Memiliki keluarga yang utuh adalah impian setiap orang. Aku berani bertaruh bahwa tak ada satu manusia pun di dunia ini yang akan memilih untuk terlahir di dalam keluarga berantakan. Itu berlaku untukku, meski aku sangat tidak menginginkannya namun nyatanya semesta memilihku untuk mendapatkan jatah sebagai anak korban perceraian. Yah takdir buruk itu menjadi bagian hidupku, oh bukankah kita tak boleh mengumpat takdir yang pemilik hidup pilihkan? baiklah aku mohon ampun atas ucapan ku yang memberikan label buruk pada jalan hidup yang memang sudah menjadi hak Tuhan untuk memberikan takdir apapun pada manusia yang ia kehendaki. Meski aku sempat mengatakan takdir ku buruk tapi aku bersedia menjalani nya dengan sebaik mungkin, menelan semua kesakitan itu dalam diam ku.
Tak sekalipun aku melayangkan protes pada Ayah yang tak berusaha mempertahankan ibu di sisinya dan merampas impian indah ku untuk terus hidup dan dibesarkan di tengah keluarga utuh. Ah memang tak adil jika aku menghakimi ayahku atas kepergian ibuku karena faktanya ayah tak lebih hanya korban seperti ku, korban ketidak setiaan belahan jiwanya yaitu seorang wanita yang aku sebut sebagai ibu.
Masih teringat dengan jelas di benakku betapa hancur hati ayah saat mendapati perselingkuhan ibu dengan teman kerjanya. Meski aku baru berusia 10 tahun ketika itu namun aku sudah cukup mengerti bahwa tak seharusnya ibu dekat dengan laki-laki lain karena dia adalah milik ayahku.
"Zara, maaf. Ibu dan ayah harus berpisah. Mungkin ini akan membuat Zara kebingungan dan sangat bersedih. Tapi ayah yakin suatu saat akan mengerti mengapa ayah memilih jalan perpisahan ini. Maaf karena mengecewakan mu Zara" Bisik ayah dengan suara bergetar. Aku tau ayah tengah menahan tangis. Cinta pertama ku itu tengah merasakan pedihnya pengkhianatan ibu dan secara bersamaan ia juga tengah terluka karena merasa telah mengecewakanku.
"Jadi ayah akan pergi?" Cicit ku. Wajah ayah semakin kelam mendapatkan pertanyaan dari bibir mungilku, aku berusaha sekuat tenaga agar tak menangis. Aku tak mau menambah kadar kepahitan yang ayah rasakan dengan air mataku.
"Maaf karena ayah memilih untuk menyerah sayang" Akhirnya air mata yang sejak tadi menggenang di pelupuk mata laki-laki hebat ku itu luruh. Hatiku berdenyut sakit melihat kerapuhan ayah yang tak lagi bisa ia sembunyikan.
"Nggak apa-apa yah, Zara mengerti" Naluri menuntunku untuk berkata demikian meski aku sendiri ragu apa yang sebenar nya aku mengerti. Aku hanya mengikuti isi kepalaku bahwa ibu telah menyakiti hati ayah, jika aku ingin ayah bahagia maka aku harus membiarkan mereka berpisah.
"Zara, ayah akan menjemput Zara jika ayah sudah memiliki rumah. Untuk sementara Zara tinggal bersama ibu dulu ya?" aku tau ayah begitu berat meninggalkan ku. Karena selama ini ayah selalu ada untukku dalam setiap kondisi. Aku tak habis fikir kenapa ibu tega menyakiti pria sebaik ayah.
"Iya ayah, Zara akan selalu berdoa semoga ayah segera memiliki rumah agar ayah bisa segera menjemput Zara" Yah tentu saja, tak perlu bertanya dua kali untuk mendapatkan jawaban bahwa aku lebih memilih tinggal bersama ayah ketimbang ibu. Entahlah, aku tak merasa nyaman bersama ibu. Mungkin karena selama ini ayah yang mengurusku dan aku sudah terbiasa mengeluarkan kesah ku pada nya.
