Seorang pria melangkah masuk ke dalam rumahnya dengan langkah terburu-buru. Ia berpapasan dengan seorang wanita yang baru saja keluar kamar.
"Zico, kau mau kemana?" tanya wanita itu.
Pria yang dia panggil dengan nama Zico itu menoleh dan berjalan menghampiri nya.
"Aku pikir kau di dapur, sayang. Aku mau minta izin sebentar. Aku harus pergi selama tiga hari. Ada urusan penting," pamit Zico.
Wanita itu mengernyit. "Pergi selama tiga hari? Kenapa mendadak?" seru wanita itu, sebut saja namanya Aylin.
Zico memegang tangan kanan Aylin, dan menangkup pipi sebelah kiri istrinya.
"Maaf, sayang. Aku tahu ini pasti berat bagimu. Sejujurnya aku juga tidak ingin meninggalkankanmu. Tapi aku juga tidak bisa meninggalkan pekerjaanku. Aku harap kau bisa mengerti." Zico menatap istrinya dengan tatapan penuh harap Aylin mampu mengertikan nya.
"Tapi kau harus janji, jika pekerjaanmu sudah selesai, cepat pulang. Aku tidak mau sendiri, sayang."
"Iya, pasti. Aku pasti akan pulang begitu pekerjaanku selesai. Aku pergi, ya." Zico memberi sebuah kecupan singkat di kening Aylin sebelum akhirnya dia pergi dari sana.
Aylin memandang punggung kepergian suaminya. Pria itu kerap kali pergi untuk urusan pekerjaan.
Seketika ia menunduk dan mengelus perut datarnya.
"Andai saja aku bisa memberikan seorang anak untuk Zico, dia pasti akan lebih sering berada di rumah di banding dengan urusan pekerjaan nya. Tapi sayangnya, ini sudah hampir tiga tahun pernikahan, dan selamanya kami tidak bisa memiliki keturunan. Rahimku bermasalah yang mengakibatkan aku tidak bisa hamil. Semoga saja Zico tetap setia dan tetap menerima kekurangan aku."
Aylin kembali memandang ke arah kepergian suaminya. Ia berharap Zico pergi benar-benar untuk urusan pekerjaan, bukan untuk hal lain.
***
Mobil yang saat ini di kemudikan oleh Zico masuk ke sebuah perdesaan. Ia menghentikan mobilnya di halaman rumah yang ada di ujung, rumah yang lumayan jauh dari rumah warga yang lain.
Zico turun dari mobil dan membuka kaca mata hitam yang saat ini ia kenakan. Matanya menyisir halaman rumah tersebut guna mencari sosok yang ingin ia temui.
Terdengar suara pintu rumah tersebut di buka oleh seseorang. Kedua mata Zico tertuju pada pintu rumah di depannya. Seorang wanita dengan pakaian yang jauh dari kata glamour muncul dari balik pintu.
Zico berjalan beberapa langkah dan berhenti tepat di hadapan wanita itu.
"Ternyata kau datang juga," ucap wanita itu.
"Aku tidak pernah bermain-main dengan sebuah ucapan," jawab Zico.
"Kalau begitu, silahkan masuk!" Wanita itu memperagakan tangannya mempersilahkan Zico untuk masuk.
Zico mengikuti langkah wanita itu dan duduk di kursi yang terbuat dari rotan.
"Mau di buatkan minum apa?" tawar si wanita.
"Apa saja," jawab Zico.
Wanita itu melipir pergi ke arah dapur dan kembali membawa segelas air putih di atas nampan. Ia meletakannya di atas meja di hadapan tamunya.
"Maaf, hanya air putih."
"Iya, tidak apa-apa," jawab Zico.
Wanita itupun duduk di kursi panjang, sementara Zico di kursi single. Terdengar suara seorang wanita paruh baya terbatuk-batuk dan kedengarannya begitu parah.
"Itu ..." Zico menunjuk ke arah sumber suara.
Wanita itu mengangguk. Sebut saja namanya Naima. Wajahnya berubah sedih.
"Ibuku mengidap penyakit yang cukup parah, dia butuh pertolongan Dokter. Tapi sayangnya, aku tidak mampu membawanya ke rumah sakit. Aku tidak punya cukup uang untuk itu. Oleh karena itu, aku sanggup melakukan apa saja asal ibuku bisa sembuh," jelas Naima.
"Kau yakin mau melakukan apapun?" tanya Zico memastikan dan mendapat anggukan dari Naima.
"Tapi ini lumayan berat. Ini juga menyangkut harga diri dan keberlangsungan hidupmu."
Naima diam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Zico.
"Memangnya apa yang harus aku lakukan?"
Zico terdengar menghela napas berat. Ia menatap wanita di hadapannya ragu. Apakah Naima setuju dengan penawaran yang akan ia berikan?
_Bersambung_
Naima sudah tidak sabar ingin mendengar apa yang harus ia lakukan. Sampai akhirnya, Zico pun mengatakan penawaran nya.
