Di hari ini dan detik ini juga, di sebuah rumah terlihat sederhana tapi nyaman membuat siapa saja pasti akan senang untuk bersinggah di rumah itu.
Tapi itu hanyalah tampilan luarnya saja, di dalamnya terlihat banyak pecahan kaca dari berbagai bahan kaca yang dihancurkan, seorang gadis kecil meringkuk dalam kamar dengan badan penuh gemetaran, air matanya sudah kering untuk menangis.
Gadis itu terlihat berantakan dengan rasa sakit dari salah satu pergelangan tangannya, itu meninggalkan sebuah bekas kebiruan akibat digenggam keras oleh seseorang.
Matanya menampilkan ketakutan tajam kepada dunia, seakan dunia ini tidak menyenangkan sama sekali untuk sebuah kehidupan manusia.
"Aku takut, kenapa mereka bertengkar lagi?" batin gadis kecil itu dengan air mata mengalir tersisa, dia belum terbiasa dengan keadaan orangtuanya seperti ini terus.
Dulu gadis kecil itu pernah merasakan keharmonisan keluarga, dimana ia dimanja, disayang, dan dipedulikan.
Tapi semuanya itu berubah sejak ibunya melahirkan seorang adik untuknya, dia tidak dimanjakan lagi, mereka hanya sibuk mengurus adiknya, gadis kecil itu disuruh mengerti untuk semua yang tidak dia mengerti sama sekali.
Awalnya dia mengerti kalau adiknya butuh perhatian ekstra, tapi ia akhirnya mengerti bahwa dia sudah mulai tidak dipedulikan lagi.
Kata makian tidak berhenti untuk bersuara, malah lebih menakutkan sebab suara makian abangnya juga terdengar keras.
"Sepertinya abang mulai menengahi pertengkaran ayah dan ibu, baguslah, walaupun caranya salah." batin gadis kecil itu lagi.
Gadis kecil itu berjalan kearah tempat tidur, dan meringkuk nyaman disana, dia tidur nyaman dengan pertengkaran yang sudah tidak terdengar lagi, seakan dunianya sudah damai seperti biasanya.
Setelah beberapa jam kemudian rumah itu akhirnya tenang juga, tidak ada suara pertengkaran, atau makian yang tidak enak didengar, hanya sebuah kata sunyi dan kesepian yang bisa diceritakan.
Pintu kamar gadis kecil itu terbuka tanpa disadari oleh pemiliknya yang tertidur nyenyak, langkahnya terdengar tenang dan stabil, dengan membawa kotak P3K di tangannya.
"Kamu sudah melalui banyak proses." suaranya setenang air tapi juga serak berat secara bersamaan akibat dari masa pertumbuhannya.
Laki-laki itu mengambil salah satu pergelangan tangan gadis kecil itu, terlihat kebiruan yang jelas membuat laki-laki itu mengerutkan keningnya.
"Mereka benar-benar keterlaluan denganmu, kamu adik yang kuat."
Laki-laki itu mulai mengobati pergelangan tangan gadis kecil itu dengan pelan-pelan, saat baru saja obat itu dioles dengan pelan gadis kecil itu mengerutkan keningnya dalam tidur, jelas bahwa itu menyakitkan.
"Hmm, ibu aku kesepian, ayah kapan kamu mengerti aku?" gadis kecil itu mengigau dengan tenang dalam tidurnya, laki-laki itu yang mendengar hanya bisa menghela nafasnya.
"Maafin abang yang tidak bisa menjaga keharmonisan keluarga ini lagi, gadis kecilku kamu harus kuat untuk melaluinya." itu adalah sebuah kalimat menenangkan yang menghibur, seakan mengetahui apa yang dikatakan abangnya gadis kecil itu mulai tertidur pulas.
Luka di salah satu pergelangan tangannya sudah dibungkus dengan perban, itu tidak akan terasa sakit lagi saat bergesekan dengan sesuatu.
"Tidurlah dengan nyenyak, gadis kecilku." laki-laki itu mulai membenarkan selimut adiknya, melihat gadis kecil itu sudah tertidur tenang, ia mulai meninggalkan kamarnya dengan pelan-pelan tidak mau mengganggu pemilik kamar itu.
Setelah keluar dari kamarnya, laki-laki itu melihat salah satu adik perempuan yang sudah dewasa, menatap dirinya dingin lalu pergi ke kamar tanpa berkata.
