"Kakak, aku memenuhi janjiku untukmu. Karena hari ini ... aku kembali," ucap Juwita dengan wajah berbinar.
Juwita bersukacita ketika menginjakkan kakinya di pelataran yang akan membawanya pulang. Sebuah tempat dimana ada seorang pria yang menjaga hatinya tetap hangat meskipun keluarga angkatnya tidak memperlakukannya layaknya manusia.
Pria itu adalah Sadewa, kakak sepupunya sendiri. Kakak yang selalu menemaninya tidur bahkan sampai usianya menginjak 17 tahun. "Ah, ternyata kakak masih ingat janjinya waktu itu," kata Juwita begitu melihat banyak bunga yang ditata dengan megah dan indah di halaman rumah juga bangku-bangku dan hiasan lainnya.
"Apa ini kejutan untukku. Apa kakak tahu aku akan pulang hari ini?" batin Juwita.
Sekali lagi Juwita memperhatikan dengan jelas rumah yang masih cukup jauh dari tempatnya berdiri. Sepertinya sebuah acara penting menyambutnya hari ini. "Kakak, apa kau berencana memberiku kejutan dengan lamaran di hari kepulanganku?" kata Juwita.
Juwita mempercepat langkahnya. Masih memasang senyuman termanis yang tak pernah lepas dari wajah cantiknya tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam sana. Karena di dalam rumah yang selalu dia rindukan itu, Sadewa sedang melangsungkan pernikahan dengan wanita pilihannya. Seorang wanita yang sering terlihat dan menghabiskan waktu bersama dengan Sadewa.
"Kenapa aku tidak boleh masuk?" tanya Juwita.
Juwita heran ketika dirinya dihadang oleh beberapa orang di depan pintu. Pertanyaannya itu sedikitpun tidak mendapatkan jawaban. Sampai akhirnya Juwita mendengar dengan samar suara yang tidak asing mengatakan 'saya terima nikah dan kawinnya' dari dalam rumah.
"Kakak, kau mau menikahi siapa?" batin Juwita.
Juwita memaksa masuk, menutup mulutnya rapat-rapat saat melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Kakak Sadewa-nya duduk dan menjabat tangan seorang penghulu. Saat itu, saat penghulu itu bertanya, "Bagaimana para saksi, apakah sah?"
Juwita dengan lantang menjawab, "Tidak sah! Pernikahan ini, tidak sah!" dengan volume yang bisa di dengar oleh seluruh tamu undangan.
Semua pandangan tertuju kearah Juwita. Beberapa pria langsung memegang dan membuatnya berlutut dengan kasar sehingga suasana sakral itu menjadi gaduh. Tamu undangan mulai berbisik-bisik, menerka-nerka apa yang terjadi sampai Juwita merusak pernikahan kakaknya sendiri.
"Apa yang kau lakukan, Juwi?" tanya seorang wanita yang sempat Juwita sebut sebagai mama. Tapi tidak pernah mencurahkan kasih sayangnya.
"Apa kau berencana menggagalkan pernikahan kakakmu sendiri?" hardik seorang pria lainnya. Pria paruh baya yang Juwita panggil dengan sebutan papa.
Setidaknya, itulah panggilan yang Juwi sematkan sepuluh tahun yang lalu, sebelum mereka membuat Juwita menyerah dan meninggalkan rumah. Karena sebenarnya Juwita hanyalah anak pungut. Seorang anak yang dipungut oleh sepasang suami istri yang menabrak orangtua kandung Juwita sampai mati.
Juwita kecil yang malang, harus menjadi yatim piatu diusianya yang baru berumur 7 tahun. Meskipun orangtua angkatnya sangat kaya, tapi Juwita tetap menjalani hidupnya dengan biasa. Bahkan bisa dikatakan sangat sederhana sampai Juwita berusia 12 tahun. Mendapatkan perlakuan yang kasar dari dua kakak perempuan angkatnya dan tidak pernah dilihat sekalipun oleh kakak angkat lelakinya. Untung saja ada Sadewa, kakak sepupu yang paling menyayanginya.
