Seorang wanita cantik yang tinggal di rumah sederhana tengah menunggu suaminya pulang bekerja. Dengan ekspresi senang sekaligus haru, netranya sedari tadi selalu melirik ke arah jam dinding.
Kaki jenjangnya berjalan ke sana dan kemari dengan gelisah, tangannya memegang alat tes kehamilan yang menunjukkan 2 garis merah.
"Mas Gilbert kapan pulang yah? apa bengkel lagi ramai?" Gumam wanita itu.
Tok!
Tok!
Tok!
Wanita itu menaruh alat tes kehamilan di meja dan segera berjalan menuju pintu, dengan senyum cantiknya dia akan menyapa orang yang mengetuk pintu yang dia pikir suaminya itu.
"Mas kamu su ...,"
namun, senyum nya luntur ketika dia melihat seorang wanita paruh baya yang membelakanginya.
"Oma." Lirihnya.
Wanita paruh baya itu berbalik, netranya menatap wanita muda tersebut dengan tajam.
"Oma, ayo masuk. Emily kebetulan memasak dan ...,"
"Tidak usah banyak berbasi-basi, saya kesini untuk bertindak tegas padamu! tinggalkan cucu saya Emily!"
Emily seorang wanita dari kalangan bawah yang di cintai oleh seorang cucu miliyarder. Gilbert, cucu pertama keluarga Greyson.
Hubungannya dengan Emily di tentang oleh nyonya besar Greyson, yaitu nenek dari Gilbert. Dia memaksa Gilbert untuk menikah dengan wanita pilihannya, tetapi Gilbert tetap bertahan dengan cintanya.
Orang tua Gilbert pun tak berani membelanya, sehingga Gilbert memilih melepas kekayaannya dan hidup sederhana dengan wanita yang ia cintai.
"Maaf oma, tapi sebaiknya kita bicarakan ini setelah mas Gilbert pulang dari bengkel." Ucap Emily dengan sopan.
"Oma? Panggil saya Nyonya! saya gak sudi punya cucu menantu miskin seperti kamu!" Bentaknya.
Emily menahan nafasnya, dia mencoba menahan air matanya yang akan jatuh.
"O ... Nyonya Samantha, saya tidak bisa berpisah dengan cucu anda," ucap Emily memberanikan diri.
"Kenapa tidak bisa?!"
Samantha, seorang wanita paruh baya yang kini dengan status jandanya. Dia lah yang mengatur kehidupan para keturunannya agar selalu menurut padanya. Sikapnya yang egois membuat Gilbert menjauh darinya.
"Aku ...." Emily memegang perutnya, tatapannya jiga turut menatap perutnya.
"Hamil,"
Samantha terbelalak kaget, dia menatap tajam Emily yang masih menatap perutnya. Dirinya benar-benar terkejut mengetahui fakta itu.
"Gugurkan! dan pergi dari kehidupan cucuku selamanya! tidak sudi aku memiliki penerus dari rahimmu!" Sentak Samantha.
Emily mendongak kan kepalanya dengan pandangan terkejut, air matanya yang sedari tadi di tahan pun terjatuh juga saat mendengar kata menyakitkan dari Samantha.
"Nyonya, ini keturunan mu. Cicitmu, apakah kamu tega membunuh bayi tak berdosa ini? bahkan mas Gilbert belum tahu tentang kehadirannya." Suara Emily terdengar bergetar.
"Suamimu belum tahu? baguslah! segera lenyapkan bayi itu dan pergi dari kehidupan cucuku! kamu hanyalah wanita miskin yang akan merenggut habis harta kami! orang miskin memang serakah, seperti kamu!" Bentak Samantha yang membuat hati Emily berdenyut sakit.
"Kamu bukan hanya anak orang miskin, tapi juga kamu putri dari wanita penghibur! Ibumu, adalah seorang penghibur. Mana bisa kamu di sandingkan dengan cucuku! derajat kalian bagaikan bumi dan langit!!"
Emily memejamkan matanya, hatinya sangat sakit ketika di hina seperti itu.
