NovelToon NovelToon

Cinta Suamiku Bukan Untukku

Bab 1 Menjadi Tidak Normal

"Ampun, Dean!" ulang Oddie dengan suara yang lebih keras.

Suara itu akhirnya keluar dari mulut Oddie setelah sekian lama menutup rapat mulutnya. Sakitnya pukulan keras dari Dean Nathan sudah tidak bisa dia tahan lagi. Untung suami yang dia panggil dengan sebutan Dean itu menghentikan cambuknya.

Oddie yang malang terlihat sangat menyedihkan sekarang. Rambutnya tergerai seperti gelandangan. Keningnya berdarah akibat benturan keras setelah didorong oleh selingkuhan suaminya. Bajunya yang usang koyak disana sini setelah menerima belasan cambukan dari Dean Nathan. Pria itu marah hanya karena kesalahan kecil yang tak sengaja Oddie dilakukan. Baju itu bukan hanya koyak, tapi juga terdapat beberapa tetes darah segar yang beradal dari sudut bibir Oddie.

Nathan menyampirkan ikat pinggangnya. Lalu mengayunkan kaki beberapa langkah untuk mendekati Oddie yang masih meringkuk di sudut ruangan. Oddie secara refleks menutup mata dan mengangkat kedua tangannya untuk melindungi diri karena takut Dean Nathan akan memukulnya lagi.

Tangan itu bergetar hebat. Begitupun nafasnya yang memburu. Oddie berkeringat terlalu banyak setelah mendapatkan siksaan bertubi-tubi dari suaminya. Sesekali dia meringis menahan perih ketika keringatnya sendiri merembes mengenai luka bekas cambukan itu.

"Sakit, Dean!" keluh Oddie lagi.

Dean Nathan melihat istrinya dengan tatapan jijik. Tangannya yang kekar mencengkeram pipi Oddie dengan kasar sehingga Oddie membuka matanya dan melihat betapa beringas suaminya. Sepertinya luka baru maupun lama di tubuh Oddie itu tidak cukup untuk membuat Nathan sedikit iba kepada Oddie.

"Lain kali kalau kau ceroboh lagi aku tidak akan segan lagi untuk menyiksamu lebih dari ini. Apa kau mengerti?" tanya Dean Nathan dengan suara pelan tapi sangat jelas terdengar di telinga Oddie.

"Aku mengerti, Dean!" jawab Oddie ketakutan.

Nathan melepaskan cengkeraman tangannya. Lalu bangkit dan memakai kembali ikat pinggangnya yang baru saja dia gunakan sebagai senjata untuk menghajar Oddie.

"Kau bisa pergi sekarang!" usir Nathan setelah memuaskan amarahnya.

"Sayang, kau sangat kejam," ujar Kirana.

Pelakor kesayangan Dean Nathan itu akhirnya berbicara setelah puas melihat adegan seorang suami yang menyiksa istrinya tanpa belas kasihan.

"Itu pantas untuknya!" jawab Nathan sembari memberikan ciuman mesra bahkan mulai melucuti pakaian Kirana di depan Oddie yang saat ini hanya bisa menggigit bibir dan meremas ujung bajunya.

Dean Nathan melirik Oddie sekilas. Sangat puas melihat istrinya yang tidak berdaya dan tidak memiliki keberanian untuk melawan. "Jangan salahkan aku berbuat kejam. Salahkan orangtuamu yang berani menipu dan memanfaatkan kebaikan keluargaku. Salahkan dirimu sendiri juga karena terlahir menjadi anak pasangan koruptor seperti orangtuamu," batin Nathan.

"Apa kau tuli? Bukankah aku sudah bilang kau boleh pergi! Apa kau ingin ku pukul lagi?" bentak Nathan.

Oddie segera bangkit dengan tubuh gemetaran. Berjalan pelan untuk keluar sebelum Dean Nathan semakin marah. Oddie tidak patah hati, dia hanya malu karena harus melihat pemandangan seperti ini lagi. Lagipula, apa Oddie diijinkan untuk patah hati? Seharusnya tidak kan? Karena Oddie dan Nathan menikah bukan atas nama cinta.

"Tunggu!" tahan Kirana.

