"Tiga juta Dion", untuk Fani yang mau rekreasi dari sekolahnya. Kalau dia gak ikut, kasihan nanti kecil hati. Sedangkan temannya ikut semua!" ujar Mas Rino pada Adiknya yaitu suamiku.
Aku baru saja keluar dari dapur, dan ingin menyambut kepulangan Mas Dion. Malah dia sudah di datangi Mas Rino Kakaknya yang selalu pinjam uang, sangat hapal atau sudah menjadi kebiasaan. Untuk meminjam, dan hari ini Mas Dion gajian.
Aku menghentikan langkah. Untuk mendengarkan jawaban suamiku. Putriku Della juga bersekolah sama dengan Fani. Della tadi memberitahu jika uang untuk ikut rekreasi sekitar 1,2 juta. Bukan 3 juta. Dan boleh membawa Ibu jika turut serta.
"Oke, aku transfer ya Mas!" ucap Mas Dion menyanggupi.
Lagi dan lagi dia meminjami uang untuk Mas Rino. Padahal suamiku cuma staff biasa di kantor, dengangaji 5 juta. Aku juga sedang butuh uang
"Mas!" aku muncul untuk menghentikan suamiku.
"Apa Ras?" Mas Dion menoleh padaku.
"Della tadi dapat formulir dari sekolah, ada rekreasi ke puncak. Apa boleh dia ikut?" tanyaku. Memang Della tak pernah memaksa ingin ikut, tapi aku ingin melihat reaksi suamiku.
"Untuk apa sih, ikut rekreasi! Kamu pikir gak pakai biaya? Bilang sama Della gak usah ikutan. Di rumah aja, ngabisin duit. Kamu gak bisa cari uang sendiri!" ucap Mas Rino yang justru menjawab.
"Della, juga mau ikut?" tanya Mas Dion.
Aku mengangguk dan mengabaikan mas Rino.
"Iya Mas, sesekali dia mau ikut. Tahun kemarin dia juga gak ikut!" jawabku.
"Halah! Ngabisin biaya aja, bilang aja Ibunya yang mau rekreasi kan? Kamu yang mau jalan-jalan!" tukas Mas Rino mencercaku.
Dia selalu menyahut.
"Maaf Ras, bilang sama Della. Gak usah ikut dulu, Mas belum ada uang," ucap Mas Dion.
"Kamu jadi transfer?" Mas Rino bertanya pada suamiku. Dia memastikan, seakan takut tidak jadi di pinjami.
"Kenapa untuk keponakanmu selalu ada, untuk anak kita kamu gak mau kasih Mas?" kekesalan yang tadi aku rasakan, aku tumpahkan juga.
"Mas Rino itu pinjam padaku! Kamu harusnya memberi pengertian dong, pada Della. Jangan terlalu mengutamakan gengsi, dia tahu kan Ayah-nya hanya karyawan biasa dengan gaji UMR!" ujar Mas Dion dan lagi aku harus memberi pengertian.
"Istrimu ini memang selalu iri, dengan keluargaku!" Mas Dion menyorotku.
"Aku ini hanya meminjam pada adikku, kamu kalau mau uang banyak kerja sendiri, hasilkan uang sendiri. Jangan cuma mengandalkan Dion!" ucapnya.
Seakan aku ini istri yang tak berguna. Padahal Mas Dion itu wajib bertanggung jawab dengan kebutuhan anak istri. Selama ini juga aku sudah mengalah, uang abis gajian di pinjam. Belum lagi memberi ibunya. Aku tak keberatan dia memberi ibu tapi dia hanya memberi sisa gaji.
"Meminjam? Tapi selama ini apakah pernah dikembalikan?" ucapku pada Mas Rino.
"Selalu di kembalikan, kamu jangan suudzon!" ucap Mas Dion dan menatap kakaknya.
"Istrimu gak punya adab!" cercanya.
Kakak iparku ini pengangguran. Dan hanya bekerja semaunya. Aku pernah mendengar pembicaraan mereka di rumah mertuaku. Jika Mas Rino tidak pernah membayar hutangnya dan selalu mengundur waktu. Hanya janji-janji yang ia berikan.
Aku meninggalkan ruang tamu. Percuma berdebat.