"Kamu benar-benar tidak sopan! apakah aku mengajarimu seperti itu?"
Mendengar peringatan keras dari abangnya, mata perempuan itu terlihat tidak peduli malah lebih melihat sebuah bahan ejekan, dia berhenti diambang pintu kamarnya, tanpa berbalik ia berkata dengan tajam.
"Setelah lebih menyayangi adik perempuanmu yang satu itu, aku tidak perlu sopan santun untuk menghadapi mu." setelah itu terdengar bantingan pintu keras tanpa perasaan, perempuan itu tidak peduli jika pintunya akan rusak.
Laki-laki itu menghela nafasnya panjang, ia lalu mulai keluar dari rumah tidak peduli sudah malam seperti apa waktunya, laki-laki itu perlu menenangkan diri.
"Market! Tumben lo ke sini?" suara temannya terdengar, tapi ia tidak menjawab hanya mematikan mogenya yang berisik.
"Mark Alferd Sarendra, kalau orang nanya itu dijawab!" melihat salah satu temannya kesal, Mark hanya memutar matanya jengah.
"Biasalah, banyak masalah di keluarga, apalagi selain itu?"
"Banyak masalah mulu keluarga lo, gak bosen tuh keluarga lo?" Jevano yang dari tadi diam, akhirnya mulai menimpali melihat nasib temannya.
"Gak tau, gua juga gak peduli asal gua dan orang yang gua sayang masih hidup."
"Maksud lo Riana Amelia Lestari? siapa lagi orang yang lo sayang selain dia? adik perempuan lo yang udah dewasa aja, udah gak lo pedulikan, apalagi adik bungsu itu."
Darka yang melihat temannya sangat pilih kasih, hanya bisa mencibir tanpa perasaan, lagipula ia harus adil dalam bersikap bukan? dia juga sudah dewasa seharusnya dia memikirkan kemungkinan yang terjadi, jika ada pilih kasih seperti ini.
"Gua tahu apa yang gua lakuin, lo gak usah ngasih tau gua berkali-kali, Darka."
"Udah-udah gak usah dibahas lagi, Mark butuh waktu buat nenangin diri, kita gak boleh nambah lagi beban pikiran dia." Cakra menengahi keduanya dengan bijaksana, dia memang yang paling tua disini, pikirannya lebih dewasa dari teman-temannya ini.
Pikiran Mark mulai melupakan kejadian yang terjadi di rumah, ia mulai bermain kartu dengan temannya.
"Woy, udah malam ini! dimarahin ntar kita!" Jevano yang tidak ikut bermain kartu mengingatkan teman-temannya.
"Gua nginep di rumah lo Jev, boleh nggak?" Mark kali ini sedang tidak mau untuk pulang ke rumah, melihat rumah membuat moodnya harus berantakan lagi.
"Ayoklah gas, kebetulan gua sendirian di rumah, ortu gua lagi pergi."
"Yaudah, kita pulang ya, baik-baik kalian berdua."
Darka dan Cakra memang searah jalannya, jadi mereka selalu pulang bersama.
Melihat mereka sudah pergi, Jevano dan Mark juga pergi dari tempat biasa mereka berkumpul, rumah Jevano tidak terlalu jauh, malah biasanya mereka akan berkumpul di rumah Jevano.
Rumah Jevano tidak terlalu besar, tapi untuk seukuran hidup di desa ini, itu sudah besar, keluarga Jevano memang keluarga terpandang di desa ini, jadi tidak heran kalau Jevano sering mentraktir temannya tanpa pandang bulu tempat.
"Seperti biasa kan tempat gua?"
"Iya itu masih biasa, malah tempat itu khusus dijadikan kamar buat lo, akibat lo keseringan nginep disini."
mendengar cibiran temannya, Mark melambaikan tangan tidak peduli, berjalan kearah sebuah kamar yang biasa ia tidur di rumah Jevano, ia memang sering menginap di rumah Jevano, bahkan keluarga Jevano tau dan tidak mempermasalahkannya sama sekali.
Mark membaringkan tubuhnya dengan nyaman, pikirannya yang tadi tenang kembali berputar lagi untuk memikirkan masalah keluarga yang tidak ada habisnya.
"Benar-benar bikin pusing!"
