"Dira, kamu mau kemana?" tanya Mega pada Dira yang terlihat seperti akan keluar.
"Cari cemilan" sahut Dira santai menatap temannya.
"Sekalian beli isi kulkas ya. Dah kosong soalnya." Ucapan Mega hanya di tanggapi dengan acungan jempol oleh Dira.
Nadira Anjani seorang gadis berusia 22 tahun itu keluar dari ruko dua lantai yang selama ini di tempatinya sejak kelas dua SMA. Gadis itu terusir dari rumahnya sendiri karena ulah ibu tirinya dan suaminya.
Saat ayah Dira meninggal kala itu, gadis yatim piatu itu langsung di usir keluar dari rumah orang tuanya dan tidak membawa apapun selain pakaiannya. Bahkan ponsel dan segala peninggalan orang tuanya pun di rebut.
Dira yang kala itu sangat polos dan masih berduka atas kepergian ayahnya hanya pasrah dan meninggalkan rumah penuh kenangan kedua orang tuanya.
Di saat terpuruk dan bingung entah mau kemana ia pergi. Di saat itulah ia bertemu dengan Mega Artika yang usianya satu tahun di atasnya dan saat itu Mega sedang kabur dari rumah orang tuanya karena suatu alasan.
Dari sanalah Mega mengajak Dira untuk ikut dengannya pergi. Berawal dari tinggal di kosan mereka mulai bekerja keras untuk bertahan hidup.
Mega yang anak orang kaya memiliki banyak uang yang di bawanya kabur kala itu. Dengan kelihaian Dira dalam hal memasak jadi Mega memutuskan untuk menyewa sebuah toko kecil.
Mereka membuka warung makan dengan keadaan seadanya. Dira dan Mega mulai membuka warung makan mereka dari jam 4 sore sampai jam sembilan malam.
Dengan kegigihan keduanya merintis usaha sembari meneruskan sekolah. Kini mereka sudah mampu membeli ruko sendiri dan warung yang sudah berkembang lebih baik.
"Hah ... wisuda bulan depan bakalan gimana ya?" gumam Dira sembari berjalan terus menuju minimarket yang berada di daerah lingkungan tempat tinggal mereka.
"Apa nanti aku ajak Mega untuk sewa ruko sebelah ya supaya warung semakin luas?" lanjutnya.
"Ah ... sudahlah." Dira masuk ke dalam minimarket dan mulai berbelanja.
Di lain tempat di sebuah rumah yang mewah berlantai tiga. Seorang pemuda sedang menundukkan kepalanya di hadapan seorang wanita tua yang tak lain neneknya.
"Pokoknya dalam waktu satu minggu ini kamu harus udah bawa calon istri kamu ke rumah ini. Nenek bakalan seleksi dia, kalo cocok segera nikah." tegas Nenek Ira pada cucu laki-laki satu-satunya itu.
"Tapi Nek, cari calon istri itu gak semudah balikkan telapak tangan. Apa lagi Gara gak deket sama perempuan manapun kecuali Intan," sahut Gara.
Bingung akan permintaan sang nenek yang sudah berulang kali di utara dalam sebulan ini dan kali ini sepertinya ia harus segera memberikan jawaban pasti.
"Atau Gara nikah sama In..."
"Jangan harap!" sentak Nenek Ira.
"Nenek gak akan setuju tujuh turunan, tujuh tanjakan, tujuh belokan dan tujuh dunia akhirat."
Ini sudah yang kesekian kalinya pula ia mengusulkan pada neneknya agar ia menikah dengan Intan saja. Tapi sang nenek tetap kekeh pada pendiriannya yang tidak mau jika sang cucu menikahi kekasihnya itu.
Gara sebenarnya sudah memiliki kekasih yang baru enam bulan ini mereka bersama. Tapi entah kenapa setiap kali sang nenek memintanya menikah dan ia mengusulkan Intan kekasihnya selalu di tolak.