"CUKUP NYONYA! Jangan menghina ibuku! dia wanita baik! Biarpun pekerjaannya kotor setidaknya mulutnya tak selalu menghina orang lain seperti anda!" Sentak Emily sambil menunjuk tepat di depan wajah Samantha.
"LANCANG!" Bentak Samantha dan akan menampar Emily, tetapi Emily langsung menangkap tangan Samantha.
"Jangan sakiti aku dengan tangan suci mu itu nyonya! aku akan meninggalkan cucumu, selamanya. Suatu saat nanti, kau akan memohon padaku untuk menerima cucumu kembali! Camkan itu!" Ucap Emily dengan menekan perkataannya.
Emily menghempaskan tangan Samantha, dia masuk ke dalam rumahnya dan membereskan bajunya. Netranya menatap tes kehamilan yang tergeletak di meja, tanpa pikir panjang dia pun memasukkan tes kehamilan itu ke dalam tas nya.
Tatapan Emily menatap ke arah cincin yang ia kenakan, Emily akan melepaskan. Namun, cincin itu seakan tak mau lepas dari jarinya.
"Maaf mas, biarkan aku membawa cincin ini sebagai kenangan kita. dan bayi ini ... sebagai bukti cinta kita berdua." Lirih Emily.
Emily pun keluar dengan membawa tas besar, netranya menatap tajam ke arah Samantha.
"Pergilah! jangan muncul kembali di hadapan cucuku dan juga keluargaku! sebelum itu juga, gugurkan bayi itu!"
"Apa?! gugurkan? Baiklah, aku tidak sudi memberikan penerus Greyson padamu!" Balas Emily.
Emily pun pergi dari sana, membawa sejuta luka dan cinta. Tak ada yang bisa mengganti kan cinta dia untuk suaminya, dia pergi untuk menyelamatkan kehormatan serta harga dirinya.
***
"EMILY!! EMILY!! KAU DIMANA SAYANG?! Lihat, aku pulang membawa martabak sesuai keinginanmu sebulan lalu. Ayo keluar, kita makan bersama." Teriak seorang pria tampan, berahang tegas, dan hidung mancung.
"Kemana dia?" Gumam Pria itu yang tak lain dan tak bukan adalah Gilbert.
Selama dia keluar dari istananya, dia terpaksa bekerja menjadi montir sebab semua perusahaan menolak dirinya karena perusahaan Greyson melarang para perusahaan itu untuk menerima Gilbert.
Tatapan Gilbert tak sengaja menatap kertas yang berada di kasur lantai itu, dia mengambilnya dan membacanya dengan raut wajah bingung.
Mas, maafkan aku. Aku lelah hidup miskin denganmu, biarkan aku pergi. Aku lelah harus hidup di rumah kecil dan hidup serba kekurangan. Aku kira, menikahimu akan membuat hidupku berubah. Namun, hidupku malah menjadi tambah sengsara karena menikah denganmu. Maaf, aku pergi dan jangan cari aku."
^^^-Emily^^^
Gilbert meremas kertas itu dengan mata memerah, bungkus martabak yang ia pegang seketika dia jatuhkan ke lantai.
"Kau pasti akan menyesal Emily!!! aku membencimuuu!!" Geram Gilbert dengan sorot mata kemarahan.
5 Tahun kemudian.
"REVIIINNN!!!"
Seorang wanita cantik keluar dari rumahnya, dengan wajah menahan kesal dia menatap ke setiap sudut.
"Kemana anak itu! pasti saat ini dia berada di warung Mak Tia! astaga, pasti dia menambah bon ku lagi!!" Gerutu wanita itu yang tak lain adalah Emily.
Emily melahirkan seorang putra bernama Fillbert Revino yang biasa di panggil Revin, nama awalnya yang hampir mirip dengan Gilbert bukan? Emily sengaja menamakan putranya seperti itu, agar dia mengingat Gilbert suaminya.
Sedangkan orang yang di panggil oleh Emily tengah menaikkan kaki gempalnya ke atas kursi kecil agar sampai pada etalase.
"Mak Tiaaa!!"
