POV SHANON
Perlahan aku membuka kedua mataku setelah bangun dari tidur nyenyakku malam ini. Kuhembuskan nafas panjang seraya menatap laki-laki yang tidur di sampingku, Archandra Ethan Bimantara. Laki-laki tampan berusia 26 tahun yang sudah menikahiku selama enam bulan ini tampak masih tertidur pulas.
Selama enam bulan pernikahan kami, rumah tangga kami sangatlah harmonis, meskipun awalnya rumah tanggaku dengan Mas Ethan berawal dari perjodohan yang dilakukan oleh orang tuaku. Ya, Mas Ethan adalah salah satu rekan bisnis Papa yang tiba-tiba datang melamarku. Awalnya aku sangat terkejut saat Papa memintaku untuk menikah dengannya, tapi siapa yang bisa menolak menikah dengan laki-laki seperti Mas Ethan.
Sampai sejauh ini, kami memang belum memiliki keturunan, tapi itu bukan masalah yang besar bagiku karena Mas Ethan pun tidak pernah mempermasalahkan itu. Anggap saja masa-masa ini adalah pacaran kami, karena kami sebelumnya memang tidak pernah berpacaran, dan langsung menikah saat Mas Ethan melamarku.
Saat tengah asyik menikmati wajah tampan suamiku, tiba-tiba mata nya pun terbuka. Aku merasa sangat terkejut karena tertangkap basah sedang menikmati indahnya ciptaan Tuhan yang ada di depanku. "Kamu udah bangun Princes? Kamu lagi ngapain? Kok dari tadi liatin terus?" ucap Mas Ethan yang membuatku merasa malu. Entah sudah semerah apa wajahku, yang jelas pipiku rasanya seperti sedang terbakar, dan membuat jantungku berdegup begitu kencang karena saat ini Mas Ethan balas menatapku dengan tatapan hangatnya yang terasa begitu mematikan. Mungkin karena belum begitu lama mengenal suamiku, aku jadi masih sering salah tingkah jika dia merayuku. Apalagi saat dia memanggilku dengan sebutan "Princes."
Mas Ethan pernah mengatakan padaku jika aku memang bagaikan seorang putri di matanya, hingga membuatnya jatuh cinta padaku saat bertemu dengannya di kantor Papaku. Aku sebenarnya tidak tahu kapan pertemuan pertama kami yang membuat dia jatuh cinta padaku, tapi untuk saat ini aku sangat bersyukur bisa menikah dengan laki-laki tampan yang begitu baik padaku.
"Kok kamu diem aja, Sayang? Kamu kenapa?" tanya Mas Ethan kembali. Aku hanya menggelengkan kepalaku, lalu menarik kedua sudut bibirku mencetak sebuah senyuman khas dengan lesung pipit yang menghiasi wajahku. "Kamu ngegemesin banget sayang," ucap Mas Ethan yang tiba-tiba sudah mencium bibirku, melummat bibir tipis ini dengan lembut tapi penuh hasrat. Lalu mengusap dan merremas gundukan kenyal milikku yang masih tertutup lingerie berwarna merah yang membalut tubuh putih mulusku, tapi sentuhannya tetap terasa membuat gairahku terbakar.
"Ah, Mas..."
Dessahan lirih pun mulai keluar dari bibirku saat Mas Ethan mulai menyingkap lingerieku dan mengecup salah satu bongkahan kenyal milikku, sedangkan salah satu tangannya merremas bongkahan kenyal lainnya. Suasana kamar ini kini mulai terasa begitu panas, desaahan dan errangan pun mulai terdengar diantara kami berdua. Namun, baru saja kami memulai permainan ini, tiba-tiba ponsel Mas Ethan berbunyi.
Awalanya, kami yang sudah larut dalam permainan ini mengabaikan begitu saja bunyi ponsel itu, karena memang hari ini memang hari libur. Tapi karena ponsel itu terus berdering, aku akhirnya berinisiatif untuk melepaskan ciuman Mas Ethan di bibirku. "Mas, angkat dulu siapa tau penting!"
Meskipun dengan raut wajah yang terlihat kesal, Mas Ethan pun mengakhiri permainan ini. Dia kemudian mengambil ponsel yang ada di atas nakas. Namun, saat baru saja menempelkan ponsel itu di telinganya, tiba-tiba raut wajah Mas Ethan berubah menjadi panik.
