Perkenalkan Dara Ghaisani, seorang gadis berusia 20 tahun. Di usia muda ini Dara harus hidup mandiri.
Dara memiliki paras yang cantik, hidung pesek, berambut panjang hitam lebat setengah kering. Karena rambutnya sangat lebat dan berkembang jika di uraikan. Maka Dara lebih suka di kepang, atau kuncir kuda.
Dara juga memiliki kulit putih, tinggi badan 153 cm. Lugu, jujur, dan berkata sesuai dengan yang di lihat. Keras kepala, mandiri tapi juga manja pada orang tertentu.
Dara memiliki adik perempuan dan laki-laki.
Yang masih sekolah SMA kelas XII dan SD kelas 5.
Dara Ghaisani adalah gadis sederhana, merantau ke Jakarta. Hanya karena ingin menghindari perjodohan.
Yang mana kedua orang tuanya hanya seorang petani. Dara di sukai pemuda sangat baik pada keluarganya.
Namun Dara tidak mencintai sama sekali, pihak orang tua setuju. Jika Dara menikah dengan pemuda tersebut.
Selain dari kalangan orang terpandang, pemuda itu tidak memiliki orang tua. Hanya memiliki dua orang kakak dan sudah berumah tangga masing-masing.
Dara tidak mau karena jarak usia mereka cukup jauh. Hampir 15 tahun, cukup dewasa dan matang untuk berumah tangga.
Dengan keras kepalanya Dara tidak mau, dan memilih pergi ke Jakarta. Dara yang hanya tamatan SMA pun bingung harus kerja apa.
Dara hanya bisa menjadi Art, jika tidak betah dia pindah ke lainnya. Hingga ada tawaran untuk bekerja di Manado dan Malaysia. Yang memberi tawaran itu adalah majikannya sendiri. Yang memang ingin pulang ke kampung halaman, di Manado Sulawesi tenggara.
Begitu pula tawaran untuk ke Malaysia, negara yang memiliki menara kembar. Majikannya ini yang laki-laki asal Indonesia, yaitu Jambi. Dan yang perempuan asal Sarawak Malaysia.
Karena cocok dengan Dara, bahkan anak-anak dobel kembar. laki-laki dan perempuan. Dara bekerja sebagai Art saja, karena ke jujur nya lah Dara dapat untuk ikut pulang ke Malaysia. Karena sang majikan di pindah tugas kan ke Malaysia.
Namun Dara tetap memilih untuk di Jakarta saja. Akhirnya dia jadi pengasuh anak berusia dua tahun lebih. Namun bertahan hanya belum tahu bertahan berapa lama.
*
Di sebuah perumahan kebon jeruk Jakarta barat. Dara sedang membereskan kan rumah dan kamar mandi. Besok akan ada perayaan ulang tahun Raisa Andriana, yang ke tiga tahun.
Raisa merupakan putri pertama dari Rainal dan Sania. Nama Raisa singkat dari Rainal dan Sania. Sekarang Raisa juga memiliki adik yang baru berusia dua bulan setengah. Yang di beri nama Rahardian.
"Dara tolong kamu bantu teh Lisna ya, itu kamu bersihkan kamar mandi kama saya dan aa Fano."Perintah Sania.
"Baik bu, tapi bagaimana dengan Raisa?"tanya Dara, sebab dia bingung harus momong bocah balita.
"Ya sama saya lah! Masak saya biarkan anak saya ikuti kamu bersih-bersih!"Bentak Sania.
Membuat Dara jengkel, mau tidak mau Dara kerjakan. Dia baru mengerjakan yang apa yang di perintahkan oleh majikannya.
"Dara,"panggil Sania
"Iya bu,"jawab Dara.
"Kamu bersihkan kamar dulu, kok malah kamar mandi sih!"bentak Sania.
"Saya kerjakan ini, karena biasanya ibu tidak membolehkan saya membersihkan kamar. Jika anak-anak sedang tidur bu, lalu sekarang saya harus gimana?" tanya Dara dengan sopan. Sekesal apa pun Dara, masih menjaga kesopanan pada majikannya.
Sania nampak berpikir, apa yang di katakan oleh Dara itu yang sebenarnya. Sania melakukan itu karena kesal, Sekalinya dia memakai jasa Art dan baby sitter. Dapat yang masih muda, cantik, walau tidak memakai riasan mike up.