Ibu terlalu sibuk dengan pekerjaan nya, seringkali ia mengeluh lelah dan marah jika aku sedikit bertingkah untuk merebut perhatiannya. Padahal ayah juga tak kalah lelah, ayah tidak hanya harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami tapi ayah juga harus mengerjakan pekerjaan rumah.
Untuk beberapa waktu aku harus berjarak dengan malaikat penjaga ku. Setelah kepergian ayah, ibu semakin bebas membawa pria lain ke rumah. Rasanya begitu marah saat melihat teman laki-laki ibu memasuki kamar ayah. Tapi apa yang bisa seorang anak perempuan berusia 10 tahun lakukan untuk menolak itu semua? Aku terlalu takut pada ibu hingga aku harus memendam kekecewaanku seorang diri.
Aku sangat berkecil hati pada sikap ibu, namun satu-satunya yang bisa aku lakukan hanya berdoa semoga ayah segera datang membawaku pergi. Tak jarang aku menciumi pakaian ayah ketika rasa rinduku padanya mendera dengan sangat menyakitkan.
Aku dan ayah hanya bisa berhubungan lewat telefon, namun aku sama sekali tak menceritakan ketidak nyamananku tanpa keberadaannya. Aku tak ingin mengganggu perjuangan ayah, agar aku bisa segera ikut bersamanya.
Satu tahun penuh kepedihan terlewati, aku menemukan kembali harapan hidupku saat ayah datang. Ayah ingin membawaku pergi dari kota di mana ibu berada.
"Ayah sedang dekat dengan seorang wanita yang begitu baik. Apa Zara keberatan andai ayah menikah dengan nya?"
"Aku tidak keberatan yah" Jawabku. Kenapa harus keberatan? Sementara ibu sudah memiliki pria lain bahkan ketika masih bersama ayah. Tak adil jika aku melarang ayah, lagipula aku butuh seorang ibu.
"Ayo Zara abang hampir terlambat" Suara berat itu menyadarkan ku dari lamunan. Gara-gara membaca pesan yang ibu kirimkan di ponselku aku jadi mengingat peristiwa 7 tahun yang lalu.
"Iya bang" Bergegas aku meraih tas ku dan memasukkan ponsel ke dalam nya tanpa berniat membalas pesan dari ibu.
Aku mengekori langkah bang Affan yang terlihat begitu tergesa. Bang Affan adalah kakak tiri ku. Usia kami terpaut 4 tahun. Ia sudah berada di semester akhir perkuliahan.
"Kalau bang Affan sudah terlambat, Zara naik taxi aja bang" Ucapku tak enak hati.
"Ngapain naik taxi, abang tetap akan melewati sekolah kamu walaupun abang nggak nganter kamu dulu. Jadi mending abang antar sekalian" Yah karena memang sekolahku dan kampus bang Affan searah.
Meski tak ada darah yang sama mengalir di tubuh kami, tapi sejak dulu bang Affan begitu baik padaku. Katanya dia sudah lama ingin memiliki ayah dan seorang adik, karena itu dia sangat bahagia ketika bunda Rhea akan menikah lagi dengan ayahku apalagi mengetahui bahwa calon ayahnya juga sudah memiliki seorang anak perempuan.
"Iya bang" Aku mengangguk. Bang Affan dengan telaten memasangkan helm padaku. Perlakuan nya memang selalu manis, dan penuh perhatian. Ia selalu menunjukkan betapa ia menyayangiku, tentu saja sebagai seorang kakak kepada adiknya. Tapi sayang aku tak bisa memberikan rasa yang sama padanya.