Padahal antara nenek dan Intan belum pernah bertemu sebelumnya.
"Ngerih banget sih nek sampe tanjakan sama belokan di bawa-bawa. Bahkan dunia akhirat pun di absen juga." Gara putus asa karena sepertinya sang nenek tidak akan merubah pendiriannya.
"Suka-suka nenek lah. Pokoknya keputusan sudah bulat kamu gak boleh nikah sama perempuan itu," kata nenek Ira.
Gara menghembuskan napasnya panjang dan pasrah. Ingin menolak ia tidak berani karena sang nenek yang sudah menjaganya sejak kecil selama orang tuanya di luar negeri dan hanya setahun sekali saja mereka bisa bertemu.
Gara tidak pernah kekurangan kasih sayang dari neneknya. Bahkan berkat didikan sang nenek ia bisa menjadi orang yang sangat berpengaruh dan sukses di dunia bisnis.
Semua perusahaan yang di kelolanya merupakan milik sang nenek yang nantinya akan di wariskan padanya kalau ia sudah memberikan cicit. Tapi kini masalah besar sedang melanda dan ia bingung entah harus bagaimana lagi.
"Aha Nenek punya ide canggih," seru wanita tua itu girang kala sebuah ide terlintas di benaknya.
"Ide apa nek?" tanya Gara penasaran.
Selama ini segala keputusan sang nenek yang di berikan padanya tidak pernah salah dan selalu cocok dengannya. Itu pula yang menjadi pertimbangan Gara kala sang nenek tidak merestui ia bersama Intan.
"Nenek bakalan carikan calon istri untuk kamu. Nenek bakalan turun langsung ke lapangan untuk mulai seleksi calon istri kamu." Semangat Nenek Ira.
"Memangnya nenek mau ke lapangan mana?" tanya Gara.
"Di lapangan gak ada perempuan Nek kecuali kalo ada acara besar yang memang di gelar di lapangan atau ada pertandingan *** ... aduh!".
Gara memegang bantal sofa yang tadi mendarat di wajahnya karena lemparan dari sang Nenek.
"Ya gak di lapangan juga nyarinya Gara. Ya ampun untung cucu laki-laki satu-satunya," gerutu nenek Ira geram menatap sang cucu yang nampak meringis.
"Dalam satu minggu ini kamu cuti, ikut nenek cari calon istri. Nenek punya cara jitu pokoknya," yakin nenek Ira lalu berdiri dari duduknya.
Sedangkan Gara yang masih penasaran dengan cara jitu sang nenek kembali bertanya.
"Cara jitunya apa nek?".
"Isam," panggil nenek Ira tanpa perduli dengan pertanyaan sang cucu.
"Saya nyonya." Seorang wanita paruh baya datang.
"Carikan kursi roda secepatnya," ucap nenek Ira yang membuat Gara dan Isam bingung.
"Untuk apa kursi roda nek? nenek sakit?" panik Gara mendekati neneknya dan memegang kedua bahu wanita tua itu.
"Buat kamu." Enteng nenek Ira yang semakin membuat Gara tidak mengerti.
"Cepat Isam. Besok pagi harus udah ada kursi rodanya." Isam segera bergerak pergi mencari apa yang di minta sang nyonya.
"Gara gak butuh nek," kata Gara menolak.
"Kamu butuh, udah sana nenek mau tidur dulu besok pagi kita mulai beraksi."
Nenek Ira segera pergi meninggalkan cucunya yang masih heran dengan apa yang akan di lakukan neneknya.
"Wah wah wah ada gosib apa malam ini?" seru seorang pria yang merupakan saudara Gara dari adik neneknya.
"Nenek masih maksa mas buat nikah?" tanya Gilang sembari duduk di sofa yang di ikuti oleh Gara.
"Bahkan kayaknya besok bakalan ada sesuatu yang aneh terjadi," sahut Gara.