Selalu membela Juwita dari kekejaman dua kakaknya. Lalu, disaat Juwita semakin dewasa Juwita bahkan dibawa Sadewa untuk tinggal di rumahnya. Membiayai semua kebutuhan Juwita bahkan mengantarnya kuliah ke luar negeri.
"Juwita?" kata Sadewa saat melihat Juwita ditahan.
"Cepat usir dia!" kata sepasang orangtua angkat Juwita.
Juwita mulai diseret keluar. Sadewa yang melihat adik kesayangannya diperlakukan buruk segera bangkit dan melepaskan untaian bunga melati yang dikalungkan di lehernya.
"Sadewa, apa yang sedang kau lakukan?" tanya Melodi. Mempelai wanita yang harus gigit jari karena batal menjadi pengantin Sadewa hari ini.
"Aku ingin pernikahan kita ditunda," kata Sadewa kemudian menghampiri Juwita dan membebaskannya dari perlakuan pria-pria kasar yang menyeret Juwita dan memeluknya sebelum membawanya ke kamar untuk bicara.
.
.
.
"Apa yang kau lakukan, Kak?" tanya Juwi dengan airmata yang membanjir. Sangat bertolak belakang dengan beberapa menit yang lalu dimana wajah itu penuh dengan senyuman.
"Juwita, maaf!" hanya dua kata itulah yang Sadewa katakan.
"Kak, menikahlah denganku sesuai janjimu!" pinta Juwita. Memohon dengan berlutut di kaki Sadewa.
"Itu tidak mungkin, Juwi!" jawab Sadewa.
"Kenapa tidak mungkin?" tanya Juwita dengan suara lantang.
"Karena kau itu adikku!" jawab Sadewa tak kalah lantang.
"Aku ini bukan adikmu, Kakak!" teriak Juwita dengan mulut bergetar. Suaranya pasti di dengar oleh orang-orang di luar sana.
"Juwita!" teriak Sadewa tak kalah lantang.
Juwita menggigit bibirnya, karena selama ini Sadewa tidak pernah meninggikan suaranya, "Bukankah kakak sudah berjanji untuk menikahiku. Kita bahkan selalu tidur bersama selama ini kan?" tanya Juwita. Wajahnya menunduk tapi tangannya menarik ujung-ujung kemeja Sadewa yang berdiri di depannya. Lalu meremasnya hingga kusut tak berbentuk.
"Apa yang kau katakan, Juwi? Kakak memang tidur denganmu. Hanya tidur denganmu, kakak tidak pernah menyentuhmu," jawab Sadewa.
"Lalu, kau bisa menyentuhku sekarang, Kak?" pinta Juwita.
"Juwita, jangan mengatakan hal yang tidak masuk akal. Aku, bagaimana mungkin akan melakukan hal buruk itu hanya untuk menikahimu?" jawab Sadewa. Mukanya merah padam, tidak menyangka Juwita kesayangannya akan mengatakan hal tak terduga seperti ini.
"Kalau begitu apa gunanya aku menjaga kesucianku jika kakak tidak menikahiku?" tanya Juwita.
"Meskipun kakak tidak menikahimu, kau pun juga harus menjaganya untuk calon suamimu, bodoh!" jawab Sadewa.
"Tapi, Juwi tidak mau yang lainnya. Juwi hanya mau kakak," kata Juwi.
"Juwita, sudah kubilang kau itu adikku. Bagaimana bisa aku menikahimu, ha?" tanya Sadewa dengan tubuh bergetar. Bergetar sangat hebat karena sakitnya saat mengatakan ini.
"Kakak, apa kau tuli. Aku juga sudah bilang, aku ini bukan adikmu. Aku ini hanya anak pungut, orangtuaku sudah mati. Mati karena dua orangtua angkat jahat itu membunuh mereka. Apa kau lupa?" jawab Juwita.
"Juwita, dengarkan kakak. Pernikahan antara kakak denganmu, itu tidak akan pernah terjadi," jelas Sadewa.
"Kakak, kau bohong kan?" tanya Juwi lirih, melihat Sadewa-nya dengan mata berkaca-kaca.
"Juwita, kakak memiliki pilihan sendiri. Jadi mengertilah!" jawab Sadewa.
