NovelToon NovelToon

Can I Kill You?

Prolog

"Akhirnya hari ini tiba juga."

Setelah menghela napas lumayan panjang, aku menata semua perhiasan, gaun, dan emas dalam sebuah koper besar. Mengingat koper itu telah menemaniku sejak kecil, kututup atasnya pelan-pelan. Hanya benda ini yang selalu menemaniku kemanapun aku pergi.

Omong-omong, hari ini adalah waktu keberangkatanku menuju Istana Ruby. Untuk apa, kalian bertanya? Yup, aku akan dinikahkan dengan kaum vampir di sana.

Ya. Kalian tidak salah baca, aku akan dinikahkan. Dan jika kalian tahu satu hal: Aku sangat membenci vampir. Sangat. Kerajaan Zamrud--kerajaan manusia sejak dahulu sudah menyerah akan kekuatan vampir. Walau di samping mereka ada manusia serigala, tetap saja vampir yang berjaya namanya. Aku tidak pernah bisa menyukai keadaan ini.

Suara pintu diketuk menyapa telinga sebelahku. Aku membuka pintu, dan ibu muncul dengan wajah yang sangat muram.

"Maafkan aku, Barbie. Ini demi semua kerajaan manusia. Aku tahu kau juga merasa tidak setuju dengan ini, bukan?"

Sebuah senyum kupaksakan untuk berlabuh di bibirku. "Tidak masalah, bu. Lagipula pernikahan ini sudah direncanakan walau aku belum lahir, bukan?"

Ibu mengangguk lemah. "Ibu memikirkan sebuah ide yang cemerlang barusan. Bagaimana jika adikmu saja yang menikah dengan pangeran vampir itu? Dengan begitu..."

"Tidak!"

Aku memekik sangat keras hingga beberapa pelayan yang kebetulan lewat menoleh ke arah kami. Bahkan ibu yang seharusnya tahu bagaimana kebiasaanku sehari-hari ikut bergeming. Sedikit malu, kututup wajahku dengan kipas yang kebetulan kubawa.

"Maksudku, tidak, aku tidak setuju. Ini pernikahanku. Gabriel tidak perlu ikut untuk masuk dalam masalah ini. Dia akan menikah dengan manusia biasa! Aku sudah menjanjikannya!"

"Oh, malang sekali Barbieku sayang. Aku hanya menyarankan, tentu kau tahu maksudku. Hanya kau yang paling kusayangi di keluarga ini."

"Kalau begitu ibu juga harus menyayangi Gabriel. Dia juga dari darah daging ibu."

Setelah itu, ibu memelukku erat. Dari dulu memang selalu begini, jika ada masalah, ibu memberiku pelukan, bukan solusi. Dan aku yang juga sudah terbiasa dengan itu, memeluk erat pinggang ibu yang sudah berusia senja.

"Berangkatlah setelah kau berpamitan dengan ayah dan adikmu yang menunggu di depan gerbang kastil. Aku yakin ayahmu pasti akan menangis melihatmu hendak pergi."

Aku tersenyum miris. "Orang itu tidak akan menangis, bu. Bahkan kalau ia menangis, ia akan menangis bahagia."

......................

Burung-burung bertebaran di atas langit, seolah ikut menyambut kepergianku juga. Matahari sudah melayang di tempat tertinggi. Aku yakin bangsa vampir masih belum bangun.

"Kak Barbie. Hati-hati di jalan," kata adikku yang memelukku setelahnya. Mata birunya berkaca-kaca. "Aku akan selalu merindukan kakak."

Miris. Tangisku hampir pecah. Padahal aku sudah berjanji tidak akan menangis di depannya.

"Makasih, Gabriel."

"Kereta kuda dan para pengawal sudah siap untuk mengantarmu ke Kerajaan Ruby. Sudah tidak ada yang ketinggalan, kan?"

Yang berbicara barusan adalah Pak Tua berjenggot putih dengan kumisnya yang kepanjangan. Itu ayahku. Aku berharap ia tidak pernah muncul di saat-saat terakhirku, di kerajaan manusia.

"Tentu saja. Kalau begitu aku pamit dulu."

Tidak ada pelukan atau tangisan, ayah juga tidak balas tersenyum, atau merengut seperti ibu barusan yang kutolak ide cemerlangnya. Sepatuku naik ke atas kereta roda dan aku segera duduk di dalamnya.