"Aku sudah memiliki istri. Kami sudah mengarungi bahtera rumah tangga selama hampir tiga tahun. Tapi sayangnya, pernikahan kami selamanya tidak akan mendapat keturunan. Rahim istriku bermasalah, itu yang membuat aku kehilangan harapan mendapatkan seorang anak. Jadi, apa kau bersedia memberiku keturunan?"
Pertanyaan Zico sontak membuat iris mata Naima melebar. Wajahnya menegang, napasnya tertahan. Sekujur tubuhnya beku seolah di kutuk menjadi batu.
"Aku akan memberimu sejumlah uang asal kau bisa memberiku satu orang anak saja tanpa adanya pernikahan. Apa kau bersedia?" imbuh Zico.
Naima menelan salivanya dengan susah payah. Ini tidak tahu harus menjawab apa. Ini terlalu berat untuk dirinya.
Naima menggeleng berat. "Tidak, aku tidak setuju. Itu terlalu merugikan untuk aku," sahut Naima dengan bibir gemetar.
"Kau yakin menolak penawaran ku? Tolong pikirkan dulu, jangan terlalu cepat mengambil keputusan. Aku akan memberimu waktu sampai kau benar-benar memberi keputusan yang tepat. Memangnya kau tidak mau ibumu sembuh?"
Kalimat terakhir Zico membuatnya merasa dilema. Apakah ia harus mengorbankan diri untuk kesembuhan sang ibu? Apa ia harus menukar hidupnya dengan sejumlah uang yang tidak sedikit.
Selama ini Naima berusaha mengumpulkan uang untuk berobat sang ibu. Tapi sayangnya total yang harus ia kumpulkan terlalu banyak. Sehingga butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa terkumpul. Beberapa kali mencoba meminjam uang pada tetangga dan kerabat, tapi tidak ada satupun yang mempercayainya.
Tiga hari lalu, ia bertemu dengan pria yang nyaris menabraknya. Pria itu Zico. Dilihat dari penampilannya, sepertinya Zico bukan orang sembarangan. Setitik harapan Naima genggam dan mencoba untuk meminjam uang pada pria yang nyaris menabraknya itu. Tapi sayangnya, syarat yang di berikan oleh Zico yang membuatnya di selimuti oleh perasaan dilema sekarang.
"Apa aku bisa menawar?" tanya Naima setelah beberapa saat terdiam, ia berusaha untuk memantapkan diri.
"Apa?" Zico siap mendengarnya.
"Aku bersedia memberimu keturunan. Tapi aku keberatan dengan kata 'tanpa pernikahan'. Itu terlalu merendahkan."
"Jadi?"
"Aku rasa kau mengerti maksudku."
Zico menaikan alisnya sebelah. Kenapa jadi dia yang seolah-olah membutuhkan bantuan?
"Jadi kau mau aku menikahimu?"
"Ya," jawab Naima cepat.
"Tapi aku tidak bisa mengkhianati istriku."
"Apakah dengan aku memberimu keturunan dan apa yang terjadi di antara kau dan aku bukan sebuah pengkhianatan?"
Zico bergeming.
"Tapi aku akan mengakhirinya setelah anakku lahir. Bagaimana? Deal?" Zico mengulurkan tangannya pada Naima, namun wanitu itu tidak langsung menjabatnya.
Apa ini ketupusan yang tepat? Aku tidak lagi punya pilihan lain. Aku ingin ibu sembuh, aku tidak tega melihat ibu menderita setiap hari. Ucap Naima dalam hati.
Setelah mencoba meyakinkan diri dan memantapkan hati, Naima menjabat tangan Zico.
"Deal," jawab Naima dengan jelas.
Naima berharap ini langkah yang benar. Semoga tidak ada penyesalan nantinya.
Jabatan tangan mereka lumayan lama, dan Naima segera menarik tangannya begitu sadar.
"Maaf," ucap wanita itu segan.
"Ya, tidak apa-apa."
"Jadi apa sekarang ibuku sudah bisa di bawa ke rumah sakit?" tanya Naima tidak sabar.
"Ya, kita ke rumah sakit sekarang. Semakin cepat semakin baik. Aku juga tidak ingin membuang-buang waktu."
Naima mengangguk setuju. Syukurlah jika ibunya akan segera di tangani. Ia berharap semuanya berjalan dengan apa yang ia harapkan.
_Bersambung_
Setelah saling sepakat dengan perjanjian yang barusan di buat, Zico langsung membawa ibu Naima ke rumah sakit dan meminta pelayanan terbaik. Naima berharap jika ibunya bisa sembuh dan sehat seperti sedia kala. Ia tidak tega melihat sang ibu menderita dengan penyakitnya.
"Aku tidak bisa menunggu ibumu sembuh dan sehat kembali baru kita melangsungkan pernikahan. Aku hanya punya waktu tiga hari dan aku ingin besok atau lusa kita sudah menikah."
Pernyataan Zico seketika membulatkan mata Naima. Akan tetapi ia tidak bisa menolak, siap tidak siap ia harus melakukan pernikahan yang sebelumnya sudah di sepakati. Meski ia tahu apa yang di lakukannya itu salah, tapi ia tidak punya pilihan lain.