"Kenapa kau membohongiku kak. Apa karena dia cantik, atau dia memiliki segalanya. Apa kelebihannya, Juwita akan merubah semuanya untukmu Kak?" pinta Juwita. Masih belum menyerah untuk memperjuangkan cintanya.
"Juwita itu tidak mungkin!"
"Kenapa, kenapa tidak mungkin? Kak, aku bisa melakukan apapun juga asalkan itu bisa membuatku hidup bersamamu."
"Karena kakak tidak mencintaimu, Juwita."
"Bohong! Bukankah kakak selalu bilang mencintaiku waktu itu. Kenapa, kenapa bisa berubah?" tanya Juwi tak terima.
"Banyak hal yang terjadi, Juwi!" lirih Sadewa.
"Kalau aku tidak pulang hari ini, apa kakak akan memberitahuku hal ini. Membiarkanku terus mencintai dan merindukan kakak tanpa tahu kakak telah menikah. Kalau aku tidak pulang hari ini, apa aku tahu bahwa kakak sudah tidak mencintaiku lagi. Kenapa kakak berbohong, kenapa kakak tidak menepati janji kakak. Kak, apa kau tahu? Di dalam sini rasanya sangat sakit," ucap Juwi berurai air mata, menunjuk hatinya yang hancur.
Sadewa hanya diam. Berdiri di tempatnya dan membelai rambut Juwita yang masih bersimpuh di kakinya untuk memohon cintanya.
"Aku tidak peduli, jika ada pernikahan, hanya akulah pengantinnya, Kakak!" paksa Juwita.
"Itu tidak akan pernah terjadi, Juwi."
"Kenapa, semuanya masih belum terlambat. Masih ada waktu untuk merubah semuanya, kan?" tanya Juwi. Merasa masih ada harapan karena pernikahan Sadewa hari ini dibatalkan. Juwita berdiri, berdiri dan memeluk Sadewa untuk bersedia menerima tawarannya.
"Karena dia hamil anakku!" jawab Sadewa
"A-apa, hamil?" tangan Juwita bergetar. Pelukannya untuk Sadewa pun terlepas tanpa dia sadari. Kaki-kakinya yang baru berdiri kembali kehilangan kekuatan sehingga membuatnya kembali terjerembab ke lantai. Dua kata yang keluar dari mulut Sadewa tadi sangat melukai hati dan perasaannya.
"Hamil, kenapa?" batin Juwita.
Seharusnya, Juwita yang ada di posisi itu. Bukan wanita yang tadi mengenakan kebaya dengan mahkota di kepalanya.
"Juwita, kau baik-baik saja kan?" tanya Sadewa panik. Mulai memeriksa Juwita dan memeluknya tapi mendapatkan penolakan dari Juwita.
"Apa kau gila. Bagaimana mungkin aku baik-baik saja setelah mendengar pengakuanmu barusan?" jawab Juwita dengan senyuman yang dipaksakan.
"Juwi, maaf!"
"Apa dia benar anakmu?" tanya Juwita datar.
"Apa maksudmu?" jawab Sadewa tak mengerti.
"Bisa saja dia hanya wanita murahan yang tidur dengan banyak pria kan. Mungkin saja anak itu bukan anakmu, Kakak?" teriak Juwi.
Plak. .
Sebuah tamparan mendarat di pipi Juwita. Tamparan yang keras juga menyakitkan. Tapi sakitnya masih tidak bisa dibandingkan dengan sakit yang diterima hatinya. Juwita meringis, tangannya menyentuh sudut bibirnya yang terasa perih.
"Juwi, maafkan kakak. Kakak tidak bermaksud menyakitimu!" kata Sadewa penuh penyesalan. Menampar Juwita kesayangannya adalah hal yang tidak pernah terpikirkan olehnya.
"Kak, kau menamparku demi wanita asing itu?" tanya Juwita dengan senyum yang menggambarkan penderitaan.
"Dia bukan wanita asing. Dia itu calon kakak iparmu."
"Sampai matipun, aku tidak sudi memiliki kakak ipar seperti dia," tolak Juwita.