"Jangan bilang nenek ngeluarin ide briliannya untuk carikan mas istri." Tebak Gilang di angguki Gara.
"Selamat berjuang kalo gitu." Gilang menepuk pundak Gara kemudian berlalu pergi ke kamarnya.
Gilang memang ikut dengan nenek Ira sejak SMA karena ia yang tidak punya teman di rumah orang tuanya. Saudaranya yang lain perempuan dan hanya Gara saudara laki-lakinya karena memang di keluarga mereka anak laki-laki terhitung sedikit.
Jadilah Gilang tinggal bersama nenek Ira hingga kini. Meski masih sering pulang ke rumah orang tuanya juga.
"Nenek Nenek, idenya terkadang buat orang spot jantung," gumam Gara.
Sedangkan di sebuah ruko yang di huni oleh tiga orang gadis sedang duduk bersama sembari ngemil dan menonton televisi acara kesukaan mereka.
"Desi ambil minum lagi." Pinta Dira pada Desi. Gadis yang merupakan pekerja di warung mereka sejak tiga tahun lalu.
"Iya kak," sahut Desi.
Ketiga gadis itu menikmati malam mereka dengan santai karena sangat jarang mereka bisa mendapatkan saat seperti ini.
Pagi ini Dira dan Desi sedang di perjalanan menuju pasar menggunakan motor. Sedangkan Mega mempersiapkan segala kebutuhan lainnya di ruko bersama seorang anggota lainnya yang bekerja paruh waktu karena masih kuliah.
Dira mengendarai motor di pagi hari yang masih sunyi karena memang belum jamnya beraktifitas pada umumnya karena maish menunjukkan pukul 6 pagi.
Sesampainya di pasar kedua gadis itu mulai berbelanja semua kebutuhan di warung.
"Selamat pagi nona manis." Suara godaan seorang pemuda yang selalu mengganggu Dira jika berada di pasar.
"Mas Anton pagi-pagi udah ngangguin orang lain aja," sergah ibu penjual ayam langganan Dira.
"Ini namanya bukan godain bu, tapi lagi usaha," sangkal Anton si preman pasar.
"Usaha apa? Memaksa yang ada," cibir ibu penjual ayam itu.
"Ini Nak ayamnya, mau di titip dulu?" Lanjutnya setelah selesai membungkus ayam pesanan Dira.
"Iya bu, nanti pulang di ambil." Dira menyodorkan beberapa lembar uang pada ibu pedagang.
"Ya udah, biar ibu simpan dulu nanti mampir aja," kata ibu pedagang dan meminta suaminya untuk menyimpankan ayam milik Dira di bagian bawah meja lapak mereka yang ada boks kosongnya.
"Kalo gitu kami permisi dulu ya bu," pamit Dira di angguki ibu pegangan.
Dira dan Desi berjalan menuju pedagang lainnya di ikuti oleh Anton si preman pasar yang tidak pernah di tanggapi oleh Dira keberadaannya.
"Cuek banget sih neng. godain abang dong," ucap Anton seraya mensejajarkan langkahnya pada Dira.
"Aku bukan penggoda," sahut Dira yang membuat Anton tersenyum karena mendengar suara Dira yang baginya sangat menyejukkan hatinya.
"Nah gitu dong, kalo abang tampan lagi ngomong ya di tanggapin. Biar kita bisa semakin dekat dan lengket bak kertas dengan perangko yang harus menempel."
"Kita juga bisa menjalin sebuah hubungan yang sangat indah dan cerah. Seindah pagi ini dan secerah mentari di siang hari, seharum bunga bermekaran yang ..."
"Gila ya kamu An? kalo mulai gila jangan di sini."
Seorang pedagang menyela kalimat Anton tanpa rasa takut. Padahal Anton berwajah garang dan bertubuh kekar dengan beberapa tato di lengannya.
"Eh Pak, kalo ngomong jangan sembarangan ya. Nanti di marahi sama calon istri saya nih." Tunjuk Anton pada sebelahnya.