"Iya, tunggu sebentar!" sahutnya pada seseorang yang sedang meneleponnya.
"Ada apa, Mas?"
"Sha, aku lupa kalo hari ini Arsen pulang."
"Astagaaaa!" sahutku yang ikut panik mendengarnya.
"Kita ke bandara sekarang, Sha!"
Aku pun menganggukkan kepalaku, lalu bergegas mengganti pakaianku dan mengoleskan sedikit make up tipis di wajahku, begitu pula dengan Mas Ethan yang hanya berganti pakaian, karena tidak mau membuat Arsen menunggu lama. Setelah itu kami bergegas menuju ke bandara untuk menjemput adik iparku, Arsenio Chandra Bimantara, adik iparku yang baru saja menyelesaikan pendidikan magisternya di luar negeri.
Sejak aku menikah dengan Mas Ethan, aku memang belum pernah bertemu dengan adik kandung suamiku itu. Hanya sekilas melihat fotonya dan mendengar cerita dari suamiku kalau adiknya berkuliah di luar negeri dan tidak bisa pulang saat pernikahan kami berlangsung karena sedang menyelesaikan tugas akhirnya.
Aku menghembuskan nafas pelan sambil melirik pada suamiku yang mengendarai mobilnya dengan sedikit panik, mungkin dia merasa bersalah melupakan janji dengan adiknya yang sudah menunggunya di bandara, dan malah terlena pada permainan kami di pagi hari. Sebenarnya adik iparku bisa saja pulang dengan menaiki taksi, tapi suamiku sudah berjanji padanya untuk mengunjungi makam mertuaku setelah dia pulang dari luar negeri. Ya, mertuaku memang sudah meninggal, karena kecelakaan beberapa tahun yang lalu.
Beberapa saat kemudian, kami pun sudah sampai di bandara, dan bergegas keluar dari mobil menuju ke pintu kedatangan dari luar negeri. Aku mengikuti langkah suamiku mendekat pada seorang laki-laki tampan yang sedang berdiri dengan menggunakan kaos warna biru dipadukan jaket dan celana jins dengan kaca mata hitam yang bertenger di atas hidungnya.
"Sha, kenalin ini Arsen adikku," ucap Mas Ethan. Aku pun mendekat pada laki-laki itu yang kini sedang membuka kaca matanya. Entah kenapa wajah tampan itu malah sukses membuat jantungku berdegup begitu kencang.
'Sial, kenapa aku jadi seperti ini?' batinku sambil menelan salivaku dengan kasar. Namun, aku mengabaikan seluruh perasaan itu, mencoba untuk tetap tenang, mengulurkan tanganku, dan mencoba bersikap ramah padanya. Namun, sialnya adik iparku tidak menyambut uluran tangan dariku, hanya tersenyum kecut padaku, dan balas menyebut namanya singkat.
"Arsen," jawabnya. Aku pun merasa begitu kesal, kesan pertama bertemu adik iparku terasa begitu menjengkelkan. Bersamaan dengan rasa kesalku, tiba-tiba ponsel suamiku berbunyi. Dia kemudian meninggalkan kami berdua, meninggalkanku yang seketika merasa begitu membenci adik iparku. Tiba-tiba Arsen melangkahkan kakinya mendekat ke arahku, "Kita sudah lama tidak bertemu, Shanon," bisik Arsen yang seketika membuatku tertegun.
"Oh, shitttt apa arti dari kata-katanya itu?" gumamku sambil melihat laki-laki itu berjalan menjauhiku.
Aku hanya bisa terdiam, menatap adik iparku yang sedang berjalan ke arah parkiran mobil sambil menahan berbagai tanda tanya di dalam benakku. Aku benar-benar tak mengerti dengan apa yang dia katakan, bagaimana bisa dia mengatakan dia sudah lama tidak bertemu denganku sedangkan aku saja baru pernah bertemu dengannya.
