"Ibu, apa yang ibu lakukan? Lepaskan! Aku tidak mau dijual, biarkan aku pergi Bu." Mohon gadis itu dengan tangis pilu.
"Hahaha... Enak sekali kamu minta dilepaskan. Kamu kira aku ini bodoh? Tentu saja aku tidak akan mau, karena kamu adalah sumber keuanganku." Jelas wanita yang bernama Hasni itu.
"Bu, kenapa ibu tega sekali? Apa salahku, Bu?" Tanya Rindiani dengan terisak.
"Apa salahmu? Heh!" Hasni mencengkeram dagu Rindi dengan kuat. "Salahnya ada pada ayahmu. Kenapa dia mati meninggalkan hutang yang banyak. Kamu kira aku punya uang untuk membayar hutang ayahmu pada rentenir itu!"
"Tapi hutang itu bukankah Ibulah yang memaksa ayah untuk mengambilnya pada rentenir." Ujar Rindi tak ingin ayahnya disalahkan.
"Hah! Banyak omong kamu! Ayo sekarang bawa wanita ini masuk!" Perintah Hasni pada bodyguard Mami yang mempunyai rumah bordir itu.
"Tidak! Lepaskan saya!" Rindi masih memberontak, tetapi dia tak cukup tenaga untuk melawan dua orang lelaki berbadan tegap itu.
"Ayo masuk!" Dua orang itu mendorong Rindi masuk kedalam sebuah kamar, dan menguncinya dari luar.
"Keluarkan saya dari tempat ini! Tolong saya tidak mau disini!" teriak gadis itu sembari menggedor pintu kamar.
Sementara itu di sebuah ruangan, Hasni sedang bernegosiasi dengan Mami Lala.
"Berapa harga yang ingin kau berikan untuk gadis perawan itu?" Tanya Hasni sembari memantik api rokoknya.
"Kenapa mahal sekali? Ayolah, kita ini berteman beri aku diskon khusus." Ujar wanita yang berperawakan serba menor itu.
"Oke, 45 juta, Bagaimana? Deal?" Hasni mengulurkan tangannya tanda sepakat kedua belah pihak.
"Oke, deal!"
***
Disebuah apartemen seorang Dokter spesialis neurologi Anak, sedang duduk termenung. Sudah dua bulan ia bertugas di kota itu.
Arfan Putra Arif, Dr. Sp.A Neurologi (syaraf anak) Dia adalah seorang dokter yang menangani anak berkelainan khusus.
Arfan ditugaskan di kota itu dan dikontrak oleh dua RS besar, yaitu RSUD dan sebuah RS swasta. Entah kenapa di kota itu Dokter syaraf anak sangat langka maka pihak RS mendatangkan Dokter dari luar kota dengan bayaran tertinggi.
Sebagai seorang lelaki normal maka ia tak ingin Munafik karena tinggal berjauhan dari sang istri maka membuatnya terkadang tak kuasa menahan kebutuhan biologisnya.
Arfan juga tidak ingin menggunakan jasa wanita malam untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Sebagai seorang Dokter tentu saja dia sangat mengetahui dampak dari hal itu. Dia tidak ingin mendapatkan penyakit menakutkan yang bisa menular, lebih baik dia mencegah daripada mengobati, selain itu Arfan juga tak ingin menumpuk dosa yang terbilang dosa besar.
Sementara mengingat jadwalnya yang padat mengisi praktek dua RS, maka waktu cutinya sangat minim. Arfan sudah berulang kali membujuk sang istri untuk ikut bersamanya, tetapi wanita yang bekerja sebagai Dokter umum itu selalu menolak.
Erlina tak ingin ikut bersama suaminya karena dia sangat mencintai pekerjaannya sebagai Dokter di sebuah RS yang ada di kota kediaman mereka. Erlina lebih memilih hidup berjauhan dari sang suami dengan berkomitmen untuk saling percaya dan setia.
Tetapi nyatanya Arfan tak bisa menjaga komitmen itu karena minimnya waktu untuk bertemu. Begitu juga sebaliknya, Erlina juga tak mempunyai waktu untuk datang berkunjung ke tempat suaminya bekerja.