Oddie yang sudah berada di ambang pintu berhenti. Menoleh untuk mengetahui alasan apa yang membuat Kirana menahannya. Oddie belum sempat bertanya atau menyahut. Tapi dia sudah melihat Kirana menyiramkan sesuatu ke wajahnya.

Oddie sempat membuang muka dan menutup mata. Lalu sebagai gantinya menggunakan tangannya untuk melindungi diri. Tapi tetap saja benda cair yang ternyata air keras itu mengenai salah satu mata dan sebagian wajahnya.

"Ah!" teriak Oddie.

Gadis itu tersungkur ke lantai. Mengerang kesakitan dan tidak berhenti mengaduh saat perih luar biasa menyerang anggota tubuhnya yang tersiram air keras.

"Sakit sekali!" keluh Oddie lengkap dengan tangisan.

Tapi ratapan itu tetap tidak membuat Nathan maupun Kirana merasa iba. Nathan bahkan berdecak kesal dan menyeret Oddie untuk keluar dari kamarnya. Membiarkannya begitu saja meskipun kulitnya mulai melepuh disana sini.

"Siapapun, tolong aku!" kata Oddie.

Oddie mencoba membuka matanya. Tapi cahaya itu terlalu silau sekarang. Oddie bahkan tidak bisa membuka matanya dengan benar.

"Bi Lastri, Pak Maman, tolong Oddie!" kata Oddie dengan menambah volume suaranya.

Oddie bangkit lagi, mencari-cari pegangan untuk menuruni anak tangga. Tujuannya adalah lantai satu untuk meminta tolong kepada Lastri atau Maman yang berprofesi sebagai pembantu dan tukang kebun di rumah Dean Nathan.

"Non Oddie berhenti! Tunggu Bi Lastri naik!" teriak Lastri panik.

"Non, hati-hati! Jangan melangkah sembarangan!" teriak Maman tak kalah panik saat melihat Oddie sudah berdiri di ujung anak tangga.

"Bi Lastri, Pak Maman, tolong Oddie!" kata Oddie lagi.

Dua orang berusia paruh baya itu segera lari. Tapi nahas, Oddie sudah terlebih dulu menuruni anak tangga dengan posisi yang salah sebelum Lastri dan Maman datang. Kaki Oddie terkilir sehingga menyebabkan Oddie kehilangan keseimbangan dan berguling-guling ke bawah.

"Non Oddie!" teriak Lastri dan Maman bersamaan saat melihat Oddie terguling di anak-anak tangga.

"Non Oddie?" teriak Maman.

Lastri segera meletakkan kepala Oddie di pangkuannya berkat bantuan Maman. Bibir Oddie sangat kering, wajahnya sangat merah saking panasnya. Matanya juga sudah mulai tertutup sempurna diiringi dengan tangannya yang terkulai begitu saja dibarengi dengan hilangnya kesadaran Oddie.

"Las, kau tunggulah sebentar! Aku akan mencari taksi!" ujar Maman.

"Cepat, Man!" sahut Lastri setuju.

Maman segera berlari keluar untuj mencari taksi. Akhirnya dua orang itu memberanikan diri membawa Oddie ke rumah sakit tanpa seijin Nathan. Biar saja jika Nathan memecat Maman, biar saja jika Kirana akan memukul Lastri. Mereka sudah tidak peduli lagi karena yang mereka inginkan saat ini hanyalah menolong Oddie.

.

.

.

"Bagaimana, Pak Dokter?" tanya Lastri dan Maman setelah dokter keluar dari ruang penanganan.

Dokter itu geleng-geleng kepala. Siapapun bisa melihat bahwa dokter ini prihatin dengan kondisi Oddie. "Maaf, kalau boleh tahu apa yang terjadi dengan Nona Oddie. Kenapa ada luka seperti itu di sekujur tubuhnya. Apa dia mengalami KDRT?" tanya dokter.

Maman dan Lastri saling berpandangan sebelum mengangguk bersamaan. Mereka sudah memutuskan untuk menjawab iya supaya ada kesempatan untuk Oddie bebas.

"Pak Dokter, sebenarnya,-"

"Tidak ada KDRT. Dia hanya mengalami kecelakaan kerja!" potong Nathan.

Entah sejak kapan Nathan datang. Tapi yang jelas pria itu sudah berdiri di belakang Lastri dan Maman dan memberikan tatapan berisi ancaman untuk keduanya. Maman dan Lastri mundur teratur, memberi jalan kepada Nathan untuk mendekati Dokter yang menangani Oddie barusan.