"Ya sudah, kamu selesai kan kamar mandi dulu. Setelah itu kamar saya ya, semuanya kamu ganti seprainya. Pokoknya harus bersih tidak ada debu sedikit pun yang tertinggal."Perintahnya.
"Baik bu, akan saya pastikan bersih."Jawab Dara.
Setelah berbicara dengan majikannya Dara melanjutkan pekerjaannya. Membersihkan kamar mandi, dari beadtaub, kloset, wastafel dan terakhir lantainya.
Kini sudah selesai, namun Raisa dan Ardian belum bangun. Dara melanjutkan kamar mandi tempat Fano dan dirinya mandi.
Setelah selesai melihat Sania sama anak-anak sudah ada di ruangan keluarga. Dara segera membersihkan kamar, mulai dari melepaskan sarung bantal dan guling. Lalu seprai ranjang king size dan ranjang kecil tempat tidur Raisa.
Langsung mengelapnya seluruh barang, yang ada di kamar tersebut. Lanjut dengan menyapu dan mengepel lantai kamar itu. Setelah itu memasang seprai ranjang king size dan ranjang kecil. Sarung bantal dan guling, terakhir box bayi di ganti seprainya.
Jam menunjukkan jam tiga sore, Lisna dan Dara belum makan siang. Hal ini lah yang membuat Dara tidak betah bekerja di sini.
Pagi mereka berdua mencari makan sendiri di luar. Tidak ada jatah sarapan atau makan malam. Hanya makan siang, itu pun terbatas karena tidak ada kata nambah.
Seperti saat ini Dara dan Lisna yang kerja dari pagi. Dari mulai mencuci pakaian milik majikannya dan milik sendiri. Sampai masak dan bersih-bersih, rumah sudah kinclong.
Tinggal setrikaan yang belum mereka kerjakan, di tunda untuk makan karena sudah sangat lapar. Bahkan saat ini Dara merasa lemas, tidak bertenaga lagi. Sebab hari ini, tenang mereka sudah terkuras dari subuh.
"Teh Lisna, kita makan dulu ya, aku sudah lapar sekali ini."Ajak Dara.
"Iya yuk, saya teh juga lapar pisan."Kata Lisna.
Gerak gerik mereka tidak lepas dari tatapan mata Sania. Lisna mengambil lebih dulu, setelah itu Dara. Dara mengambil nasi tiga centong, karena tidak boleh nambah maka ia lebihi.
"Kamu itu kecil-kecil makannya banyak sekali. Kalau begitu saja bisa bangkrut!" bentak Sania.
"Maaf bu, saya sangat lapar. Kan yang penting saya tidak nambah bu."Kilah Dara.
"Apa bedanya dengan kamu mengambil lebih. Kamu mau belajar maling?"tanya Sania dengan nada tinggi.
"Kalau tidak ingin saya maling, ibu beri jatah saya maka tiga kali bu."Jawab Dara.
"Ya sudah kamu makan itu, tidak mungkin juga saya minta yang sudah kamu ambil. Ingat lain kali jangan di ulangi, faham!"bentak Sania.
"Iya bu, terima kasih." Kemudian Dara dan Lisna makan dengan lahap. Seperti tidak pernah makan selama beberapa hari.
Fano melihat Dara dan Lisna, merasa tidak tega. Sungguh ia tidak menyangka, kalau adiknya tega melakukan itu pada Art.
"San kamu kenapa tega banget sih? Art itu juga manusia, bahkan tanpa mereka rumah ini seperti kapal pecah. Kamu boro-boro mau membersihkan rumah mengurus anak saja kualahan. Perlakukan mereka layaknya saudara mu sendiri. Kalau sampai mereka sakit, siapa yang susah? sudah pasti kamu dan suamimu."Fano menasehati adiknya.
"Aku tahu kakak bicara seperti itu karena kakak suka sama Dara kan?"tanya Sania, yang melihat tatapan mata Fano pada Dara berbeda.
*****Bersambung.......
Pemuda yang bernama Raid syarif bekerja sebagai tukang taman di salah satu perumahan Jakarta.
