“Kurang ajar sekali pria itu, beraninya hanya pada wanita, tidak punya perasaan!”
Seorang wanita tampak begitu kesal, ketika melihat pertengkaran yang terjadi antara sepasang kekasih di salah satu supermarket terbesar di London.
Pasangan itu dengan tidak tahu malu terus beradu argumen di tempat ramai, yang membuat mata setiap pengunjung tertuju ke arah keduanya.
“Sial kau Anya! Aku tidak akan memaafkanmu lagi!” Pria yang sedang terlibat keributan berteriak dengan suara menggelegar kepada wanitanya.
Hal ini membuat Freya, salah satu wanita yang menyaksikan kejadian tersebut semakin geram, dan lantas menghampiri pasangan tersebut.
“Hey kau!” Freya menunjuk pria yang tengah emosi itu.
Jika dilihat dari penampilan, sudah pasti pria itu bukan orang sembarangan, karena tergambar jelas dari setelan mewah yang menempel di tubuhnya.
Freya menatap pria itu dengan tajam. “Kau adalah seorang pria, apa kau tidak bisa bicara sedikit lembut pada kekasihmu ini? Apakah telingamu tuli, dia sudah berulang kali meminta maaf dan mengakui kesalahan, tapi kenapa kau masih berteriak-teriak padanya!"
Pria itu sontak terkejut, dia merasa aneh dengan kedatangan Freya yang tiba-tiba, bahkan tanpa diundang.
Apakah gadis ini adalah jelmaan jailangkung? Mungkin pertanyaan inilah yang sekarang terlintas di benak pria tersebut.
“Kau tidak tahu apa masalahnya, dan masalahku dengannya tidak ada hubungan denganmu, jadi lebih baik tutup mulutmu itu!” seru pria tersebut sembari membalas tatapan Freya dengan tajam.
Freya menggelengkan kepada, dia sangat benci pada pria yang bisanya hanya mengintimidasi wanita.
‘Ohh, sepertinya pria ini tidak tahu siapa Freya, kalau begitu biar aku tunjukkan padanya betapa kerasnya pukulan seorang atlet peraih medali emas cabang bela diri provinsi!' celetuk Freya dalam hati.
Pada saat ini, rasanya Freya sudah tidak sabar untuk segera memukul wajah pria tersebut.
Hiiiaaakkk!
Freya mengepalkan tangannya dengan kuat, dan mengayunkannya ke wajah mulus pria itu.
Plaakk!
Tapi sebelum itu, sebuah tampan sudah terlebih dulu mendarat di pipi kanan Freya, asalnya dari wanita yang Freya pikir adalah kekasih pria tersebut.
“Aaawww, sakit!” ringis Freya sembari memegangi pipinya yang terasa perih.
Sontak saja hal ini membuat Freya begitu bingung. Dia di sini untuk membela wanita berpenampilan glamor tersebut. Namun, alih-alih ucapan terima kasih yang didapat, tapi justru sebuah tamparan.
“Kenapa kau malah memukulku, Nona? Bukankah aku ....” Perkataan Freya terpotong.
“Apa yang dikatakan kekasihku benar, sebaiknya kau diam saja!”
Sepasang kekasih itu lantas berjalan keluar, dan melanjutkan pertengkaran mereka. Sepertinya apa yang dilakukan oleh Freya tidak membuat suasana membaik, dan sampai saat ini masih terdengar keduanya terus berteriak satu sama lain.
Sesaat kemudian, salah seorang pengunjung berusia setengah baya mendekati Freya.
“Nak, keberanianmu tadi patut dipuji. Kau berusaha membantu wanita itu, tapi sepertinya dia tidak tahu cara berterimakasih.”
Freya hanya menggelengkan kepala, sambil mengusap pipi yang masih sakit akibat tamparan dari wanita barusan.
“Iya, Nyonya, padahal aku hanya ingin memberi pelajaran kepada pria yang suka berkata kasar kepada wanita.” Freya tersenyum hangat kepada seorang wanita yang memiliki kemiripan wajah dengan ibunya.
Tiba-tiba saja cairan bening mengenang di pelupuk mata Freya. Sudah lama sekali dia tidak bisa berpergian dengan sang ibunda, seperti berbelanja ataupun sekadar keluar mencari angin segar.