Seorang wanita paruh baya datang menghampiri bocah bernama Revin itu.
"Eh nak Revin, mau jajan yah?" Tanya wanita bernama Mak Tia itu.
Revin, bocah yang memiliki kulit putih bersih. Mata bulat, serta pipi yang chubby membuat siapa saja menatap gemas ke arahnya.
Tapi, jangan terlena dengan kegemasannya. Dia sering kali membuat lawan bicaranya mati kutu.
"Iya, Levin mau Jelly. Mak Tia." Seru Revin.
Mak tia mengambilkan Revin Jelly kesenangannya dan memberikannya pada bocah itu.
"Makasih Mak Tia!" Seru Revin sambil mengambil Jelly itu dari Mak Tia.
Revin turun dari kursi itu, dia akan segera pergi, tetapi Mak Tia memanggilnya.
"Hei Revin! mana uangnya?!" Seru Mak Tia.
Revin menoleh sejenak sebelum dia berlari sambil berteriak.
"MACUK BON BUNAAA!!!"
Mak Tia menghela nafas kasar, memang sering kali Revin belanja dan di masukkan ke daftar bon milik bundanya.
"Revin ... Revin." Gumam Mak Tia menggelengkan kepalanya sambil menulis barang yang Revin ambil tadi.
Revin pulang dengan hati gembira, dia mendapatkan makanan yang ia mau. Kehidupan nya sangat sulit, bahkan sang bunda jarang memberinya uang jajan karena uang yang pas-pasan.
"Salah buna nda mau bagi Levin uang, jadi macuk bon buna deh." Gumamnya.
Revin memasuki halaman rumahnya, langkahnya terhenti ketika melihat sang ibu yang telah berdiri di sana sambil berkacak pinggang.
"Jajan lagi?" Tanya Emily dengan menatap tajam putranya.
Revin tersenyum, dia menyembunyikan tangannya di belakang tubuhnya sambil memainkan kakinya.
"Maaf buna," ujar Revin.
"Hah ... Revin, buna lagi gak ada uang. Kalau kita nge bon terus, siapa yang mau bayar?" Ucap Emily sambil menurunkan tangannya dan menatap lembut putranya
"Nanti Daddy Levin yang bayal, kalau daddy dah pulang kelja. Kata buna, Daddy kelja. Pacti bawa uang banyak buat Levin," ujar anak itu dengan lugu nya.
Raut wajah Emily berubah sendu, putranya selalu mengatakan hal itu. Dia lelah karena putranya selalu menanyakan keberadaan Gilbert, akhirnya Emily terpaksa mengatakan hal itu.
"Masuk lah, hari sudah sore. Kamu harus mandi," ujar Emily dan masuk ke dalam rumah.
Revin menatap kepergian ibunya, dia merasakan kesedihan Emily ketika dia membahas tentang daddy nya.
"Buna cedih telus, eum ... apa Levin jemput daddy aja yah? Levin juga punya potona daddy." Gumam Revin.
______
BANTU BERI DUKUNGAN KARYA TERBARUKU YAH, DENGAN CARA LIKE, KOMEN, HADIAH DAN VOTENYA😍😍😍
!!CERITA INI HANYA FIKTIF BELAKA, MERUPAKAN KARANGAN AUTHOR. BUKAN KENYATAAN!!
Semakin di dukung, semakin rajin up loh🤭🤭🤭
Emily tengah berdiam diri di kamarnya, netranya melihat Revin yang tertidur pulas di ranjang.
Dertt!!
Dertt!!
Ponsel Emily berbunyi, dia pun segera mengangkat ketika tahu itu dari sahabatnya.
"Halo Ema,"
"Halo Em, kamu di terima kerja disini. Besok datanglah ke sini, seragammu juga sudah di siapkan," ujar seseorang yang berbicara lewat telpon.
"Tapi Ema, aku harus meninggalkan Revin kalau begitu." Lirih Emily.
"Ck, astaga Emily. Kau pikir aku bodoh? tentu saja, aku meminta pada majikanku untuk mengizinkan kau kerja disini dengan anakmu. Mereka setuju!" ujar EMa.
