Matahari masih belum menampakkan sinarnya, tapi Aisyah sudah terlihat rapi. Gadis itu tidak sabar lagi menunggu matahari terbit, dia ingin cepat-cepat ke sekolah dan berkumpul bersama kawan-kawannya. Sebab, hari ini sekolah mereka akan mengikuti acara kemping bersama SMA Pertiwi.
"Sudah shalat subuh Aisyah?" tanya bu Indri, saat melihat Aisyah sudah terlihat rapi dan duduk manis di tepi ranjangnya.
"Sudah, Bunda," jawabnya sambil menarik ransel yang akan dibawanya nanti, dia kembali memeriksa isinya, melihat apakah ada yang tertinggal atau tidak.
"Aisyah, kalau bunda minta kamu untuk tidak mengikuti acara kemping bersama, kamu mau tidak?" tanya sang bunda hati-hati, berharap Aisyah mau, karena dari semalam perasaannya itu tidak enak.
"Dari semalam Bunda minta Aisyah untuk membatalkan acara kemping ini, memangnya kenapa sih, Bun?"
"Bunda khawatir, perasaan bunda nggak enak dari semalam, takutnya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan," ungkap bundanya jujur.
"Itu cuma perasaan Bunda saja kok, Bunda banyak-banyak berdoa untuk keselamatan Aisyah, ya. Semoga Aisyah selamat sampai tujuan," ucap Aisyah mencoba menenangkan perasaan ibundanya.
"Kamu tidak sayang sama Bunda? kalau kamu pergi nanti bunda sendiri di rumah, ayah kamu juga belum balik dari luar kota," tambah bu Indri mencoba membujuk Aisyah, namun Aisyah tidak akan mengubah pendiriannya, kalau dia sudah mengambil keputusan maka dia tetap tidak akan mengubahnya.
\*°°°°°••••••°°°°°\*
"Tidak baik lho melamun gitu, nanti kesambet setan lagi," tegur Dara yang duduk di sampingnya.
"Ra, perasaan aku tiba-tiba nggak enak," jawab Aisyah.
"Kenapa? Jangan bilang kalau kamu nyesal udah ikutan acara kemping bersama SMA Pertiwi."
"Tidak, bukan soal itu. Ah, sudahlah, tidak perlu dibahas lagi," ujar Aisyah menepiskan tangannya.
"Kamu beneran nggak kenapa-napa kan?" tanya Dara sekali lagi untuk memastikan.
"Iya, by the way, Andi sama Rudi di mana ya?" tanya Aisyah saat melihat kedua sahabatnya yang super duper cerewet melebihi cewek itu tidak ada di dekatnya.
"Rudi sama Andi ada tu, mereka duduk di belakang sama anak cowok yang lain," tunjuk Dara. Benar saja kedua sahabatnya itu tampak sangat bahagia menikmati perjalanan mereka.
Aisyah kemudian terdiam kembali, dia mengalihkan pandangannya keluar jendela, supaya bisa mengembalikan suasana hatinya menjadi nyaman kembali. Dara rupanya cukup pengertian dia tidak mengganggu Aisyah dengan mengajaknya ngobrol, gadis itu membiarkan saja sahabatnya menikmati waktu sendiri, mungkin benar suasana hati Aisyah saat ini sedang tidak baik.
^°•••••••°^
Bus yang mereka tumpangi terus melaju, jalan yang mereka lewati ternyata sangat sunyi tidak banyak kendaraan lewat, hanya sesekali saja Aisyah melihat kendaraan yang melintasi jalan itu, perasaannya jadi resah kembali.
"Ada apa ini?" batinnya gelisah.
"Pak... Kita sudah sampai di mana ya?" tanya Aisyah penasaran, karena sudah sejam lebih mereka dalam perjalanan, tapi belum sampai juga.
"Masih setengah jam lagi, Neng," jawab pak Yanto, sopir bus.
"Wah lama juga ya? Padahal SMA pertiwi sudah sampai di sana lho," timpal Lucy yang duduk di depan Aisyah.
"Wajarlah mereka kan berangkat lebih awal dari pada kita," tambah Dara memberi tahu.
"Kita ini tadi ngelewatin jalan pintas kan?" tanya Manda yang sedari tadi diam, mulai ikut menimpali.