Rasanya tak punya solusi lagi dengan masalahnya, Arfan menghubungi teman sejawatnya yang bekerja di RS yang sama tetapi lain spesialis.
"Apa yang ingin kamu bicarakan, Fan?" Tanya sahabat yang bernama Rinaldi.
"Aku bingung harus memulainya darimana, Nal. Ini soal kebutuhan biologis. Kamu tahu 'kan, bahwa aku sudah hampir tiga bulan di kota ini tak pernah bertemu dengan istriku."
Arfan menjelaskan pada sahabatnya itu, karena Rinaldi statusnya sama dengan dirinya dan tinggal berjauhan, tetapi untungnya Naldi hanya di kontrak satu RS saja, jadi dia masih mempunyai banyak waktu luang dan ada cuti bulanan untuk bisa pulang ke kota asalnya.
Naldi mencoba berpikir sejenak untuk mencari solusi untuk sahabatnya itu. "Kenapa kamu tidak meminta istrimu ikut bersamamu dan berhenti bekerja?"
"Aku sudah seringkali membahas tentang itu, tetapi dia masih kokoh dengan pendiriannya, dan aku tidak ingin memaksa yang pada akhirnya akan berujung dengan pertengkaran."
"Terus... Mau kamu gimana sekarang?"
Arfan menaikan kedua bahunya menandakan tak punya solusi. Dia bingung harus bagaimana.
"Kenapa kamu tidak menyewa perempuan saja?" Tanya Naldi memberi solusi yang telah ditolak oleh hatinya terlebih dahulu.
"Aku tidak ingin mencari penyakit. Kamu tahu sendiri perempuan bayaran itu tidak hanya kita saja yang menyentuhnya."
"Arfan, Arfan... Kamu itu kenapa lugu sekali. Kamu kan bisa request yang masih orisinil," ucap Naldi memberi solusi dan membuat Arfan sedikit tertarik dengan ucapan sahabatnya.
"Emang ada orisinil? Yang belum disentuh oleh orang lain?" Tanya Arfan semakin penasaran.
"Ya adalah. Jaman sekarang apa yang tidak ada, kawan, asalkan berani bayar mahal barang tersedia."
"Bagaimana? Apakah kamu tertarik?" Tanya Naldi setelah memberi solusi. Dan Arfan berpikir sejenak.
"Baiklah, ayo kita jalan sekarang." Akhirnya komitmen itu dilanggar oleh Arfan, dia yang tak bisa lagi mengendalikan hasrat sehingga mencari persinggahan sesaat.
Sesampainya di sebuah rumah bordir, Naldi segera menemui Mami Lala untuk menanyakan barang baru. Dan kebetulan wanita itu masih menyimpan stoknya maka Naldi bernegosiasi dengan wanita dandanan menor itu.
Arfan hanya mau terima beres saja, dia tidak ingin berurusan dengan wanita itu, ia akan membayar dengan sesuai harga yang di tentukan dan barang yang di inginkan.
Setelah selesai bertransaksi, Arfan segera menuju hotel yang telah disediakan oleh Mami Lala tempat dimana servis yang akan diberikan kepada pelanggannya.
"Ayo gunakan pakaian ini! Kamu harus melayani tamu spesial Mami. Ingat kamu jangan bertindak anarkis lagi! Jika kamu berani bersikap kasar pada pelangganku, maka aku pastikan hidupmu tamat malam ini juga!" Ancam Mami Lala pada Rindiani sembari melemparkan gaun kurang bahan itu.
Rindi kembali terduduk dilantai, dia tidak tahu harus berbuat apalagi. Karena ini adalah tamu ke tiga, yang pertama dan kedua ia berhasil mempertahankan kehormatannya dengan cara melumpuhkan Pria hidung belang itu. Rindi melempar apa saja yang ada di kamar hotel itu.
Dengan hati yang lelah dan pasrah, Rindi terpaksa mengikuti keinginan sang Mami, ia tak punya pilihan lain untuk lepas dari wanita itu, karena dirinya telah dibeli dari wanita yang paling ia benci, yaitu ibu tirinya.