Tidak mau memikirkannya lagi, Mark mulai tertidur dengan nyenyak, menutup mata terhadap malam yang sulit dilupakan, dan melelahkan bagi mentalnya.
...----------------...
Mengingat kejadian semalam, Riana yang baru saja bangun dari tidurnya menutup matanya sejenak, seakan tidak ingin melihat dunia yang begitu kejam ini kepada dirinya.
Ini terlalu kejam bagi seorang gadis kecil berusia 7 tahun, dimana yang sebaya dengannya akan merasakan kebahagiaan masa kanak-kanak yang menyenangkan, dimana senyuman itu terukir tanpa banyak beban pikiran.
Riana membuka matanya, ketika pintu kamarnya terbuka dengan keras, tapi itu tidak membuat dirinya kaget, dia sudah terbiasa dengan itu, membuatnya mati rasa untuk peduli hal kecil seperti ini.
"Bangun kamu! Kamu sudah besar, kenapa masih bersikap seperti anak kecil, tunggu apalagi? cepat mandi dan sekolah!" suara itu yang selalu berteriak kepadanya setiap pagi.
Suara itu dulu memanjakan dirinya tanpa alasan, suara itu yang melahirkan dirinya, dan suara itu dulu juga mendukung setiap tindakan yang ingin dia lakukan, tapi sekarang hanyalah teriakan tanpa perasaan yang terdengar membuat Riana tidak berharap lagi untuk bahagia seperti dulu.
Mengikuti perintah ibunya, Riana mulai bersiap-siap sendiri, padahal dia seorang gadis kecil berumur 7 tahun, tapi untungnya Riana sudah terbiasa dengan itu.
Kata sudah biasa membuat hati Riana mati rasa, sebab ia tidak mengharapkan lagi untuk bahagia, karena ia sudah tahu kejadian selanjutnya akan seperti apa.
"Andai ibu tahu, aku masih kecil juga, aku belum dewasa, tapi pada akhirnya aku yang disalahkan karena terlalu menginginkan kebahagiaan ya?" batin Riana dengan senyum pahitnya.
Dulu dia pernah bersikap manja kepada kedua orangtuanya setelah adiknya lahir, tapi yang ia dapatkan adalah bentakan tidak terkira, dan setelah itu dunianya hancur, hatinya sudah mati rasa sejak saat itu.
Melihat dirinya sudah siap untuk berangkat ke sekolah, Riana keluar dari kamar, gadis kecil itu melihat gambaran sebuah keluarga bahagia ditempat makan, dimana kakak perempuannya tertawa bersama adik bungsunya, dan kedua orangtuanya juga tersenyum bahagia.
Mereka bahagia tanpa dirinya, dan abangnya membuat gadis kecil itu tersenyum kecut, ntah ada apa dengan orangtuanya menelantarkan kedua anaknya seperti ini.
Riana dengan berat hati harus merusak senyum mereka, sebab tiba di meja makan tidak ada yang bersuara hanya rasa dingin dan ketidakpedulian yang ada.
"Ayah, Ibu, kakak, dan adik, aku berangkat sekolah dulu."
"Yaudah, belajar yang bener jangan nakal di sekolah!" itu adalah ancaman ibunya kepada dirinya, selain ibunya tidak ada yang bersuara seakan enggan berkomunikasi dengan dirinya.
"Riana akan mengingat itu."
Gadis kecil itu berbalik pergi meninggalkan rumah tanpa melihat ke belakang, seakan takut melihat ke belakang, dia menghancurkan sebuah keluarga bahagia yang berbincang manis setelah dirinya pergi.
Sekolahnya tidak terlalu jauh, tapi bagi gadis kecil itu, dia membutuhkan 20 menit untuk sampai ke sana, tapi Riana jelas tidak berniat untuk buru-buru, bahwa hari masih sangat pagi, bila sampai di sekolah, pasti masih sepi.
Riana mendengar sebuah moge berisik di belakangnya, suaranya terdengar familiar membuat gadis kecil itu berhenti untuk melihat sebuah moge yang berhenti disampingnya.
"Sini naik, kenapa gak nunggu abang buat nganterin?" Mark bertanya dengan malas, melihat gadis kecil itu sangat kecil dimatanya, tapi ketika mengingat rasa kesepian dari belakang dirinya, membuat Mark merasa tertekan.