Gabriel tampak melambaikan tangannya yang kurus padaku, mengucapkan selamat tinggal berkali-kali. Aku balas melambai pelan padanya, dan kereta kuda meluncur cepat ke arah Kerajaan Ruby yang akan menjadi tempat tinggal baruku.

Di antara bunyi derapan kuda dan gemerisik bunyi bisikan daun-daun yang disinari cahaya oranye, pikiranku melayang kembali ke masa lalu. Mengingat semua akar permasalahan yang menimpa diriku hari ini. 

......................

"Kau sudah minum yang keberapa, Mikaela?"

Pemuda berambut putih yang dipanggil Mikaela itu masih terus menghisap darah perempuan yang terkapar di atas rumput hijau melalui lengan si perempuan. Wajahnya sudah kurus dan pucat. Namun, tidak ada tanda-tanda pemuda itu berhenti menghisap.

Merasa puas setelah beberapa menit terlewat, ia pun melepaskan gigitannya. "Ke lima puluh, mungkin?"

"Aduh, kau memang gila." komentar temannya. Rambutnya berwarna coklat terang bersinar di bawah bulan purnama. "Oh, ya. Kudengar kerajaan sebelah punya anak perempuan yang seumuran denganmu."

"Oh, ya?" Mikaela menjilat bibirnya yang masih bersisa darah. "Kalau begitu, artinya..."

"Impianmu bukan sekedar khayalan." 

Mikaela menghela napas. "Yikes, itu mimpi buruk. Tapi nggak masalah."

"Kenapa?"

"Akhirnya aku bisa mencicipi darah bangsawan. Aku sudah bosan mengambil darah perempuan desa," ujarnya seraya melempar pandang ke arah perempuan yang sudah pingsan tadi.

"Menurutku tidak ada bedanya." komentar temannya. "Hati-hati, Mikaela. Jangan sampai kau jatuh hati pada manusia. Kalau sudah begitu, tahu artinya, bukan?"

Angin menderu hebat. Seengok gagak bahkan sungkan untuk menguping. Pertanda itu, seolah mengabari James sebuah kepastian dari diri Mikaela.

"Nggak bakal."

......................

Part 1 - Musim Panas

Semua orang tahu, jika keluarga bangsawan punya ciri khas yang sama; surai senada emas, mata seolah gelombang laut, dan kulit sejernih porselen. Dan semua orang juga tahu jika aku tidak punya salah satu dari itu. Mata biru.

Tidak pernah kuyakini kapan pastinya, topik ini selalu hadir seperti minyak panas di atas panci yang siap menyembur ke arahku sejak kecil. Perbedaan warna rambutku yang mencolok seringkali dianggap bahwa aku bukanlah anak bangsawan.

Kebalikannya, Gabriel punya itu semua.

Ditambah, ia juga punya otak yang encer dalam semua pelajaran. Siapa guru yang tidak pernah menebaknya sebagai anak raja? Entahlah, jariku sudah lelah menghitung. Namun, aku yakin Gabriel yang cendikiawan itu bisa menghitung jumlah pujian yang sampai pada telinganya.

Aku tidak peduli. Aku berusaha untuk tidak peduli.

Senyum sudah cukup untuk menghapus kerisauan yang merusuh di hatiku, menurutku.

......................

Musim panas dimulai lagi tahun ini, dan kami berdua memutuskan untuk kembali bersekolah. Manusia tidak mau kalah dengan vampir tentunya. Mereka membangun institusi pendidikan yang lebih ‘merakyat’ katanya. Aku dan Gabriel adalah maskot baru mereka.

Memang konyol, sungguh. Aku berani berteriak di tengah untuk bersumpah jika aku tidak cocok menjadi maskot. Aku tidak punya bakat dalam bidang akademis.

Tapi mau tidak mau aku harus menerimanya, karena aku ini 'anak raja'.

“Ingat, jangan melakukan apapun yang mencurigakan.”

Seingatku, ayah tetap duduk sombong di atas meja kerjanya, tak henti-hentinya memandangku seolah aku adalah buronan paling top di kerajaan. Seragamnya yang berwarna hijau zamrud membuatku gerah. Padahal gaun yang kupakai ini sudah yang paling tipis.

Gabriel memicingkan matanya dan menyundul bahuku. “Mencurigakan katanya, kak.” Senyuman kecil tersirat di bibirnya. Senyuman nakal. “Sangat mencerminkan kakak.”