Emily tersenyum lebar, dia bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu.
"Beneran?! aku bisa bawa Revin?!"
"Tentu saja, mereka baik-baik banget. Biar pun jadi maid disini, gaji kita setara pegawai kantoran loh!" Seru Ema.
"Oke, gue berangkat ke sana besok ya!" Seru Emily dan mematikan sambungan telponnya.
Emily memeluk ponselnya, ponsel yang sudah retak layarnya masih tetap dia gunakan. Akhirnya dia mendapatkan kerjaan, semoga dengan itu dia bisa memenuhi kehidupan ia dengan sang putra.
Emily berjalan menuju ranjang, dia duduk di tepian dengan menatap ke arah Revin. Tangannya terulur mengelus rambut kecoklatan Revin.
"Maaf bunda, bunda salah menyembunyikanmu dari ayah kandungmu. Bunda ingin mempertemukan kalian, tapi pasti saat ini ayah mu sedang bersama keluarga barunya. Kita tidak boleh merusak kebahagiaan orang lain nak." Lirih Emily.
Dia hanya mempertahankan harga dirinya, dia pergi membawa bukti cinta dia dengan sang suami. Biarpun tak ada Gilbert, Emily berhasil membesarkan putranya hingga sebesar ini.
Sedangkan di lain tempat, seorang pria dengan wajah tampan dan dingin sedang menatap ke arah cincin di sebuah kotak.
"Emily ... sudah lima tahun tapi hatiku belum bisa menerima. Aku tidak terima kau pergi meninggalkan ku begitu saja dengan alasan karena aku miskin. Ku pikir, kau tidak seperti wanita yang banyak mengincar harta. Namun, aku salah. Wanita tetap lah wanita, dia tidak akan puas dengan apa yang dia miliki."
Pria itu adalah Gilbert, tak ada yang berubah darinya. Hanya wajah yang semakin bertambah tampab wibawa dan tatapan yang tajam.
Dertt!!!
Dertt!!
Gilbert melirik ponsel mahalnya, dia melihat nama yang tertera di sana. Gilbert pun mengangkatnya, dan menunggu si penelpon berbicara.
"Tuan, Emily belum juga di temukan. Kami sudah mencari nya di setiap daerah yang ada di pulau ini."
"Kemungkinannya cuman dua, kau yang tidak becus dalam mencari. Atau dia yang sudah pergi ke luar pulau bersama selingkuhannya."
Tatapan Gilbert menajam, dia melempar ponselnya ke dinding sehingga ponsel tersebut rusak.
BRAK!!
"Emily ... dimana pun kamu, aku pasti akan menemukanmu! ku buat dirimu merasakan sakitnya kehilangan!" Geram Gilbert.
***
Emily mempersiapkan segalanya, dia memasukkan baju Revin ke dalam koper. Begitu juga dengan baju dirinya.
"Buna, kita mau ketemu daddy kan di kota?" Tanya Revin dengan senyum mengembang.
Emily menghentikan kegiatannya, dia menatap putranya yang terlihat menatapnya dengan mata berbinar.
"Revin, kita ke kota karena buna mau bekerja nak. Biar bisa beli susu Revin, biar Revin gak minum air gula terus." Ucap Emily sambil mengelus rambut putranya.
"Kata buna daddy kelja, telus kenapa buna halus kelja juga? daddy nda pelnah kilim uang ya?" Pertanyaan polos dari anak berumur 4 tahun itu membuat hati Emily merasa tercabik-cabik.
Baginya, makan nasi dengan ayam saja sudah membuat putranya bahagia. Namun, dirinya tahu kebahagiaan terbesar putranya adalah bertemu dengan sang ayah.
"Eum ... daddy kirim uang kok, tapi kan buat kita makan nak." Jawab Emily.
"Daddy kilimna dikit yah buna? kita seling makan naci pake galem, di kantol daddy pake galem juga yah buna?"
Emily menahan sesak di dadanya, ingin dirinya berkata jika dia dan ayahnya tak mungkin bisa bersatu lagi. Selain terhalangnya restu, mereka terhalang status.
