Di sebuah rumah sederhana di pinggir kota. Seorang gadis sedang duduk di beranda rumahnya sambil bersenandung. Di depannya ada banyak pakaian yang sedang dilipatnya. Terlihat bahwa dia baru saja mengangkat pakaian itu dari jemuran.
"Wah, rajinnya, Anisa," sapa seorang ibu yang merupakan tetangga Anisa. Namanya Bu Lena, terkenal cerewet dan suka menggosip, namun itu tidak berlaku pada Anisa yang sangat baik dan ramah.
"Makasih, Bu, takut numpuk aja pakaiannya, hehe," kekeh Anisa sambil terus melipat pakaiannya.
"Salsa mana?" tanya Bu Lena sambil melihat ke dalam rumah mereka.
"Oh, Salsa sedang mencuci piring, Bu," ujar Anisa.
"Hah, mana mungkin? Semua orang di daerah ini juga tau kalau adikmu itu gadis paling malas di sini," cibir Bu Lena.
"Ah, enggak, Bu. Salsa sangat rajin, kok. Hanya saja, karena nggak keliatan mata aja jadi orang nyangkanya kayak gitu." Sebisa mungkin Anisa membela sang adik yang memang pemalas. Sebenarnya saat ini Salsa sedang menikmati tidur siang di kamarnya.
"Udahlah, Anisa, jangan ditutupin. Kemarin Bu Yani datang ke sini nganter sayur, dia lihat kok adikmu tiduran di sofa sambil main hp. Sedangkan kamu yang ngepel."
"Enggak, Bu, itu kebetulan aja. Salsa beneran rajin, kok."
"Udahlah, Nis, Ibumu juga sering cerita ke kita kalau adikmu itu memang males. Bangun paling siang, tinggal makan, seharian main hp di kamar atau kalau nggak siang tidur siang. Tiap malem selalu minta uang ke Ibumu buat nongkrong." Sepertinya Bu Lena memiliki ingatan yang sangat tajam.
Anisa terkejut mendengar bahwa ibu mereka yang telah menjelek-jelekkan adiknya sendiri. Meskipun itu kenyataan, namun dia tidak suka jika sang Ibu seperti menyebarluaskan aib anaknya sendiri.
"Bu, maaf, saya harus ke dalem dulu," ucap Anisa yang ingin mengakhiri obrolan itu.
"Ya udah, Nis. Oh ya, Rio titip salam buat kamu." Sambil cekikikan, Bu Lena pun pergi dari sana. Rio adalah anaknya yang bekerja sebagai dokter. Dan Bu Lena menginginkan gadis rajin seperti Anisa yang menjadi menantunya agar rumahnya rapi dua puluh empat jam.
Begitulah ibu-ibu komplek perumahan itu. Mereka seakan berlomba-lomba mengincar Anisa karena pekerjaan gadis itu sangat rapi dan bersih, bahkan mengalahkan mereka. Itulah sebabnya Anisa disukai semua orang di daerah itu.
Anisa pun pergi ke dalam bermaksud ingin mematikan air yang tadi dimasaknya. Namun, ternyata ada sang ibu yang sudah mematikannya. Namanya adalah Bu Dewi.
"Lho, Ibu udah pulang? Kok Nisa nggak lihat?" tanya Anisa heran. Karena yang dia tahu, ibunya sedang pergi ke toko pakaian miliknya.
"Oh, iya, tadi Ibu pulang dari belakang. Kenapa, Nak?" tanya Bu Dewi.
"Nggak apa-apa, Bu. Oh ya, ada yang mau aku tanyain sama Ibu."
"Tanya apa?"
"Kenapa Ibu bilang sama Bu Lena tentang kelakuan Salsa? Barusan dia lewat dan bilang semuanya," protes Anisa dengan wajah sedikit kecewa.
"Ya biarin aja. Memangnya Ibu nggak kesel liat adikmu yang kerjanya cuma main sosmed, belanja online, nongkrong, ngabisin duit orang tua aja kerjanya." Bu Dewi terlihat begitu emosi menceritakan kejelekan Salsa.