“Mencerminkan bibirmu.” Aku ikut mencibir, dan tatapan super dingin langsung bisa kucicipi dengan kulitku yang berkeringat.

“Kau mengerti, tidak?” Ayah memotong.

Sial. Lagi-lagi hanya aku yang kena. Kenapa ayah tidak pernah komentar jika Gabriel yang berbicara?

“Sekali lagi kuperingatkan: Jangan melakukan hal yang mencurigakan.” ulangnya, memberi garis bawah pada kata ‘mencurigakan’. “Awas saja kalau sampai ditemukan anak babak belur—”

Segera kututup telinga dan berseru sekeras mungkin. “Aduh! Nggak dengar!” Kembali kubuka tanganku dan menarik lengan Gabriel seusai berbalik. “Ayo, Gabriel. Urusan kita sudah selesai.”

Masih berlagak bingung, Gabriel menoleh dan menunduk pada ayah seraya mengucapkan, “Permisi, Ayah.”

Aku tak ikut menanggapi. Tidak pernah sekalipun aku memberi hormat pada ayah, seseorang yang paling tinggi di kerajaan ini, seseorang yang pernah menjadi sosok yang pernah kukagumi, dan berakhir meninggalkan emosi kebencian berwujud api yang membakar hati.

Ruangan itu pun segera sunyi kembali, dan suara pena segera menyusul keheningan itu, seperti yang kuharapkan.

......................

Aku meregangkan tubuh. Seragam musim panas sudah tiba di kamarku. Rok bermotif kotak-kotak berwarna hijau tua dan seragam yang dilengkapi rompi yang sewarna. Logo bergambar bunga matahari kuning muda tersemat di bagian dada kiri, lengkap dengan tulisan Z.A—Zamrud Academy.

Nama yang lumayan konyol. Aku penasaran apakah vampir juga menggunakan nama kerajaan untuk sekolah mereka. Mungkin saja iya.

Terdengar suara dari arah pintu yang diketuk dua kali. Tanpa perlu dijawab, aku tahu jika itu pelayan yang akan mengurus semua perlengkapan sekolahku. Pintu pun terbuka, menyelipkan aroma lezat kue kering yang dibawa pelayan. Aku menelan liur.

"Nona, ini perlengkapan anda untuk hari ini." katanya dengan nada selembut mungkin. Kue kering tadi diletakkan di atas meja. Salah satu lengannya masih tampak menggenggam sesuatu.

Aku membuka mulut. Tas kotak yang mirip dengan milik pekerja kantor terbuka dari untaian tangannya. Berbagai buku pelajaran mengisi penuh tas tersebut. Rasa mual memenuhi kepalaku.

"Aku mau sekolah di rumah saja," celetukku dengan bunyi sekecil mungkin, dan tidak kusangka pelayan ini mendengar suaraku.

"Tidak akan ada yang menarik jika nona terus sekolah di rumah, lho?" Benar-benar, deh. Suaranya memang selembut nenek-nenek yang sudah lanjut usia mengemong cucunya.

"Tolong kemari, nona. Biar saya tata rambutnya."

Aku berusaha menegakkan badan dan duduk di depan cermin raksasa sebesar setengah tubuhku. Di situ, aku melihat diriku sendiri, diriku yang sudah membenci segalanya dan rapuh dalam kehangatan tangan pelayan yang menata rambutku dengan perlahan-lahan, membuat perasaan siapa saja nyaman dan hampir membuatku terlelap.

......................

Jam delapan pagi. Jam yang sempurna untuk memulai kelas. Rambutku yang terurai indah membuat rasa percaya diri meraup seluruh wajahku, tidak ada senyuman yang terselip dalam hatiku, semuanya tumpah keluar.

Berjalan turun dari kereta menjadi pemandangan yang lumrah di akademi ini. Tidak ada anak yang datang dengan berjalan kaki tentunya. Semakin mewah kereta kudamu, semakin bergaya kau ketika turun dari kereta dengan wajah kusir yang normalnya super menjengkelkan.

Sentuhan yang sempurna diberikan pada kami, anak putrinya raja. Kesederhanaan harus tertanam sejak dini, entah slogan palsunya itu harusnya dicerminkan pada siapa. Pada akhirnya, kami yang dikorbankan, harus menjadi rakyat biasa di antara anak-anak yang mengaku konglomerat. Membuatku jengkel.