Raid memiliki paras wajah tampan, hidung mancung, rambut lurus. Berkulit hitam manis, nyaris mirip bule.
Raid ini, asli keturunan Indonesia. Ayah nya dari Kuningan Jawa barat, ibu dari Jakarta. Raid anak kedua dari 5 bersaudara, dan Raid anak yang paling di banggakan orang tua.
Raid penyayang keluarga, pekerja keras, rajin dan jujur. Raid menjadi tulang punggung keluarga sejak Ayahnya kena stroke. Sudah 7 tahun lamanya Raid, menjadi tulang punggung keluarga.
Meski tidak Raid sendiri, namun yang membekas di ingatan orang tua. Hanya Raid yang memenuhi kebutuhan rumah paling banyak. Bahkan setiap gajian dirinya tidak pikir panjang lagi.
Langsung pergi ke pasar beli beras sekarung 50 kg. Sisanya uang di berikan pada ibunya, dirinya tidak pegang uang. Jika ibunya tidak memberi maka tidak punya uang.
Raid untuk memenuhi kebutuhan nya sendiri dia mengandalkan dari kerjaan tambahan. Yang tidak tentu dapat nya berapa. Setiap hari minggu belum tentu ada yang memberinya pekerjaan. Karena keadaan Raid menjalani kehidupan dengan suka cita.
Karena itu juga nenek dan ibu suka menangis, jika sehari tidak melihat keberadaan Raid. Yang sekarang ini menghilang entah kemana sehingga sudah 2 hari tidak tampak hidungnya.
"Sharifah." Panggil neneknya Raid yaitu bu Suha.
"Iya mak." Jawab ibunya Raid yaitu Sharifah.
"Udah pulang belun entong gue?"tanya bu Suha.
"belun mak, kemana entong aya pergi ya mak?"tanya Sharifah pada emaknya.
"Lu yakin kaga ngomelin dia?"tanya bu Suha.
"Ya kaga mak, sebelum dia pergi itu dia bilang mau main ke depan sono. Biasanya pan, kalau bilang main ke depan tu. Ke tempat nya si Juned."Jawab bu Sharifah.
"Ya Allah.., entong gue ke mana ya. Lindungi lah di mana pun dia pergi. Selamat kan dari segala marabahaya ya Allah, huhuhuhuhu,"Suara tangis menggema di rumah bu Sharifah itu.
Anak sulungnya baru saja pulang, dengan motor Yamaha Vega R, milik Muammar. Muammar adalah anak ke empat bu Sharifah. Dan motor itu di beli beramai (alias patungan) bertiga. Yaitu Muammar, Raid, dan Thomi (anak sulung), yang bayar angsuran memang Thomi. Namun angsuran yang paling ringan juga Thomi.
Angsuran perbulan 425 ribu. Thomi 25 ribu, Raid 100 ribu, dan Muammar 300 ribu. Akan tetapi yang merasa berkuasa atas motor itu Thomi. Tapi jika ada Muammar, Thomi mengalah karena merasa tidak enak.
Muammar kerja jadi OB, di sebuah apartemen kelapa gading Jakarta pusat. Sehingga pulang satu minggu sekali pas jadwal libur. itu pun hanya dua malam satu hari.
"Mak itu Raid sudah gede, laki-laki bukan perempuan. Nanti juga kalau sudah bosan di luar sana, dia juga bakal pulang. Emang Mak kaga capek apa nangis terus dari kemarin." Ketus Thomi, pada emaknya.
Bukan menghibur ibunya tapi malah ngomel, hal itu membuat nenek dan ibunya kesal.
"Lu mah Thom, kaga ada perasaan. Kalau ngomong sama orang tua kaga ada sopan-sopannya. Sebagai Abang, lu bantu mak lu cari adik lu noh."Omel bu Suha, yang kaga terima anaknya di omelin sama cucunya.
"Bukan kaga mau bantu nyai. Raid itu sudah gede, laki-laki lagi. Kalau di punya otak, pasti dia pulang. Dan kalau dia merasa tanggung jawab, setidaknya kalau pergi tu pamit. Biar yang di rumah kaga kelabakan, nyariin dia."Thomi tidak mau di salah kan terus. Karena sudah dari sore dia mencari di tempat teman dan saudara nya tidak ketemu.