"Ya ampun, Bu, jangan gitu dong. Gimana pun juga, Salsa itu adik Nisa dan anak Ibu. Kita jangan ceritain kejelekan dia dong. Kasian dia jadi gunjingan tetangga. Lagian Ibu kenapa sih kok kayaknya nggak suka banget sama Salsa."
"Ya karena dia kesayangan ayahmu! Liat sekarang, gara-gara ayahmu manjain dia, kayak gini deh jadinya! Udah lulus kuliah pun dia nggak mau kerja. Maunya kerja kantoran padahal nilainya jelek karena males kuliah! Kayak jadi beban di rumah ini!"
"Udahlah, Bu. Ayah sayang sama Salsa kan karena dia itu anak ayah juga. Kalau bukan ayah yang sayang sama dia siapa lagi?"
"Ya sayangnya gak jelas. Gara-gara pas Salsa lahir terus ayahmu lulus tes CPNS, terus dia anggap yang bawa keberuntungan. Dari kecil sampe besar nggak pernah dimarahin, taunya dimanja aja!"
Anisa menarik nafas panjang, lalu mengeluarkannya secara perlahan. Dia mendekati ibunya, lalu mengusap lengannya pelan. "Bu, ayo sekarang sholat dulu, Ibu belum sholat Dzuhur, kan? Nanti sore, Nisa bantu ibu tutup toko, ya." Begitulah cara Nisa meredakan emosi ibunya. Menyuruhnya menunaikan rukun Islam yang kedua.
"Iya, iya, ya udah ibu sholat nih." Bu Dewi pun langsung pergi ke kamarnya dengan wajah yang masih ditekuk.
Saat Anisa akan berbalik ke depan, tiba-tiba saja Salsa datang sambil bertepuk tangan. "Wah, hebat! Ada penjilat di sini!"
"Salsa, kenapa kamu ngomong gitu?" tanya Anisa yang terkejut dengan kalimat yang dilontarkan adiknya itu.
"Ya emangnya kenapa? Ada yang salah? Enggak deh kayaknya. Lo kan emang penjilat!" Salsa menunjuk wajah Anisa dengan tatapan tajamnya. Rumah mereka memang berbahan batu permanen dan memiliki banyak ruang sehingga suara di dapur tidak akan terdengar sampai ke dalam kamar ibu mereka jika pintunya ditutup.
"Salsa, jaga bicaramu! Aku ini kakakmu!" Anisa mencoba bersikap tegas pada adiknya.
"Kenapa? Nggak suka Lo? Terus mau apa? Laporin gue ke nyokap? Laporin aja, ada bokap yang bakalan belain gue." Bukannya meminta maaf, Salsa malah semakin menantang Anisa.
"Sa, aku cuma nggak mau kamu kena marah lagi sama Ibu. Kamu nggak capek?"
"Halah, udahlah, Lo itu nggak usah bersikap sok baik sama gue. Lo itu kan suka liat gue dimarahin sama ibu. Secara Lo anak kesayangannya, kan? Dih, dasar penjilat." Salsa bedecih sambil melihat wajah Anisa.
"Sa, bisa nggak sih sekali aja kamu hormati aku. Aku tuh kakak kamu. Aku juga sayang sama kamu. Kenapa sih kayaknya kamu nggak suka sama aku."
"Ya karena Lo itu munafik! Lo itu cuma pura-pura rajin dan baik biar semua orang muji Lo, iya, kan? Lo kita gue nggak denger apa yang Lo bicarain sama Bu Lena? Gue nggak budek, ya. Gue denger semuanya. Pasti Lo senang kan lihat gue di cibir sama itu orang tua. Terus lo pura-pura baik biar dipuji sama dia. Haus Pujian Lo?"
"Astaghfirullah, Salsa, nggak gitu. Aku nggak pernah kepikiran sampai kesitu. Aku tuh tulus belain kamu. Kamu kan adik aku, Sa." Anisa masih berusaha bersikap baik pada adiknya. Sedikitpun dia tidak ingin terpancing emosi.
"Halah, nggak usah sok suci, Lo. Lo tau nggak, gue itu nyesel banget dilahirin jadi adik Lo."