"Mulai sekarang, aku bukan lagi Juwitamu, juga bukan seorang wanita yang mencintaimu. Lalu, kalung ini aku tidak membutuhkannya," kata Juwita. Menarik paksa kalung yang melingkar di lehernya. Lalu membuangnya ke lantai. Sangat pelan, tapi membuat liontinnya pecah sehingga isi di dalamnya keluar. Sebuah cincin pemberian Sadewa, yang katanya akan Sadewa sematkan di jari Juwita saat mereka menikah nanti.
Hari itu, Juwita pergi.
Meninggalkan rumah yang selalu dia rindukan. Meninggalkan pria yang sangat dia inginkan. Meninggalkan pria yang selalu memberinya kehangatan dan perasaan aman. Menjanjikannya sebuah pernikahan, tapi juga mematahkan hatinya dengan cara yang paling kejam.
Juwita yang malang. Dia pergi dengan kepala tegak, meninggalkan Sadewa tanpa berbalik arah hanya untuk sekedar melihatnya. Meninggalkan Sadewa, yang kini berurai air mata melihat Juwita yang sangat dicintainya pergi tanpa jejak.
Ya, tanpa jejak. Karena jejak Juwita terhapuskan oleh jutaan tetes air hujan.
"Lan, aku ingin menikah," kata Juwita kepada temannya, Alan.
"Secepat ini?" tanya Alan. Lalu meminum segelas alkohol yang sudah tertuang di gelasnya. Maklum, mereka sedang berada di klub malam sekarang.
Alan melihat Juwita yang duduk manis dengan memegangi botol mineral di tangannya. Bukan tanpa alasan Alan bereaksi seperti ini setelah mendengar keinginan Juwita. Gadis ini baru saja kembali setelah menyelesaikan kuliahnya. Dia bahkan belum memiliki pekerjaan. Jadi kenapa harus buru-buru menikah. Apa dia kira kehidupan setelah pernikahan itu tidak butuh uang?
"Apa aku tidak boleh menikah?" tanya Juwita. Dia tahu pasti ada alasan yang membuat Alan bertanya seperti itu. Tapi Juwita sudah memutuskannya. Dia tetap akan menikah dengan pria asing yang sifat-sifatnya akan dia sampaikan pada Alan nanti.
"Tentu saja boleh. Hanya saja dengan siapa kau ingin menikah?" tanya Alan kemudian.
"Aku tidak tahu," jawab Juwita.
"Ingin menikah tapi tidak tahu ingin menikah dengan siapa?" cibir Alan.
"Untuk itulah aku menemuimu. Tolong carikan aku seorang pria yang liar, pengangguran tapi jarang pulang. Semakin brengsek semakin bagus," pinta Juwita.
"Juwita, apa kau pikir menikah itu hanya untuk mainan. Menikah, kau harusnya mencari pria terbaik diantara yang terbaik," kata Alan menasehati.
Meskipun Alan bukan pria baik tapi dia tidak ingin menjerumuskan Juwita, adik kelasnya saat SMA itu kedalam lembah penyesalan. Jika sampai Juwita menikah dengan pria berandalan seperti itu, apa jadinya kehidupannya nanti? Pasti dia juga yang akan pusing mengingat Juwita tidak memiliki siapapun yang bisa diandalkan selain Sadewa.
"Kak Sadewa, pria terbaik yang kucintai sudah akan menikah dengan orang lain. Jika aku tidak menggagalkannya kemarin pasti mereka sudah pergi berbulan madu sekarang," kata Juwita.
Terlihat tegar saat mengatakannya, tapi sejujurnya hati itu bahkan sudah hancur tak berbentuk lagi.
"Lalu?" tanya Alan.
"Jadi apa gunanya aku mencari yang terbaik jika pada akhirnya dia akan meninggalkanku seperti Kak Sadewa. Alan, aku hanya butuh pria brengsek yang untuk hidup hanya bergantung padaku. Dengan begitu mungkin dia tidak akan pergi kan?" jawab Juwita.
"Tapi bukan seperti itu juga, Juwi!" kata Alan.
Pria itu memutar kursinya. Menekan dua pipi Juwita dan memperhatikannya untuk sejenak. Sekali lihat, Alan tahu ada luka yang Juwita tutupi dari pancaran mata yang jernih itu.