Raid tidak pernah pergi kemana pun, bahkan dia sering nyasar. Jika Raid pergi sendiri, walau masih satu kelurahan atau kecamatan.
Thomi yakin seyakin-yakinnya, kalau saat ini dia pergi tidak sendiri. Pasti ada yang mengajaknya, cuma Thomi khawatir.
Kalau sampai adiknya itu di bohongi dan di tinggalkan di suatu tempat. Apa lagi saat ini sedang marak berita tentang hepnotis.
****************
Di sebuah desa, yang terbentang sawah yang luas. Raid dan Sabri sedang duduk di sebuah gubuk bambu, yang ada di tengah sawah.
"Bri enak ya di sini, udaranya sejuk kaga kayak di Jakarta.
"Iya ya lah, di sini masih alami, hijau dan belum ada banyak kendaraan lalu lalang."Jawab Sabri.
"Bener kata lu Bri, dulu saat masih banyak tanah kosong dan sawah. Dan belum terbangun itu perumahan, adem dah kaga kayak sekarang."Kata Raid.
Dulu sebelum ada pembangunan perumahan di sekitar rumahnya. Rumahnya juga cukup keluarganya saja yang tinggal. Sekarang selain jadi padat penduduk, sekarang Nyai, Ncang, Ncing nya pada balik ke rumah yang di tempati.
Demi bisa tinggal dengan nyaman, bapaknya merubah rumah itu. Menjadi kontrakan berpetak-petak, sehingga bisa di tempat untuk 8 keluarga.
"Iya memang, Mamang(paman) tukang yang bisa di handalkan. Tapi saya sekarang tidak bisa apa-apa lagi. Mamang(paman) orangnya baik dan sangking baiknya dia di manfaatin saudara sendiri." Kata Sabri.
Sabri adalah keponakan pak Kamil (bapaknya Raid), dari kakak ke enam nya. Pak Kamil adalah anak bungsu dari 7 bersaudara.
Sabri mengajak Raid ke rumah keluarga almarhum ibunya. Untuk terakhir kalinya, karena bapaknya, sekarang sudah nikah lagi. Dan pindah ke Lampung. Dari lulus SD ia memilih tinggal bersama pak Kamil.
Sekarang Sabri sudah menikah dan tinggal di pondok gede Jakarta timur. Dan Raid sudah janji ingin main ke rumah Sabri.
Saat Raid sudah tiba di rumahnya, langsung di ajak ke Kuningan Jawa barat oleh Sabri. Tanpa pamit ibunya, atau pun istrinya Sabri.
"Maksud lu apa sih gue ngakak ngerti dah?"tanya Raid.
"Ini sawah dari pinggir kali itu sampai ke tempat itu orang yang lagi jungking." Sabri berkata sambil menunjukkan apa yang ia katakan. Yaitu dari pinggir sungai, sampai orang yang lagi menanam padi. "Itu sawah milik bapak lu, dan itu kebun singkong juga punya banyak lu."Kata Sabri, mengatakan yang sebenarnya.
Bahwa bagian bapaknya Raid di ambil oleh saudara yang ke tiga dan ke lima. Seharusnya pak Kamil punya sawah dan ladang.
Tapi saudara bilang tanah warisan, tinggal rumah yang di tempati saudara yang ke lima. Sehingga siapa saja yang menempati rumah itu membayar harganya tanah itu.
"Dan terakhir bapak lu pulang ke sini, itu sebulan sebelum jatuh dan sakit."Kata Sabri.
"Wah gak bisa begitu dong, itu hak bapak gua. Mereka pada tega amat, mentang-mentang bapak gua gak tinggal di mari. Mumpung bapak masih ada gua akan ajak Thomi, buat ambil haknya bapak. Kaga harus tanah, minimal uang ganti nya itu tanah."Kata Raid dengan emosi yang meliputi dirinya.
"Gak bisa begitu...."
*****Bersambung....
Tidak bisa begitu juga Raid. Lagian bapak mu sudah tau dan dia sudah mengikhlaskan. Kalau kamu sampai gegabah akan mempersulit keluarga mu nanti."Kata Sabri.
"Oh, bapak tau dari siapa?"tanya Raid.