"Oi... Kalian yang di depan! Ngapain sih ribut banget?" tanya Andi yang duduk di kursi belakang, dia setengah berteriak agar suaranya bisa terdengar teman-temannya.
"Yang di belakang diam aja nggak perlu ikut campur!" seru Deon ikut berbicara.
"Sabar... Sabar sebentar lagi kita juga bakalan sampai kok!" pak Yanto berusaha membuat suasana kembali tenang.
Aisyah kembali mengarahkan pandangannya keluar jendela, suasana sekitar terlihat begitu tenang, bus itu terus melaju, di tengah perjalanan Aisyah melihat beberapa orang lelaki memakai pakaian hitam, wajah mereka juga terlihat aneh, Aisyah tidak dapat melihat dengan jelas. Sebab, bus itu melaju terlalu cepat.
"Wah... Kenapa lagi ini?" pak Yanto panik saat mobil tiba-tiba berhenti di tengah jalan.
"Busnya mogok.!"
"Yach... Gimana ni?"
"Kalau gini mah nggak bakalan sampai tujuan," yang lain pada ribut.
"Mungkin ini alasannya kenapa perasaan aku tiba-tiba nggak enak," ucap Aisyah setengah berbisik pada Dara.
"Mungkin karena akan jadi seperti ini juga, makanya bunda nyuruh kamu untuk tidak ikut dalam acara ini," tambah Dara.
\*\*\*\*
"Kita terpaksa harus menunggu menunggu di sini," ujar pak Yanto.
"Kalau nggak ada yang datang, berarti kita harus menunggu hingga besok pagi dong," Dara tampak khawatir.
"Ya, mau bagaimana lagi? Sudah begini, terima saja sudah nasib kita," Rudi menjawab santai.
Saat mereka tengah kalut dengan pikirannya, anak-anak yang lain malah asyik mengambil gambar, mereka tampak senang-senang saja, berbeda dengan Aisyah dan ketiga temannya.
"Ais... Kamu kenapa sih? Melamun, melamun terus dari tadi, kenapa coba?" tanya Doni heran melihat Aisyah yang hanya diam saja.
"Kalian tadi ngelihat nggak, ada orang-orang yang lewat memakai pakaian hitam, tampilan mereka itu aneh bangat lho," ungkap Aisyah kepada teman-temannya.
"Sekelompok lelaki memakai pakaian hitam?" Dara tampak mengingat-ingat sesuatu.
"Kamu melihatnya di mana?" tanya Rudi kemudian.
"Beberapa menit sebelum bus ini mogok," jawab Aisyah.
"Berarti seharusnya sekarang mereka sudah ada di sini," tebak Dara.
"Itu benar, dan kita bisa minta bantuan dari mereka," ujar Andi mengusulkan
"Kira-kira ini tempat apa ya?" Rudi yang sejak tadi diam tiba-tiba bertanya, dia merasakan jalan tempat bus mereka mogok sangat aneh, terlihat menyeramkan.
....*.... ....*....*....
"Eh, wajah kamu itu biasa aja dong! Jangan dibuat seram gitu. Nggak baik tahu, kita sedang berada di tengah hutan gini," ucap Andi mengingatkan.
"Dia bukan sengaja untuk menakut-nakuti kita Andi, menurut aku tempat ini memang sedikit aneh sih," timpal Aisyah membela Rudi.
"Duh Aisyah, jangan ngomong gitu dong! Kalau kamu yang bicara kita beneran takut," ungkap Dara, tiba-tiba saja dia merinding.
[ *°°°•••••°°°*]
Sore sudah berganti menjadi malam, teman-teman Aisyah sibuk ingin mendirikan tenda di luar, tapi pak Yanto tidak mengizinkan mereka untuk melakukanya, dengan alasan takut ada binatang buas. Mereka bukannya mematuhi, tapi malah semakin ribut sebab menurut mereka alasan pak Yanto tidak masuk akal.
"Alah, Pak Yanto kebanyakan alasannya, ni!" ujar seorang siswa.
"Iya, mana ada binatang buas di tempat kayak gini, hutannya pun terlihat bersih gini kok."
"Sinar rembulan pun sangat terang, apa salahnya turun dan mendirikan tenda di luar," usul yang lainnya lagi.