"Gak nak, ayahmu makan dengan enak. Tidur dengan enak, tempat tinggal pun seribu kali lebih baik dari kata mewah. Dia hidup bergelimpang harta, sedangkan kita hidup serba kekurangan." Batin Emily.
"Buna cedih yah? maafin Levin yah," ucap Revin dengan suara bergetar saat melihat tatapan sendu bundanya.
Emily menggelengkan kepalanya, dia segera membawa Revin ke gendongannya. Menatap anak semata wayangnya yang sangat menggemaskan.
"Engga, bunda gak sedih selama Revin ada bersama bunda." Ucap Emily sambil mencium pipi putranya.
"Levin cama buna telus nanti!" Seru Revin dan memeluk leher Emily.
Air mata Emily terjatuh, dirinya tak setegar itu untuk bertahan menjalani hidupnya.
"Jika mas Gilbert tahu, apakah dia akan mengambil Revin? Tidak-tidak, dia tidak boleh tahu tentang Revin. Dia tidak boleh sampai tahu." Batin Emily.
Singkatnya, Emily pergi ke kota dengan menggunakan bis. Dirinya membawa tas besar sambil duduk memangku Revin. Emily tak punya banyak uang untuk membayar dua kursi, sehingga dia memutuskan untuk memangku Revin.
Lelah memang, tetapi sisa uangnya akan dia gunakan untuk membeli makanan nanti.
Bis pun akhirnya sampai di terminal, Emily membangunkan putranya yang tertidur di pangkuannya.
"Bangun nak, udah sampai." Ucap Emily sambil menepuk lembut pipi putranya.
Revin mengerjapkan matanya, dia menatap sekelilingnya sambil menggaruk kepalanya.
"Dah campe buna?" Tanya Revin dengan wajah bingung nya.
"Sudah, ayo kita turun makan siang dulu. Revin laper kan?" Ucap Emily.
Revin turun dari pangkuan Emily, dia berjalan lebih dulu sambil di tuntun dari belakang oleh Emily.
"Hati-hati." Pinta Emily saat Revin menuruni bis.
Emily menggandeng lengan putranya menuju rumah makan, sebuah warteg yang tak begitu besar.
"Revin mau makan apa?" Tanya Emily yang sedang berdiri di depan telase. Berbagai jenis lauk ada di sana, Emily pun turut memilih.
"Mau ayam, boleh buna?" Tanya Revin.
Emily terdiam, dia mengambil dompetnya dan melihatnya. Sisa uangnya hanya lima puluh ribu, sedangkan dia nanti harus membayar angkot. Namun, putranya sangat ingin sekali ayam.
"Eum bu ayamnya satu, sama nasi yah." Pinta Emily.
Penjual tersebut mengambilkan apa yang Emily pesan, dan setelah itu dia memberikannya pada Emily.
Emily menaruh piring itu di hadapan Revin yang sudah duduk lebih dulu, putranya itu terlihat sangat senang. padahal hanya ayam saja, tetapi putranya sangat bahagia.
"Buna nda makan?" Tanya Revin saat menyadari jika tidak ada piring Emily di sana.
"Bunda masih kenyang, Revin makan saja dulu yah." Ucap Emily sambil mengusap kepala putranya.
Revin menyodorkan sendoknya, dia menatap Emily dengan pandangan polosnya.
"Buna makan baleng Levin yah, nacina banyak." Ucap Revin dengan senyum tulusnya.
Emily yang memang lapar pun menerima suapan putranya, dia tersenyum menatap putranya.
Emily tak sadar jika di belakangnya ada seorang pria yang mengambil dompetnya.
Saat pria itu akan mendapatkan dompet Emily, Emily pun menolehkan kepalanya.
"MAU APA KAMU!!" Teriak Emily.
Pria itu langsung kabur sambil membawa dompet Emily. Emily mengejarnya dan meninggalkan Revin yang menangis sambil mengikuti ibunya.
"Bunaaa hiks ... bunaaa hiks ...,"
Revin berlari menyebrangi jalan, dia tak melihat kiri kanan dan langsung berlari begitu saja.