"Siapa calon istri kamu? angin? atau bayangan?" tanya bapak itu karena tidak melihat siapapun di samping Anton.
Dengan cepat Anton melihat sebelahnya yang memang tidak ada siapa-siapa selain orang-orang yang lewat.
"Loh, kemana nona manis tadi?" Herannya karena tidak mendapati Dira di sebelahnya.
Anton bergegas mencari Dira dengan melangkah kembali ke arah yang di laluinya tapi tidak menemukan yang di carinya.
Sedangkan Dira dan Desi sedang memilih sayuran yang di butuhkan di salah satu pedagang sayur.
Dira menarik Desi mengambil jalur lain dan berjalan menjauh dari Anton karena merasa sangat risih dengan Anton yang selalu mengganggunya.
"Itu orang makan apa ya kak? Setiap pagi suka banget muncul tiba-tiba. Udah gitu ngomong yang aneh-aneh sambil jalan gak lihat arah," kata Desi sembari memilah cabe.
"Biarin aja, mungkin dia salah minum obat," sahut Dira.
"Gak punya kerjaan banget tuh orang," ucap Desi.
Kedua gadis itu terus berkeliling pasar untuk membeli semua kebutuhan. Bahkan saat kembali bertemu dengan Anton pun mereka tidak memperdulikan dan terus berbelanja.
Selesai berbelanja mereka berjalan keluar dari pasar dengan seorang pria tukang becak yang biasa membantu mereka mengantarkan pulang belanjaan. Anton yang selalu ingin meraih belanjaan Dira untuk dia bawa selalu di tolak.
Dira tidak ingin pria terlibat dengan pria menyeramkan itu walau hanya sekedar mengangkatkan belanjaan.
Desi naik di becak bersama belanjaan mereka sedangkan Dira naik motor sendirian mengikuti di belakang becak yang sedang melaju menuju ruko.
Di lain tempat, nenek Ira sedang mengomel pada Gara yang menurutnya sangat menjengkelkan pagi itu.
"Kan udah Nenek bilang, kamu harus cuti. Cuti! cuti! cuti!" Geram nenek Ira.
"Tapi nanti bakalan ada rapat penting Nek, ada in..."
"Stop, Stop, Stop, Nenek gak mau tahu masalah itu. Kamu harus ikut Nenek pagi ini dan selama seminggu ini kamu harus cuti," tegas nenek Ira menyela ucapan Gara.
"Nenek ku sayang, rapat kali ini tuh penting. Demi masa depan perusahaan kita," rayu Gara pada neneknya.
"Gara cucuku tercinta, misi Nenek kali ini lebih penting untuk masa depan kamu, penerus keluarga kita," rayu nenek Ira balik tapi kedua bola matanya melotot garang.
"Ikut aja kali Mas, tega banget sih sama Nenek," ucap Gilang bersuara setelah sejak tadi melihat drama pagi antara nenek dan saudaranya.
"Kamu aja sana yang ikut Nenek, duduk di kursi roda udah kaya orang lumpuh aja," gerutu Gara.
"Tapi kan Nenek ngajak Mas Gara, lagian Gilang udah punya pacar dan Nenek suka sama pacar Gilang, gak kayak seseorang," ejek Gilang sembari menaik turunkan kedua alisnya pada Gara.
"Ck, adek kurang ajar," ucap Gara.
"Makanya kamu cari pacar itu yang bener, kenalin sama Nenek baik-baik," kata nenek Ira melihat Gara.
"Gara juga mau ngenalin Nenek sama Intan, tapi kan Intan nya belum sempat Nek. Masih banyak pekerjaan yang harus di selesaikannya." Gara berusaha membela sang pacar.
"Memangnya sudah berapa lama kamu sama dia?" Tanya nenek Ira.
"Enam bulan," sahut Gara.