"Bu, aku gak usah ikut. Gak apa-apa kok!" ujar Della yang ternyata melihat kejadian tadi.
Aku meraih tubuh putrinya dan memeluknya.
"Nanti, jika ibu ada uang kita ikut ya!" ucapku.
"Tadi Nenek telpon ibu,"
"Ada apa?"
"Enggak tahu. Ibu suruh telpon balik! Ada hal penting!"
...****************...
Aku meraih ponsel dan mencari nomor Ibuku.
"Assalamualaikum!" ucapku ketika tersambung.
"Walaikumsalam, Nak,"
"Ibu ada apa tadi telpon, katanya ada hal penting?" tanyaku.
"Tanah milik Bapakmu mau di jual!"
"Lahan kosong itu, Bu?" tanyaku memastikan.
"Iya mana lagi, kan Bapakmu hanya punya lahan itu."
Memang bapak mempunyai sebuah lahan kosong hampir 4 hektar. Dulu aku diminta untuk mengelolanya, namun aku belum mempunyai modal untuk membeli bibit sawit dan juga mengupahi orang untuk membuka lahan.
"Jadi di dekat situ akan dibangun pabrik kelapa sawit, dan perusahaan itu mau membeli lahan bapak dan juga beberapa orang yang mempunyai tanah di sana. Dengan harga yang mahal. Makanya Ibu minta kamu untuk pulang dulu ke kampung, untuk mengurus pembayarannya nanti. Karena menurut bapak dan Ibu juga lebih baik tanah itu dijual dan uangnya bisa kamu gunakan. Karena kan itu memang untukmu, kamu anak ibu satu-satunya. Mungkin nanti kamu bisa membuka usaha dengan suamimu!" ujar Ibu panjang lebar menjelaskan.
"Katanya mau di beli 1 milyar untuk tanah Bapak!"
"Baik Bu, aku akan pulang."
Aku harus merahasiakan ini dari Mas Dion. Mungkin ini jawaban atas doa-doaku selama ini.
Aku membuka aplikasi hijau. Karena ingin mengecek grup sekolah putriku. Semua ibu-ibu bilang jika mereka akan ikut rekreasi dan mendaftar. Hanya Della yang tidak turut serta.
Aku beralih melihat story Mbak Sinta yang seperti memposting, foto duit. Dengan caption.
"Makasih suamiku, di kasih jajan untuk pergi rekreasi!"
"Di kasih jajan, jelas itu hasil meminjam! Aku akan balas kesombongan keluargamu, Mas!" gumamku.
"Ras!" Mas Dion mendekat dan menyodorkan uang 400 ribu padaku. Terlihat 4 lembar merah.
"Ini untuk belanja bulanan," ujarnya.
Aku bergeming.
"Kenapa, kamu gak mau?"
"Hanya ini?" tanyaku dan mendongak menatap wajahnya.
"Satu juta untuk Ibu, dan sisanya satu juta bagi dua denganku!" ujarnya.
"Berikan saja semua pada keluargamu, aku tak butuh Mas!" ucapku karena sudah lelah bersabar.
"Sombong sekali kamu, mau dapat uang dari mana. Jika bukan dariku! Ingin uang banyak kerja sendiri!" ujarnya.
Jadi dia mau lepas tanggung jawab dan merendahkan aku sebagai istrinya. Ketika nanti aku bisa mandiri, aku tidak akan butuh lagi nafkah darimu Mas.
Cukup sabar selama ini aku menghadapi keegoisanmu beserta saudaramu yang selalu menjadi benalu. Meminjam uang setiap kamu gajian, mereka seakan merasa berhak menerima gajiku di banding aku.
Tidak, aku tidak akan lagi tunduk. Kita lihat Mas setelah ini bagaimana kamu akan menyesal atau tidak, telah menyia-nyiakan istri dan putrimu sendiri demi keluargamu yang tidak tahu diri.
Mas Rino yang pengangguran itu terlalu nyaman, menikmati gaji adiknya. Mungkin itu juga yang membuat ia malas bekerja. Selalu mengandalkan adiknya, untuk kebutuhan hedon istrinya.
Kakak iparnya yang selalu pamer beli barang baru, dan belanja menggunakan uang gaji suamiku. Tanpa rasa malu, dan sengaja pamer padaku. Mereka memang tak punya rasa malu. Hutang pun tak pernah di bayar, pinjam uang hanya kedok untuk meminta uang.