TIN!!
TIN!!
Revin menghentikan langkahnya, dia menatap mobil yang akan melaju ke arahnya.
"AAAA!!!"
BRAAKK!!!
Revin tertabrak oleh mobil, anak itu langsung tak sadarkan diri. Orang-orang pun mendekatinya dan mobil tersebut.
Banyak orang yang memukul mobil mewah tersebut agar yang menaikinya segera turun.
Pintu mobil terbuka, terlihat lah pria berjas mewah dan memakai kaca kata di hidung mancungnya.
"Tanggung jawab lo! jangan mentang-mentang lo orang kaya main tabrak seenaknya! emang ini jalanan nenek moyang lo apa!" Seru seorang pria bertubuh gendut.
Pria itu berjalan ke arah kerumunan di depan mobilnya, dua orang pria lagi pun turut turun untuk melihat.
"T-tuan saya gak sengaja, saya ... saya gak sengaja tuan." Ucap sopir pria itu dengan suara bergetar.
Pria itu hanya diam, dia berjongkok dan membuka kaca matanya. Dia menatap Revin yang terbaring dengan kepala yang terus mengeluarkan darah.
"Tuan Gilbert, sebaiknya kita bawa dia ke rumah sakit!"
Gilbert, dia menoleh pada asistennya. Setelah itu dia membuka jasnya dan memberikannya pada sang asisten.
Gilbert mengangkat Revin ke gendongannya, dia melakukannya dengan hati-hati. Setelah itu dia memasuki mobilnya.
"Jika ada yang mencari anak ini, bilang padanya jika kami akan membawanya ke rumah sakit terdekat." Titah asisten Gilbert pada salah seorang dari mereka.
Mobil Gilbert pun melaju dengan kecepatan penuh, Beruntung saat itu jalanan tidak sepadat hari biasanya.
Gilbert tak melepas tatakannya dari wajah Revin, dia tak sadar jika tangannya terulur dan menyentuh pipi Revin.
Entah mengapa, hatinya berdegup sangat kencang. Dirinya seperti bertemu sosok yang ia rindukan.
"Bersabarlah, aku tahu ini sakit. Tapi kau anak yang kuat bukan?" ujar Gilbert dengan suara bergetar.
Asisten Gilbert yang sedang menyetir pun melihat tuannya itu dari spion tengah. Dia cukup tercengang saat melihat Gilbert yang bersikap lembut pada anak kecil.
Sedangkan supir yang sebenarnya, sedang ketakutan di sebelah kursi kemudi. Dirinya takut di penjara, padahal Revin sendiri yang menyebrang jalan secara mendadak.
Jangan lupa like, komen, hadiah, dan votenya
Derap langkah kaki menggema di lorong rumah sakit, Gilbert berlari membawa Revin ke ruang UGD.
Melihat siapa yang datang, segera suster menghampiri Gilbert dengan mendorong brankar.
"Selamatkan anak ini!" Titah Gilbert.
"Baik tuan, harap anda menunggu. Kami akan berusaha semaksimal mungkin."
Suster tersebut membawa Revin ke ruang UGD, Gilbert pun menunggu dengan cemas di depan pintu.
"Asisten Kai! Kira-kira, siapa anak itu? kenapa dia bisa berlari ke tengah jalan raya? dimana orang tuanya?" Tanya Gilbert pada asistennya yang berdiri di sampingnya.
"Saya tidak tahu tuan, saya sedang mengecek jadwal anda tadi," ujar Asisten Gilbert yang bernama Kai.
"Tu-tuan tadi sebelum bocah itu menyebrang, seorang wanita lebih dulu menyebrangi jalan. Sepertinya bocah itu mengikuti wanita tersebut." Sahut supir Gilbert yang menabrak Revin.
Gilbert menganggukkan kepalanya, dia memang tak melihat wanita yang supirnya maksud kan karena dia sedang memeriksa ponselnya.
Cklek!
Gilbert menghadap ke arah pintu yang terbuka, seorang dokter keluar dengan pakaian operasi yang masih melekat.