Dia baru berusia 7 tahun, kenapa rasa kesepian begitu kuat memancar, seharusnya dia tidak perlu mengalami hal seperti ini di usianya, ia harusnya tersenyum bahagia tanpa banyak beban pikiran.
"Abang kan nanti sekolah juga, kalau telat gimana? nanti dihukum." Riana mengulurkan kedua tangannya manja, Mark dengan singgap menangkapnya, dan meletakkan gadis kecil itu duduk di depan.
"Yaelah, lagian ini masih pagi juga, masih ada waktu nanti abang gak terlambat kok."
Mark mulai menjalankan motornya santai, lagipula lokasinya tidak terlalu jauh, itu hanya butuh beberapa menit untuk sampai ke tujuan.
"Kamu gak sarapan lagi ya? pagi banget berangkatnya, nanti kalau di sekolah segera mencari sesuatu untuk dimakan ya, kamu dari kemarin gak makan loh." Mark menceramahi adiknya dengan santai, gadis kecilnya selalu seperti ini, dia jarang makan di rumah malah lebih sering makan di luar.
"Aku gak mau ganggu kebahagiaan kecil mereka."
Riana dulu pernah untuk makan bersama keluarganya, tapi yang ia dapatkan adalah kata-kata makian dari kakak perempuannya, ketidakpedulian kedua orangtuanya. setelah itu ia lebih sering untuk makan sendiri di kamar atau di luar rumah.
Mark mengusap kepala gadis kecilnya, setelah sampai, Mark membantu gadis kecilnya untuk turun, lalu Mark memberikan uang saku kepada gadis kecil itu dan diterima baik olehnya.
Riana tidak pernah meminta uang saku kepada orangtuanya lagi, bahkan jika ia merasa sangat ingin untuk menuntaskan rasa laparnya, ia masih tidak memintanya.
Mark yang mengetahui itu, memberikan uang saku kepada gadis kecilnya setiap hari, ia juga setiap hari selalu mengantar gadis kecil itu ke sekolah bahkan jika ia tidak dirumah, Mark selalu meluangkan waktunya untuk melakukan ini setiap hari.
"Jangan terlalu serius di sekolah, banyak-banyak berinteraksi sama teman." setelah mengatakan itu Mark pergi meninggalkan sebuah perasaan bahagia di hati Riana.
Setidaknya ada salah satu anggota keluarganya yang peduli dengannya, membuat ia tidak perlu lagi merasa bahwa dirinya benar-benar terbuang di keluarganya.
Riana meletakkan tasnya di kelas 1 SD, seharusnya dia masih berada di TK tapi karena terlalu awal masuk sekolah, membuat dirinya lebih awal untuk naik kelas.
Gadis kecil itu berjalan keluar kelas, menghirup udara segar halaman sekolah yang terlihat sepi, kecuali dirinya dan para karyawan sekolah benar-benar tidak ada kehidupan lain.
"Nak Riana sering banget berangkat pagi ya? gak sabar buat ke sekolah kah?" salah satu karyawan laki-laki, yang bernama Ujang itu berkata dengan heran, sambil menyapu halaman di depan kelas.
"Iya nih pak, Riana gak sabar buat sekolah." Riana tersenyum, seakan apa yang baru saja ia katakan adalah kenyataan. padahal sebenarnya itu kebohongan.
"Owalah, belajar yang rajin ya Nak Riana, biar bisa juara kelas." setelah mengatakan itu, Ujang pergi melanjutkan pekerjaannya, Riana hanya mengangguk dengan ringan.
Riana lalu pergi ke depan sekolah, ia melihat salah satu penjual yang sudah menjadi langganannya setiap hari, itu adalah pedagang kaki lima nasi kuning.
"Riana, seperti biasa? pesan nasi kuning?" tanya Bi Surti dengan sabar, gadis kecil didepannya sering memesan nasi kuning kepada dirinya setiap pagi, sejak saat itu mereka mulai mengenal dengan baik satu sama lain.
"Iya nih Bi, porsinya seperti biasa ya Bi."
"Baik, tunggu sebentar ya Riana, duduk dulu."
Beberapa saat Riana menunggu dengan sabar, setelah itu nasi kuningnya sudah siap, ia membayar dengan uang saku yang baru saja diberikan abangnya.
Riana tidak terbiasa makan di luar ruangan, jadi Riana selalu memakan nasi kuningnya di kelas, rasa sunyi di ruang kelas tidak membuatnya dirinya takut, karena dia sudah terbiasa dengan itu.