Kini wanita yang sangat dicintai Freya itu tengah kritis, dan harus menghabiskan hari-hari di ruang perawatan selama setahun belakangan.
Freya berusaha menahan airmatanya agar tidak menetes, lalu segera pamit kepada wanita setengah baya tersebut, “Nyonya, aku pamit lebih dulu ya."
Pada saat ini Freya harus segera kembali ke rumah sakit, sebab ia tidak ingin sang ibunda ditinggal terlalu lama.
Freya bergegas membawa keranjang belanjaan ke kasir.
‘Bu, tunggu Freya ya.’ ucapnya dalam hati sembari membayangkan wajah wanita yang sangat berharga di hidupnya.
Gleedaarr!
Baru saja Freya keluar dari supermarket, terdengar suara petir saling bersahut-sahutan, dan langit menjadi gelap dalam waktu bersamaan. Tak lama kemudian hujan pun turun dengan begitu derasnya.
Hal ini membuat Freya terpaksa menunggu sampai reda, sebab ia tidak membawa payung, tidak juga punya uang lebih untuk naik taksi.
Haaaahh!
Freya hanya bisa menghembuskan napas dengan kuat untuk mengusir rasa bosan. Dia terus berdiri di depan supermarket dengan tangan menjinjing kantong yang berisi buah-buahan segar.
Pada saat saat sama, intuisi Freya merasakan jika dirinya tengah diperhatikan oleh seseorang, lalu Freya pun menoleh ke arah samping.
Benar saja, di sana ada wajah dingin dan datar yang tengah memandanginya dengan tatapan kesal.
Freya segera memalingkan wajah, dia malas berurusan dengan sosok yang tak lain adalah pria kasar tadi.
‘Kenapa dia masih berada di sini?’ Freya bermonolog.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun atau menanyakan sesuatu, pria itu terus berdiri di samping Freya.
Sejurus kemudian, muncul seorang pria berjas hitam mendekati pria tersebut. Lalu berkata sembari menundukkan kepalanya, "Lapor, Tuan Daryan. Sesuai perintah, Nona Anya telah diantar ke kediamannya.”
“Baiklah, terima kasih atas bantuannya. Pastikan dia tidak menemui saya dalam waktu dekat ini, saya masih belum mau bertemu dengannya," ujar Daryan dan pria di hadapannya mengangguk.
‘Cih, tidak ingin bertemu, nanti tidak ketemu sehari langsung kangen,' cibir Freya dalam hati sambil melirik Daryan dengan ekor matanya.
“Baik, Tuan. Apa kita mau langsung pulang saja?" tanya Pria yang diyakini Freya adalah asisten pria tersebut.
Daryan menggelengkan kepala. “Tidak, saya masih ada urusan yang harus diselesaikan dengan wanita ini!”
Sontak saja manik mata Freya membesar. Dia yang sejak tadi berusaha untuk tidak menghiraukan Daryan, kini terpaksa menoleh ke arah pria itu.
Dapat dilihat oleh Freya jika wajah Daryan begitu dingin, tak ubahnya seperti kulkas yang memiliki seribu pintu.
Detik selanjutnya Daryan pun mengayunkan kaki tegapnya untuk mendekati Freya.
Freya tidak tahu harus berbuat apa, saat ini dalam pikirannya hanya satu, yaitu sebentar lagi dia akan terlibat baku hantam dengan Daryan. Mungkin harus satu lawan dua, mengingat di samping Daryan ada asistennya.
“Apa kau tidak memiliki pekerjaan?" tanya Daryan yang membuat dahi Freya berkerut.
“Apa maksudmu?” Freya menatap dengan mata menyipit.
“Hanya orang kurang kerjaan yang suka mencampuri urusan orang lain!" sindir Daryan.
Haahhh!
Freya mencoba mengatur napas hanya agar kepalan tangannya tidak langsung menghantam wajah Daryan.
“Coba kau pikir, apakah seorang pria pantas bersikap seperti tadi pada wanita? Sungguh, aku sekarang meragukan kejantananmu!" balas Freya tak kalah menyindir.
Mendengarnya, seketika membuat wajah Daryan menggelap penuh amarah.