"Dari bapak ku, waktu aku nikah. Aku dan bapak waktu ngomongin itu ke bapak mu. Dan bapak tidak mau bahas lagi dan kami tidak boleh bicara sama siapa pun. Termasuk anak-anaknya, takut perang saudara. Cuma karena warisan, harus ada pertumpahan darah. Hal itu yang bapak mu tidak ingin kan, cukup tau saja."Kata Sabri, menyampaikan pesan pak Kamil.
"Kata lu kaga boleh ada yang tau, terus kenapa lu ngomong ke gue?"tanya Raid, dengan bingungnya mendengar ucapan Sabri sepupunya.
"Ya memang tidak boleh, tadi aku keceplosan hehehehe. Tapi aku harap, kamu bisa jaga sikap mu saat berhadap dengan wak Asep ya."Kata Sabri, karena khawatir jika Raid tidak bisa terima dengan keputusan bapaknya.
Ada rasa penyesalan pada diri Sabri, karena tidak bisa menjaga amanah mamang nya. Yang sudah seperti bapak bagi Sabri, sebab Sabri sudah 15 tahun ikut pak Kamil.
"Kalau itu sudah jadi keputusan bapak gua, mana mungkin gua mau mencelakakan diri sendiri. Tapi setau gua, bapak kan sudah tidak bisa ngomong. Kalau pun ngomong ah eng uh eh aja. Itu lu tau dari mana? kalau bapak ngomong begitu?"tanya Raid.
Karena setahu Raid bapaknya sudah tidak bisa bicara. Tapi kenapa Sabri berbicara seolah bapaknya sehat.
"Oh, waktu itu bapak mu kan masih bisa nulis walau pun jelek. Tapi masih bisa di baca dengan jelas. Makanya kamu jangan buat bapak mu kecewa."Kata Sabri.
"Ya udah demi bapak gua mau pulang sekarang juga. Karena gua gak suka dengan orang yang bermuka dua. Baik cuma di depan, di belakang dia menusuk. Gua benci dengan orang, berhati busuk." Ucap Raid penuh emosi.
"Baiklah, demi mang Kamil yang sudah seperti bapak ku sendiri. Kita pulang ke Jakarta tapi ke rumah kontrakan ku ya. Besok baru kita pulang ke rumah mu, sekalian aku mau ketemu sama bibi. Nanti aku bilang ke bibi, kalau kamu tak ajak jalan-jalan."Kata Sabri, setuju jika sekarang mereka pulang ke Jakarta.
"Baik ayo, sekarang kita pamit sama mang Asep."Raid sudah tidak ingin berada di rumah dan desa itu.
Setelah perjalanan 15 menit kemudia seen, Sabri dan Raid sudah sampai di rumah pak Asep.
"Assalamualaikum,"ucap keduanya.
"Wa'alaikumsalam,"Jawab pak Asep dengan senyum yang dipaksakan.
"Kalian kemana saja, ini sudah hampir sore kalian baru pulang?"tanya pak Asep basa-basi saja.
"Ini Wak tadi Raid pengen tahu daerah kampung sini. Terus kami main di sungai, sangking asiknya jadi lupa waktu."Jawab Sabri.
"Iya Wak di sini sungai nya masih jernih, dan airnya juga sejuk kayak air es." Timpal Raid sambil tersenyum kaku.
"Oh iya, kalau di sini teh air na masih jernih. Tidak seperti di Jakarta atu, air na keruh."Kata pak Asep.
"Apa Raid betah di sini?"tanya pak Asep pada ponakannya itu ada rasa khawatir. Jika keponakannya satu ini memberontak atas hak bapaknya.
"Oh tidak Wak, saya tidak bisa tinggalkan emak dan babak. Apa lagi keadaan babak lagi sakit, kasihan emak sendiri yang ngurus. Sore ini juga saya harus pulang ke Jakarta Wak."Jawab Raid, yang sudah jengah dengan berpura-pura ramah.
"Oh ya, malang sekali nasibnya Kamil. Padahal teh Kamil masih muda, sudah kena stroke parah. Ya sudah ini kan sudah jam tiga, kalinya makan dulu ya sebelum pulang. Ayo sekarang makan dulu sekalian bareng sama Wak."Yang langsung beranjak dari sofa, berjalan menuju dapur untuk mengambil makanan.