Melihat pak Yanto yang kewalahan menghadapi mereka, Dara menyuruh Aisyah yang bicara, siapa tahu mereka mau mendengarkannya. Karena kebiasaannya kalau si cantik yang ngomong semuanya mau mematuhi.
"Aisyah, sebaiknya kamu aja yang bicara, kasihan tuh pak Yanto," usul Dara. Aisyah kemudian memberanikan dirinya untuk memberi penjelasan dan alasan yang tepat pada mereka.
"Teman-teman semuanya, tolong didengar baik-baik ya!" Aisyah mulai berbicara, baru beberapa patah kata yang dia ucapkan, kini semua mata sudah tertuju ke arahnya, ternyata benar kalau dia yang bicara semua akan mendengarkannya. Ya wajar saja, Aisyah adalah murid teladan di sekolahnya, dan yang paling penting di antara semua teman kelasnya cuma dia yang memakai jilbab.
"Apa yang pak Yanto bilang benar, ini untuk keselamatan kita, kalau terjadi apa-apa sama kalian siapa yang mau tanggung jawab? Mereka mungkin sudah aman sampai di sana, tapi kita? Kita terjebak di sini, kita harus menunggu sampai besok pagi, di sini kita cuma ada pak Yanto, jadi kita harus mendengarkan apa yang beliau katakan," ucap Aisyah berbicara panjang lebar, berharap teman-temannya bisa menerima dengan baik apa yang dikatakannya tadi.
"Iya, Aisyah benar. Di sini nggak ada guru sama sekali, jadi kalau terjadi apa-apa, kita cuma bisa bergantung pada pak yanto," ucap Rudi menambahkan.
"Tapi Aisyah, bukankah kalau kita mendirikan tenda di luar akan lebih menyenangkan dan kita bukannya anak kecil lagi lho!" Lucy rupanya belum bisa menerima keputusan yang dibuat mereka.
"Lucy, begini ya, aku bukannya bermaksud untuk menakut-nakuti kalian, tapi ini memang benar adanya. Kita sekarang sedang berada di sebuah hutan yang bahkan kita sendiri belum pernah datang ke tempat ini, oke soal binatang buas, kita yang 15 orang ini mungkin bisa melawannya, tapi bagaimana dengan mereka yang tak terlihat?" ucapan terakhir Aisyah membuat semuanya terdiam.
Sekarang mereka sama-sama memilih untuk tetap di dalam bus, bahkan tidak ada yang berani keluar, meski hanya untuk sekedar buang hajat.
"Coba saja para guru tadi ada yang pergi bersama kita, tapi mereka malah lebih memilih untuk pergi dengan guru SMA Pertiwi, huh! Nggak adi," ucap Dara terlihat kesal.
***•••••***
Malam semakin larut, semua teman-temannya sudah tidur, sedangkan Rudi dan Andi masih saja terus mengobrol, membicarakan hal yang menyeramkan, tapi inilah hobi mereka, menceritakan hal-hal menakutkan di tengah suasana yang sunyi dan mencekam.
"Rudi, kamu masih ingatkan apa yang di katakan Aisyah tadi sore, soal lelaki berbaju hitam?" tanya Andi, raut wajahnya tampak serius, tidak seperti tadi.
"Ingat,.memangnya kenapa?"
"Aku juga melihatnya, dan yang anehnya, kita tidak bertemu lagi dengan mereka," ungkap Andi.
"Lalu?" Rudi semakin penasaran.
"Bukankah seharusnya kita kembali bertemu mereka? Tapi ini mereka tidak melewati kita sama sekali, sekarang yang jadi pertanyaannya adalah mereka itu ke mana?" tanya Andi, mendengar hal itu Rudi ingin sekali tertawa, tapi dia menahannya supaya tidak mengganggu temannya yang sudah terlelap dalam alam mimpi.
"Kamu ini jangan bodoh gitu dong! Kamu kan tahu, mereka jalan kaki, bisa aja mutar ke tempat lain, di sini kan banyak jalan lain. Ya elah, masalah gitu aja dipikirin." Rudi tersenyum lucu.
"Lho, itu siapa?" Andi mencoba memperjelas penglihatannya, dia melihat ada seseorang yang lewat di samping bus mereka.