...----------------...
Di sekolah SD Negeri 1 Pancaka dimana Riana bersekolah disitu, suasana ramai memenuhi halaman sebab hari ini hari senin, seperti biasa yang di lakukan oleh Negara Indonesia pada hari senin, yaitu upacara bendera merah putih.
Riana dibarisan depan, matahari yang begitu menyengat mengenai dirinya, beruntung dia sudah sarapan pagi, kalau tidak mungkin ia akan pingsan, seperti siswi lainnya yang sudah jatuh lemas.
Air keringat mengenai pelipis Riana, suhu tubuhnya mulai terasa panas, ia merasa gerah, dan mulai merasa lemah, nyatanya tubuh dia tidak sekuat itu untuk menahan panas matahari, bisa dikategorikan tubuhnya lemah.
Tapi melihat upacara sudah mulai selesai, ia menahannya dan berhasil, Riana melangkahkan kakinya dengan lemah untuk menuju ke kelas, terlihat wajahnya sangat pucat.
"Capek banget." keluhnya dalam hati, ia duduk dengan lemas dan mulai minum air yang baru saja ia beli.
Riana duduk sendirian tidak ada yang mau berteman dengannya, ditambah kepribadian Riana itu tertutup, cukup untuk dijauhi oleh teman sekelasnya.
"Baiklah anak-anak kelas akan dimulai, kemarin ibu memberikan PR matematika silahkan untuk dikumpulkan ke depan."
Setelah mengumpulkan PR, guru itu dengan sabar mulai membahas materi yang akan dibahas, Riana yang duduk di barisan paling belakang pojok, hanya bisa menguap mengantuk, ia tidak tidur cukup kemarin malam membuatnya begitu mengantuk.
"Riana Amelia Lestari!" Suara teriakan membuat Riana cukup terkejut, dia melihat ibu gurunya menatap dirinya marah.
"Maaf Bu saya ketiduran." Riana mengetahui bahwa ia salah, jadi dia mengakuinya.
"Tidak ada kata maaf, cepat kamu mengerjakan soal matematika yang baru saja ibu buat!"
Riana dengan langkah gontai menuju ke depan, ia dapat melihat pasang menatapnya datar, mengejek dan meremehkan.
Riana melihat ada 5 soal terpampang dengan bangga di papan tulis, melihat soal yang hampir sama dengan ada di PR, Riana mengerjakan dengan mudah, ia sudah mengerti metode cara menyelesaikannya.
Selesai menjawab, ia melihat gurunya mengangguk dengan puas, dengan senyum bangga di wajahnya.
"Bagus, kamu menyelesaikan begitu mudah, berarti kamu sudah mengerti metode penyelesaiannya, tapi lain kali jangan tidur di kelas lagi." peringat guru itu dengan lembut.
Riana mengangguk ringan, ia lalu berbalik ke bangkunya, dia dapat mendengar bisikan tentang dirinya, Riana yang tidak mau pusing hanya menatap wajah guru yang mulai menjelaskan soal yang baru saja ia selesaikan dengan mudah.
Waktu pulang sekolah sudah tiba, tapi Riana masih di kelas dengan banyak buku teks matematika di mejanya, ia baru saja diberi PR dan Riana sudah biasa mengerjakan PR di sekolah.
Melihat beberapa metode penyelesaiannya salah, Riana hendak menghapusnya lagi, tapi sebuah tangan besar mengulurkan untuk melihat jawabannya.
"Wah, ini udah bener kok Dek jawabannya."
Riana mengerjapkan matanya sejenak, kapan abangnya datang ke sekolah? apakah karena dia terlalu serius sehingga tidak mendengar suara motornya?
Riana melihat Mark masih memakai seragam sekolah abu-abu, dengan tas yang masih menenteng di bahunya, seragamnya terlihat berantakan membuat kesan seorang anak laki-laki yang nakal, tapi itu tidak mengurangi ketampanan abangnya malah semakin menjadi.
"Ish, Abang kapan datang? bikin kaget aja." tanya Riana kesal.
"Udah dari tadi, tapi kamu serius banget ngerjain tugasnya, Abang kan gak mau ganggu."
"Hmm, siniin bukunya, aku belum ngerjain semua pr-nya!"