"Dan selama itu dia gak pernah punya waktu untuk ketemu sama Nenek? Memangnya dia kerja apa sampe begitu sibuk hah? Sedangkan kamu yang pimpinan perusahaan besar aja masih punya waktu luang untuk santai."
Nenek Ira heran dengan alasan sang cucu akan ketidak bisaan pacar cucunya untuk bertemu dengannya.
"Dia artis Nek, model sekaligus pemain film di perusahaan kita," kata Gara dengan suara pelan merasa was-was pada sang nenek takut kena marah.
"Sejak kapan dia masuk perusahaan?" Tanya nenek Ira dengan wajah yang sudah berubah datar.
"Sejak dua minggu sebelum kenal Gara."
"Jangan bilang begitu tahu siapa kamu dia langsung minta di kasih pekerjaan. Iklan, majalah fasion atau minta di kasih satu drama dengan dalih belajar dan coba-coba."
Bahasa nenek yang sudah formal membuat Gara tidak berani mengangkat kepalanya karena apa yang di katakan neneknya kenyataan.
"Kalo itu, Gara gak tahu Nek," lirih Gara sangat pelan hingga neneknya tidak dengar.
"Apa?" Tanya nenek karena tidak bisa mendengar apa yang di katakan cucunya.
"Ikata Mas Gara gak tahu Nek." Gilang dengan santainya memberitahu neneknya. Bahkan pandangan tak bersahabat dari Gara pun ia abaikan.
Bukan apa-apa tapi Gilang memang tahu siapa pacar mas nya dan tidak setuju juga dengan si artis itu.
"Kamu bener-bener mau buat Nenek ketawa ya Ga?"
Gara mengangkat wajahnya menatap sang nenek. Begitupun juga dengan Gilang.
"Kok ketawa nek?" Tanya keduanya.
"Ketawa karena kebodohan kamu itu," geram nenek Ira menunjuk Gara yang beringsut di kursinya.
Nenek Ira bangkit dari kursinya dan menghembuskan napas panjang.
"Kalo kamu gak mau ikut hari ini gak masalah. Tapi jangan harap kamu bisa nolak siapapun calon yang Nenek pilih, paham!" Kembali nenek Ira melotot pada Gara yang hanya bisa mengangguk pasrah.
Nenek Ira melangkah pergi meninggalkan meja makan dan terpaksa ia harus menjalakan rencananya sendiri.
"Memang aku bisa nolak kalo Nyai Ratu udah bertitah," gumam Gara.
"Yang sabar Mas." Gilang terkekeh dan di balas pelototan dari Gara. Namun tidak di tanggapi oleh Gilang karena tahu itu bukan masalah serius.
Pukul 11 siang yang cukup panas di ibu kota. Dira dan yang lainnya sudah sangat sibuk melayani pembeli. Sekarang warung milik mereka sudah buka dari pukul 10 pagi karena mereka sudah selesai sekolah.
Tapi tidak ada yang berniat untuk mencari pekerjaan lain. Bahkan Mega yang sudah setahun lulus kuliah lebih memilih menyibukkan diri di warung sederhana mereka.
Menurut Mega mengurus warung mereka lebih baik dan ia merasa lebih santai dan tidak di atur oleh orang lain karena usaha mereka sendiri. Mau buka atau tutup jam berapa saja itu keputusan mereka.
Tapi Mega dan Dira selalu sportif dan membuka warung mereka dengan baik. Hanya sekali dalam dua bulan mereka akan menutup warung untuk beristirahat dan meliburkan diri dari pekerjaan.
Saat ini warung belum terlalu ramai karena belum jam makan siang. Tapi sudah cukup membuat pemilik dan pekerjanya sibuk. Dengan banyaknya hal yang harus mereka kerjakan.
Untung saja semua lauk dan nasi sudah siap di olah dan pembeli tinggal memilih mau makan dengan lauk apa.