Setelah sampai di kamar hotel, Rindi segera masuk, dia melihat seorang Pria yang sedang duduk di sofa menghadap ke arah televisi.
Dengan tubuh bergetar, rindi masih berdiam diri di depan pintu. Apa yang harus ia lakukan. Ya Allah, lindungi aku kembali dari Pria hidung belang ini. Do'a wanita itu dalam hati.
"Kenapa diam disitu? Kemarilah!" Ujar Pria itu tanpa mengalihkan pandangannya dari arah TV.
Seketika itu tubuh Rindi terlonjak saat mendengar suara Pria yang ada di hadapannya. Dengan jantung berdebar dan perasaan takut yang tak terkira, Rindi ingin sekali keluar dari kamar itu, tetapi ia mengingat ada dua orang penjaga yang berdiri didepan.
"Apakah kamu tidak mendengar apa yang aku katakan?!" Bentak Pria itu
Bersambung....
Jangan lupa dukungannya ya 🙏🤗
Happy reading🥰
Rindi tak mengindahkan ucapan Pria itu, tubuhnya masih gemetaran saat menatap punggung tegap. Apa yang akan dilakukan Pria itu kepadanya.
Perlahan tubuh itu bergerak dan menghadap kepada Rindi, Seketika jantung wanita itu berdebar tak menentu saat menatap wajah tampan yang sangat berkarisma. Alisnya tegas dan tersusun rapi, matanya yang tajam bagaikan mata elang, bibir tipis nan seksi, hidungnya yang mancung sempurna.
Rindiani terdiam sepi sembari mengamati ketampanan Pria yang ada di hadapannya. Benarkah Pria itu yang akan merenggut kehormatannya malam ini?
Tapi segera ia tersadar dari lamunannya. Tidak aku tidak ingin menjadai pela cur.
Arfan segera mendekati Rindi, kini tubuh mereka sudah semakin dekat hingga tak berjarak. Arfan menatap Rindi dari bawah hingga atas.
Arfan meraih tangan Rindi namun, seketika wanita itu menepis tangannya sehingga membuat Arfan menatap Rindi dengan tajam.
"Kau kenapa? Bukankah aku sudah membayarmu sangat mahal. Oh, aku tahu, kamu ingin tips dariku lagi 'kan? Baiklah, aku akan memberimu tips tanpa sepengetahuan majikanmu."
Rindiani segera luruh dan bersimpuh di bawah Arfan sehingga membuat Pria itu terkesiap.
"Saya mohon Tuan, tolong jangan lakukan hal itu, aku tidak ingin melakukan dosa besar ini. Aku mohon tolong bawa aku keluar dari tempat terkutuk ini. Nikahi aku walau sesaat, aku akan memenuhi keinginanmu dan melayanimu, asalkan kita tak berzina."
Rindiani menangis terisak-isak. Dia tidak ingin menjadi wanita malam dan bergelimang dalam lumpur dosa, dia lebih baik dinikahi walaupun hanya sesaat asalkan tak berbuat dosa.
"Ayo bangunlah." Arfan meraih tangan Rindi dan membawanya duduk di sofa yang ada di kamar itu.
"Kenapa kamu seperti ini? Bukankah datang ketempat ini adalah keinginan kamu sendiri?" Tanya Arfan sedikit penasaran saat melihat sikap wanita itu.
"Tidak, Tuan. Aku datang kesini bukan karena keinginanku, bahkan aku tidak pernah berpikir akan berada di tempat terkutuk ini, aku hanya korban yang di jual oleh ibu tiriku sendiri." Rindi menjelaskan semuanya kepada Arfan.
Arfan berpikir sejenak setelah mendengar cerita dari gadis yang ada di sampingnya itu, sepertinya ini adalah hal yang bagus untuk dirinya, permintaan Rindi menjadi pilihan terbaik bagi Arfan.
"Siapa nama kamu?" Tanya Arfan
"Nama saya, Rindiani, Tuan."
"Baiklah, aku akan mengeluarkan kamu dari tempat ini, tapi kita harus membuat kesepakatan terlebih dahulu."