"Kamu ngelihatin siapa sih, An?" tanya Rudi penasaran, dia juga ikut melihat ke luar jendela mobil dengan perasaan was-was.
"Ssttt... Ikut aku keluar sebentar, yuk!" ajak Andi, mereka berjalan perlahan. Cukup hati-hati agar tidak membangunkan teman-temannya yang lain.
Dara yang sebenarnya belum tidur, jadi penasaran saat melihat kedua temannya keluar diam-diam, jadi dia juga ikut ke luar dari bus itu.
.......*....*.....
Aisyah baru menyadari kalau ketiga sahabatnya sudah tidak ada di dalam mobil, dia semakin takut, ingin membangunkan yang lain, tapi rasanya tidak enak. Mereka terlihat tidur dengan pulas, jadi dia turun dari bus itu sendiri tanpa membangunkan pak Yanto.
"Mereka pada kemana ya?" batin Aisyah, di luar sunyi, meski bulan bersinar terang, tetapi tetap saja suasananya menyeramkan. Aisyah terus melangkah menyusuri jalan setapak dengan membawa senter di tangannya, dia mulai berpikir mungkin di sini ada penduduknya, dalam hatinya gadis itu tidak henti-hentinya berdzikir, membaca doa agar hal-hal buruk tidak terjadi.
"Anak ini mau ke mana?" tegur seorang kakek-kakek membuat Aisyah kaget.
"Kakek ini, bukankah salah satu dari beberapa lelaki yang aku lihat tadi siang?" batin Aisyah. Perasaannya semakin kacau, dia tidak boleh terlihat takut.
"Saya sedang mencari teman saya Kek, sepertinya mereka pergi ke arah sini," jawab Aisyah dengan perasaan tak karuan.
"Saya tahu me..."
"Mbah Joko kenapa ada di sini?" seseorang tiba-tiba datang dan membuat kakek itu tidak bisa melanjutkan ucapannya, dari raut wajahnya, Aisyah sudah bisa menebak kalau orang ini bukan orang baik-baik.
"Ini Den, cucu saya dari kota baru saja datang jadi saya menjemputnya di sini," jawab kakek yang dipanggil mbah Joko, kakek itu berbohong, apa alasannya?
Lelaki itu memandangi Aisyah dari ujung rambut sampai ujung kaki, diperhatikan seperti itu Aisyah jadi risih sendiri.
"Ya sudah, saya duluan. Ingat! Jangan lama-lama di sini!" pesan lelaki itu, tatapannya menyeramkan. Aisyah masih tidak mengerti ada apa dengan tempat ini, ini serasa seperti mimpi.
\*\*•••\*\*
Malam masih terus berlanjut, Aisyah melirik jam di pergelangan tangannya, masih pukul 04:00 sebentar lagi subuh, tapi Aisyah masih terus berjalan beriringan dengan kakek Joko yang tadi ditemuinya, dia tidak tahu alasannya kenapa harus mengikuti kakek itu, tadi sang kakek mengatakan kalau memang ingin teman-temannya selamat maka harus mengikutinya, Aisyah pun mengikuti kakek itu.
"Kamu masuklah duluan, saya ingin melihat sekeliling!" perintah kakek itu setengah berbisik. Ini membuat Aisyah menjadi lebih waspada, mungkinkah temannya ada di dalam?
"Aisyah!" Panggil seorang gadis yang ternyata Dara, dia memeluk aisyah sambil menangis, Dara terlihat sangat ketakutan. Apa yang sebenarnya terjadi?
"Kamu juga ada di sini? Terus, Rudi dan Andi dimana?" tanya Aisyah, dia tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya saat kedua temannya yang lain tidak ada di sana.
"Aku tidak tahu, ada tiga orang pria berbadan besar dengan perawakan aneh membawa mereka pergi, sedangkan aku... Aku beruntung ditemukan kakek Joko, dan mbak Ningsih," ucap Dara menjelaskan, dia masih tetap menangis merasa takut dan khawatir tentang keadaan kedua sahabatnya.
"Kalian tidak perlu khawatir biar bapak saya nanti yang mencari kedua teman kalian itu, mereka pasti akan baik-baik saja." Ujar seorang wanita, yang datang sambil membawa dua gelas minuman untuk mereka berdua.