Ucapan Salsa pun meruntuhkan pertahanan Anisa. Dia tak mampu membendung air matanya lagi. Salsa memang benar-benar tega mengatakan semua itu padanya.
"Tega kamu, Sa. Padahal aku sayang banget sama kamu."
"Air mata buaya. Sampe kapanpun gue nggak mau punya kakak kayak Lo. Eh, tapi kecuali Lo berhenti jadi orang sok rajin, sok Solehah, terus sok baik. Gue jijik liatnya!" Salsa pun pergi meninggalkan Anisa tanpa mempedulikan kakaknya yang masih menangis. Sedikitpun Dia tidak memiliki belas kasihan pada sang kakak. Karena baginya orang yang paling dia benci adalah Anisa.
"Ayah pulang!" Ayah Salsa dan Anisa pun pulang. Anisa segera menghapus air matanya dan membuatkan segelas teh untuk sang ayah. Sesuatu yang selalu dia lakukan ketika ayahnya pulang bekerja.
Nama sang ayah adalah Pak Ramli, seorang PNS yang bekerja di sebuah sekolah dasar di daerah itu.
"Ayah udah pulang?" Salsa menghampiri ayahnya dan bermanja ria di lengan pria paruh baya itu.
"Iya, Nak, kamu nggak liat ayah udah di sini?" Pak Ramli mengusap kepala Salsa dengan lembut. Mereka pun langsung duduk di ruang tamu.
"Ayah, tadi Salsa liat tas bangus banget di toko langganan Salsa. Minta uang dong." Salsa menadahkan tangannya sambil memasang wajah memelas.
"Lho, bukannya kemarin ayah udah ngasih lima ratus ribu buat beli tas?"
"Ini beda lagi, Yah. Ayolah, Yah, minta uang dong."
"Ini Yah, tehnya." Anisa pun datang dan meletakkan secangkir teh di atas meja tepat di depan sang ayah.
"Makasih, ya, Nisa," ucapnya sambil tersenyum.
Anisa hanya mengangguk pelan sambil tersenyum lembut. Sementara Salsa mencebikkan bibirnya sambil menatap sinis pada sang kakak.
"Ayah, mana?" Salsa kembali mengguncang tubuh ayahnya agar segera menyadari bahwa dia ada di sana.
"Iya, iya." Pak Ramli langsung mengambil ponselnya, lalu mentransfer sejumlah uang pada Salsa. "Itu udah Ayah transfer."
"Wah, beneran, Yah? Makasih, Ayah!" Salsa langsung memeluk ayahnya, lalu pergi ke kamar sambil melompat kegirangan.
"Nisa, uang jajan kamu masih ada?" tanya Pak Ramli beralih ke Anisa yang sedang menyibakkan tirai yang tertutup akibat lompatan Salsa yang melepaskan tali pengaitnya.
"Masih ada, Yah," sahut Anisa sambil mengangguk.
"Yakin? Perasaan Ayah ngasih tiga Minggu yang lalu deh. Masa masih ada?" Pak Ramli terheran-heran dengan Anisa yang menurutnya super hemat itu.
"Iya, Yah."
"Gimana nggak hemat? Dia nggak boros kayak Salsa. Yang dibeli cuma yang penting aja. Selalu dipake buat sedekah." Bu Dewi datang dan berbaur dengan mereka.
"Yah, Nisa ke dapur dulu." Anisa memilih pergi ke dapur agar tak mendengar perdebatan yang akan terjadi antara kedua orang tuanya.
"Ya nggak papa dong, Bu. Selagi kita bisa menyenangkan anak, kenapa enggak?"
"Ya tapi jangan terlalu manjain dong, Yah. Jadinya kan itu anak males cari kerja. Udah dikuliahin tinggi-tinggi, taunya malah males-malesan di rumah. Coba kalau Anisa yang dikuliahin, pasti sekarang dia udah sukses."