Aku memejamkan kedua mataku, dan mencoba mengingat tentang semua orang yang kukenal, dan Arsen? Aku benar-benar tidak mengingatnya. Aku menghembuskan nafas panjangku takkala mengingat bagaimana sikap Arsen saat tadi kami baru pertama bertemu, dan detik itu juga aku menyadari jika dia pasti sedang mengerjaiku dengan mengatakan seperti itu agar membuatku merasa bingung. Ah betapa bodohnya aku kalau aku sampai memikirkan kata-katanya yang tak jelas itu.
Tiba-tiba lamunanku tersentak saat sebuah suara memanggil namaku. "Sha, kamu kenapa diem?"
"O-oh gapapa, Mas. Cuma sedikit ngantuk," jawabku gugup saat tiba-tiba Mas Ethan sudah memeluk pinggangku.
"Oh ya udah kalau gitu kita pulang sekarang yuk! Arsen mana?"
"Dia udah masuk ke mobil, Mas."
"Ck, anak itu memang ya. Bukannya ajak kamu ngobrol malah masuk ke mobil."
"Gapapa, Mas. Mungkin dia cape."
"Maybe, ya udah kita masuk ke mobil yuk!"
Aku menganggukkan kepalaku, lalu kami berjalan ke arah mobil. Saat kami memasukki mobil, tampak Arsen sedang duduk dengan memainkan poselnya, dan begitu cuek saat kami masuk ke dalam mobil itu, seolah dia larut dalam dunianya sendiri.
"Kita jadi ke makam mama sama papa kan, Kak?" tanya Arsen beberapa saat kemudian saat Mas Ethan mulai mengendarai mobilnya keluar dari komplek bandara.
"Iya, kita mampir ke makam mama sama papa dulu," jawab Mas Ethan, sambil tetap fokus mengendarai mobilnya. Detik selanjutnya, kami semua terdiam dan hanyut dalam pikiran masing-masing. Sesekali, aku melihat Arsen dari kaca spion yang ada di dalam mobil, dan ya dia tetap larut dengan poselnya, terkadang dia juga tampak mengerutkan keningnya.
"Sha, mule besok aku ga perlu khawatir lagi kalo aku lembur sampe malem. Biarpun di bawah ada satpam, kadang aku tetep khawatir kalo ninggalin kamu sendiri malem-malem," ucap Mas Ethan yang membuyarkan lamunanku saat sedang mengamati tingkah Arsen. Lagi-lagi aku menyadari kebodohanku, ya sudah dua kali Mas Ethan menyentak lamunanku saat aku sedang memikirkan adik iparku. 'Astaga, kenapa adik iparku yang menyebalkan itu justru menarik atensiku dibandingkan memperhatikan laki-laki tampan yang sedang mengendarai mobil di sampingku?' batinku sambil memijit pelipisku.
"Sha..."
"Oh iya kenapa, Mas?"
"Mulai hari besok aku ga perlu khawatir lagi kalo ninggalin kamu di rumah."
"Memangnya kenapa, Mas? Ada satpam kan, Mas?"
"Bukan gitu, Sha. Arsen kan udah pulang ke rumah, tiap hari dia bisa jagain kamu, terutama kalo aku lagi lembur. Kamu tahu kan pembantu kita cuma sampe sore, kadang aku suka khawatir kalo kamu di rumah sendirian."
"Loh memangnya Arsen juga di rumah terus? Bukannya dia juga ke kantor? Ikut kerja di perusahaan almarhum papa kan?"
"Nggak sayang, Arsen itu programmer. Kerjaan dia itu coding di rumah, jadi tiap hari dia ada di rumah sama kamu, aku tenang kalo ada dia di rumah."
'Oh tidak! Jadi mulai besok aku harus di rumah dengan makhluk menyebalkan itu?' batinku saat mendengar penjelasan Mas Ethan.
"Kamu kenapa diem, Sha? Kamu seneng kan ada temen ngobrol di rumah?"
'Ngobrol? Yang benar aja? Mungkin aku bisa mati karena darah tinggiku kumat kalo harus ngobrol sama makhluk kaya dia?' batinku kembali, dengan terpaksa aku pun menganggukan kepalaku, sambil menarik kedua sudut bibirku. Mencetak sebuah senyuman yang sebenarnya sangat dipaksakan karena berbanding terbalik dengan hatiku.