"Maaf, apa hubungan Anda dengan Nona Oddie?" tanya Dokter.

"Dia salah satu asisten rumah tangga milikku," jawab Nathan.

Setelah berbincang sebentar. Dokter itu akhirnya membawa Nathan ke ruangannya untuk membahas luka yang diterima Oddie termasuk bagaimana keadaan Oddie sekarang.

"Jadi bagaimana, Dokter?" tanya Nathan.

"Maaf, dengan sangat menyesal saya harus mengatakan ini. Kedepannya Nona Oddie tidak akan bisa berjalan dengan normal dan mata kirinya yang terkena air keras akan mengalami penurunan fungsi. Selain itu, memar-memar di tubuhnya cukup parah. Dia harus dirawat setidaknya beberapa hari untuk memulihkan kondisinya," jawab Dokter.

"Apa maksudnya Oddie lumpuh?" tanya Nathan memastikan.

"Tidak. Bukan lumpuh, Nona Oddie masih bisa berjalan tapi tidak normal seperti sedia kala," jawab Dokter.

"Dia pincang?" tanya Nathan.

"Benar, Pak!" jawab Dokter.

...***...

Bab 2 Ganti Rugi

"Aku p-pincang?" tanya Oddie dengan suara parau.

Dokter yang memeriksa Oddie itu mengangguk. Lalu menyampaikan kabar lain tentang matanya. "Mata kiri milikmu juga sudah tidak berfungsi dengan normal. Untung bosmu segera membawamu kemari," lanjut Dokter.

"Bos?" tanya Oddie.

"Dia saat ini sedang ke administrasi untuk membayar tagihan rumah sakit. Seharusnya sebentar lagi akan segera kemari," jawab Dokter.

Setelah mengatakan apa yang perlu dikatakan, akhirnya Dokter itu pergi. Sementara Oddie langsung menyentuh mata kirinya yang dibalut perban dan melihat beberapa bagian tangannya yang juga di perban. Oddie mencoba menggerakkan kakinya. Terasa sakit memang, tapi Oddie belum bisa memastikan separah apa pincangnya dia nanti.

CEKLEK

Pandangan Oddie kini teralihkan ke pintu. Dia bisa melihat Dean Nathan masuk dengan wajah yang tidak ramah.

"Apa kau tahu berapa banyak uang yang harus ku keluarkan untuk biaya rumah sakit?" tanya Nathan.

Pria itu melemparkan beberapa lembar bukti pembayaran tagihan rumah sakit tepat ke wajah Oddie. Oddie yang masih mendapatkan suntikan infus hanya bisa menoleh untuk mengindari lemparan dari Nathan.

"Maaf!" jawab Oddie dengan menundukkan kepalanya.

"Apa kata maaf cukup untuk menutupi biaya rumah sakit? Oddie, lain kali kalau kau hanya bisa menghamburkan uangku saja, aku tidak akan segan memberikan lebih banyak pekerjaan untukmu. Apa kau mengerti?" ancam Nathan.

"Apa ini salahku?" tanya Oddie.

"Apa yang sedang kau katakan?" tanya Nathan dengan mencengkeram dagu Oddie.

"Apa aku meminta untuk di bawa ke rumah sakit?" tanya Oddie dengan tatapan putus asa. Jika dengan kematian bisa membuatnya terbebas dari kejamnya Dean Nathan dan Kirana, maka dia memilih mati saja.

"Apa menurutmu aku akan membiarkanmu mati begitu saja? Oddie, kematian terlalu ringan untukmu. Bagaimana bisa kau mati sebelum aku puas membuatmu membayar lunas semua keserakahan orangtuamu?" jawab Nathan sembari melepaskan dagu Oddie dengan kasar.

Oddie hanya menunduk dalam-dalam. Merapikan lembaran tagihan rumah sakit yang berserakan di pangkuannya untuk disimpan. Sementara itu Nathan pergi begitu saja tanpa bertanya apakah Oddie baik-baik saja.

"Kalau kau sudah tahu berapa banyak jumlah tagihan itu dan sadar diri, maka cepatlah bangun dari ranjang pesakitanmu itu!" kata Nathan sebelum membuka pintu dan keluar kamar.