“Camkan baik-baik, kau- ...” ucapan Daryan terpotong karena mendengar dering ponsel yang berbunyi dari dalam saku jasnya.
Driingg ... Dringg!
Daryan segera menjawab panggilan tersebut.
Selesai bicara dengan penelpon, Daryan kembali beralih pada Freya.
Daryan mengacungkan jari telunjuk tepat di depan wajah Freya. "Kau beruntung karena saya sedang sibuk. Saya harap kita tidak pernah bertemu lagi!”
Bersambung.
Freya tidak menyahut, tapi ekor matanya terus mengikuti sampai Daryan menghilang.
“Siapa juga yang ingin bertemu denganmu? Dasar pria aneh!” umpat Freya kesal.
Ketika hujan mulai reda, Freya pun segera meninggalkan supermarket.
“Ibu tunggu Freya, yaaa....” Tidak bosan-bosannya ia mengatakan hal itu sembari melangkahkan kakinya dengan penuh semangat.
Dikarenakan kondisi ekonomi yang berat, Freya tidak memiliki banyak waktu untuk menemani ibunya di rumah sakit. Pagi hari Freya mengajar sebagai guru honorer di salah satu playgrup terkenal yang bernama Winston, lalu setelah pulang ia masih harus bekerja serabutan demi mendapatkan uang lebih.
Freya biasa bekerja part time di toko kue, vendor catering, atau apa saja asalkan bisa menghasilkan uang untuk membiayai perawatan ibunya yang tidak sedikit.
Freya sadar dirinya hanyalah seorang guru playgrup, gajinya tidak mungkin cukup untuk kebutuhan hidup dan biaya rumah sakit, sebab itu Freya tidak pernah pilih-pilih pekerjaan.
Meski hidup yang dijalaninya berat, tapi Freya selalu berusaha mensyukuri apa yang sudah menjadi garis takdirnya. Gadis ini berprinsip harus melakukan segalanya dengan tulus, karena menyakini ketulusan akan membawa hal yang baik pula di kehidupannya.
Freya juga merupakan tulang punggung keluarga. Ayahnya sejak lama telah meninggalkan dirinya dan sang ibunda. Hal tersebut secara tidak langsung telah membuat Freya tumbuh menjadi sosok gadis yang mandiri dan juga pemberani.
Begitu tiba di gerbang rumah sakit, dari kejauhan Freya melihat beberapa pria memakai jas hitam dan jas putih berjalan menuju parkiran.
Sepertinya mereka sedang mengantar kepergian tamu penting.
'Bukankah itu pria tadi?' Freya merasa tidak senang ketika menyadari salah satu dari mereka adalah Daryan.
Baru saja Freya berharap tidak akan bertemu lagi dengan Daryan, tapi nyatanya sudah bertemu lagi sebelum genap satu jam keinginannya terucap, bahkan di rumah sakit tempat ibunya dirawat.
‘Kenapa harus ada dia lagi sih?’ gumam wanita cantik berambut panjang ini dalam hati.
Untuk sejenak Freya menunda niatannya memasuki area rumah sakit, setidaknya sampai Daryan pergi, pikirnya.
Freya tetap berdiri di gerbang rumah sakit, dia menunduk dan menutupi wajahnya dengan tas. Bukan karena takut atau tidak berani bertemu dengan Daryan, Freya hanya malas keberadaannya diketahui oleh Daryan.
Yang tidak diketahui Freya, Daryan sempat melirik ke arah Freya. Entah Daryan mengenalinya atau tidak, hanya pria itu sendiri yang tahu.
“Terima kasih banyak, Tuan Daryan. Obat yang Anda distribusikan sangat membantu kami,” ucap direktur rumah sakit.
“Sama-sama, Dokter Bryan. Saya senang mendengar obat dari perusahaan saya dapat membantu kesembuhan pasien di sini,” balas Daryan.
Selanjutnya salah satu anak buah Daryan segera membukakan pintu mobil, dan mempersilakan sang bos untuk masuk.
Mobil mewah berwarna hitam dengan gaya klasik itu segera menyala, lalu perlahan beranjak meninggalkan area parkir.
“Syukurlah dia cepat pergi, jadi aku tidak harus berlama-lama berdiri di sini,” gumam Freya diiringi senyum lega yang terbit di wajahnya.