Mark menghindar dari jangkauan Riana, ia masih ingin melihat bagaimana Riana memecahkan masalah matematika ini.
"Sebentar, Abang lihat dulu siapa tau jawabannya ada yang salah."
Beberapa menit kemudian, terdengar suara mengajari sesuatu kepada seorang anak, Riana yang mudah mengerti segera menangkap maksud penjelasan abangnya. segera tugas rumah akhirnya selesai, dia tidak perlu lagi mengerjakan di rumah.
"Yaudah ayo kita pulang, kamu mau nginep disini ya Riana?" tanya Abang jahil, membuat Riana mendengus kesal.
"Riana juga mau pulang, ikhh tungguin!" Riana dengan cepat-cepat menyusul abangnya yang keluar kelas duluan, padahal ia tahu abangnya tidak akan pernah meninggalkannya.
"Udahlah sana, Riana nginap aja."
"Abang jangan bikin Riana nangis ya!"
"Hahaha, nanti kalau nangis abang kasih cokelat deh."
"Gak mau! cokelat gak enak, Riana maunya roti."
"Yaudah ayo kita beli roti."
Setelah meletakkan adiknya duduk di depan, Mark dengan santai menjalankan motornya, mereka berjalan kearah toko roti kesukaan Riana.
"Kamu mau roti apa? seperti biasa kah? roti rasa keju, dan vanilla?"
"Huum, Riana mau itu."
Melihat selera adiknya tidak pernah berubah, Mark mengelus kepalanya dengan gemas, ini baru gadis kecilnya. terus bertingkah manja kepada dirinya, ia cukup bangga dengan itu.
Selesai memesan roti kesukaan Riana, gadis kecil itu menatap terus-menerus terhadap roti ditangannya, dia benar-benar sangat suka roti rasa ini!
Mark yang melihat itu tidak bisa menahan tawanya, dia dengan gemas menciumi pipi Riana, membuat gadis kecil itu kesal.
"Ikhh, ayo cepetan pulang, Riana gak sabar buat makan roti, Yeay!"
Melihatnya begitu bahagia, dengan bijaksana Mark tidak menggodanya lagi, Kalau tidak mungkin gadis itu akan marah kepada dirinya.
"Abang gak dikasih rotinya dek?"
"Enggak, ini semua punya Riana, siapa suruh abang gak beli roti juga."
"Tapi itu pake duit Abang dek."
"Tapi udah ditangan Riana, abang gak boleh ambil lagi."
"Kamu jahat dek, abang ngambek nih."
"Aku memang jahat! sejahat singa, rawwrr!"
Riana mengikuti gerakan singa ketika ingin menerkam, tapi itu malah terlihat sangat menggemaskan di mata Mark! Ah, gadis kecilnya memang sangat menggemaskan.
Sesampainya di rumah, Mark tidak membiarkan Riana untuk masuk sendirian, ntah apa yang sudah menunggu di dalam rumah itu. ia selalu seperti ini untuk gadis kecilnya.
"Let's go, kali ini Riana sehabis makan roti, langsung mandi terus ke kamar Abang ya, kita akan jalan-jalan sore."
"Jalan-jalan sore? wah, pasti seru! Riana bakal pake baju yang bagus!"
"Harus dong."
Melihat interaksi mereka yang sangat harmonis dan menyenangkan, mata dingin itu berkilat tidak suka kepada seorang gadis kecil yang dipegang oleh abangnya itu.
"Riana, kamu sudah mengambil apa yang tidak bisa kamu ambil, lihat saja penderitaanmu akan segera datang." batinnya penuh dendam.
Elfi segera pergi untuk tidak melihat adegan itu lagi, itu membuatnya semakin membenci Riana dan ingin menyingkirkannya dari rumah ini.
Riana sekarang sudah bersiap-siap, dia berada di kamar abangnya, kamar abangnya tidak berantakan seperti anak laki-laki biasanya, itu terlihat rapi, bersih dan wangi.
"Abang cepetan! lama banget siap-siapnya dah kek kakak perempuan!"
Riana dengan sengaja mengejek abangnya yang baru saja bersiap-siap, padahal dia yang mengajaknya tapi kenapa yang diajak harus menunggunya! itu cukup membuat Riana kesal, sedangkan abangnya hanya tertawa ringan mendengar teriakkan adiknya.
...----------------...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!