"Kau benar-benar ingin menikah?" tanya Alan.
"Eum," jawab Juwita mantap.
"Lalu aku yang harus mencari pria yang kau inginkan itu kan?" tanya Alan.
"Eum," jawab Juwita lagi.
"Baiklah, aku akan mencari pria seperti yang kau inginkan," kata Alan.
"Lan, jangan lupa memilih yang sedikit tampan. Aku ingin lihat, apakah Sadewa akan cemburu dan membatalkan pernikahanku nanti," lanjut Juwita tanpa mengindahkan peringatan Alan.
"Juwita, jika tujuanmu hanya untuk itu. Tidak juga harus menikah dengan pria berandalan. Bagaimana jika Sadewa tidak membatalkan pernikahanmu nanti?" tanya Alan cemas.
"Maka aku akan menjadi istri dari seorang pria berandalan."
"Juwita!"
"Tolong, kali ini saja. Kau tidak lupa hutang janjimu waktu itu kan?" tanya Juwi mengingatkan.
Alan berpikir sejenak. Beberapa tahun yang lalu, Alan punya hutang janji kepada Juwita. Sebuah janji untuk mengabulkan satu permintaan Juwita karena Juwita telah menolongnya mendapatkan hati wanita yang dicintainya yang merupakan sahabat Juwita, Caca.
Alan semakin pusing sekarang. Seandainya saja dia belum menikah, dia tidak keberatan untuk menolong Juwita dengan berpura-pura menikahinya jika alasannya hanya untuk memanasi Sadewa.
Sekali lagi, Alan menuang alkohol dan meminumnya saking pusingnya. Baiklah, mencari pria brengsek memang mudah. Tapi yang tidak mudah adalah merelakan pria brengsek seperti itu menikah dengan Juwita yang baik hati dan polos.
"Ck, baiklah!" kata Alan pada akhirnya.
Alan bangkit, ingin sekali segera pergi dari tempat ini dan membicarakannya dengan Caca. Tapi Juwita menahan tangannya.
"Hei, tunggu!" tahan Juwita ketika Alan akan pergi.
"Apalagi?" tanya Alan.
"Jangan yang bertato, aku tidak menyukai pria bertato," kata Juwita memperingatkan.
"Aku mengerti!"
.
.
.
Dengan pergaulannya yang luas dengan dunia malam, sebenarnya sangat mudah bagi Alan untuk mencari pria brengsek. Pria brengsek selalu berkeliaran di sekitarnya bahkan saat ini pun Alan juga sedang dikelilingi oleh belasan pria brengsek. Tapi Alan selalu urung saat ingin mengutarakan perihal tawaran pernikahan. Terlebih saat melihat wajah mereka satu persatu dengan jelas. Entah kenapa dia merasa belum menemukan pria yang dirasa cocok untuk Juwita.
Sebrengsek-brengseknya pria yang diinginkan Juwita, tapi tetap saja Alan akan memilih pria terbaik dari sekumpulan brengsek itu kan? Mana mungkin Alan tega membiarkan Juwita menikah dengan pria yang benar-benar brengsek.
"Pria brengsek, kalau kau benar-benar jodoh Juwita maka muncullah di depanku sekarang juga," batin Alan.
Saat ini, Alan sibuk menyangga dagunya dengan menyeruput es teh sembari memikirkan masa depan Juwita yang gonjang-ganjing. Sepertinya dia akan segera menyerah karena tidak bisa membantu Juwita kali ini. Akan tetapi, tepat saat Alan akan pergi dia berpapasan dengan seorang pria yang katanya paling brengsek dan paling berandalan yang pernah ada.
Meskipun wajahnya sangat tampan dan memiliki tubuh yang kekar nan atletis seperti idaman para gadis, tapi dengar-dengar dia hanyalah seorang pengangguran, pemain wanita, simpanan tante-tante, ugal-ugalan, bahkan sering berkeliaran di jalanan.
"Jangan dekat-dekat denganku. Bau rokok itu membuatku ingin muntah!" kata pria itu ketika seorang temannya mendekatinya dengan mulut penuh asap.