"Silahkan diminum dulu!" ucap wanita itu kemudian. Aisyah termenung sesaat, matanya bahkan tidak berkedip menatap mbak Ningsih.
"Biasa aja kali lihatnya," tegur Dara menyenggol sikunya Aisyah.
"Eh maaf... Aku hanya merasa takjub saja melihat Mbak ini cantik sekali," ucap Aisyah menjawab jujur.
"Kamu juga cantik!" mbak Ningsih balik memuji.
"Makasih, Aisyah tersipu malu," Tapi Mbak lebih cantik," tambahnya kemudian.
"Memiliki paras cantik adalah impian semua wanita, tapi apa kalian tahu, kecantikan tidak selalu membuat kita bahagia, saya bahkan lebih suka memiliki wajah di bawah standar saja," ungkap mbak Ningsih.
"Kenapa Mbak Ningsih ngomong seperti itu?" tanya Dara saat melihat mbak Ningsih seperti orang yang sedang menyesali sesuatu.
"Ah... saya cuma mengatakan apa yang ada di hati, jangan terlalu dipikirkan. Silahkan diminum dulu airnya! Mumpung masih hangat," mbak Ningsih mempersilahkan.
Sejam lebih Aisyah dan Dara menunggu kakek Joko pulang, tapi kakek itu belum pulang juga. Aisyah mulai khawatir, bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan teman-temannya?
"Kok kakek belum pulang juga, Mbak?" tanya Aisyah, dia bahkan tidak bisa duduk tenang di sana.
"Kamu tenang saja Aisyah, bapak pasti punya cara buat membawa mereka pulang ke sini," hibur mbak Ningsih.
"Mbak, sebenarnya ini kampung apa?" Dara yang semenjak tadi diam mulai bertanya, karena tidak dapat lagi menahan rasa penasarannya.
"Sudah jam 05:00, Mbak," ucap Aisyah, melirik jam tangannya. "Kita shalat subuh dulu, yuk! Entar baru lanjutin ceritanya," tambahnya lagi, dia sengaja menyela omongan Dara, sebab kalau Dara sudah mulai bicara nggak akan ada ujungnya, bisa-bisa sampai siang baru selesai.
"Iya, Aisyah benar kita shalat subuh dulu," tambah mbak Ningsih, akhirnya mereka melaksanakan shalat subuh dengan Aisyah menjadi imamnya.
Setelah shalat subuh, mbak Ningsih kembali mengajak mereka duduk di ruang tengah, betapa senangnya Aisyah dan Dara begitu melihat Rudi dan Andi sudah ada di sana, duduk bersama kakek Joko.
"Rudi, andi..!? Kalian nggak kenapa-napa kan? tanya dara panik, khawatir temannya disakiti oleh orang-orang aneh tadi.
"Kita baik-baik aja kok Dar," yang dijawab Rudi.
"Tadi mereka hampir saja dibawa ke rumahnya ki Dani, syukur bapak datang tepat waktu, bapak bilang mereka ini teman-temannya cucu bapak dari kota," ujar kakek Joko menjelaskan.
Andi mulai memijit keningnya, kepalanya terasa berdenyut-denyut, perutnya juga ikutan sakit.
"Akhh," Andi mengerang kesakitan, ada apa ini?
"Kamu kenapa, An?" tanya Aisyah panik, kakek Joko kemudian mengambil botol air yang ada di atas meja, lalu memberikannya pada Andi. Andi menatap botol minuman itu dengan tatapan aneh.
"Diminum dulu!" suruh lelaki tua itu, wajahnya terlihat tidak khawatir sama sekali, begitu pun dengan mbak Ningsih, sedangkan mereka tidak, jadi Aisyah mulai berpikir pasti kakek itu tahu apa yang terjadi.
"Gimana masih sakit kepalanya?" tanya kakek, saat melihat Andi kembali tenang.
"Alhamdulillah, sedikit lebih mendingan, Kek," jawab Andi sambil terus menikmati air dalam botol Aqua yang dipegangnya.
"Tapi ini air apa ya, Kek?" tanya cowok itu kemudian. Dia penasaran karena baru seteguk diminum, kepalanya sudah terasa jauh lebih baik.