"Dean?" panggil Oddie saat pria itu sudah melewati pintu. "Aku pasti akan menggantinya saat aku punya uang," lanjut Oddie.

Mendengar itu, Nathan tidak menjawab apapun. Juga tidak melakukan apapun selain membanting pintu dengan kasar.

Oddie tersentak, bantingan pintu seperti ini memang bukan yang pertama kalinya. Tapi tetap saja suaranya meremukkan hati Oddie.

Oddie menghapus dua bulir air mata yang jatuh. Kenapa dia harus menikah dengan Dean Nathan. Bukan pernikahan seperti ini yang dia harapkan. Lalu, apa yang baru saja dia katakan. Uang sebanyak ini, memangnya kapan Oddie bisa mengembalikannya sementara dia tidak bekerja?

Oddie menyembunyikan wajahnya dengan menutupinya dengan bantal. Menangis sepuas hatinya agar sedikit meredakan sesak di dadanya.

Sebelum menikah, Oddie adalah mahasiswi tingkat akhir dengan semua prestasi yang dimilikinya. Cantik, baik dan memiliki setumpuk sifat positif lainnya. Kehidupan Oddie adalah kehidupan yang diimpikan oleh kebanyakan gadis dan membuat teman seusianya cemburu.

Iya, hidup Oddie sangat menyenangkan setidaknya sangat bahagia sampai hari itu. Hari dimana media meliput korupsi besar yang dilakukan kedua orangtuanya secara besar-besaran. Saat itulah Oddie menyadari bagaimana sifat asli Kirana, wanita yang dia kira sebagai teman baiknya. Tidak hanya memutuskan hubungan pertemanan dengan Oddie, dia juga memberikan cacian dan cemoohan untuk Oddie yang selalu memperlakukannya dengan baik layaknya keluarga.

Oddie masih ingat dengan jelas adegan demi adegan saat dia hendak pulang dari kampus. Mobil kesayangannya penuh dengan coretan dan sampah yang sengaja di lempar oleh mahasiswa seluruh kampus yang diketuai oleh Kirana. Oddie juga ingat bagaimana saat semua orang mengusirnya karena aib keluarganya.

Saat itu mereka mereka benar-benar dimiskinkan. Penyidik menyita semua barang-barang berharga dan membekukan rekening yang dimiliki keluarganya. Oddie juga harus meninggalkan rumah mewah itu tanpa membawa uang sepeserpun di tangannya.

Kejam memang, tapi itu pantas dia dapatkan. Tidak ada tempat untuk penjahat, bahkan untuk anak-anak penjahat seperti Oddie yang tidak ada kaitannya dengan tingkah orangtuanya.

Lalu, apakah Oddie membenci orangtuanya?

Tentu saja tidak. Oddie kenal betul bagaimana perangai orangtuanya. Mereka tidak mungkin korupsi. Itu adalah satu-satunya yang Oddie percayai selama ini.

Oddie menerawang ke sudut terjauh, mengingat-ingat kebersamaannya dengan orangtua yang saat ini tidak lagi disampingnya. Sudah lama Oddie tidak memiliki kesempatan untuk mengunjungi ibunya di penjara. Sudah lama juga Oddie tidak pergi ke makam untuk menabur bunga di pusara ayahnya.

Jadi, sejak kapan ayah Oddie mati?

Ayah Oddie mati tidak lama setelah dia ditangkap. Beberapa hari setelah ayahnya mendekam di penjara, beliau terkena serangan jantung. Sempat kritis selama beberapa hari sebelum akhirnya dinyatakan meninggal oleh dokter. Ayah yang Oddie banggakan itu meninggalkan Oddie hanya berdua dengan ibunya. Tidak ada harta apapun yang dia tinggalkan selain cap sebagai orang paling korup saat itu.

Tapi itu hanyalah permulaannya. Karena hari buruk yang sebenarnya baru akan datang saat Oddie sedang berada di pemakaman. Hari itu Oddie sedang bersimpuh di pusara ayahnya. Meratapi kepergian sang ayah ke hadapan Sang Pencipta dengan mengirimkan untaian doa-doa. Sekelompok orang berbadan besar datang menghampirinya. Oddie hanyalah seorang wanita lemah yang baru saja menerima musibah berkali-kali. Meskipun dia berontak dan melawan, tapi itu tidak cukup untuk membuatnya terlepas diri pria-pria besar suruhan Dean Nathan.