Semakin siang maka semakin ramai pelanggan. Dira yang memang bertugas menyiapkan lauk di dapur akan mulai memasak beberapa lauk lagi yang sudah hampir habis bersama seorang anggota mereka.
Sedangkan Mega di depan bersama Desi melayani pembeli.
"Sini, sini, biar aku aja yang kerjain ini." Mega tiba-tiba datang dan merebut sayuran yang baru selesai di cuci Dira.
"Kamu kenapa? Tumben banget ke dapur, biasanya lebih suka di depan." Heran Dira dengan tingkah Mega.
Meski Mega sudah bisa masak dan sudah tahu apa resep dari masakan Dira. Baru kali ini gadis itu meminta kerjaan Dira dan menyuruh Dira di depan.
"Di depan agak gerah, kalo di dapur ada jendelanya jadi bisa sekalian ngadem nungguin masakan selesai," Kata Mega asal.
Dira menatap Mega tidak paham dengan alasan yang di berikan gadis itu. Sedangkan di depan ada kipas angin dan pintu masuk juga terbuka lebar.
Jadi letak gerahnya di mana sedangkan listrik hidup dan kipas berputar tidak henti jika ada pelanggan.
"Ya udah, aku yang di depan," ucap Dira mengalah.
"Iya buruan, layani pembeli kita dengan baik ya sayang," ujar Mega dengan wajah senang.
"Tahu."
"Mau yang goreng apa sambel?" Tawar Mega dengan jahilnya.
"Rendang," ketus Dira melangkah keluar dari dapur di iringi kekehan Mega.
"Ya kali tahu di rendang, kalo di gulai masih mungkin. Tapi ... coba buat ah, kali aja enak bisa di jadikan menu jualan."
Mega dan mulai melakukan apa yang dia ingin dan menyelesaikan pekerjaan Dira yang di ambilnya.
Sedangkan Dira yang sudah sampai di depan melihat Desi yang sudah selesai melayani pelanggan yang membayar makanan.
"Udah semua selesai di layani Des?" Tanya Dira setelah di dekat Desi.
"Udah kak, mana lauknya?" Heran Desi karena Dira tidak membawa apa-apa.
"Belum selesai, masih di tangani Mega," sahut Dira seraya duduk di kursi yang biasa mereka duduki kalau tidak ada pekerjaan lagi.
"Loh, kok tumben?" Kaget Desi yang hanya di jawab dengan kedua bahu Dira yang terangkat tanda ia mengerti juga.
Pandangan Dira menyisir depan ruko mereka yang lumayan di padati kendaraan pelanggan yang sedang makan di warung mereka. Hingga Dira melihat sesuatu yang membuat tubuhnya repleks bergerak.
"Mau kemana kak?" Tanya Desi kala melihat Dira berdiri.
"Sebentar," sahut Dira singkat berlalu keluar dari ruko dan mendekati sesuatu yang menjadi objek pandangannya tadi.
"Permisi Nek, lagi cari apa? Nenek siapa?" Tanya Dira yang sudah berada di samping seorang nenek yang duduk di kursi roda sendirian.
Nenek itu menoleh menatap Dira dengan wajahnya yang sudah nampak lelah.
"Nenek haus, bisa tolong kasih nenek air," ucap nenek Ira dengan wajah yang seperti menahan haus.
"Bisa Nek, ayo masuk ke dalam dulu."
Dira langsung mendorong kursi roda nenek Ira masuk ke dalam warung. Mendekati Desi yang nampak bengong dengan apa yang di lakukan Dira.
"Nenek mau duduk di sini atau di kursi roda aja?" Dira mencoba menawarkan kursinya tadi dengan lembut.
"Di kursi itu juga boleh," sahut nenek Ira dan mulai berdiri pelan.
Tanpa di sangka oleh nenek Ira kalau kedua gadis di depannya akan dengan cepat menolongnya untuk duduk di kursi. Sedangkan kursi rodanya di geser ke sudutan agar tidak menghalangi langkah mereka.