Alan mengernyitkan alisnya mendengar protes dari pria itu. Baiklah, katakan saja pria ini berandalan. Tapi seingat Alan, pria itu tidak pernah berurusan dengan polisi maupun terlibat tawuran atau semacamnya. Selain itu dia juga benci asap rokok dan tidak memiliki tato.
"Haruskah aku memintanya menikahi Juwita? Tapi dengan wajah tampan seperti itu, seharusnya dia tidak mungkin mau menikah secara tiba-tiba kan? Lagipula, mungkin saja jumlah pacarnya bisa digunakan untuk mengelilingi bumi ini sebanyak satu kali saking banyaknya," batin Alan.
"Aku harus bagaimana ya?" gumam Alan lagi.
Alan masih terus memperhatikan berandal tampan itu. Dari ujung kepala hingga ujung kakinya lalu membayangkan Juwita duduk di sampingnya.
"Sepertinya mereka cocok," batin Alan lagi.
Jujur saja, beberapa hari ini pria brengsek itu tidak terlihat sehingga Alan lupa bahwa ada pria seperti itu yang hidup di bumi. Karena sekarang dia sudah datang, maka Alan harus segera berbicara dengannya untuk bernegosiasi terlepas dengan identitasnya yang masih misterius.
"Jeff, ada yang ingin ku bicarakan denganmu!" kata Alan langsung pada tujuannya.
"Aku?" tanya seorang pria yang dipanggil dengan sebutan Jeff itu.
"Iya, kau!" jawab Alan.
"Katakan saja!" kata Jeff santai.
"Bisakah pindah ke tempat yang lain? Ini sangat penting!" tanya Alan.
Kini giliran Jeff yang melihat Alan dari atas kepala hingga ujung kakinya sebelum mengiyakan ajakannya. "Baiklah," jawab Jeff.
...***...
Setelah masuk ke sebuah ruangan dan menjamu Jeff dengan beberapa botol minuman, Alan pun mulai mengatakan apa tujuannya.
"Jeff!" kata Alan mulai membuka obrolan.
"Sebenarnya apa yang ingin kau bicarakan? Sampai kapan kau akan diam seperti itu?" tanya Jeff dengan tatapan sinis.
Sejujurnya Jeff tidak ingin terlalu lama bersama Alan di tempat sepi seperti ini. Bagaimanapun juga Jeff adalah pria normal. Menyukai wanita cantik dan seksi seperti kodratnya. Alan membawanya kemari tidak karena tertarik dengan wajahnya yang tampan kan? Alan masih normal kan? Dia tidak memiliki perilaku menyimpang semacam menyukai sesama jenis kan?
"Seseorang ingin menikah denganmu, apa kau setuju?" tawar Alan.
DEG.
Minuman bersoda di mulut Jeff itu langsung muncrat seketika. Sudah berakhir, apa Alan sedang memulai untuk mengakui perasaannya yang sesungguhnya?
"Kenapa kau melihatku seperti itu?" tanya Alan ketika menyadari bagaimana ekspresi Jeff saat melihatnya.
"Lan, aku tahu aku tampan. Tapi maaf, aku tidak tertarik dengan pria. Jadi simpan saja perasaanmu itu dan kembalilah ke jalan yang benar!" tolak Jeff mentah-mentah.
"Jeff, sepertinya otakmu itu perlu dicuci. Apa aku ini terlihat seperti itu? Aku juga tidak ingin menemuimu jika seseorang tidak meminta tolong padaku tahu?" protes Alan.
Tiba-tiba dia sangat menyesal karena telah memilih Jeff untuk dijadikan suami Juwita. Tapi disisi lain merasa tenang karena Jeff adalah pria normal.
"Memangnya minta tolong apa sampai kau menemuiku. Kita tidak seakrab ini sebelumnya kan?" tanya Jeff.
"Bukankah aku sudah bilang tadi. Seseorang ingin menikah denganmu. Apa kau setuju?" tanya Alan.
Jeff tersenyum tipis. Memang biasanya ada sekumpulan gadis yang mengajaknya kencan semalam atau menjalin hubungan tanpa status yang jelas. Tapi untuk menikah, baru kali ini Jeff mendapatkannya. Apa wanita itu gila?