Byuuur!
Alangkah kagetnya Freya ketika mendapati tubuhnya telah basah kuyup.
Di gerbang tepat di dekat Freya berdiri, memang terdapat lekukan yang menampung genangan air hujan. Yang menyembur mengenai seluruh tubuh Freya ketika dilewati oleh mobil Daryan.
Daryan yang sengaja menyuruh supirnya menambah kecepatan saat menempuh genangan air, segera meminta sang supir untuk berhenti setelah mengetahui misinya untuk mengerjai Freya berhasil.
Daryan menurunkan kaca jendela mobilnya, lalu tertawa menjengkelkan. “Heh, lihat siapa ini? Apa kau sengaja mengikuti saya?”
Hah!
Freya dibuat terbelalak, dan lagi-lagi harus menahan emosi.
“Tuan Daryan yang terhormat, sepertinya rasa percaya dirimu terlalu tinggi, tidak ada untungnya bagiku mengikutimu!" balas Freya sembari menatap jengah pada Daryan.
Daryan masih dengan wajah yang terlihat puas setelah berhasil membuat Freya basah kuyup, dia lantas beralih pada supir. “Ayo jalan, tidak ada untungnya berbicara dengan wanita seperti dia!”
Selanjutnya Daryan menaikkan kembali kaca jendelanya, dan mobil mewah itu pun segera meninggalkan Freya di gerbang rumah sakit dengan sejuta kekesalannya.
‘Sombong sekali pria itu! Semoga saja setelah ini aku benar-benar tidak pernah bertemu lagi dengannya, atau mati saja dia sekalian ditelan bumi,’ Saking kesalnya, Freya terus mengumpat sambil memandangi kepergian mobil Daryan.
Setelah itu Freya pun melanjutkan perjalanan menuju ruang rawat ibunya, sambil berharap kondisinya ibunya sedikit lebih baik, setidaknya lebih baik daripada hari sebelumnya.
Cklek!
Freya membuka pintu ruang rawat, bertepatan dengan di dalam sana ada tiga dokter dan dua perawat yang sedang melakukan pemeriksaan terhadap ibunya.
Freya mendekati ibunya, di sana wanita yang sangat dicintai Freya itu sedang tertidur pulas.
Freya lantas bertanya pada salah seorang dokter, "Bagaimana kondisi ibu saya, Dokter?"
“Apakah Anda adalah putri dari Nyonya Alesya Barker?” Dokter yang ditanyai Freya balik bertanya.
Freya mengangguk pelan, “Benar, Dok. Apakah ada hal penting yang perlu dibicarakan dengan saya?”
“Iya!” Dokter yang lebih muda menjawab pertanyaan Freya.
Dokter itu segera menjelaskan bahwa Alesya sedang mengalami sirosis hati. Kondisi di mana suatu penyakit yang mengakibatkan cedera hati. Jika dibiarkan dalam kurun waktu yang lama tanpa penanganan tepat, maka akan menimbulkan kerusakan serius pada fungsi hati.
Untuk saat ini saja bisa dikatakan fungsi hati yang dimiliki ibu Freya tidak lagi bekerja dengan normal, sehingga dalam waktu dekat ini diperlukan tindakan bedah untuk mengatasinya.
“Kami secepatnya harus menindaklanjuti penyakit yang diderita Nyonya Alesya. Beliau harus menjalani operasi secepat mungkin. Bila tidak, keselamatan beliau mungkin akan menjadi taruhannya," ujar Dokter muda tersebut.
"Kalau begitu lakukan segera, Dok. Saya akan menandatangi prosedurnya bedahnya," sahut Freya tanpa mampu menyembunyikan kecemasan di wajahnya.
Dokter tersebut menghela napas berat. "Nona, sebenarnya kami sangat ingin membantu kesembuhan pasien. Namun, dikarenakan tunggakan administrasi rumah sakit yang terjadi selama lama 5 bulan ini, membuat kami tidak bisa memberi keringanan lebih banyak lagi.”
“Biaya operasinya pun terbilang cukup besar. Kami menyampaikan ini agar Anda segera menyiapkan biayanya. Usahakan dananya telah tersedia dalam minggu ini, karena ibu Anda tidak bisa dibiarkan menunggu lebih lama lagi.”