"Kesepakatan apa itu Tuan?"
"Seperti yang kamu katakan tadi. Kamu tidak ingin berzina 'kan? Aku akan menikahi kamu. Begini, Rin, aku adalah seorang Dokter. Dan aku berada di kota ini karena di kontrak oleh RS selama satu tahun ini. Setelah itu aku akan kembali praktek di kota asalku. Jadi, aku ingin menikahimu juga secara kontrak selama aku berada di kota ini.
"Setelah kontrak kerjaku berakhir maka pernikahan kita juga berakhir. Bagaimana? Apakah kamu setuju dengan kesepakatan ini?"
"Baiklah, aku setuju." Tanpa berpikir lagi Rindi menyetujui kesepakatan itu.
"Oya, ada satu lagi. Dalam pernikahan sementara ini, aku minta kamu maupun aku tidak boleh melibatkan perasaan, karena aku tidak mau ada yang terluka saat perpisahan itu tiba. Dan aku juga tidak ingin mempunyai anak dari wanita lain selain istriku, jadi aku minta selama pernikahan berjalan kamu harus meminum pil kontrasepsi."
Seketika hati Rindi terasa perih. Tetapi ia berusaha untuk tetap tenang dan sadar diri. Seharusnya dia berterima kasih karena Pria itu sudah mau mengeluarkannya dari lembah hitam itu.
"Baiklah, Tuan, aku paham."
"Bagus kalau begitu. Ayo sekarang ikut aku."
Arfan keluar dari kamar itu, dan kembali menemui Mami Lala untuk bernegosiasi. Karena Arfan mengambil barang baru dan masih orisinil maka harganya tak main-main yang di berikan oleh wanita menor itu.
Tanpa pikir panjang Arfan melunasi harga yang diminta oleh Mami Lala, maka sekarang Rindi telah menjadi milik Arfan seutuhnya.
Malam itu juga Arfan menyelesaikan segelanya, walaupun hanya nikah siri tentu saja sangat merepotkan temannya yang bernama Naldi itu. Arfan meminta Naldi membantunnya untuk mencari penghulu malam itu juga.
"Malam begini kemana kita harus mencari penghulu, Fan? Kenapa kamu tidak bisa menunggu sampai besok pagi aja sih?" Rutu Naldi di perjalanan saat mereka muter-muter cari rumah pak penghulu.
"Besok kelamaan, Nal, kamu tahu besok itu hari Senin, jadwal aku penuh."
"Ya ampun, memang benar-benar menyusahkan. Eh, tapi aku penasaran, apakah kamu tidak takut ketahuan bila mempunyai istri simpanan?"
"Ya, harus pinter-pinter lah menyembunyikan, namanya juga istri simpanan ya harus disimpan bukan untuk di pamerkan."
Akhirnya dari petunjuk seorang warga, mereka menemui rumah mantan Pak KUA yang telah pensiun, dia masih menikahkan pasangan yang menikah siri.
Tak ingin membuang waktu, Arfan segera membawa Pak penghulu itu kekediamannya. Arfan dan Rindi segera dinikahkan secara agama.
Dengan lantang Arfan membaca kalimat sakral itu maka malam itu juga Rindiani telah sah menjadi istrinya dalam agama, tetapi tidak menurut hukum.
Setelah semua tamu pulang, kini tinggal mereka berdua dikediaman itu. Arfan duduk di ruang tamu, setelah bertelponan dengan sang istri.
Lama Pria itu termenung, ada rasa bersalah yang begitu besar di hati Arfan karena telah menduakan sang istri.
Maafkan aku Elin, maaf jika aku telah menduakanmu, tapi percayalah, cintaku seutuhnya hanya untuk dirimu. Jujur, aku hanya seorang lelaki normal. Andai saja kamu mau mengikuti keinginanku, maka semua ini tak akan pernah terjadi. Arfan bergumam sendiri dalam hati.
Arfan beranjak dari ruang tamu dan masuk kedalam kamar. Dia melihat Rindiani yang baru saja selesai mandi dan telah menggunakan stelan piyama tidur, rambutnya yang masih basah tergerai indah, aroma shampoo begitu wangi.