Aku menyayangi bang Affan, tapi aku tidak bisa menganggapnya hanya sebagai kakak. Aku tau aku gila, tapi aku benar-benar tak bisa mencegah hatiku untuk memiliki perasaan terlarang ini. Aku ingin sekali seperti bang Affan yang menganggap ku hanya sebagai adiknya, tapi pria itu terlalu mempesona. Sangat sulit untuk tidak jatuh cinta padanya, bang Affan tidak hanya menarik secara fisik namun juga sifat baik dan pedulinya membuatku benar-benar tak berdaya.
🍁🍁🍁🍁
Haiii... 😂😂😂
Yuk mampir lagi yuk, kita ngehalu bareng lagi dalam kisah Affan dan Zara 🤭🤭
"Zara, nanti mungkin abang nggak bisa jemput. Kamu pulang sendiri nggak apa-apa ya?" Ucap Affan sambil melepaskan helm Zara setibanya mereka di sekolah gadis itu. Zara hanya menjawab dengan anggukan kepala. Hal itu sudah biasa bagi Affan juga bunda Rhea, Zara memang tidak terlalu banyak bicara. Apalagi diawal pernikahan bunda Rhea dan ayah Bobi mereka jarang sekali mendengar suara Zara. Namun baik bunda Rhea maupun Affan tak pernah menyerah, mereka selalu bercerita apapun pada Zara meski respon gadis itu hanya anggukan atau gelengan kepala. Jika pun menjawab hanya kata-kata singkat yang terucap.
"Beneran nggak apa-apa?" Tanya Affan lagi, sengaja agar Zara menjawab.
"Iya nggak apa-apa bang" Affan tersenyum karena berhasil membuat Zara mengeluarkan suaranya. Affan memang selalu mengantar jemput Zara sekolah kecuali jika bertabrakan dengan jadwal kuliahnya.
Memiliki anggota keluarga lain selain sang bunda adalah impian nya sejak dulu. Ayah kandungnya dan bunda Rhea telah bercerai sejak ia bayi, Affan tak terlalu paham mengenai penyebab perceraian kedua orang tuanya juga tak berniat bertanya pada sang bunda karena tak ingin membuat bundanya merasa tak nyaman. Ia hanya tau bahwa sang ayah telah memiliki keluarga baru dan seolah tak pernah peduli akan keberadaan nya. Karena itu ketika Zara hadir di hidupnya ia begitu bahagia dan selalu memastikan Zara nyaman bersama mereka.
"Doain abang ya, hari ini abang mau ngungkapin perasaan abang ke cewek yang uda 3 bulan ini abang incar. Nanti abang kenalin ke Zara, dia sangat baik dan juga cantik. Zara pasti suka" Ucap Affan bersemangat hingga tak menyadari perubahan wajah Zara.
"Iya bang, Zara masuk dulu sebentar lagi bel masuk" Ucap Zara yang langsung berjalan tanpa menunggu jawaban Affan.
"Hei Zara, nggak salim dulu sama abang?" protes Affan sambil mengejar dan meraih lengan Zara.
"Maaf Zara lupa" Zara meraih tangan Affan dan meletakkan di keningnya, setelah itu Zara kembali berbalik dan berjalan meninggalkan Affan yang hanya menatap sang adik sambil menggelengkan kepalanya. Meski begitu sikap Zara tersebut sama sekali tak masalah bagi Affan, karena Zara memang selalu seperti itu.
Dengan santai Affan naik ke atas motor nya lalu meninggalkan sekolah Zara menuju kampusnya.
Zara berjalan sambil menundukkan kepalanya, perasaannya berubah kacau. Selama ini Affan selalu menceritakan semua yang ia alami setiap harinya, namun pria itu tak pernah bercerita sedang dekat dengan perempuan manapun. Lalu hari ini tiba-tiba kakak tirinya itu mengatakan sedang mengincar sorang gadis. Zara tak menyangka hatinya akan merasakan sakit yang begitu menusuk, ia merasa tak rela namun juga tak berdaya secara bersamaan. Mendadak Zara kehilangan semangat nya, ia merasa begitu sedih.