Ucapan dari dokter tersebut membuat Ferya terhenyak. Dia bingung bagaimana harus mendapatkan uang, sementara tabungannya juga sudah terkuras habis, dan tidak tersisa sedikit pun.
Setelah tim medis pergi, Freya lantas mendudukkan diri di samping brankar ibunya.
Melihat wajah ibunya yang semakin hari semakin pucat, membuat Freya begitu frustasi.
“Bu, Ibu harus bertahan ya. Bagaimanapun caranya, Freya pasti akan berusaha mencari uang agar Ibu bisa naik meja operasi sesegera mungkin. Freya janji Bu, Freya akan berjuang!” ucap Freya dengan penuh tekad sambil menggenggam tangan ibunda tercinta.
Pada saat menatap wajah sang ibu yang terbaring lemah di kasur rumah sakit tersebut, tanpa bisa ditahan airmata Freya pun mengalir dengan sendirinya.
Meski hati Freya seperti baja, tapi ia tetap akan lemah saat memikirkan keselamatan orang yang dicintainya. Terlebih saat mengingat penyakit yang kini mengancam nyawa Alesya.
Tanpa disadari oleh Freya, ibunya itu kini telah terbangun. Alesya menoleh ke samping dan mendapati putri yang sangat dicintainya sedang meneteskan air mata.
“Freya, kau kenapa menangis, Nak?” tanya Alesya dengan suara lemah
Freya tersadar, dan segera menyeka air matanya. “Aaah, tidak, Bu. Ini mata Freya mungkin terkena debu,” elaknya.
“Ohh iya, Bu. Ini Freya sudah membawakan buah-buahan segar. Ibu harus makan yang banyak ya,” imbuh Freya sembari menampilkan senyum hangat di wajahnya.
Selanjutnya Freya segera mengupas sebuah apel merah untuk sang ibu.
Setelah menemani ibunya selama kurang lebih satu jam, Freya pun segera pamit kepada Alesya. Freya masih harus bekerja part time di salah satu restoran Italia, sebagai tukang cuci piring.
“Bu, Freya pergi dulu ya. Freya janji akan segera kembali untuk menemui Ibu. Sampai jumpa Bu, Freya sangat menyayangi Ibu ....” Freya memberi kecupan di dahi ibunya sebelum beranjak meninggalkan ruang rawat.
Malam ini Freya tidak benar-benar pergi ke restauran Italia itu untuk bekerja paruh waktu. Melainkan pergi ke suatu tempat untuk meminta bantuan terkait biaya rumah sakit Alesya.
“Kali ini aku harus meminta bantuan pada pria itu, tidak peduli apa pun tanggapannya nanti.”
Bersambung ....
“Tuan Burton yang terhormat, keluarlah. Aku ingin berbicara dengan Anda!” teriak Freya dari gerbang pintu utama kediaman Alexander Burton.
Freya ingin meminta bantuan kepada pria yang merupakan ayahnya.
Namun, pria tersebut tidak pernah lagi mengakui Freya sebagai putri semata wayangnya. Ia malah memilih menikahi wanita kaya raya dan mengabaikan keluarga kecil yang pernah ia bina sebelumnya.
Freya tidak lagi memiliki urat malu untuk meminta pertolongan kepada Alexander mengenai operasi Alesya. Jika tidak, nyawa sang ibu menjadi taruhannya.
Penjagaan ketat kediaman mewah ini membuat Freya kesulitan.
“Hey Nona, kau siapa? Tuan Burton sedang tidak ingin bertemu dengan siapapun!” teriak kedua pria di post penjaga sembari menyeret Freya untuk meninggalkan kawasan elit ini.
Freya tidak mempedulikan sama sekali, ia memohon dengan ucapan sopan, “Tuan, berikan aku kesempatan untuk bertemu dengan tuanmu, ada hal penting yang harus ia ketahui.”
“Tidak, kau pasti hanya sebagian orang yang ingin memeras Tuan Burton ‘kan? Sangat banyak orang sepertimu di kota ini!”
Blaak!
Begitu kasar, pria bertumbuh tinggi besar itu membuat tubuh mungil Freya tergusur ke aspal sehingga menyebabkan lututnya terluka dan keluar darah..