Hari itu adalah hari paling menyedihkan sepanjang hidup Oddie. Ayahnya mati, ibunya di penjara dan dia hanya bisa menerima saat mengetahui Dean Nathan sudah menyiapkan acara pernikahan untuknya. Dengan seorang wali hakim sebagai saksi, akhirnya seorang Oddie sah menjadi istri dari Dean Nathan.

Oddie bangkit. Mencabut selang infus yang masih terpasang ditangannya. Meskipun dokter bilang Oddie harus dirawat setidaknya beberapa hari lagi, tapi Oddie memutuskan untuk pergi.

Biaya perawatan rumah sakit sehari saja sudah mahal. Bagaimana kalau dia bermalam beberapa hari lagi disini? Berapa banyak uang yang harus dia berikan kepada Dean Nathan untuk menggantinya nanti? Lagipula bukankah orang miskin dilarang sakit?

Selain itu ini adalah kesempatan langka yang dimiliki Oddie untuk mengunjungi ibunya di penjara dan ayahnya di pemakaman.

.

.

.

"Ada denganmu, Die?" tanya Mama Rindi khawatir saat melihat kondisi Oddie.

"Aku baru saja kecelakaan," jawab Oddie.

Wanita itu hanya bisa melihat wajah Oddie melalui kaca sebagai pembatas. Membelai wajah Oddie juga dari pembatas. Sedih sudah pasti tapi tidak ada yang bisa dia lakukan selain menangis juga dari balik pembatas. Memangnya apa yang bisa dia lakukan sementara menyentuh anak yang dia besarkan dengan penuh cinta pun dia sudah tidak bisa meskipun anak itu duduk di hadapannya.

"Ma, Oddie baik-baik saja. Ini hanya luka kecil. Maaf karena Oddie baru bisa menjenguk sekarang," kata Oddie.

Oddie tersenyum dan mengalihkan pembicaraan untuk membuang kekhawatiran mamanya.

"Bukankah mama sudah bilang tidak perlu menjenguk? Kenapa kau masih kemari?" tanya Mama Rindi sembari menghapus air matanya.

"Ma, Oddie sangat merindukan mama. Jadi bagaimana bisa mama mengatakan ini pada Oddie?" protes Oddie.

...***...

Bab 3 Selembar Uang Terakhir Oddie

Mama Rindi memperhatikan Oddie dengan seksama. Melihat dengan teliti inci demi inci bagian-bagian Oddie yang masih sama saja. Sudah dua tahun Oddie menikah. Kenapa Oddie masih belum hamil juga? Apa Nathan tidak ingin segera memiliki anak?

Mama Rindi tidak yakin akan mengatakannya. Tapi dia tidak bisa menahannya lagi. Dua tahun yang lalu Nathan mendatanginya dan mengatakan ingin menikahi Oddie. Mama Rindi kira itu adalah pembuktian cinta Nathan untuk Oddie. Jadi Mama Rindi mengatakan asal Oddie bersedia, maka mereka bisa menikah.

Tapi yang membuat Mama Rindi penasaran adalah kenapa Oddie semakin kurus dari hari ke hari. Pakaiannya juga tidak semewah yang digunakan Nathan. Oddie, meskipun masih terlihat cantik tapi sudah tidak terlalu terawat seperti dulu lagi. Selain itu, kenapa mereka tidak pernah datang bersama saat berkunjung. Apa Oddie benar-benar bahagia?

"Die, apa Nathan memperlakukanmu dengan baik?" tanya Mama Rindi.

"Apa?" tanya Oddie. Dia sedikit kaget dengan pertanyaan mamanya yang tiba-tiba menyebut Nathan.

"Apa Nathan baik padamu?" ulang Mama Rindi.

"Dia baik," jawab Oddie.

"Baguslah kalau Nathan memperlakukanmu dengan baik. Tapi Die, saat Nathan tidak sibuk apa tidak sebaiknya kalian pergi ke dokter?" saran Mama Rindi.

"Kenapa aku harus ke dokter? Oddie kan baru dari dokter," tanya Oddie tidak mengerti.