Beberapa saat kemudian, kami pun sudah sampai di pemakaman almarhum mertuaku. Saat Arsen turun hingga memasuki pemakaman, dia tampak begitu cuek dan seolah kami berdua tidak sedang bersama dengannya. Aku benar-benar tidak menyangka Mas Ethan yang baik dan sangat ramah bisa memiliki adik seperti dia yang sifatnya sangat berbanding terbalik dengan suamiku. Dan sialnya mulai besok kami tinggal berdua dalam satu rumah jika Mas Ethan pergi ke kantor.
Langkah kami terhenti, saat kami sudah sampai pada dua buah pusara bertuliskan Chandra Bimantara, dan Larasati Bimantara. Kami lalu berdoa di samping kedua pusara itu, pusara mertuaku yang meninggal lima tahun yang lalu. Mas Ethan mengatakan mereka meninggal akibat kecelakaan, hanya itu saja yang aku tahu, karena Mas Ethan jarang membicarakan tentang mereka. Mungkin saja dia tidak mau hanyut dalam kesedihan saat mengingat kedua orang tuanya jika terlalu sering menceritakan tentang mereka padaku.
Setelah selesai berdoa, kami kemudian pulang ke rumah. Dan ya, seperti yang sudah kuduga, saat turun dari mobil, Arsen langsung melenggang masuk ke dalam rumah tanpa memedulikan kami berdua. Mungkin saat ini aku memang harus terbiasa hidup dengan mayat hidup seperti dia.
***
Keesokan Harinya...
Aku membuka kedua mataku saat sebuah benda kenyal menempel di pipiku, setelah mata ini sepenuhnya terbuka tampak sosok laki-laki tampan duduk di depanku, dan tampak sudah rapi dengan menggunakan pakaian kerja formal. Aku pun terkejut, dan merasa begitu panik saat menyadari suamiku sudah siap pergi ke kantor, aku berfikir jika aku bangun kesiangan. Seketika, aku pun mengalihkan pandanganku lalu melihat jam di dinding. Aku pun menghembuskan nafas panjangku saat menyadari jika sekarang masih pagi.
"Mas? Ini masih pukul setengah enam. Kok kamu udah rapi gini sih?"
"Hari ini aku mau ke Bandung, Sayang. Ada meeting pukul sembilan pagi di sana."
"Kok dari kemarin kamu ga cerita, Mas. Kalo kamu cerita, aku kan siapin semua perlengkapan kamu."
Mas Ethan kemudian duduk di tepi ranjang, lalu membelai wajahku. "Nggak usah sayang, aku nggak mau repotin kamu."
"Tapi Mas, aku kan istri ka..."
Belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, tiba-tiba Mas Ethan sudah menempelkan bibirnya pada bibirku, lalu memaggutnya dengan begitu lembut hingga aku merasa begitu hanyut dalam permainan lidah dan bibirnya itu. Namun, aku buru-buru melepaskan ciuman itu karena aku tidak mau Mas Ethan terlambat pergi ke Bandung.
"Mas, udah. Lebih baik kamu berangkat sekarang, sebelum macet."
Mas Ethan pun menganggukkan kepalanya, lalu mengecup keningku. "Aku pergi dulu, Sayang."
"Aku anter ke bawah."
"Ga usah, kamu bobo lagi aja. Ini masih pagi."
"Ya udah mas, hati-hati."
Mas Ethan kemudian keluar dari kamar, meninggalkanku yang menatapnya hingga tubuhnya tak lagi terlihat mataku. Aku pun tersenyum, rasanya sungguh bahagia karena begitu beruntung memiliki suami seperti Mas Ethan. Namun, saat akan merebahkan tubuhku kembali, tiba-tiba perutku terasa begitu keroncongan. Ya, mungkin aku harus mengisi tenagaku, setelah tadi malam melewati permainan panas dengan suamiku.
Aku pun memutuskan untuk sarapan, namun saat aku baru saja keluar dari kamarku, tiba-tiba aku bertemu dengan Arsen yang terlihat baru selesai berolah raga.
"Kamu udah bangun?" tanyaku mencoba bersikap ramah.