Sabri dan Raid saling pandang lalu mereka berjalan mengikuti pak Asep. Mereka terpaksa makan sebelum pulang ke Jakarta. Mereka melakukan itu untuk menghormati pak Asep, sebagai orang tua sekaligus saudara.
Setelah makan pak Asep memberikan uang untuk Raid dan Sabri, sebagai ongkos ke Jakarta. Pak Asep ingin menunjukkan pada Raid dirinya orang baik. Dan suatu hari tidak akan percaya dengan berita tentang dirinya.
****************
Setelah Maghrib, Sania mengajak pergi makan malam suami dan anaknya.
"Aa yakin tidak mau ikut makan di luar?"tanya Sania, sambil mengangkat Ardian dalam gendongan.
"Malas lah, Aa makan di rumah saja nanti." Jawab Fano, yang sedang duduk santai di sofa ruang tamu.
"San itu Dara tidak ikut, terus nanti Raisa tidak ada yang jaga kalau kita makan?"tanya Rainal, sebab tidak dengar Dara di suruh siap-siap.
"Tidak usah lah mas, dia harus selesai setrikaan. Kita seperti biasa saja, gantian makannya. Kita berangkat sekarang ya aku sudah lapar lo mas."Jawabnya dengan sedikit manja.
"Ya sudah ayo, Aa kami pergi dulu ya."Pamit Rainal.
"Ya hati-hati di jalan."Ucap Fano.
Setelah kepergian adik dan adik iparnya Fano menghampiri Lisna di kamarnya. Di kamar itu Dara sedang menyetrika baju anak-anak dan Dara sendiri. Sedangkan Lisna nunggu giliran, untuk menyetrika baju orang dewasa dan Lisna sendiri.
" Teh Lisna,"panggil Fano.
"Iya A Fano,"jawab Lisna.
"Nasi masih banyak tidak?"tanya Fano.
"Sebentar," lalu jalan menuju ruang makan, dan membuka magic com. "Masih A, mau makan sekarang?"tanya Lisna.
"Lauknya masih ada apa?" tanya Fano sambil jalan menuju ruang makan.
"Masih ada ayam goreng, sama sambal terasi mas." Jawab Lisna.
"Kalian pasti lapar, ini saya ambil nasi satu setengah centong saja. Sisanya kamu kamu bikin nasi goreng makan berdua ya. Dah sana kamu masak sambil nunggu giliran sama Dara."Perintah Fano pada Lisna agar segera masak supaya tidak ke adiknya.
"Baik A, saya masak sekarang. Terima kasih ya mas."Ucap Lisna dengan raut wajah senang karena hari ini masih bisa makan. Meski pun sepiring berdua dengan Dara.
"Iya tapi maaf cuma segitu nasinya. Setidaknya bisa mengurangi rasa lapar kalian."Ucap Fano, sambil menyuap nasi ke mulutnya.
"Tidak apa-apa A, ini sudah alhamdulilah. Saya masak dulu."Langsung ke dapur.
Lisna mencari kol dan bumbu untuk bikin nasi goreng. Supaya nasi gorengnya tidak polos, jadi bisa nambah fariasi.
Setelah makan dia jalan ke dapur menaruh piring bekas makan dan tempat ayam goreng tadi. Di makan tidak pernah pilih, yang penting perut kenyang.
"Teh ini tolong cuciin ya."Perintah Fano.
"Iya A, nanti sekalian setelah saya dan Dara makan."Kata Lisna.
"Iya," dia langsung balik badan menuju kamar Dara.
"Dara sudah selesai, kamu makan dulu sama teh Lisna ya. Teh Lisna lagi bikin nasi goreng tu."Kata Fano.
"Tapi nanti kalau bu Sania marah bagaimana?"tanya Dara dengan raut wajah kecemasan.
"Kamu tenang saja ya. Cepat ke dapur dan makan sebelum Sania dan suaminya pulang."Perintah Fano.
"Baik A,"jawab Dara, langsung pergi ke dapur.
Fano menatap Dara yang berjalan menuju dapur, dengan tatapan berbeda. Ada rasa tertarik dengan Dara, selain cantik dan imut. Dara.....
*****Bersambung....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!