Rindi yang sedang menyisir rambutnya, terkejut melihat kehadiran Arfan di belakangnya, ia berusaha untuk tetap tenang meskipun jantungnya berasa ingin lompat.
"Tuan, apakah ingin mandi? Akan aku siapkan air hangat," ujar Rindi sembari berdiri dari bangku meja rias itu.
"Tidak perlu. Kembali aku ingatkan kepadamu, jangan pernah memberikan perhatian apapun kepadaku. Apapun kebutuhanku biarkan aku yang mengerjakannya sendiri. Kamu urus saja dirimu sendiri."
Arfan segera masuk kedalam kamar mandi tanpa menunggu jawaban dari Rindi.
Salahkah bila aku ingin berbakti kepada suamiku sendiri? Ah ya, aku lupa jika kami tidak boleh melibatkan perasaan, tapi apakah aku mampu untuk berkomitmen sedemikian?
Rindi bingung dan gelisah, ia tak tahu harus berbuat apa. "Aku harus bisa, hanya satu tahun, setelah itu aku akan pergi jauh dari kota ini dan mencari kehidupan baru."
Rindi duduk, karena tak mempunyai kegiatan apapun, maka ia menyalakan televisi yang ada di kamar itu.
Rindi menonton sebuah sinetron, yang berjudul pelakor, di salah satu stasiun tv swasta. Seketika hati wanita itu bagaikan di sentil.
Apakah dirinya saat ini berada di posisi itu? Apakah dia sudah menjadi pelakor?
Tidak, tidak. Aku bukan pelakor. Apa yang aku lakukan sekarang karena terpaksa. Lagipula kami tidak saling mencintai, aku tak berharap apapun dari Pria beristri itu. Ini hanya sementara, ya aku tidak boleh mencintai dia.
Bersambung....
Jangan lupa dukungannya ya 🙏🤗
Happy reading 🥰
Rindi masih fokus dengan sinetron yang disaksikannya, ia duduk di bibir ranjang hingga tak menyadari Arfan telah berada di belakangnya hanya menggunakan handuk yang melilit tubuh bagian bawahnya.
Dalam diam Arfan memperhatikan sinetron yang sedang di tonton oleh Rindi, seketika Pria itu juga merasa tercubit hatinya karena telah mengkhianati sang istri dengan menikah lagi.
Arfan mengambil remote TV dan segera mematikannya. Rindi terkesiap melihat Arfan telah berdiri dihadapannya dengan bertelanjang dada.
"Tuan, kenapa dimatikan?" Tanya Rindi mengalihkan pandangan ke arah tv yang telah padam itu.
Arfan tak menjawab tetapi dia mendekati wanita itu dan duduk di sampingnya. "Kamu sudah tahu apa tugasmu sekarang 'kan?" Tanya Arfan sedikit berbisik sehingga tubuh kekarnya sudah menempel di bahu Rindi.
Sumpah demi apa, jantung wanita itu berasa ingin keluar, degupnya tak beraturan dan nafasnya hampir saja berhenti saat itu juga.
Rindi tak bisa mengeluarkan suaranya, hanya bisa mengangguk tipis dengan hati resah. Sadar sekali posisinya saat ini, maka tak mampu menolak. Dia hanya bisa pasrah, sangat yakin bahwa dia sedang melakukannya bersama pasangan halal.
Perlahan Arfan menyentuh tengkuk Rindi dan menariknya hingga tak ada jarak di wajah mereka. Perlahan tapi pasti bibirnya menyentuh bibir tipis Rindi.
Rindi yang mendapat First Kiss, mematung tak bisa berbuat apa-apa untuk mengimbangi sentuhan Pria telah beristri itu. Arfan tahu Rindi masih kaku maka ia harus sabar menggiring wanita itu hingga pandai. Perlahan Pria itu menggulingkan tubuh Rindi.
Sentuhan demi sentuhan, akhirnya membuat wanita itu hanyut dalam buaian suaminya itu, terlena dalam lembah asmara, terpesona dalam alunan cinta, tanpa ia sadari desa han dan erangan kecil keluar dari bibirnya.