"Die, sudah dua tahun. Mama bukannya berpikir aneh-aneh. Hanya saja apa kalian tidak ingin memeriksakan diri untuk memastikan kalian berdua sehat? Kalau kalian sehat, mama juga ikut senang. Mungkin hanya belum waktunya kalian diberi momongan. Tapi seandainya tidak, bukankah sebaiknya kalian mencari cara untuk membuat kalian tetap mempunyai anak?" jawab Mama Rindi.

Oddie hanya terpaku mendengarnya. Anak ya? Bagaimana seorang anak bisa lahir tanpa dibuat? Bagaimana mereka bisa membuat anak sementara tidak ada cinta diantara mereka. Lagipula seharusnya Nathan akan tetap punya anak meskipun itu bukan dari dirinya. Kirana, sekretaris cantik yang bersinar terang dan selalu bersama Dean Nathan itu pasti akan memberikan anak untuk Nathan dengan senang hati. Lalu Oddie, dia hanya akan membusuk layaknya seonggok sampah di sudut bumi tergelap.

"Ma, kami masih sangat muda. Kami tidak terburu-buru untuk memiliki anak. Dean sangat sibuk dan aku tidak siap jadi ibu. Jadi biarkan saja seperti ini," jawab Oddie beralasan.

"Die, Nathan selalu bekerja. Diluar sana dia pasti bertemu dengan banyak perempuan cantik. Apa kau tak takut suamimu tertarik dengan perempuan lain? Setidaknya jika sudah ada anak diantara kalian itu akan membuatnya lebih betah di rumah. Apa kau mengerti?" jelas Mama Rindi.

"Aku mengerti, Ma!" jawab Oddie.

Mereka tidak mengatakan apa-apa lagi selain itu. Hanya terus tersenyum dan saling memandang satu sama lain sampai seorang sipir mengatakan waktu kunjungan sudah habis.

"Kembalilah, Nak! Layani suamimu dengan baik. Sekarang sudah hampir waktunya makan siang. Bukankah seharusnya kau pergi untuk membawakannya bekal?" tanya Mama Rindi kemudian berlalu.

Oddie hanya mengangguk sembari tersenyum, tapi belum ingin beranjak dari tempatnya sampai mamanya tak terlihat lagi.

Dean Nathan tidak pernah mengakuinya sebagai istri. Mereka memang menikah tapi pernikahan itu seperti sebuah rahasia yang tidak diketahui oleh siapapun selain mereka. Jadi kenapa dia harus ke kantor membawakan bekal untuk Dean Nathan. Sudah bagus kalau Dean hanya membuang bekalnya atau membanting pintu. Bagaimana kalau Dean marah dan menghajarnya karena berani menginjakkan kaki disana? Bagaimana kalau dia kehilangan penglihatan mata kanannya juga?

Oddie akhirnya bangkit. Meninggalkan rumah tahanan itu untuk pergi ke tempat tujuannya berikutnya, pemakaman papanya.

.

.

.

Setelah dari pemakaman, Oddie singgah di sebuah taman bermain untuk melihat anak-anak yang berlarian di sana. Senyum yang sudah lama hilang itu akhirnya kembali muncul meski hanya sesaat.

"Kakak?" panggilan seorang anak kecil membuyarkan senyuman Oddie.

Oddie tidak menyahut, tapi sekelompok anak kecil lainnya turut menghampiri Oddie ketika melihat Oddie duduk sendirian dan terlihat kesepian.

"Kakak kenapa?"

"Apa ini sakit?"

"Kakak, mau bermain dengan kami?"

Mereka tersenyum ceria, bahkan sudah menarik tangan Oddie sebelum Oddie sempat mengiyakan ajakan mereka.

"Kakak, nama kakak siapa?"

"Kakak, apa rumah kakak disekitar sini? Kenapa aku tidak pernah melihat kakak?"

Sekumpulan bocah itu terus memberikan pertanyaan pada Oddie yang baru mereka kenal. Oddie menjawab satu persatu pertanyaan itu dengan sabar kemudian bermain dengan mereka meskipun dengan menahan sakit di kakinya yang pincang. Oddie bahkan sampai rela menggunakan selembar uang terakhirnya untuk membelikan mereka ice cream dan menikmatinya bersama-sama setelah mereka lelah bermain.