"Itu air obat, sakit kepala kamu pasti ada penyebabnya, tadi apa yang kamu lihat sebelum sampai ke sini?" tanya kakek Joko.
Mendengar pertanyaan kakek itu, mereka semua jadi saling pandang.
"Kamu lihat apa, An?" tanya Rudi.
"Iya, apa yang kamu lihat?" Dara juga jadi penasaran, namun Andi masih belum menjawab, dia tampak ragu-ragu.
"Kamu lihat apa sih, Andi?" kini giliran Aisyah yang bertanya, melihat temannya dari tadi tidak menjawab pertanyaan mereka.
"Kamu pasti melihat wanita cantik di samping rumah berwarna hijau itu, kan?" tebak Ningsih, karena sudah tidak sabar menunggu Andi mengatakannya sendiri.
"Iya, Mbak benar. Tapi kenapa Mbak tahu?" Andi mengerutkan keningnya karena heran.
"Itu sudah biasa terjadi di sini," jawab mbak Ningsih.
"Perempuan yang kamu lihat itu sudah lama meninggal, Andi," ucap kakek Joko menimpali, membuat mereka merasa tegang, syukur saat itu matahari sudah mulai menampakkan sinarnya.
"Kenapa? Apa kalian takut?" tanya mbak Ningsih setengah tertawa.
"Sebenarnya ini kampung apa?" Dara kembali menanyakan pertanyaannya yang tidak sempat dijawab mbak Ningsih, karena tadi Aisyah mengajak mereka shalat subuh dulu.
Kakek Joko sejenak diam, tampak merenung sebelum menjawabnya. Mereka masih menunggu dengan sabar.
"Sebagian dari kami menyebut ini kampung sihir, karena di dalamnya penuh dengan hal yang berbau syirik, dan ada pula yang menyebutnya kampung mayat atau kampung kematian," mendengar perkataan kakek Joko, membuat mereka merinding. Apalagi Dara, dia bahkan duduk sambil memeluk Aisyah, seperti anak kecil yang sedang melihat setan saja. Aisyah yang baik hati membiarkan saja sahabatnya seperti itu.
"Kenapa tidak ada satu pun yang bagus dari nama kampung ini?" tanya Rudi heran.
"Semua orang di sini sudah tidak ada lagi yang percaya kepada Allah, kalau sakit parah mereka selalu membawanya berobat ke rumah ki Dani, dengan memberikan tumbal maka penyakit orang tersebut akan di sembuhkan."
"Tumbal?" mereka mengulang kembali perkataan kakek Joko seperti tidak percaya.
"Rudi, Andi, Aisyah. Kita harus secepatnya pergi dari desa ini!" ucap Dara ketakutan.
"Kalian tidak bisa langsung pergi begitu saja dari kampung ini," mbak Ningsih langsung menjawabnya.
"Kenapa???" mereka sama-sama heran dan merasa ada yang dirahasiakan oleh kakek Joko dan mbak Ningsih
"Jangan-jangan Kakek sama Mbak Ningsih ingin menyandera kami di sini!" tuding Dara.
"Apa Mbak sama Kakek salah satu dari mereka juga?" kini Andi juga ikut-ikutan menuduh kakek Joko dan mbak Ningsih sebagai komplotan orang-orang aneh itu.
"Kalian memang tidak boleh pergi dulu dari sini, ini demi keselamatan kalian," ucap kakek masih bersabar.
"Bohong!!!" teriak Dara, dia mulai menangis lagi, sepertinya gadis itu benar-benar cengeng.
"Terserah kalian mau percaya atau tidak," ucap mbak Ningsih mulai pasrah, karena dia rasa nggak ada gunanya juga menjelaskan sama mereka, mereka tetap tidak akan percaya.
Mbak Ningsih menatap ke arah Aisyah, gadis itu juga sedang melihat ke arahnya, kemudian Mbak Ningsih mulai bicara lagi. "Kalian mungkin tidak percaya pada kami, Tapi Aisyah dia sudah tahu kondisi kampung ini seperti apa. Sejak pertama kali dia menginjakkan kakinya di kampung ini, dia sudah bisa merasakan bahaya besar akan datang," perkataan mbak Ningsih membuat mereka tercengang.
Benarkah Aisyah sudah mengetahui dari awal bahwa hal buruk memang akan terjadi?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!