Namun, hal itu tidak membuat wanita gigih dan keras ini menyerah.
Ia ingin ayahnya memberikan bantuan secepatnya. Walaupun, ia tahu sang ayah mungkin saja enggan membantunya.
Langit gelap kembali menawarkan petir yang bergemuruh.
“Aku mohon kepadamu Tuan, berikan kesempatan padaku untuk ...”
Tiba-tiba gerbang yang menjulang tinggi dengan ukiran klasik itu terbuka.
Seseorang yang mengenakan jas rapi dalam mobil membuka kaca secara perlahan.
Sontak hal itu membuat Freya terbangun, pria itu adalah ayah yang sangat ia rindukan.
‘Ayah ...’ lirih gadis malang ini dalam hatinya.
Freya terdiam.
Lalu melanjutkan memanggil sang ayah dengan sebutan Tuan, “Tuan Burton, aku ingin berbicara penting kepadamu. Alesya mengalami penyakit ganas dan harus segera di operasi.”
“Kau ingin bantuanku ‘kan? Sudah ku katakan kepadamu sejak dulu, kita tidak ada hubungan apa pun lagi. Itu adalah urusanmu!” Begitu kejam yang dikatakan pria setengah baya tersebut.
Alexander Burton segera menutup jendela mobil dan menyuruh supir untuk melaju kembali.
Ia benar-benar sudah tidak peduli lagi dengan kondisi keluarga kecilnya ini.
Hati Freya sungguh sakit mendengar perkataan sang ayah yang tidak memiliki perasaan sama sekali.
“Hey kau Burton, apakah kau tidak peduli dengan kondisi mantan istrimu? Nyawanya diujung maut, apakah kau tidak peduli, hah?” teriak Freya memandangi mobil mewah sang ayah yang sudah tidak tampak lagi dengan samar-samar.
Mata Freya memerah akibat deruan air mata yang tidak bisa ia bendung lagi.
“Hey Nona, apakah kau dengar kata dari Tuan Burton? Cepat pergi sana!” Penjaga itu menendang Freya seperti binatang saja.
Hah!
Ia mencoba tetap tegar dan memandangi langit. Hujan pun kembali turun.
‘Bu, Freya tetap akan berusaha mencarikan pembiayaan operasi untuk ibu ya,’ tegas Freya membatin.
Wanita cantik yang sudah basah kuyup ini berjalan tanpa arah. Ia tidak lagi peduli ada mobil yang melintas.
Tiiiinnnnnnnnn!
Klakson terdengar sangat keras mengarah Freya.
Freya pun terkejut, ia hampir saja tertabrak mobil dengan kecepatan tinggi.
“Hey Nona, apakah kau sudah gila, hah?!” teriak seorang pria menghampiri Freya.
Jika tidak lihai mengemudi mungkin saja pria itu sudah menabrak seseorang.
Freya segera menundukkan kepalanya dengan hormat, ia membungkuk berulang kali dan berkata, “Maafkan aku Tuan, aku sedang tidak fokus. Maaf aku lagi sekali.”
“Lagi-lagi kau!” ucap seseorang dari dalam mobil menuju ke arah Freya.
Tidak disangka mimik wajah Freya terkejut melihat Daryan kini ada di depannya.
Semua pertemuan dan kejadian ini membuatnya heran.
‘Aaah, mungkin ini hanya kebetulan saja, aku bisa bertemu dengannya sampai tiga kali dalam sehari,” ujar Freya bermonolog.
“Jangan-jangan kau adalah seorang penguntit?” celetuk Daryan meremehkan Freya.
Kali ini wanita yang hatinya masih tersayat akan perilaku sang ayah tidak ingin banyak bicara.
Ia kembali menundukkan kepala dan memohon maaf kepada Daryan, “Maafkan aku Tuan, aku tidak ingin membuat masalah dengamu. Semua ini hanya kebetulan dan aku tidak pernah sama sekali menguntitmu.”
Freya segera meninggalkan Daryan Jefferson tanpa mengucapkan perkataan apa pun.
Heh!
Hal itu membuat Daryan semakin membenci Freya tanpa alasan, “Benar-benar angkuh sekali wanita itu!”
Dengan bergegas Daryan dan supirnya memasuki mobil mewah itu kembali.