Hanya untuk hari ini saja senyum itu terus merekah menghiasi sudut-sudut bibir Oddie. Bukan hanya anak-anak itu yang melihatnya, tapi Dean Nathan pun juga melihatnya meskipun dari kejauhan.

Di seberang jalan sana, di dalam sebuah mobil mewah yang terparkir Dean Nathan sedang memperhatikan apa yang Oddie lakukan. Nathan mencari Oddie bukan karena mencemaskan keadaannya. Dia hanya memastikan Oddie tidak lari dari genggamannya setelah pihak rumah sakit mengatakan bahwa Oddie kabur.

"Apa yang kau lakukan, Die?" tanya Nathan. Entah kapan pria ini datang, tapi Nathan sudah berdiri di belakangnya dengan tatapan jijik seperti biasanya

"A-aku, a-aku,-"

"Pulang sekarang juga!" potong Nathan.

Nathan segera pergi setelah memberikan instruksinya. Melihat Oddie yang berjalan seperti keong dari dalam mobil tanpa belas kasih. "Ingin punya anak dariku? Mimpi sana! Melihatmu saja aku sudah sangat muak!" gumam Nathan setelah mengingat laporan dari bawahannya yang mengatakan apa yang Oddie dan ibunya bahas di penjara.

.

.

.

"Sayang, kau tadi pergi kemana saja?" tanya Kirana sore itu.

Wanita itu baru saja mengerjakan pekerjaan penting di luar dan baru pulang sore hari. Sekretaris wanita yang menjelma menjadi pelakor itu langsung menghambur ke pelukan Nathan. Wajah cantik, ekspresi cemberut, aroma parfum sensual dan pelukan manja itu entah kenapa Nathan tidak menginginkannya saat ini. Hari-hari sebelumnya jika Kirana sudah seperti ini, Nathan akan langsung menyambar bibirnya yang seksi atau mereka akan berakhir dengan adegan panas di atas ranjang.

Tapi kenapa sore ini berbeda? Apa karena Nathan terlalu lelah sampai tidak menunjukkan reaksi apa-apa meskipun Kirana mulai memancing gairah Nathan dengan tangan liarnya?

"Nathan?" protes Kirana.

"Maafkan aku, Ki! Ada banyak pekerjaan yang belum aku selesaikan!" tolak Nathan.

Kirana memasang wajah cemberut. Seharian ini dia bekerja diluar. Siang harinya Nathan membatalkan janji makan siang dan sorenya menolak pelukannya. Untung saja Nathan segera membujuknya agar tidak marah. Karena kalau tidak, sasaran kemarahannya pasti akan dia lampiaskan kepada Oddie.

"Jangan marah seperti ini. Kau sangat jelek kalau marah!" bujuk Nathan.

"Nathan!" rengek Kirana.

"Baiklah, apa yang harus kulakukan agar kau tidak marah?" tanya Nathan.

"Aku ingin tas baru. Aku sudah lama tidak beli tas," jawab Kirana.

Nathan berpikir sejenak. Dua bulan yang lalu dia baru saja memberikan tas branded yang cukup mahal. Tapi karena tidak ingin membuat Kirana marah dan moodnya sedang buruk, akhirnya Nathan langsung mentransfer sejumlah uang ke rekening Kirana agar dia membeli tas yang dia inginkan.

"Apa itu cukup untuk membeli tas baru?" tanya Nathan.

"Cukup," jawab Kirana sumringah setelah melihat jumlah uang yang ditransfer oleh Nathan.

Pelakor itu tidak cemberut lagi. Tapi langsung menciumi Nathan saking bahagianya.

"Kau istirahatlah duluan. Aku harus lembur malam ini!" kata Nathan.

Kirana langsung keluar dari ruangan kerja Nathan. Sementara Nathan segera mengerjakan pekerjaannya yang sempat tertunda. Nathan baru saja mengambil satu proposal yang harus dia periksa dan baru membuka lembaran pertama tapi bukan tulisan yang dia lihat, melainkan wajah Oddie yang tersenyum saat bermain dengan anak-anak.

Nathan menutup kembali proposal itu. Membuangnya begitu saja dan bertumpukan dengan proposal lainnya. "Sepertinya pelajaran yang ku berikan masih terlalu ringan untukmu, Die."

...***...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!