"Mohon maaf, pasien kehilangan banyak darah. Sehingga kami perlu beberapa kantung darah. Apa ada yang memilikinya? karena stok darah AB sedang kosong di rumah sakit ini," ujar dokter.
"Saya AB dok." Gilbert menyahut dengan cepat.
"Baik tuan, mari ikuti saya. Kita akan melakukan pendonoran," ujar dokter itu.
Gilbery mengangguk, dia mengikuti dokter tersebut ke ruang transfusi darah. Sedangkan Asisten Kai masih menunggu di sana.
Berselang beberapa saat, Gilbert telah kembali dengan lengan kemeja yang terangkat. Wajahnya sangat pucat, dia pun mendudukkan dirinya di samping Asisten Kai.
"Wajah anda pucat sekali tuan," ujar Asisten Kai.
"Saya tidak apa-apa." Lirih Gilbert dan menyandarkan tubuhnya pada dinding sambil memejamkan matanya.
Asisten Kai tahu jika kondisi tuannya itu sedang tidak sehat, dan kini harus memaksakan dirinya dengan transfusi darah.
"Tuan, seharusnya anda tak perlu melakukannya. Biar dokter saja yang mencari, anda kan bukan siapa-siapa bocah itu. Kenapa tidak ayah kandungnya bocah itu saja yang mendonorkan darahnya, kenapa harus anda?" Ujar Asisten Kai.
Gilbert membuka matanya, dia menatap asistennya itu dengan pandangan dingin.
"Apakah menolong orang harus butuh jawaban?" Tanya Gilbert sedikit kesal.
"Ti-tidak tuan." Jawab Asisten Kai dengan takut.
Tatapan Gilbert mengarah pada supirnya yang masih bergetar ketakutan.
"Pak Seno pulang saja, tidak papa. Ini ketidaksengajaan, lagi pula anak itu yang salah," ujar Gilbert.
"Tapi tuan, saya sangat merasa bersalah. Saya ke kantor polisi aja yah tuan, saya serahin diri saya. Saya gak tenang." Ujar supir Gilbert yang bernama Seno.
Gilbert menghela nafasnya kasar, dia menepuk bahu supirnya itu dengan dua kali tepukan.
"Pulanglah, aku yang akan bertanggung jawab dengan anak itu," ujar Gilbert.
Pak Seno pun terpaksa pulang, dia tak lagi membantah perkataan tuannya.
Cklek!
Berselang beberapa saat, pintu kembali terbuka. Beberapa suster keluar dengan menarik sebuah brankar.
"Kami akan memindahkannya ke ruang perawatan," ujar seorang suster saat Asisten Kai akan bertanya.
"Kamar VVIP," ujar Gilbert dengan tampang datarnya.
Para suster membawa brankar Revin, sementara Gilbert masih diam berdiri di sana.
"Putra anda sungguh hebat tuan, dia bisa melewati masa kritisnya. Aku salut dengannya." Celetuk seorang dokter yang berdiri di samping Gilbert.
Gilbert mengangkat satu alisnya, dia tak mengerti apa yang dokter itu katakan. Saat dirinya akan menyanggah perkataan dokter utu, dokter tersebut malah lebih dulu pamit undur diri.
"Asisten Kai, apa yang dokter itu katakan? putraku? aku belum mempunyai anak," ujar Gilbert dengan menatap heran asisten nya itu.
"Mungkin karena wajah kalian mirip," ujar Asisten Kai dengan menatap bingung bos nya itu.
"Mirip? mirip dari mana ...,"
Gilbert terdiam, dia kembali mengingat wajah Revin. Benar-benar jiplakan dirinya, bahkan Revin sangat mirip dengan dirinya saat kecil. Yang membedakannya, kulit anak itu seputih susu. Sedangkan kulitnya kecoklatan, tetapi mata Revin milik dengan sosok wanita yang selama ini dirinya cari.
Sementara itu, Emily tak dapat mengejar copet itu. Dia menghentikan lari nya dengan nafas tersenggal.