"Hei Zara mau ke mana?" Suara teriakan serta tarikan tangan menghentikan langkah Zara. Gadis itu mengangkat kepalanya dan mendapati Chelsea satu-satunya teman yang ia miliki menatap heran padanya. Seketika Zara juga menyadari bahwa ia sudah berjalan melewati kelasnya.
"Makanya kalo jalan jangan sambil melamun Za" Ucap Chelsea sambil menekan kening Zara.
"Aku nggak ngelamun Chel, aku emang mau ke toilet dulu" Elak Zara.
"Toilet juga uda lewat kali Za" Ucap Chelsea karena toilet siswa berada sebelum kelas mereka. Zara memaksakan senyumnya, lalu tanpa bicara berbalik dan berjalan menuju kelas nya.
"Kamu kenapa Zara? kamu lagi sedih ya?" cecar Chelsea sambil berusaha mensejajari langkah Zara.
"Enggak kok" Tak ada siapapun yang Zara izinkan untuk tau tentang perasaan nya. Meski ia dan Chelsea sudah berteman sejak menengah pertama namun Zara tak pernah membagi kisah pribadinya dengan gadis itu apalagi tentang perasaan terlarang yang ia miliki untuk abang tirinya. Sebisa mungkin ia menyimpan perasaan itu rapat-rapat bahkan untuk menulis di buku harian saja Zara tak memiliki keberanian. Rasa yang ia miliki untuk Affan hanya akan ia simpan di hati yang paling dalam.
Namun Zara cukup bersyukur meski ia begitu tertutup Chelsea tak meninggalkannya, gadis itu tetap bertahan di sampingnya meski Chelsea kerap kali mengeluh akan sikap Zara tersebut.
Hari ini Zara benar-benar kehilangan semangat belajar, ia begitu sulit memfokuskan diri pada pelajaran yang diberikan oleh guru. Karenanya Zara merasa sangat lega ketika bel tanda pulang berbunyi.
"Zara kamu dijemput nggak?" tanya Chelsea ketika keduanya berjalan keluar dari kelas. Mendapat pertanyaan Chelsea hati Zara terasa kelu, ia teringat kembali pesan Affan tadi pagi.
"Nggak, aku pulang naik taxi" Ucap Zara lesu.
"Temenin aku cari kado dong buat sepupu aku" Ucap Chelsea.
"Duh Chel maaf banget, tapi aku lagi nggak enak badan" Tolak Zara.
"Nggak lama kok, aku janji" Chelsea mengangkat jari telunjuk dan hari tengahnya. Tatapan penuh harap sahabatnya membuat Zara tak tega, gadis itu terpaksa menyetujui.
"Iya, tapi janji nggak lama" ucap Zara, Chelsea mengangguk dengan semangat.
Chelsea memacu mobilnya menuju pusat perbelanjaan yang tak begitu jauh dari sekolah mereka. Seperti janjinya pada Zara, ia tak berlama-lama memilih kado yang akan ia berikan pada sepupunya, beruntung ia langsung menemukan barang yang cocok yaitu sebuah sling bag yang telah lama diidamkan oleh sang kakak sepupu.
"Karena kamu uda mau nemenin, aku traktir makan ya. Kamu lapar kan?" ucap Chelsea sambil menarik Zara menuju tempat makan tanpa menunggu persetujuan dari gadis itu.
Zara hanya bisa pasrah mengikuti langkah kaki Chelsea. Namun baru saja akan memasuki tempat makan yang dipilih sahabatnya, Zara dibuat terpaku ketika melihat sosok yang ia kenal duduk di sudut kafe tersebut. Affan kakak tirinya ada di sana, tidak sendiri melainkan bersama seorang gadis. Hati Zara berdenyut nyeri melihat Affan menggenggam tangan gadis di depannya, hal itu cukup membuktikan bahwa mereka memiliki hubungan spesial.