Arfan semakin gencar untuk menyentuh bagian sensitif wanita itu, tak ada sejengkalpun yang ia lewati tubuh sang istri dari sentuhan dan kecupannya.
Rindi semakin tak bisa mengontrol dirinya, sehingga tanpa sadar dia telah berulang kali mengerang dan mencengkram erat tubuh Arfan, itu menandakan bahwa dirinya sudah berulang kali melakukan pelepasan.
Arfan tersenyum telah berhasil membuat sang istri puas dengan permainannya. Pria itu juga sudah tak mampu menahan gejolak hasrat yang ingin di tuntaskan.
Perlahan tapi pasti, Pria itu membuka kedua paha Rindi untuk melakukan penyatuan. Berulang kali mencoba dan berulang kali Rindi meringis, pada akhirnya kehormatan yang selama ini ia jaga dengan baik telah ia serahkan kepada Pria yang kini berstatus sebagai suaminya.
Arfan menjeda sesaat untuk memberi ruang kepada Rindi agar bisa mengatur nafas. "Bagaimana? Apakah aku boleh meneruskannya kembali?" Bisik Arfan di telinga Rindi.
Wanita itu hanya bisa mengangguk dan setitik cairan bening itu menetes di sudut matanya.
Arfan yang tahu Rindi menangis, ia segera menghapus air matanya dengan lembut, dan mengecup kening Rindi dengan dalam.
Semakin lama gerakannya semakin cepat, kedua insan yang sedang memadu asmara itu sama-sama mereguk nikmatnya surgawi, tanpa terasa sebuah cairan tumpah dibawah sana dan Arfan menjada menikmati sisa kenikmatan yang ada lalu ambruk di samping tubuh Rindi.
Arfan dan Rindi mengatur nafas untuk istirahat sejenak sebelum permainan kedua dimulai. Rindi menatap wajah tampan yang ada di sampingnya itu.
Arfan melakukannya begitu lembut dan penuh kasih sayang, apakah Rindi yakin tidak akan melibatkan perasaan terhadap Pria itu? Saat mereka saling bertatapan, tiba-tiba ponsel Arfan berdering.
Arfan meraih ponselnya dan melihat siapa yang menelepon. Seketika matanya membulat melihat istri pertamanya yang menggunakan panggilan vc
Arfan menoleh ke samping sehingga tatapan mereka bertemu. "Rin, bisakah kamu keluar sebentar? Istriku telpon ingin video call," ujar Arfan sedikit sungkan.
"Baiklah, Tuan." Rindi yang tahu segera bergerak dan menggunakan pakaiannya lagi lalu keluar dari kamar utama itu.
Setelah Rindi keluar, Arfan menggunakan pakaiannya dan segera menelpon balik karena tadi sempat terputus.
"Halo, assalamualaikum... Sayang."
"Wa'alaikumsalam... Dek, tumben nih telpon malam-malam begini."
"Aku kangen, kamu kapan dapat cuti, Mas?"
"Aku juga kangen banget, Dek. Tapi aku belum bisa menentukan kapan aku dapat cuti, kamu kan tahu aku sangat sibuk sekali, kalau hanya mengandalkan waktu libur sehari nggak terkejar, karena jadwal praktek aku sangat padat sekali." Arfan mencoba menjelaskan kembali pada sang istri.
"Yaudah deh, Mas. Aku usahakan bulan depan cuti, biar aku yang kesana."
"Kamu serius?" Tanya Arfan sedikit tak percaya
"Iya, aku serius, Mas."
"Oke, Sayang. Jangan lupa beri kabar aku ya."
"Oke, aku tutup telponnya ya. I Miss you
"Miss you too. Muuach..."
Telpon terputus, Arfan segera duduk dari pembaringannya, dan mengusap wajahnya dengan lembut, Pria itu sedikit resah mengingat bahwa bulan depan sang istri akan berkunjung kesana.