Langit terlalu cerah untuk membuat hatiku muram. Ini adalah hari musim panas pertamaku, dan aku tidak boleh menyerah untuk tampil bahagia.

Kami pun berjalan masuk ke dalam gerbang yang disambut dengan tulisan yang diukir di depan batu raksasa di depan bertuliskan nama sekolah kami, ZAMRUD ACADEMY. Keren. Sekolahku dulu tidak ada batu raksasa yang punya tulisan seperti ini.

"Rambut yang bagus, kak. Sepertinya pakai minyak khusus, ya?"

Aku memandang Gabriel sekilas. Wajahnya cantik tanpa cela. Hari ini ia lebih cantik dengan pipinya yang bisa merona dengan alami. Lesung hidungnya lurus, dan bibirnya sesegar buah delima. Dan itu semua terpancar ketika topinya masih terpasang di kepalanya. Kapan aku bisa secantik dirinya?

Bibirku sedikit merengut. "Hmm, yah."

"Aku juga pakai, kak Lili yang memberikannya padaku. Lihat, bersinar, bukan?" Gabriel berkata lagi sambil membuka topinya dan menyibakkan rambutnya. Lurus dan bersinar layaknya emas sungguhan. Aku termangu.

"Rambutmu cantik sekali memang, aku selalu iri." ungkapku sejujur mungkin. Semoga bisa menghentikan aksi Gabriel.

Dari jarak yang lumayan jauh, seseorang menyapa kami. "Gabriel!"

Atau lebih tepatnya, menyambut Gabriel seorang.

Kerumunan menjadi sibuk dalam sekejap. Banyak perempuan yang berkumpul demi memandang kecantikan Gabriel yang bak dewi turun dari surga. Aku turun tangan, segera saja melangkah menyingkir.

"Rambut yang indah sekali. Hari ini kamu memakai minyak rambut dari merek apa?" Salah satu dari mereka datang dengan mata berbinar, yang lain tidak mau kalah. "Apakah itu merek Margareth? Atau merek lokal Zizy?"

Gabriel tidak segera menjawab, sekitarnya penuh dengan anak-anak perempuan bertopi. Hari ini memang panas. Mungkin karena itu, dadaku menjadi semakin sesak.

Aku segera berlari dan masuk ke dalam lorong, menyembunyikan diriku dari balik bayangan matahari. Diam-diam menghela napas panjang dan mengalirkan sesuatu yang seharusnya tidak kutumpahkan. Kemarahan yang tertutup dengan air mata.

Siapa menyangka seseorang menyapaku dalam keadaan yang mengenaskan seperti itu.

"Kamu baik-baik saja?"

......................

Part 2 - Musim Panas 2

Aku mengusap mataku cepat-cepat. Membiarkan ingusku yang mbeler terusap di lenganku. Mataku tidak langsung mengenali orang yang menyapaku barusan, tapi telingaku mampu.

"Apa yang kamu lakukan di sini?"

Dari semua orang, aku harus bertemu dengan Fynn yang paling peka sedunia.

"Aku nggak papa." jawabku datar. Sial. Sepertinya senyumanku kembali terselip jauh di dalam hatiku.

Masih belum puas, ia melanjutkan lagi. "Serius?"

Sangat ingin ku berkata tidak, tolol. Namun, kata-kata itu seolah tertinggal di suatu tempat di dalam hatiku, dan aku tidak mau mengeluarkannya. Tidak di tempat seperti ini.

Bel berbunyi, segera saja senyumku bangkit kembali seperti fajar. "Ah, duluan, oke? Sebagai perwakilan sekolah, aku nggak boleh terlambat."

Tidak tahu aku ngomong apa, yang penting semuanya tercerocos begitu saja tiap kali aku selesai terisak. Fynn tampaknya hapal kebiasaan ini, dan melambaikan tangannya padaku.

......................

Kami berdua—bertiga bersama dengan adikku adalah teman masa kecil.

Fynn adalah teman pertama yang kudapatkan saat kecil. Ayahnya adalah kaki tangan raja yang otomatis membuatnya bisa berselancar tanpa dosa di dalam istana kerajaan. Aku tidak pernah peduli dengan keadaan sekitar, tapi tidak dengan hidungku. Dalam sekejap, aku tahu jika ada satu keberadaan tidak diundang yang berkeliaran dalam istana.