"Zara, kok berenti ayo masuk" Ucap Chelsea karena Zara tiba-tiba menghentikan langkahnya.
"Aku mau pulang Chel, perut aku sakit" Zara langsung membalikkan badannya. Ia merasa hatinya tak cukup kuat untuk berada di sana melihat kakak tiri yang ia cintai bersama gadis lain.
🍁🍁🍁
"Jumat lusa tanggal merah kan? jadi besok sore kita mau mengunjungi kakek dan nenek. lumayan bisa 3 hari di sana" Bunda Rhea membuka obrolan di sela makan malam mereka.
Affan menatap pada sang bunda.
"Bun, maaf ya kayaknya abang nggak bisa ikut" Ucapnya dengan raut wajah bersalah. Ini bukan pertama kalinya ia menolak untuk ikut mengunjungi kakek dan nenek yang merupakan orang tua dari ayah bobi yang tinggal di desa. Untuk sampai ke sana mereka harus menempuh perjalanan darat selama kurang lebih 5 jam.
"Kenapa sayang?" bunda Rhea tampak kecewa karena Affan selalu menolak untuk ikut. Selama 7 tahun pernikahan bunda Rhea dengan ayah Bobi, Affan hanya satu kali ikut berkunjung ke desa orang tua ayah Bobi. Setelah itu Affan selalu beralasan ketika kembali diajak untuk mengunjungi mertua dari sang bunda.
"Abang lagi mau mempersiapkan penelitian skripsi abang bun. Maaf ya?" jawab Affan dengan wajah menyesal. Ayah Bobi tampak tak menghiraukan obrolan mereka, ia tetap fokus menikmati makanan di piring nya.
"Zara juga nggak bisa ikut bun" ucap Zara yang membuat Affan segera menatap pada sang adik.
"Lho kenapa Zara jadi ikut-ikutan abang nggak mau pulang ke desa? Zara nggak kangen sama kakek nenek?" timpal bunda Rhea menatap serius pada Zara.
"Senin Zara ada ulangan bun, takut kecapean kalo ikut. Lagian baru bulan kemaren kan kakek dan nenek datang " Jawab Zara. Ia yakin ayah dan bundanya akan mengerti alasan yang ia utarakan karena memang sejak dulu kondisi tubuh Zara tergolong lemah, ia seringkali sakit jika terlalu lelah.
"Ya sudah kalau begitu, ayah dan bunda saja yang pergi" Ucap ayah Bobi setelah makanan di piringnya tandas.
"Zara yakin nggak mau ikut? nggak apa-apa ditinggal?" Tanya bunda Rhea memastikan
"Iya nggak apa-apa bun" Zara tersenyum berusaha meyakinkan.
"Kalo gitu abang harus jagain Zara ya?" Bunda Rhea menatap pada putranya
"Iya bun" Jawab Affan singkat.
"Kenapa abang nggak pernah mau ikut pulang ke desa?" untuk pertama kalinya Zara memberanikan diri bertanya pada Affan setelah kedua orang tua mereka meninggalkan meja makan. Zara sudah lama menyimpan rasa penasaran terkait alasan kakak tirinya itu.
"Bukan sengaja nggak mau, emang waktunya selalu aja nggak tepat makanya abang nggak bisa ikut" Jawab Affan yang sama sekali tak memuaskan hati Zara. Tapi gadis itu tak bertanya lebih lanjut, membiarkan Affan menyimpan alasannya sendiri. Zara tak ingin memaksa jika memang Affan keberatan untuk membagi tau.
🍁🍁🍁
Zara menghela nafas lelah ketika membuka pesan yang ibunya kirimkan. Selama 7 tahun ini Zara hidup dalam tekanan ibunya meski raga mereka jauh terpisah.
Ibunya berhasil mengontrol dan merampas kebebasan Zara lewat pesan-pesan yang ia kirimkan sejak hari pertama ia dipertemukan oleh sang ayah dengan bunda Rhea.