Cukup lama termenung, Arfan baru ingat dengan Rindi, ia segera menyingkap kain yang menutup separuh tubuhnya itu. Seketika matanya melihat bercak noda darah di alas kasur itu.
Arfan menghela nafas panjang, ia baru saja memperawani seorang wanita yang kini juga berstatus sebagai istrinya. Sejenak ia berpikir apakah benar jika hubungan ini tidak akan menyakiti perasaan diantara mereka nantinya.
Arfan segera keluar dari kamar untuk mencari istri simpanannya itu. Ia melihat di ruang tamu tak ada, diruang tengah juga tak ada. Terakhir ia membuka pintu kamar tamu.
Arfan melihat Rindi telah meringkuk diatas tempat tidur itu, perlahan Arfan mendekati sang istri, ia menatap wajah polos itu dengan seksama, terlihat ada bekas air mata yang belum mengering disana. Mungkinkah gadis itu menangis?
Arfan tak ingin mengganggu tidur Rindi hanya menyelimuti tubuh wanita itu, setelahnya dia kembali ke kamar utama. Akan lebih baik seperti itu agar tak terlalu dekat. Pria itu berusaha untuk tidak melibatkan perasaan.
Bagi Arfan tetaplah Erlin yang dapat memiliki hatinya, ia tak ingin membagi perasaan dengan wanita manapun, sadar betul jika Rindi baginya adalah sebagai dermaga persinggahan sesaat.
Sang Surya telah terbit dari ufuk timur dan semburatnya memancarkan cahaya silau yang masuk di celah pintu jendela kamar itu.
Rindi terbangun dari tidurnya, dengan otot tubuh yang terasa sakit, perlahan ia mencoba mengembalikan ingatan mengapa tubuhnya terasa sakit semua.
Ada rasa tak nyaman di tubuh intinya, ia baru tersadar dengan percintaan manis bersama pasangan halalnya tadi malam, tapi dimana Pria itu? Rindi mengamati seisi kamar yang sedang ia tempati.
Rindi baru menyadari bahwa dia berada di kamar tamu, berarti dari semalam setelah percintaan itu mereka tidur terpisah. Perlahan wanita itu bangkit dari tempat tidur dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Setelah selesai mandi, Rindi keluar dan melihat Arfan sedang menduduki kursi di meja makan dengan sarapan seadanya, yaitu secangkir teh hangat dan roti tawar dilapisi selai kacang.
"Maaf ya, aku kesiangan, apakah Tuan ingin sarapan sesuatu?" Tanya wanita itu seakan melupakan perjanjian diantara mereka.
Arfan tak menjawab ia masih fokus dengan sarapannya. Ia menatap Rindi yang menggunakan pakaian lusuh yang dia bawa dari rumah bordir itu.
"Tuan, kenapa menatap aku begitu? Ah, ya, sebentar aku buatkan sarapan untuk Tuan dulu." Rindi segera beranjak ingin membuatkan sarapan.
"Tidak perlu! Ini sudah yang kedua kalinya aku memperingati kamu Rindi, jangan pernah kamu menyediakan apapun untuk aku! Tolong jangan melanggar kesepakatan yang telah kita buat. Silahkan kamu berbuat apa saja, tapi untuk dirimu sendiri. Aku bisa mengurus diriku sendiri!"
Arfan segera meraih Snelli dokternya yang tersampir di bangku duduknya tadi, dan masuk ke kamar, tak berapa lama dia kembali keluar menghampiri Rindi yang masih mematung.
"Ini uang nafkah untuk kamu, kamu beli semua kebutuhan diri kamu sendiri yang utama percantik penampilan kamu itu." Arfan menyerahkan sebuah amplop yang berisikan uang kepada Rindi.
Rindi menerima uang itu ada perih disudut hati saat mendengar ucapan dari Arfan. Namun, segera ia tepis segala perasaan cengeng dihatinya.
Tidak! Aku tidak boleh cengeng dan bawa perasaan. Aku harus keep strong
Setelah memberikan uang itu, ia segera beranjak menuju RS, praktek pagi ia lakukan di RSUD, dan siang jam dua di RS swasta.
Bersambung.....
Happy reading 🥰
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!