"Bu, jangan gitu, dong. Kita nggak bisa prediksi nasib orang. Bisa aja suatu hari nanti Salsa jadi pengusaha sukses. Kita kan gak tau. Lagian waktu itu jamannya Nisa Lulus SMA kan pas Ayah punya cicilan mobil, makanya nggak bisa kuliahin dia. Dan waktu Salsa lulus SMA, cicilan mobil ayah lunas. Kan kelihatan kalau Salsa pembawa rezeki. Beda sama Anisa. Inget nggak waktu Anisa lahir? Semua harta kita ludes gara-gara ditipu. Terus waktu Anisa harus operasi gara-gara pendarahan di kepala karena jatuh dan waktu itu ayah belum jadi PNS. Besar biayanya, Bu. Ayah sampai gadaikan sertifikat rumah," sela Pak Ramli.
"Kok Ayah jadi nyalahin Anisa? Itu semua kan udah takdir. Bukan mau dia kita ditipu atau dia sakit. Udahlah, Ayah kalau diajak debat pasti nyalahin Anisa mulu. Ibu mau ke toko dulu!" Bu Dewi langsung meninggalkan suaminya dan pergi ke toko bajunya yang ada di pasar.
Dari arah dapur terdengar isak tangis dari Anisa. Ternyata dia mendengar percakapan antara ibu dan ayahnya. Ternyata benar, Ayahnya menganggap dirinya sebagai pembawa sial.
Sore harinya, Anisa yang sudah mandi bersiap-siap untuk pergi ke toko baju ibunya di pasar. Dia sedang mengeluarkan sepeda motornya untuk pergi ke sana.
"Yah, gimana dong, sepeda motor Salsa mogok nih." Terdengar Salsa merengek pada sang ayah di luar rumah.
"Sabar, ya, Nak, biar ayah bawa ke bengkel nanti." Pak Ramli terlihat menenangkan putri kesayangannya.
"Tapi aku mau pergi sekarang, Yah. Temen-temen aku udah nungguin di tongkrongan."
Disaat itu, Anisa baru saja selesai mengeluarkan sepeda motornya.
"Eh, Nisa, pinjamkan sepeda motor kamu ke Salsa ya. Dia mau main," ujar Pak Ramli sambil mendekati Nisa.
"Ya udah, Yah. Sa, ini pakai aja," ujar Nisa yang langsung menyerahkan sepeda motornya pada Salsa.
"Ih, nggak mau. Sepeda motor kakak kan jelek karena ayah belinya second. Kalau sepeda motor aku kan baru dan keluaran terbaru," cibir Salsa. Memang, sepeda motor Nisa hanyalah sepeda motor bekas yang dibeli dari tetangga. Itulah hadiah ulang tahun dari ayahnya. Sedangkan Salsa mendapatkan hadiah sepeda motor baru untuk hadiah ulang tahunnya. Memang berbeda, tapi Anisa selalu tahu diri dan bersyukur atas apa yang diberikan padanya. Dia tidak banyak menuntut karena sedari dulu, ayahnya selalu perhitungan dengannya karena dia telah menghabiskan uang ratusan juta untuk biaya operasinya sejak kecil. Itulah yang selalu Pak Ramli katakan pada Anisa setiap dia membelikan apapun pada Salsa.
"Anisa kan tahu dulu Ayah sampe berhutang kemanapun demi operasi Anisa. Jadi Anisa anggap aja apa yang ayah kasih ke Salsa itu hitung-hitung uang yang ayah habiskan untuk Nisa." Begitulah ucapan Pak Ramli pada Anisa.
"Tapi sekarang nggak sempet kalau kamu ke bengkel, Sayang."
"Ya udah, Salsa pakai mobil ayah aja gimana?" tanya Salsa sambil menatap penuh harap.
"Tapi kamu kan belum mahir naik mobil."
"Bisa, Yah. Kan cuma ke tempat tongkrongan aja."
"Ya udah, pakai aja."
"Tapi, Yah, Salsa belum mahir, nanti kalau ada apa-apa gimana?" Anisa pun ikut mengingatkan. Barangkali ayahnya lupa kejadian dua tahun yang lalu. Anisa menabrak rumah orang dan sang ayah harus mengganti rugi untuk biaya kerusakan rumah dan mobil. Namun sang ayah malah menyalahkan kondisi jalan yang tidak rata sehingga membuat Salsa menabrak rumah orang. Padahal, kenyataannya Salsa ingin pamer pada orang-orang dengan mempercepat laju kendaraannya.