"Aku nggak bisa tidur semalem, kamar sebelah brisik!" sentaknya yang membuatku tertegun. Aku pun hanya diam mendengar perkataannya, lancang sekali dia terang-terangan berani protes tanpa rasa sungkan padaku. Namun, belum selesai aku terkejut dibuatnya, tiba-tiba dia mendekat padaku sambil menatapku dari ujung rambut sampai ujung kali dengan tatapan yang begitu aneh.
"Ke-kenapa?"
Namun, dia hanya diam lalu menaruh handuk kecilnya di atas dadaku, untuk menutupi... 'Astaga!' batinku, di saat itu juga aku merutuki kebodohanku karena baru menyadari sedari tadi aku hanya memakai lingerie tipis yang begitu menerawang, dan tentu saja Arsen melihat bentuk tubuhku, termasuk buah dadaku.
'Sial!'
Setelah aku menyadari kebodohanku, aku bergegas masuk ke dalam kamarku sambil menyesali kecerobohanku. Seharusnya aku sadar, sekarang di rumah ini ada laki-laki lain yang tinggal bersama kami, dan aku tidak bisa bersikap bebas seperti biasa sebelum adik iparku itu pulang. Tapi, ah sudah terlambat, hal yang memalukan itu sudah terjadi, dan aku hanya bisa berharap agar aku bisa lebih berhati-hati dan tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Aku tak langsung mengganti pakaianku, tapi lebih dulu memilih untuk mandi, setidaknya itu bisa membuat tubuhku jauh lebih segar ditengah kacaunya perasaanku saat ini.
***
Satu Bulan Kemudian...
Sudah satu bulan lamanya, Arsen pulang ke rumah ini, namun hubungan kami tetap sama, tidak terlalu akrab. Aku memang sengaja membatasi interaksiku dengannya, menurutku itu jauh lebih baik, dibandingkan aku harus merasakan semua sikap anehnya. Aku pun sudah mengatakan pada Mas Ethan jika dia merasa sedikit terganggu dengan suara kami saat bercinta, jadi sejak saat itu Mas Ethan memang sengaja memasang peredam suara di kamar kami. Ya, agar aku tidak mendengar protes lagi dari adik iparku saat mendengar kami bercinta.
Lagipula Arsen juga begitu pendiam dan cuek padaku. Sejak kejadian pagi itu yang begitu memalukan, aku tidak pernah ngobrol berdua dengannya, kecuali saat ada Mas Ethan bersama kami. Sebenarnya ada atau tidak Arsen di rumah ini, rasanya sama saja karena dia lebih suka mengurung diri di kamar, mungkin sibuk dengan pekerjaannya yang tak bisa lepas dari komputernya. Dan aku yakin, pasti laki-laki seperti dia belum memiliki pacar, meskipun wajahnya boleh dibilang sangat tampan, serta tubuhnya boleh dibilang begitu proporsional, tapi aku yakin pasti tidak ada wanita yang mau hidup dengan lelaki sedingin dirinya.
Lamunanku pun buyar saat tiba-tiba aku mendengar suara pintu yang diketuk. Lagi-lagi aku harus menyadari jika saat ini aku sedang memikirkan adik iparku, ah anggap saja pikiran ini datang karena rasa kesalku yang belum juga hilang saat pertemuan pertama kami, dan semua sikap anehnya yang membuatku tidak nyaman. Aku yang sedang duduk di balkon kamar lalu berjalan menuju ke arah pintu, dan ketika aku membuka pintu kamar itu, tampak pembantuku sudah berdiri di depanku dengan raut wajah yang begitu cemas.
"Bi Ijah, kenapa Bi?"
"Nyonya, saya mau ijin selama beberapa hari, Nyah."
"Memangnya ada apa Bi? Kenapa bibi keliatan panik kaya gini?"
"Barusan saya dapet telepon dari teman anak saya Nyah kalo anak saya kecelakaan, sekarang dia udah dibawa ke rumah sakit sama temen-temennya. Saya ijin beberapa hari Nyah buat rawat anak saya di rumah sakit, boleh kan Nyah?"
"Oh iya Bi gapapa, Bi Ijah rawat anak bibi aja dulu."
"Terima kasih banyak, Nyah. Saya permisi dulu."
"Tunggu Bi!"