"Sebentar ya Nek, Dira ambilkan airnya dulu," ucap Dira sopan.
"Iya Nak, terimakasih sebelumnya," kata nenek Ira di angguki Dira diiringi senyuman manisnya.
Dira bergegas mengambilkan sebotol air mineral dari samping etalase juga sedotan.
"Ini Nek."
Dira membukakan tutup botol dan di beri sedotan langsung.
Nenek Ira yang memang sudah kehausan langsung minum hingga habis air satu botol kecil itu.
"Nenek udah makan?" Tanya Dira.
"Belum Nak, ini juga tadi Nenek lagi mau cari makan sama minum," sahut nenek Ira yang memang tadi sedang mencari makanan karena lapar.
Namun karena sedang duduk di kursi roda dan misinya mencari cucu menantu, nenek Ira bertahan di kursi roda.
Dan rencananya jika sampai jam satu ia tidak mendapatkan uluran tangan dari orang-orang di sekitarnya ia akan menghubungi supirnya agar datamg menjemputnya, yang pastinya nenek Ira akan mencari tempat sunyi dulu.
"Nenek mau makan apa? Di situ ada banyak lauknya, Nenek bilang aja mau yang mana." Tunjuk Dira pada etalase besar tempat lauk yang mereka jual berada.
"Yang mana aja Nenek mau Nak, udah laper banget," kata nenek Ira seraya memegang perutnya.
"Ya udah, sebentar ya Nek Dira ambilin dulu," ucap Dira langsung berdiri dan mendekati etalase.
Sedangkan nenek Ira menatap Dira dengan tatapan tak percaya kalau ternyata masih ada seorang gadis muda yang mau menolongnya. Bahkan pancaran wajahnya terlihat polos dan tulus.
Tidak ada kepura-puraan apa lagi sekedar mencari nama agar terlihat baik. Karena zaman sekarang orang-orang kebanyakan memberi bantuan atau pertolongan dengan memiliki tujuan lain.
Seperti agar orang lain melihat kebaikannya dari video yang sengaja direkam saat melakukan kebaikan.
Sebelum melakukan kebaikan setel kamera video lebih dulu maju menolong. Begitulah kenyataan yang terjadi setelah ponsel menjadi sangat canggih dan banyak di miliki orang.
Hingga anak bayipun tahu ponsel dan sulit melepaskan kalau sudah memegangnya.
Aku harus memantau gadis itu supaya tahu bagaimana sikapnya sebenarnya? Kalo cocok lamgsung ku nikahkan sama Gara, batin nenek Ira semangat setelah merasa menemukan target yang pas.
"Ini Nek makanannya."
Dira meletakkan piring berisi nasi di atas kursi kosong milik Desi. Ada pula piring lain yang berisi bermacam lauk yang ada di etalase, meski hanya sedikit tapi cukup memenuhi piring.
"Ya ampun kenapa harus semua lauknya di ambil Nak, ayam goreng aja cukup." Kaget nenek Ira dengan apa yang di lakukan Dira.
"Gak papa Nek, ini Nenek pilih sendiri mau yang mana lauknya. Takutnya Nenek punya alergi atau gak boleh makan sesuatu, jadi Dira ambil begini aja supaya Nenek bisa pilih sendiri," kata Dira yang cukup membuat nenek Ira tersentuh.
Sungguh pemikiran yang bijak dan mulia, menolong yang tidak asal memberikan tapi justru masih memikirkan kesehatan orang lain. Yang bahkan tidak mungkin akan terpikirkan oleh yang lainnya saat menolong orang lain yang kelaparan.
"Terimakasih Nak, kamu baik banget." Kagum nenek Ira menatap Dira.
"Biasa aja Nek, kita memang harus saling tolong menolong," sahut Dira.
Kalo gitu tolong kamu jadi cucu mantu Nenek, jerit hati nenek Ira seraya tangannya mulai memilih lauk yang akan di makannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!