"Kakak nyumpahin aku?" Salsa menatap kesal pada Anisa. Memang, jika di depan ayah dan ibunya, dia pasti bersikap sopan pada Anisa.
"Nggak, Sa, aku cuma khawatir sama kamu. Sebaiknya kamu naik sepeda motor aku aja." Anisa kembali menawarkan sepeda motornya pada Salsa.
"Dih, enggaklah. Yah, aku naik mobil, ya." Salsa kembali merengek pada Pak Ramli.
Pak Ramli yang tidak tega dengan rengekan anak kesayangannya itu pun akhirnya menyerahkan kunci mobilnya. Dia terus mengingatkan Salsa untuk berhati-hati dalam berkendara karena dia baru saja menukar mobilnya dengan yang baru.
Setelah Salsa pergi, Anisa pun pamit pada ayahnya. "Yah, Nisa pamit jemput Ibu ke pasar, ya," ucapnya sambil mencium tangan sang ayah.
"Iya, bawanya hati-hati, ya, Nis. Di jalan banyak kendaraan besar. Jangan sampai sepeda motornya rusak."
Perih hati Nisa mendengarnya. Nyatanya ayahnya lebih mementingkan sepeda motornya daripada keselamatan dirinya.
"Iya, Yah, Nisa bakal hati-hati, Kok." Anisa hanya mengangguk saja. Dia pun segera pergi ke pasar untuk menemui ibunya dan membantu menutup toko.
Pakaian yang digunakannya sangat sederhana. Hanya setelah rok panjang, kemeja panjang, dan jilbab segiempat yang menutupi bagian depan tubuhnya.
"Eh, Nisa, mau jemput ibunya, ya," sapa pedagang sepatu yang merupakan teman Bu Dewi. Di pasar itu, banyak yang kenal dengan Nisa. Gadis Solehah yang sangat ramah dan rajin.
"Iya, Bu, mari," balas Nisa sambil tersenyum ramah.
"Nisa!" Terdengar suara seseorang memanggil Anisa dari jauh. Saat Anisa menoleh, ternyata yang memanggil adalah sopir angkutan umum yang biasa ngetem di pasar itu. Namanya adalah Adit.
"Bang Adit, kenapa, Bang?" tanya Anisa dengan ramah.
"Ini Abang mau kasih cokelat buat kamu," ucap Adit sambil menyerahkan seplastik cokelat pada Anisa.
"Apa ini Bang? Nisa nggak minta kok?"
"Nggak apa-apa, ini buat kamu aja biar ada cemilan di rumah."
"Tapi Nisa nggak enak Bang kalo nerima ini."
"Nggak apa-apa, anggap aja sebagai hadiah karena Nisa selalu balas chat Abang."
"Abang ada-ada aja. Masa gara-gara balas chat dikasih cokelat?" Nisa terkekeh melihat kelakuan Adit. Tentu saja dia mengetahui pria berusia dua puluh delapan tahun itu menyukainya. Sudah setahun lebih Adit selalu mendekatinya. Namun, dia hanya menganggapnya sebagai teman saja.
"Ya udah Nisa terima. Tapi jangan sering gini, ya, Bang. Nisa nggak enak."
"Iya, makasih ya, udah mau terima cokelat dari Abang."
"Iya, Bang, makasih sekali lagi. Nisa pergi dulu, ya."
Adit hanya mengangguk melepas kepergian Anisa. Dia menatap dengan mata penuh cinta.
"Ehm, kalo suka lamar dong, jangan taunya chat doang," sindir ibu-ibu pedagang sepatu yang sedari tadi memperhatikan tingkah Adit.
"Hehehe." Adit hanya terkekeh saja mendengar ucapan sang pedagang.
"Nisa itu banyak penggemarnya. Kalau nggak gerak cepat, keburu diambil orang."
Adit pun memutuskan untuk pergi karena si pedagang terus saja menggodanya. Wanita itu memang benar. Anisa memiliki banyak penggemar di pasar ini. Mulai dari pemilik counter hp, pemilik toko emas, sampai pedagang dan juru parkir yang berstatus duda dan lajang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!