Aku kemudian mengambil beberapa lembar uang kertas berwarna merah lalu kuberikan pada Bi Ijah. "Apa ini Nyonya?"
"Ambil aja Bi, pasti bermanfaat."
"Ga usah Nyah."
"Gapapa, ambil aja. Buruan ke rumah sakit Bi, anak bibi pasti butuh bibi."
Bi Ijah terlihat menghembuskan nafasnya, lalu kembali mengucapkan terima kasih. Tapi saat dia baru saja melangkahkan kakinya, tiba-tiba dia membalikkan tubuhnya kembali.
"Ada apa Bi?"
"Ini Nyah, Tuan Arsen sakit. Tadi Tuan Arsen minta dibikinin bubur, tapi saya belum sempet bikin. Tolong nanti dipesankan bubur saja ya Nyah."
Mendengar perkataan Bi Ijah, terpaksa aku pun menganggukan kepalaku. Meskipun rasanya begitu enggan, tapi mau tidak mau aku sepertinya harus membantu adik iparku yang sedang sakit. Awalnya aku berniat membeli bubur dengan memesannya secara online. Tapi setelah kupikir kembali, lebih baik aku membuat bubur itu saja, untuk stok sampe nanti sore kalau Arsen lapar. Setelah berkutat di dapur selama setengah jam, akhirnya aku pun selesai memasak bubur untuk Arsen.
Aku mengambil semangkuk bubur, lalu membawanya ke kamar Arsen. Saat aku sampai di depan kamar itu, langkahku tertahan sejenak. Entah mengapa, rasanya aku begitu enggan memasuki kamar itu dan bertemu dengan adik iparku. Namun, rasa itu kubuang jauh-jauh, bagaimanapun juga Arsen adalah adik dari suamiku, dan aku harus membantunya saat dia sedang sakit seperti ini.
Perlahan kubuka pintu kamar itu, dan melihat Arsen yang saat ini tidur di atas ranjangnya. Aku mendekat ke arahnya, dan melihat matanya yang tertutup disertai wajah yang terlihat pucat, kupikir saat ini dia sedang tidur, jadi aku hanya meletakkan mangkuk bubur itu di atas nakas yang ada di samping ranjangnya. Namun, saat aku akan melangkahkan kakiku, tiba-tiba terdengar suara beratnya.
"Mau kemana, Sha?"
Spontan aku membalikkan tubuhku, dan melihat dia yang saat ini tampak sudah membuka matanya sambil menatapku dengan tatapan datarnya. Tatapan yang sangat sulit diartikan sejak pertama kali bertemu. Dan satu lagi, sebenarnya yang membuatku merasa kurang nyaman saat ada di sampingnya, yaitu dia selalu memanggilku dengan namaku saja. Ya, meskipun aku seumuran dengannya, bukankah tidak sepantasnya dia memanggil namaku tanpa embel-embel apapun? Bukannya aku minta dihormati secara berlebih, tapi bagaimanapun juga aku adalah kakak iparnya.
"Kamu mau kemana, Sha?"
"Maaf, kupikir kau tidur. Aku cuma mau anter bubur itu buat kamu, dimakan ya."
Arsen kemudian melirik bubur yang ada di atas nakas sambil tersenyum kecut. "Aku lagi lemes, tolong suapi aku!" perintahnya begitu saja yang membuatku tertegun, dan terdiam sesaat.
"Kenapa diem? Apa aku salah minta suapin kamu? Kamu kakak aku kan? Biasanya kalo aku sakit, mama juga suapin aku. Setau aku bukankah peran kakak juga menggantikan orang tua yang sudah meninggal kan?"
Lagi-lagi aku harus tertegun mendengar ucapannya. Entahlah, bagiku dia sangat menyebalkan. Tapi aku selalu tidak bisa berkutik setiap mendengar perkataannya. Kata-katanya seolah begitu mematikan pergerakanku. Akhirnya, aku pun melangkahkan kakiku mendekat ke arahnya, lalu duduk di tepi ranjangnya, dan menyuapkan bubur untuknya.
"Kamu sakit kenapa? Kecapeen kerja?" tanyaku untuk memecah keheningan diantara kami berdua.
"Aku sakit gara-gara kamu, Sha. Kamu yang udah bikin aku gini."
Deg
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!