Hanya sembilan bulan, Naima. Setelah kau melahirkan anak untuknya, maka kau akan terbebas dari situasi ini. Ucap Naima dalam hati, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
Akhirnya Naima mengangguk setuju.
"Apa kau ingin ibumu tahu tentang pernikahan di antara kita?"
Naima menggeleng keras. "Tidak, tidak. Ibu pasti akan kecewa padaku sekalipun aku mengatakan alasannya melakukan semua ini," tolak Naima.
"Lalu bagaimana saat kau hamil nanti?"
Pertanyaan Zico membuat Naima bergeming. Ia tidak tahu harus memberi tahu ibunya atau tidak.
"Setelah pernikahan kita berlangsung dan aku menanam benih di rahimmu, aku tidak bisa menemuimu setiap hari. Paling tidak aku akan menemui satu bulan sekali. Aku tidak ingin istriku tahu jika aku memiliki wanita lain. Dia pasti akan terluka."
"Lalu setelah anak ini lahir dan kau membawanya ke rumahmu, apa yang akan kau katakan pada istrimu?"
"Gampang. Itu urusanku nanti," jawab Zico kemudian bangkit berdiri dari duduknya.
"Aku mau mengurus administrasi dulu, kau tunggu saja di sini," pamit pria itu dan beranjak dari sana, meninggalkan Naima yang duduk di sederet bangku besi rumah sakit.
Telapak tangan Naima mengeluarkan keringat dingin. Sungguh tidak pernah terbayangkan sebelumnya jika ia akan menikah dalam waktu dekat ini dengan pria yang sama sekali tidak ia kenal. Dan mirisnya, pernikahannya hanya sekedar untuk memberi seorang anak demi mendapatkan sejumlah uang agar ibunya bisa sembuh dan sehat.
Naima menunduk, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan yang menumpu di atas lututnya.
***
Setelah selesai di tangani oleh Dokter, kini di sejumlah titik tubuh ibu Naima yang bernama Maya di pasang alat medis. Naima sedih melihatnya, tapi di sisi lain ia senang lantaran sang ibu sudah mendapat perawatan yang tepat.
Kelopak mata bu Maya bergerak-gerak dan perlahan matanya terbuka. Naima langsung menyeka air matanya yang sempat menetes di kedua pipi.
"Na-Naima ..." ucap bu Maya terbatas dengan suara yang lirih sekali.
Naima menggenggam tangan ibunya yang tidak terpasang selang infus.
"Iya, ibu. Ini Naima. Bagaimana keadaan ibu?"
Perlahan kepala bu Maya menoleh ke arah putrinya, Naima sudah tidak sabar ingin mendengar keadaan ibunya sekarang.
Alih-alih memberi jawaban, bu Maya justru malah memberinya sebuah pertanyaan yang membuat Naima seketika bungkam.
"S-siapa ... pria itu, Naima?"
Wajah Naima menegang, napasnya tertahan. Ia menelan salivanya dengan susah payah.
Ya Tuhan .. Aku harus menjawab apa?
Naima berubah gugup, ia tidak mungkin mengatakan yang sejujurnya pada sang ibu. Tapi ia juga tidak memiliki alasan lain.
"Naima .. Tolong jawab, nak! Dari mana kau dapat uang untuk membawa ibu ke sini?"
Lagi-lagi Naima di buat bungkam, ia tidak ingin ibunya kecewa. Yang ia inginkan saat ini ibunya sembuh dan sehat.
"Sudahlah, ibu. Ibu tidak perlu pikirkan hal itu. Sekarang ibu fokus dengan kesehatan ibu sendiri, ya. Aku akan melakukan apapun demi kesembuhan ibu," jawab Naima berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Tolong jawab pertanyaan ibu, Naima!"
"Sekarang ibu istirahat, ya. Jangan pikirkan apapun selain kesembuhan ibu. Ibu harus sembuh, ibu harus sehat."
"Apa yang sedang kau tutupi dari ibu, nak? Tolong jawab pertanyaan ibu siapa pria itu? Sejak kapan ibu mengajarimu untuk berbohong? Bagaimana ibu bisa istirahat dengan tenang jika kau saja tidak memberi tahu ibu siapa pria yang telah membawa ibu ke sini." seru bu Maya lagi-lagi membuat Naima kehilangan alasan.
"Naima, ibu tahu kau sayang pada ibu. Tapi jangan sampai kau menghalalkan segala cara demi kesembuhan ibu termasuk jika ini berkaitan dengan harga dirimu," ucap bu Maya tepat sasaran dan tanpa Naima duga jika ibunya memiliki feeling yang sangat kuat terhadap dirinya.
"Ibu ... Ibu berkata apa?" Naima berusaha mengelak.
"Ibu tidak ingin kau salah langkah, nak. Ibu tidak mau kau menyesal di kemudian hari."
Naima diam mendengar kalimat terakhir yang di ucapkan oleh sang ibu. Tapi ia masih tidak memperdulikan apapun konsekuensinya. Yang terpenting ibunya sembuh dan sehat. Itu sudah cukup baginya.
_Bersambung_
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!