Tepat di depan patung-patung ksatria yang terpajang di lantai dua lorong dekat ruang harta, Fynn menampakkan batang hidungnya. Kacamatanya yang bulat masih tetap terpasang di wajahnya sama seperti hari ini.

"Kau... Siapa?"

Suaraku parau dan penuh gemetar. Anak laki-laki seumuranku berdiri di depanku. Matanya yang berwarna hijau zamrud berkilauan, menyambutku dengan hangat.

"Kau anak raja, ya?" Ia berhenti untuk melempar pandangan ke rambutku sekilas. "Atau bukan?"

"Bukan anak siapa-siapa," jawabku pendek. Ayah pernah bilang penculik bisa saja berkolaborasi dengan anak kecil untuk menculik anak raja. "Kau belum jawab pertanyaanku. Kau siapa?"

Ia menunjuk dirinya sendiri kebingungan. "Aku?" Rambut emasnya menarik perhatianku. Aku ingin mencabutnya saja dan menjadikannya milikku. "Oh, ya. Maaf. Aku belum kenalin diri."

Kepalanya pun membungkuk padaku lengkap dengan lengan kanan yang mengepal di depan dada kiri, "Perkenalkan. Namaku Fynn Alexander, putra dari Zack Alexander."

"Oh, ternyata. Kirain siapa."

"Kamu sendiri nggak sopan." Alisnya mulai berkedut, matanya tampak kesal. "Jadi kamu anak raja atau bukan?"

"Namaku itu ya—"

"Kakak!"

Timing yang sangat sempurna. Gabriel akan menjelaskan semua identitasku dengan ciri khas bangsawannya yang lengkap. Tanpa ragu, ia memelukku dari belakang dan melongo melihat bocah laki-laki yang ada di depanku.

"Lho, kak Fynn?" Pertanyaan itu membuat hatiku hampir melompat. "Kamu kenal?"

Gabriel menguraikan pelukannya. "Tentu saja! Kan kita sering main bareng!"

Senyumannya sudah mengalahkan malaikat. Super manis. Dan tentu saja, Fynn yang melihat ini langsung tersipu merah. Mataku tidak pernah salah mengenali perasaan. Ini selalu terjadi pada tiap anak lelaki yang menatap Gabriel.

Perasaan aneh menghujam dadaku. Aku berusaha untuk mengabaikannya.

"Jadi... Kamu kakaknya?" Fynn menggaruk pipinya canggung.

"Emang kenapa?"

"Em, nggak mirip."

Aku nggak bisa membantah. Kami memang tidak mirip dari segi manapun selain gender.

"Aku mirip, kok! Mirip sama kakak!"

"Enggak, kalian nggak mirip."

"Mirip!"

Percakapan tak berguna ini berulang beberapa kali. Aku mulai jenuh.

Entah bagaimana caranya, akhirnya Gabriel menemukan solusi untuk permasalahan tidak pentingnya ini dengan bermain petak umpet. Kami pun bermain bersama. Istana menjadi penjara yang terasa lebar dan menyenangkan hingga sore menjemputnya untuk pulang.

Keesokan harinya, kami juga bermain petak umpet kembali, hingga akhirnya kami terus bersama, dan keduanya terasa bagai harta karun bagiku, harta karun yang terasa sesak ketika kulihat keduanya bersebelahan.

Aku duduk di bangku yang paling dekat dengan jendela, merasakan angin-angin membasuh rambutku dengan kesegaran yang terasa memuakkan. Angin musim panas memang tidak pernah baik hati. Suhu yang mereka berikan selalu terasa nanggung.

Belum banyak anak yang hadir di dalam kelas walau bel sudah berbunyi sedari tadi. Aku mengeluarkan buku sebelum guru melangkah masuk, dan sebuah tangan menampar mejaku keras-keras sebelum aku sempat menoleh.

"Hallo, Barbie."

Ugh. Aku menelan ludah.

Apa dosaku mengundang kedatangan grup Karen, kelompok paling memuakkan yang ada di sekolah? Ditambah, kedatangan geng-geng sisanya sungguh membuatku tidak enak hati. Aku mendecikkan lidah.

"Apa maumu?"

"Sepuluh emas dan kita damai." Tangannya telulur seolah kita bernegoisasi dengan cara yang benar.