Keesokan harinya.
“Ibu Eya ... Ibu ...” panggil sejumlah anak-anak yang ada di kelas Lyli untuk melanjutkan pelajaran mewarnai.
Namun rasa kantuk yang tidak bisa di tahan oleh Freya membuat dirinya tertidur di dalam kelas.
“Ibu Eya, apakah kau sedang te tidu?” suara badil yang tidak bisa mengucapkan huruf R itu sontak membuat Freya terkejut dan ia terbangun.
“Aaaahh, ada apa ini? Baik lah aku akan melanjutkan pekerjaan sekarang,” ujar Freya yang tidak tentu arah.
Seperti sedang kebingungan wanita muda ini membuat anak asuhnya heran.
“Ibu, ada apa? Apakah ibu sedang kulang enak badan?” salah satu murid yang berjenis kelamin perempuan bertanya kepada Freya.
“Hmm, maafkan Ibu yaa anak-anak semua. Mungkin Ibu hanya kelelahan saja karena kemarin malam Ibu tidak sempat tertidur.”
“Tidak apa, Evin selalu sayang Ibu ...” sahut salah satu anak laki-laki yang berusia 4 tahun begitu menggemaskan kepada ibu guru yang sangat disayanginya.
Freya memang terkenal sebagai ibu guru playgrup yang memiliki hati seperti bidadari. Ia sangat disukai oleh anak-anak yang ada di sini.
Caranya yang mendidik tidak tegas dan berselimut akan kelembutan membuat naluri anak kecil ingin terus menempel kepadanya.
Meski, sama sekali tidak dapat tidur karena ia harus bekerja di restauran Italia itu, senyum hangat Freya tidak henti-henti terpancar kepada anak-anak yang sangat disayanginya.
Semua anak memeluk Freya dengan erat.
Waktunya jam makan siang, Freya berusaha mengajar semua anak didiknya dengan penuh kesabaran.
Ada yang menangis karena tidak mau makan, ada yang menjatuhkan makanannya. Semua hal itu tidak membuat Freya emosi, malah wanita itu dengan penuh kelembutan terus meladeni anak-anak yang dibilang cukup nakal itu.
Lalu dilanjutkan untuk tidur siang, sama juga ricuhnya dengan tadi. Hal ini membuat Freya harus menyanyikan atau mendongengkan anak-anak satu persatu.
Hah!
“Akhirnya semua beres, semuanya sudah tertidur dengan lelap.”
Pada saat Freya ingin meninggalkan ruang Lyli ini, tidak disangka seperti ada yang menarik bajunya.
Ia menoleh ke belakang.
“Ibu Eya, apakah ibu bisa tetap di sini? Evin tidak bisa tidu. Evin ingin ibu Eya tetap menemani Evin,” ingin anak lagi-laki yang paling disayangi oleh Freya, karena Kelvin merupakan anak yang sangat penurut dan memiliki respect cepat dibanding teman-temannya.
Freya tersenyum.
“Kelvin sayang, apakah kau ingin ke taman bunga bersama Ibu? Nanti di sana Ibu akan menceritakan sebuah dongeng yang indah untukmu,” tawar Freya, meski ia begitu mengantuk.
Dengan senang hati anak kecil yang bernama Kelvin itu mengangguk dan ia pun digendong dengan Freya.
Di taman, Freya melakukan apa yang ia katakan tadi untuk Kelvin. Ia mendongeng dengan begitu antusias.
“Nenek sihir itu begitu jahat dan ia sangat membenci anak-anak ...”
Hal ini malah membuat Kelvin tidak bisa tertidur karena ia fokus mendengar suara lembut dari Freya.
Ditengah ibu guru cantik itu mendongeng, Kelvin mengatakan sesuatu kepada Freya, “Ibu Eya, apakah Ibu mau menjadi Ibu Evin?”
Freya tersenyum mendengar pertanyaan Kelvin, yang menurutnya begitu lucu.
“Hehe, kenapa Kelvin mengatakan hal itu, Sayang? Bukankah Kelvin sudah memiliki ibu?”
Raut wajah anak lelaki menggemaskan ini sontak terlihat murung.
‘Astaga, apakah aku mengatakan hal salah?’ Freya membantin.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!