"Siapa?" tanya Jeff.
"Teman baikku, namanya Juwita," jawab Alan.
Jeff melihat Alan, pria ini sama sepertinya. Sama-sama berandalan dan akrab dengan dunia malam. Jika Juwita adalah temannya Alan, bukankah Juwita itu seharusnya juga berandalan dalam versi wanita?
"Aku tidak tertarik," tolak Jeff lalu meminum minumannya.
"Kenapa?" tanya Alan.
"Dia pasti sama sepertimu, kan?" tanya Jeff.
"Sialan! Dia gadis yang baik. Dia baru saja kembali dari luar negeri setelah menyelesaikan kuliahnya," jelas Alan.
"Lalu kenapa wanita baik seperti itu mau menikah denganku?" tanya Jeff.
"Dia hanya sedang patah hati karena seseorang yang dicintainya menikah," jelas Alan.
"Oh, apa aku ini hanya dijadikan semacam pelarian?" tanya Jeff.
"Tentu saja," jawab Alan.
"Lalu kenapa harus aku yang menikah dengannya. Dari sekian banyak pria kenapa aku yang kau tawari jadi suami temanmu itu? Bukankah banyak pria yang kau kenal?" tanya Jeff penasaran.
"Aku memang kenal dengan banyak orang. Tapi dia ingin menikah dengan pria berandalan yang tampan. Satu-satunya yang sesuai dengan kriterianya hanya kau, Jeff! Sudahlah, kau bisa menolak jika tidak mau dan aku akan mencari yang lain," jawab Alan.
"Apa imbalannya?" tanya Jeff.
"Aku tidak tahu. Kau tanyakan saja padanya nanti. Aku sudah menghubunginya, seharusnya dia akan segera datang," jawab Alan.
Beberapa menit berlalu, Juwita benar-benar datang atas panggilan Alan. Di ruangan itu, Alan meninggalkan Juwita dan Jeff sendirian agar bebas mengatakan apapun. Bagaimanapun juga jika tidak ada halangan dan Jeff setuju mereka akan menikah. Jadi sudah pasti banyak hal penting yang ingin mereka diskusikan.
"Apa 500 juta cukup sebagai imbalannya?" tanya Juwita.
Uang itu bahkan lebih banyak dari jumlah setengah tabungannya. Tapi dia rela memberikannya asal pria asing ini bersedia menikah dengannya.
"Berapa lama aku harus jadi suamimu?" tanya Jeff langsung ke intinya.
"Aku tidak bisa memastikannya," jawab Juwi.
"Apa kau tidak berniat berpisah denganku kedepannya? Apa kau ingin menjadi istriku seumur hidup?" tanya Jeff lagi.
"Aku tidak tahu," kata Juwita.
Jeff tertawa mendengar jawaban polos dari Juwita. Baru kali ini dia harus melakukan pekerjaan tanpa tahu batas waktunya meskipun uang yang di dapatnya lumayan.
"Aku tau uang itu sangat tidak cukup untuk semua ini. Tapi aku tidak akan membiarkanmu rugi. Jeff, menikahlah denganku. Aku tidak tahu kapan bisa membuatmu terbebas dari status sebagai suamiku. Tapi, jika suatu hari kau menemukan seorang wanita yang kau cintai dan ingin menikah dengannya, kau hanya perlu memberitahuku. Saat itu juga, aku bersedia bercerai denganmu agar kau bisa hidup dengannya, bagaimana?" tanya Juwita menawarkan.
"Semudah itu? Apa dia bodoh?" gumam Jeff.
"Bagaimana, apa kau setuju?" tanya Juwita harap-harap cemas.
"Berapa ukuran BH-mu dan lingkar pinggangmu?" tanya Jeff.
Jeff mengabaikan pertanyaan Juwita tentang kesepakatannya. Jika Juwita ingin menjadi istrinya karena dia berandalan yang tampan dan sebagai pelarian, maka jika Jeff bersedia menjadi suaminya asalkan ukuran benda kenyal itu cukup besar dan pinggang yang ramping seharunya tidak masalah kan?