"Ok! Aku akan cari pekerjaan sendiri. Ingat Mas, kamu nggak akan bisa tanpa aku! Kalau kamu lebih mementingkan keluargamu, untuk apa kamu nikahin aku? Hah?!" Cercaku pada Mas Dion.
Mas Dion tersentak saat mendengar ucapanku yang seperti itu. Dia mungkin saja tak menyangka kalau aku akan berkata seperti ini. Memang selama ini aku hanya diam saja, saat suamiku memperlakukanku dengan semaunya. Seolah aku hanya patung dan dianggap manusia yang tak berguna.
Sekarang, aku sudah tak mau diam lagi atas semua kelakuan keluarganya. Aku ingin mereka juga merasakan semua penderitaanku pada saat dulu.
"Mulai berani ya, kamu sama aku? Sudah mulai kurang aj*r kamu sama aku, Ras?" Balas Mas Dion tak mau kalah. Matanya melotot ke arahku, hampir saja keluar dari tempatnya. Mas Dion benar-benar sudah tak punya rasa kasih sayang lagi denganku. Jadi, untuk apa aku pertahankan rumah tangga ini? Rumah tangga bagai taman kanak-kanak.
"Terserah apa katamu saja, Mas. Aku capek, aku lelah sama masalah-masalah yang setiap hari datang dan menghampiri rumah tangga kita. Ibumu yang selalu saja meminta uang, kakakmu juga sama, begitu juga adikmu. Mereka hanya memikirkan uang, uang, dan uang saja. Tanpa mau tahu sedikitpun tentang perasaanku," lirihku kini. Menumpahkan semua rasa sesak di dada yang sudah lama kupendam. Air mata ini mengalir deras, menatap matanya yang masih memandang tajam ke arahku.
Sejenak Mas Dion terdiam. Dadanya kembang kempis, mungkin sedang menahan amarah yang hampir meluap.
Segera kuhapus air mata ini. Lalu pergi keluar dari kamar. Menghirup udara sejenak di halaman belakang. Sambil meresapi semua badai ujian yang datang menghampiri keluarga kecil kami.
Memang, kata orang kalau pernikahan itu ujiannya jika tidak dari luar, maka bisa jadi dari orang dalam. Yaitu keluarga sendiri. Semoga suatu saat semuanya bisa berubah.
(Belanja keperluan untuk di puncak nanti. Chek....) lagi dan lagi kulihat status alay dari Kak Sinta. Gayanya udah sok selebritis saja. Padahal utang melilit. Dasar BPJS!
Karena rasa kesal yang sudah tak tertahankan, langsung saja kubalas story Kak Sinta barusan.
[Cie... yang mau belanja. Banyak duit nih? Tapi kira-kira duit sendiri, apa boleh minjam ya?] Tak menunggu waktu lama, pesan sudah dibaca oleh target. Yaitu kakak ipar yang sombong, tapi kere.
[Apa maksud kamu, Ras?] Aku mencebikkan bibir karena balasan pesannya yang sok benar.
[Pikir aja sendiri.] Segera kutaruh ponsel. Karena tak mau lagi meladeni si manusia bpjs itu.
[Kamu nggak usah sok ikut campur, Ras! Toh, kamu saja nggak bisa kan mencari uang? Hanya mengandalkan uang dari suamimu saja!] Balas Kak Sinta lagi. Seolah tau dengan apa yang sedang kupikirkan saat ini.
Aku hanya tersenyum getir. Melihat semua kenyataaan saat ini.
...****************...
Pagi harinya, Mas Dion sedang bersiap-siap untuk berangkat bekerja. Dia sama sekali tak menyapaku hari ini. Dan semua itu tak jadi masalah lagi bagiku. Seperti sudah terbiasa kini dengan sikapnya.
Kini Mas Dion sudah pergi berangkat bekerja. Dan niatku hari ini ingin menjual cincin kawin ke pasar. Hanya harta ini satu-satunya yang kini kumiliki. Tapi, setelah ini aku akan memiliki uang yang banyak dan membangun berbagai usaha. Agar aku tak selalu direndahkan oleh suamiku, maupun keluarganya.
