palingan kan Puput pusat beberapa hari lagi. Uang segini mana cukup untuk itu juga mas, yang bener aja si" jawabku menahan kesal terhadap mas Lukman.

"Yaa mau gimana lagi, uangnya kan udah habis untuk biaya operasi kamu kemarin" jawabnya dengan santai.

"Yee salah kamu sendiri, uang tabungan entah kemana. Sok-sokan istri ngga boleh ngelola keuangan, kamu aja ngga bisa ngelola keuangan sendiri. Loyal banget sama temen, sama keluarga giliran sama istri pelit nya naudzubillah" jawabku sambil mengawasi bapak dan juga mama yang masih mengajak bermain Nabil dan Nayla dengan adik bayi mereka agar tak mendengar apa yang aku katakan pada mas Lukman.

"Udah deh jangan mulai, lagian usahanya kan masih berjalan walaupun belum dapat untung banyak" jawabnya acuh tak acuh, aku pun tak membalas lagi apa yang dikatakan oleh suamiku tersebut. Karna pasti ada saja yang menjadi jawaban olehnya, semua itu sudah biasa aku dengar beberapa bulan kebelakang ini.

"Terserah kamu lah mas, percuma ngomong sama kamu" jawabku ketus. Mas Lukman pun menghampiri bapak dan juga mama untuk berpamitan, kemudian ia pun melangkah pergi setelah menepuk pelan pundakku.

Setelah kepergian mas Lukman aku pun menggelengkan kepala menatap amplop yang aku pegang.

Bersambung....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!