"Dompetku di ambil, aku harus apa? bagaimana bisa aku membayar makanan dan juga transportasi nantinya." Gumam Emily dengan suara bergetar.
"ASTAGA! REVIINN!!" Pekik Emily setelah dirinya meninggalkan sang putra.
Emily buru-buru kembali ke tempat tadi, dia memasuki warteg dan mencari keberadaan putranya. Kaki Emily terasa lemas ketika dia tak melihat keberadaan Revin, hanya ada koper nya saja di sana.
"Neng ibunya anak kecil yang di tabrak tadi kan?" Tanya seorang bapak-bapak yang menyadari kehadiran Emily.
Emily segera mendekat, dia menatap pria itu dengan menahan air matanya yang hendak keluar.
"Putra saya tertabrak pak?" Tanya Emily dengan suara bergetar.
"Iya neng, kok bisa sih anak di tinggalin gitu aja. Anaknya sampe ikutin neng dari belakang, tapi sayangnya dia gak lihat jalan terus ketabrak." Jelas pria itu.
"Putra saya terus dimana paaakkk hiks ...." Histeris Emily.
Seorang ibu-ibu mendekati Emily dan mengusap bahunya, dia berusaha untuk menenangkan Emily.
"Tenang yah bu, saya antar ke rumah sakit yah buat jenguk putra ibu," ujar ibu tersebut.
"Terima kasih bu, terima kasih." Seru Emily dengan air mata yang masih mengalir.
Ibu tersebut mengantarkan Emily ke rumah sakit terdekat dengan menggunakan taksi, keadaan Emily masih menangis memanggil nama putranya.
"Sabar yah, berdoa semoga anak kamu baik-baik saja." Ucap ibu itu sambil mengusap bahu Emily.
"Saya merantau ke kota bu sama anak saya, saya cari kerja disini hiks ... hanya putra saya satu-satunya keluarga saya hiks .. saya gak punya siapa-siapa lagi." Isak Emily.
Ibu tersebut tak bisa memberi tanggapan apapun, Emily masih saja menangis dengan menggumamkan nama Revin.
Taksi pun terhenti di depan rumah sakit, Emily segera keluar dari taksi dan berlari ke dalam. Ibu yang bersama Emily tadi pun pergi dengan taksi tersebut.
Emily segera ke meja Resepsionis, dia menanyakan keberadaan putranya.
"Sus tadi ada pasien anak kecil kecelakaan, dia ... dia memiliki kulit putih. Anaknya masih berumur 4 tahun. Dimana dia di rawat?" Ucap Emily dengan gugup.
"Maaf? anak kecil?" Tanya suster tersebut.
"Ya Sus, dia anak saya." Lirih Emily.
Suster tersebut terdiam sejenak.
"Tadi memang ada anak kecil korban kecelakaan, dia di bawa kesini oleh seorang pria. Kini anak itu di rawat di ruang perawatan VVIP," ujar suster tersebut.
Emily membulatkan matanya, dirinya merasa terkejut saat suster itu mengatakan ruang perawatan VVIP.
"AKu gak ada uang untuk bayar kamar itu." Lirih Emily.
Emily pun pergi ke kamar yang suster tersebut maksud kan. Dengan derap langkah kaki yang cepat, Emily pun sampai di depan ruang rawat.
Saat Emily akan membuka pintu tersebut, tiba-tiba saja pintu tersebut terbuka. Netra Emily terbelalak kaget, begitu pun dengan yang membuka pintu.
"M-mas Gilbert?!" Lirih Emily.
Gilbert membuka pintu saat dirinya akan pergi ke kantin rumah sakit, tak di sangka jika dirinya bertemu Emily.
Gilbert tak jauh beda dengan Emily, keduanya sama-sama terkejut dengan pertemuan kembali mereka.
Tatapan keduanya seakan terkunci, mereka tak menyangka akan di pertemukan kembali lewat putra mereka. Kebetulan yang membuat awal kisah mereka terulang kembali.
"Tuan anak itu sudah sada ... r." Asisten Kai yang tengah memberitahu Gilbert pun seketika berhenti, netranya menatap Emily yang tengah menatap Gilbert.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!