"Koh, ini kalau dijual laku berapa?" Tanyaku pada si pemilik toko mas.
"Palingan tiga juta aja, Bu. Cincin ini sudah agak pudar warnanya." Aku terdiam sejenak. Menghitung ongkos dan biaya lainnya untuk pulang ke kampungku.
Selama berumah tangga dengan Mas Dion, aku memang jarang sekali pulang ke kampungku. Mas Dion selalu saja beralasan jika aku meminta untuk menengok ibuku di kampung. Sangat berbanding terbalik dengan sikapnya dia ke keluarganya sendiri. Menyedihkan!
Terkadang aku juga harus menahan rasa kesal, saat Mas Rino meminjam uang terus-menerus pada suamiku, tanpa berniat untuk mengembalikannya.
"Kok murah sekali ya, Koh? Saya beli waktu itu harganya masih empat jutaan," jelasku.
"Iya kan tadi saya bilang, kalau emas punya ibu sudah mulai pudar warnanya. Jadi harganya segitu. Itu pun kalau ibu mau." Jelasnya lagi, dengan gaya bahasanya yang khas.
Karena hati yang masih ragu-ragu. Akhirnya kuurungkan sementara niatku untuk menjual cincin kawin ini. Dan bersiap untuk pulang ke rumah.
"Ini cakep nggak, Sin?" Saat aku ingin melangkahkan kaki untuk pulang, refleks kepala ini malah mencari pusat suara tadi. Mirip suara ibu mertuaku.
Benar saja, ibu mertuaku sedang berada disini juga, bersama dengan adik iparku.
Mereka berdua memang tak melihatku, karena posisiku saat ini berada di barisan paling pojok, sedangkan mereka ada di ujung sana. Dan toko mas ini juga cukup luas untuk para pengunjung, dan juga cukup ramai.
Kuperhatikan sejenak mereka berdua. Karena aku juga ingin tahu, mau apa mereka kemari? Apa mungkin ingin membeli emas?
"Iya Bu, ini bagus modelnya. Aku jadi pengen juga deh, Bu," sahut Gita, sambil memilih-milih gelang model terbaru.
"Kamu sabar ya? Bulan ini untuk ibu dulu. Nanti, bulan depan kita minta sama kakakmu, biar kamu dibeliin gelang yang kamu suka. Kan Dion udah naik jabatan, gajinya 15 juta, belum bonus. kita minta apa saja pasti di turutin!" Ujar ibu mertua. Gita pun langsung tersenyum sumringah sambil mengangguk.
Seketika ada rasa perih yang menjalar di hati ini. Sakit tapi tak berdarah.
Mas Dion naik jabatan dan merahasiakannya dariku. Kenapa terlalu banyak yang ia sembunyikan, dari istrinya sendiri.
Apakah dia begitu takut jika uang itu aku minta, dan di gunakan oleh anak istrinya, dia tak rela.
"Ibu beli emas?" tanyaku dan mendekati mereka seketika raut wajah Ibu syok dan Gita memasang raut wajah tak suka, ketika melihat kehadiranku di sini.
"Kamu ngapain ada di sini, mau beli perhiasan?" cecarnya menatapku sinis.
"Uang dari mana?" Tanya dia Kembali, yang bukannya menjawab pertanyaanku.
"Aku ingin jual cincin,bukan beli perhiasan. Boro-boro beli perhiasan, nafkah saja tidak diberi jadi aku jual cincin untuk biaya hidup."
"Jaga perkataanmu, sudah di beri nafkah kamu tolak! Kamu ingin mempermalukan suamimu, istri macam apa!" Ucap ibu dengan suara yang di tekan dan matanya menyorot tajam padaku.
"Nafkah 400 ribu, sedangkan gaji dia belasan juta sekarang? Uang gaji Mas Dian itu hanya untuk keluarganya, bukan untuk anak dan istri. Jadi ibu maklum saja jika aku sampai menjual cincin!" Ujarku dan meninggalkan tempat itu.
Biarlah mereka yang menikmati gajimu Mas. Jika aku punya usaha sendiri, aku bahkan tak butuh nafkah darimu.
"Aku mau jual cincin karena anakmu sebagai suamiku, tak mau memberikan aku uang. Karena keluarganya sangat membutuhkan uangnya, untuk bersenang-senang!" ujarku agar mereka tersentil.