"Zara seneng ya mau punya ibu baru, nanti pasti lupa sama ibu kandung yang sudah melahirkan Zara. Ya nggak apa-apa lupain aja, anggap tak pernah memiliki ibu karena di mata Zara ibu adalah wanita yang jahat kan?"
Entah sudah berapa ribu pesan bernada serupa yang ibunya kirimkan sepanjang 7 tahun ini. Di satu waktu ibunya mengatakan jangan hubungi dia lagi, namun di saat Zara tak mengabarinya beberapa jam saja ibunya akan mengirimkan pesan lainnya yang akan menyudutkan gadis itu.
"Zara sudah benar-benar melupakan ibu ya? kenapa nggak pernah telfon ibu? kenapa nggak balas pesan ibu? Zara nggak kangen sama ibu, ingat Zara ibu ini adalah ibu yang bertaruh nyawa untuk melahirkan mu ke dunia ini"Ibunya benar-benar berubah menjadi sosok yang labil dan kekanakan.
Nyatanya pesan-pesan memuakkan itu tanpa sadar berhasil membuat Zara merasa harus tetap menjaga jarak dengan bunda Rhea meski sang bunda telah begitu baik dan selalu berusaha mengambil hatinya.
Pesan manipulatif yang ibunya kirimkan membentuk Zara menjadi sosok tertutup dan pendiam, sudut hatinya seolah menghakimi dan memvonis dirinya sebagai anak yang durhaka andai ia merasa bahagia dan menikmati hidup bersama keluarga barunya. Karena itu Zara terus menerus membentengi hatinya agar tak terpengaruh pada kebahagiaan serta kehangatan yang keluarga barunya ciptakan.
Zara tak mengerti kenapa ibu yang telah melahirkannya itu begitu tega menekannya agar tak memberikan ruang pada sosok lain yang coba masuk dalam kehidupan Zara. Padahal saat mereka bersama dulu, sang ibu selalu sibuk sendiri dan tak pernah menunjukkan kasih sayang padanya. Namun sekarang wanita itu bersikap seolah-olah menjadi ibu terdzolimi yang dicampakkan oleh putrinya.
Zara pernah memblokir nomor ibunya karena merasa tak kuat lagi dengan teror-teror yang ia kirimkan, namun sang ibu selalu saja mencari cara agar tak pernah putus komunikasi dengannya, Zara benar-benar dibuat tak bisa berkutik. Karena itu Zara hanya bisa pasrah pada keadaan ini.
"Zara, abang baru ingat kalau abang belum cerita sama kamu" Zara terhenyak saat tiba-tiba Affan sudah duduk di sampingnya yang tengah menikmati udara malam di teras rumah. Zara segera memasukkan ponsel yang sejak tadi hanya ia pandangi ke dalam saku piyama nya.
"Cerita apa?" tanya Zara saat Affan tak kunjung memulai pembicaraan lagi. Hal seperti ini sama sekali tak asing bagi Zara, karena Affan memang selalu mengajaknya bercengkrama saat ada kesempatan.
"Tentang gadis yang abang ceritakan ke kamu tadi siang" jawab Affan bersemangat, wajahnya terlihat berbinar, tentu saja hal itu sangat bertentangan dengan apa yang Zara rasakan. Sungguh Zara tak ingin mendengar cerita Affan yang ia yakini akan sangat menyakiti hatinya, namun Zara tak mampu untuk menyatakan penolakannya.
"Namanya Alya, dia adik tingkat abang di kampus. Anaknya pintar dan cantik, yang paling penting dia gadis yang baik. Abang yakin kamu akan cocok berteman sama Alya. abang juga sering cerita tentang kamu ke dia. Dan kabar baiknya abang diterima Zara, Alya bersedia jadi pacar abang" ucap Affan antusias. Zara memalingkan wajahnya, takut Affan akan menyadari luka yang begitu sulit ia sembunyikan karena setiap kata yang Affan ucapkan bagai torehan pisau tajam yang merobek hatinya dengan kejam.