Teman-teman di belakangnya terkikik bahagia. Kejadian ini memang sudah jajan mereka sehari-hari. Pemalakan yang tidak masuk akal. Mungkin ini maksud ayah mengapa aku dan Gabriel harus tampil sederhana.

"Aku nggak bawa uang," jawabku sambil memalingkan muka. Wajah mereka sudah cukup menjijikan untuk membuatku mual.

"Nggak usah bohong." Matanya menyala, sudah seperti preman ulung di tepi jalan. "Kami tahu kau bawa uang untuk jajan menu paling mahal di kantin."

Memang hakku untuk memilih makanan paling mahal di kantin. Lagipula, aku punya alergi pada makanan murah, entah apa yang mereka masukkan ke dalamnya. Memang keterbalikkan dari prinsip ayah untuk hidup hemat. Tapi mau bagaimana lagi? Kupikir, aksiku untuk menggaruk-garuk hasil alergi di kantin bukanlah aksi yang indah untuk seengok maskot?

Sial. Aku nggak mau memberikan uangku. Makan sudah suatu keharusan bagiku. Aku juga tidak bisa menghajar mereka di lingkungan sekolah, nilaiku bisa-bisa dikurangi. Padahal nilaiku sudah cukup buruk dalam kehidupanku sehari-hari.

"Tolong, deh." pintaku semelas mungkin. "Aku bener-bener nggak punya uang. Lepasin aku hari ini."

Kikikan mereka lebih keras dari sebelumnya. Karen lanjut berbicara dengan giginya yang runcing seperti rubah. "Kalau begitu, seperti biasa, datang ke toilet perempuan seusai pelajaran. Tahu apa yang bakal terjadi kalau kau abaikan kami, bukan?"

"Iya, pasti, kok." jawabku. Untungnya, guru segera datang dan mereka mendaratkan pantat mereka di atas bangku masing-masing.

Aku sangat ingin menghindar. Tapi jika aku menghindar, Gabriel menjadi taruhannya.

Pelajaran hari ini sama sekali tidak bisa kucerna. Keringat dingin sudah membasahi rambutku. Sejarah vampir lewat saja melewati telingaku, hanya kuingat jika vampir hobi menyerang manusia yang ketakutan.

Tubuhku menggigil. Lebih baik aku diserang vampir saat ini, dibandingkan murid yang dibela mati-matian, oleh ayahku sendiri.

...----------------...

.

Bel istirahat berbunyi, begitu juga dengan bel penghukumanku.

"Ahaha! Lihat ini! Menjijikan sekali!"

Bau pel, jus, makanan busuk, semuanya bercampur menjadi satu, menyelimuti tubuhku dengan semua keburukan yang ada.

Tendangan melayang lagi ke perutku, memperparah rasa laparku. Aku ingin menusukkan pisau-pisauku pada mereka, tapi tidak bisa. Ayah tidak mengizinkan siapapun terluka di sekolah ini, meskipun mereka adalah sosok yang sama dengan orang yang bakal membunuhku.

“Ingat, jangan melakukan apapun yang mencurigakan.”

Jika kau melihat kejadian ini, masihkah ia akan mencurigaiku?

Mikir apa aku, sepertinya aku sudah mulai gila.

Gema tawa memenuhi ruangan. Ruangan ini sudah seperti ruangan iblis yang menghukum manusia yang salah. Kepalaku pusing. Kenapa mereka memilih ini dibandingkan sepuluh keping emas?

"Ah, rambutnya tadi pagi menjijikan banget, mengkilap sudah seperti kereta kuda." Salah satunya menjambak rambutku. Aku tidak boleh melawan. Target selanjutnya Gabriel jika aku melawan. "Ayo kita siram dengan air dingin biasa kali ini. Memandikan setan dimulai!"

Dan air dingin membasuh seluruh tubuhku, menyobek semua perasaan hangatku. Aku sungguh ingin membunuh mereka. Sangat, sangat, sangat.

"Anak bodoh."

Suara ayah bergema di telingaku, memanggil namaku, nama panggilan kesukaannya. Aku membiarkan mereka melakukan sesukanya, dan berakhir seperti tikus got di kamar mandi. Sangat menjijikan hingga mereka yang melakukannya padaku terpaksa menyingkir.

Kesadaranku mengabur ketika bau busuk sudah mengusaiku. Aku harus menyingkir... Aku harus membersihkan semua ini...

Percuma. Semuanya mendadak menjadi gelap.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!