Biar saja Ibu mertua merasa malu. Karena perasaanku rasanya sudah campur aduk, karena mengetahui fakta tentang suamiku.
Tak ada lagi rasa sayang Mas Dion untukku. Pernikahan macam apa ini, aku bertahan tak pernah di hargai.
Aku berlalu pergi meninggalkan Ibu dan Gita. Yang masih tercengang dengan perkataanku tadi. Membuat wajah mereka memerah menahan malu.
Ibu memakiku. Tapi aku tak mendengar dengan jelas apa yang ia katakan. Karena ku-percepat langkah ini, untuk segera pergi dari hadapan mereka.
Aku menghitung uang penjualan cincin. Setelah terpaksa menjualnya, dengan harga yang sama dengan toko emas tadi.
Karena aku butuh untuk pulang kampung, dan menemui Ibu dan Bapak.
"Assalamualaikum..!" terdengar suara Della yang sepertinya baru saja pulang sekolah.
"Walaikumsalam." sahutku.
Putriku itu berjalan menuju diriku yang masih di dalam kamar, pintu kamar terbuka.
Della mencium punggung tanganku dengan takzim.
"Ibu belikan kamu ayam goreng crispy, kesukaanmu. Makan sayang, setelah itu ganti baju,"
"Oke, Bu. Enak nih ada ayam,"
"Iya, Ibu lagi ada rejeki. Nanti Ibu daftarkan kamu untuk ikut rekreasi ya," ujarku.
"Tidak usah Bu, aku gak mau ibu susah cari uang untukku. Ayah pasti gak izinin," ucapnya.
Della walau usianya masih 9 tahun. Akan tetapi putriku ini selalu mengerti tentang keadaanku.
"Memangnya berapa hari lagi?"
"Tinggal 2 hari lagi Bu, semua temanku sudah mendaftar. Kelas lima dan enam. Tapi beberapa ada yang tidak ikut juga kok!"
"Ya sudah, kamu ganti baju sana. Kita makan bareng!" titahku dan di turuti oleh Della.
Aku menyimpan uang di dalam dompet dan menaruhnya di lemari, esok aku juga akan pergi ke kampung. Jadi tak mungkin juga menemani Della jika dia turut rekreasi.
Nanti saja setelah urusan di kampung selesai, akan aku ajak putriku untuk refreshing bersama Kakek dan Neneknya juga.
Aku mencuci piring di wastafel. Usai makan siang bersama Della.
"Bu, ada Vino," ucap Della membuatku menoleh.
"Ada apa, Nak?"
"Vino mau minta makanan, katanya dia laper!" ucap Della dan mengajak Vino untuk duduk di kursi meja makan yang ada di dapur.
"Kamu ambilkan ya Nak, untuk Vino. Itu kan masih ada ayam gorengnya!" ujarku sambil Mengelap piring yang sudah selesai di cuci.
Della mengambilkan piring, dan mengisi nasi juga ayam goreng crispy.
Aku ikut duduk dan bergabung bersama mereka, setelah selesai dengan pekerjaanku.
"Makasih ya Kak, Della," ucap Vino dan kemudian mulai menyuap makanan ke dalam mulutnya.
Dia sangat lahap sekali ketika menyuap makanan ke dalam, mulutnya. Seperti orang yang kelaparan.
"Kamu makannya pelan-pelan, ini minum dulu!" aku memberikan segelas minuman pada Vino.
Keponakanku yang berusia 6 tahun ini cukup sering datang ke rumah, untuk meminta makan. Karena Mbak Sinta sering tidak masak, dan dia lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah, bersama teman-temannya.
"Mama kamu belum masak, kamu belum makan ya dari pagi?" tanyaku pada Vino.
"Belum Tante, Mama tadi pergi katanya mau senam," jawabnya.
Seperti biasa Mbak Sinta lebih mengedepankan gayanya. Sebenarnya tidak tak salah jika dia ingin pergi senam, ataupun mempunyai kegiatan bersama temannya.
Tapi harusnya dia mengutamakan juga keluarganya, meninggalkan anaknya di rumah tanpa ada makanan. Apakah Mbak Sinta tidak berpikir, jika anaknya akan kelaparan.
Sudah cukup sering dia begini, tidak hanya sekali.