"A-apa?" ulang Juwita meyakinkan pendengarannya.
"Berapa ukuran BH-mu. Aku tidak akan menjadi suamimu jika ukurannya dibawah 34," jawab Jeff.
"Kalau begitu kita bisa menikah," kata Juwita dengan wajah memerah.
"Biarkan aku memeriksanya," kata Jeff.
Jeff bangkit, mendekati Juwita yang duduk di sampingnya dan sepersekian detik kemudian sudah mendaratkan tangannya di sana.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Juwita kemudian menepis tangan nakal itu.
"Memeriksanya, apakah ini asli," jawab Jeff tanpa rasa malu. Tangan kekar itu menolak tepisan Juwita, lalu menekannya sebanyak tiga kali untuk memastikan keasliannya.
"Tentu saja ini asli."
Juwita mendorong Jeff. Bukannya marah, tapi berandalan itu malah tersenyum.
"Baiklah, aku setuju. Lalu, aku ingin memberitahumu. Aku tidak akan membiarkanmu masuk dan tidur di kamarku. Kau tidur di tempat yang lain. Karena aku tidak menyukai anak-anak," kata Jeff.
"Bagus kalau begitu. Karena aku juga tidak menyukai anak-anak," balas Juwita.
"Satu lagi. Aku tidak suka seseorang menggangguku dan mencampuri urusanku. Jadi jaga batasanmu. Apa kau mengerti?" tanya Jeff.
"Aku mengerti," jawab Juwita.
"Kalau begitu, simpan saja 500 juta yang kau siapkan," kata Jeff dengan memukul dahi Juwita.
"Kenapa, kau tak takut aku menipumu?" tanya Juwita dengan memegangi dahinya yang tertutup poni.
"Kalau kau berani menipuku, aku akan mengambil sesuatu yang lebih berharga daripada 500 jutamu itu," ancam Jeff dengan senyum tipisnya.
"Oh!" jawab Juwita pelan.
"Hanya saja, siapkan makanan untukku setiap hari," pinta Jeff
"Aku tidak bisa masak," jawab Juwita.
"Maka kau harus membelinya untukku," kata Jeff memberi solusi.
"Baiklah!" kata Juwi menyanggupi.
"Kapan kita akan menikah?" tanya Jeff.
"Besok," jawab Juwi.
"Aku pasti akan datang," janji Jeff. Kemudian menyodorkan ponselnya kepada Juwi untuk tukar pin masing-masing.
Juwita mengambil ponselnya, bertukar pin dengan Jeff dan menyimpannya. "Aku akan mengirimkan alamatnya nanti," kata Juwita.
"Terserah kau saja," jawab Jeff.
"Tunggu!" cegah Juwita ketika Jeff berbalik arah.
"Apa lagi?" tanya Jeff.
"Kau belum berlatih mengucapkan ijab qobul," kata Juwita mengingatkan.
"Namamu Juwita kan? Aku sudah mengingatnya. Aku janji semuanya akan berjalan lancar besok," jawab Jeff.
"Tapi-,"
"Juwita, apa kau berencana mengganggu kesenanganku? Kau bahkan belum menjadi istriku," kata Jeff datar.
"Aku hanya ingin tahu, siapa namamu?" tanya Juwita tanpa mengindahkan peringatan dari Jeff, calon suami berandalannya.
"Aku, Jeffsa!" jawab Jeff.
Jeff mendekat. Kemudian menarik Juwita dan melayangkan sebuah ciuman di bibirnya dan pergi begitu saja setelah itu.
"Apa yang dilakukan berandalan itu. Menciumku, menyentuhku, kenapa dia sangat mesum. Alan, aku bilang ingin berandalan yang sedikit tampan. Kenapa kau mencarikan yang mesumnya kelewatan?" gerutu Juwita.
Setelah uring-uringan sendiri, Juwita segera menulis sebuah pesan singkat yang dia tujukan kepada Sadewa. Berharap Sadewa bersedia untuk hadir sebagai tamu undangan di pernikahannya dengan Jeffsa, pria berandalan mesum yang baru dia temui kurang dari satu jam saat ini.
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!