"Besok abang kenalin Zara deh, mau ya abang kenalin?" Tanya Affan, pria itu terlalu fokus pada bunga-bunga cinta yang tengah bermekaran di hatinya hingga ia tak peka pada pancaran mata Zara yang penuh luka.
"Iya, Zara pamit ke kamar ada tugas yang harus Zara kerjakan" ucap Zara langsung beranjak dari duduk nya. Mati-matian ia menahan air mata yang sedikit lagi akan tumpah.
Zara sadar cepat atau lambat luka ini akan ia rasakan karena nekat menaruh hati pada kakak tirinya sendiri, terlebih pria itu begitu menyayanginya sebagai seorang adik. Namun Zara tak pernah menyangka rasanya akan sesakit ini.
Zara menghempaskan tubuhnya di ranjang, air mata yang ia tahan kini menyeruak dengan bebas mencumbu setiap bagian wajahnya.
"Kamu berharap apa dari perasaan mu itu? berharap bang Affan membalas perasaanmu? pernahkah kamu berfikir tentang perasaan ayah dan bunda jika tau kegilaan yang kamu lakukan ini Zara! Sejak awal kamu sudah tau konsekuensi dari perasaan mu ini!" Zara memaki dirinya agar segera tersadar dari kesalahan yang tengah ia lakukan.
🍁🍁🍁
"Zara beneran nggak mau ikut ke rumah nenek" Tanya bunda Rhea saat sedang mempersiapkan perlengkapan untuk mengunjungi mertuanya. Zara menggelengkan kepalanya. Di satu sisi ia ingin menghindar sejenak dari Affan namun di sisi lain ia juga tak bersemangat jika harus berjarak dengan pria itu.
"Kalau Zara butuh apa-apa jangan takut bilang sama abang ya?" Ucap bunda Rhea lagi.
"Iya bun" balas Zara.
"Sudah siap belum sayang?" Ayah Bobi yang baru selesai menyiapkan mobil mendekati istri dan putrinya.
"Sudah mas, tapi berangkatnya nunggu Affan pulang dulu ya. Dia uda di jalan katanya" Bunda Rhea memasukkan barang terakhir ke dalam tas.
"Kita berangkat sekarang aja, takut kemalaman" Ayah Bobi mengangkat barang yang akan mereka bawa. Zara dan Bunda Rhea mengikuti langkah pria itu menuju mobil yang sudah terparkir di depan rumah.
"Kasihan Zara sendirian kalo nggak nunggu Affan dulu"
"Nggak apa-apa bun" jawab Zara, ia berusaha meyakinkan bunda Rhea agar tak khawatir akan kondisi dirinya.
"Iya sayang, Zara bukan anak kecil lagi. Affan juga pasti akan segera sampai" timpal ayah Bobi uanh mau tidak mau membuat bunda Rhea setuju.
"Baiklah kalo gitu, bunda sama ayah pergi dulu ya sayang. Ingat kalau butuh apa-apa bilang aja sama abang" Bunda Rhea memeluk dan mencium Zara dengan tulus. Zara bisa merasakan betapa bunda Rhea menyayanginya. Terkadang ia merasa bersalah karena terus menjaga jarak dari wanita baik itu. Namun tiap kali ia ingin mencoba untuk meruntuhkan tembok yang ia bangun, pesan-pesan manipulatif ibunya berputar-putar memenuhi benaknya hingga membuat ia kembali menciptakan jarak.
"Ayah dan bunda hati-hati di jalan" Ucap Zara setelah bergantian memeluk kedua orang tuanya.
Mata Zara tak lepas menatap mobil kedua orang tuanya yang mulai bergerak meninggalkan pekarangan rumah. Ini kali pertama ia tinggal berdua saja dengan Affan, membayangkan hal itu wajah Zara terasa memanas dan jantungnya berdegup cepat.
🍁🍁🍁
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!