Vino datang ke rumah, dan kedua orang tuanya juga mengetahui jika anaknya datang, untuk meminta makan.
Bahkan kadang mereka menyuruh Vino untuk membungkus makanan dari rumahku.
"Tante, itu ayamnya masih ada tiga potong lagi, untuk aku ya? Biar aku bawa pulang, karena Kak Fina dan juga Papa belum makan tadi! Papa bilang katanya suruh bawa makanan dari rumah Tante," ujar bocah kecil itu.
Benar kan dugaanku. Vino akan meminta membungkus makanan. Jika aku ada rezeki, aku tidak bisa pelit dan tega pada keponakanku sendiri.
"Iya, kamu bawa saja sekalian," jawabku.
"Nasinya juga ya Tante, Mama juga belum masak nasi! Kata Papa suruh bawa sekalian!"
Astaga Mbak Sinta belum masak nasi, keterlaluan.
"Tante bungkus kan dulu ya, nasinya!"
Setelah membungkus nasi itu, dan juga ayam yang tadi tersisa. Aku memberikannya pada Vino.
Bocah itu tampak riang, setelah aku berikan makanan dan kemudian ia pulang.
"Tante Sinta, males banget. Kasihan Vino sering kelaparan!" celetuk Della putriku.
Aku hanya tersenyum getir. Kasihan bocah itu, kurang perhatian karena Mamanya sibuk dengan dunia sendiri. Tapi jika pinjam uang, selalu anak yang jadi alasannya. Padahal uang itu di gunakan untuk gaya hidupnya yang hedonis.
"Rasti, Mas ingin bicara padamu!" ujar Mas Dion.
Dia baru saja pulang bekerja dan menemuiku, yang sedang menonton televisi dengan Della.
"Bicaralah, mas!" ucapku tanpa menatapnya. Karena mataku terfokus pada layar televisi.
"Aku ingin bicara di kamar, tidak enak jika didengarkan oleh anak kita!"
Aku bangkit dari duduk kemudian kami berjalan menuju kamar.
"Katakan, apa yang ingin kamu bicarakan!" ujarku dan tidak mau membuang waktu.
"Apa benar kamu habis jual cincin? Kenapa kamu pakai jual cincin segala, itu kan cincin yang dulu dibeli menggunakan uangku!" ujarnya langsung mencercaku.
Pasti Ibu mertua yang melaporkan nya. Karena kami tadi bertemu di toko emas.
"Kenapa Mas! Aku butuh uang dan cincin itu hartaku satu-satunya. Aku tidak punya pilihan lain, selain menjualnya!" jawabku dan mencoba mengontrol emosi. Dia mengungkit, karena dia yang mebelikan cincin itu dulu.
"Kalau kamu mau menjual, kamu harus minta izin dulu padaku. Bukan seenaknya kamu menjual begitu!" hardiknya.
"Sok menolak nafkah yang aku berikan, malah jual cincin!" bentaknya kembali.
"Baiklah, aku anggap itu hutangku padamu. Nanti aku akan bayar! Sesuai dengan harga yang dulu!" jawabku.
"Hah, sombong sekali. Kamu dapat uang dari mana!" cebiknya meremehkan diriku.
"Kamu tak perlu tahu dari mana, aku akan kembalikan!" Tegasku.
"Makanya kamu itu kerja, lihat wanita di kantorku mereka cantik dan mandiri. Berbeda denganmu, hanya bisa menengadah pada suami!" cercanya.
Mas Dion pergi mengambil handuk. Ia keluar kamar, dan menuju kamar mandi.
Aku tak boleh menangis lagi. Jika nanti uang itu sudah di tanganku. Akan kusumpal mulut sombongmu menggunakan uang Mas.
Ponsel Mas Dion yang ia letakkan tadi di atas kasur, di dekat tas kerjanya bergetar.
Aku meraih ponsel itu. Penasaran saja dan ingin melihat siapa yang mengirim pesan padanya.
"Sinta?" gumamku ketika melihat namanya tertera di jendela notifikasi.
Aku menggeser layar ke bawah.
[Terima kasih ya Dion, transferannya sudah masuk 2 juta.]
Apalagi ini, dia mentransfer uang pada kakak iparnya. Kenapa mereka dekat?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!