Terlepas dari masa lalu dan mantan suaminya. Syalika Azura atau yang lebih dikenal sebagai Azura. Penulis novel best seller yang sedang di gandrungi masyarakat. Karena novelnya yang laris, sehingga diadaptasi menjadi sinetron dan juga film.
Azura, adalah janda berusia dua puluh enam tahun dengan dua orang anak.
Ia menolak tawaran rujuk dari mantan suaminya. Dimana rumah tangga kedua pria yang bernama Azam itu tenaga goyah. Ketika, janda yang ia nikahi ternyata memiliki kekayaan dari hasil pesugihan. Bahkan, Jelita sempat melakukan perbuatan asusila dengan ayahnya sendiri.
Diketahui, Jelita mengincar Pak Dahlan dan Bu Mirna untuk di jadikan tumbal persekutuannya dengan iblis itu.
Bu Mirna terbaring stroke sedangkan Pak Dahlan, kecelakaan dan kini cacat. Nela yang frustrasi dikarenakan harus merawat kedua orang tuanya yang sakit, jadi sering pergi ke cafe remang-remang untuk mabuk.
Apalagi, ketika ia mengetahui perselingkuhan dari suaminya. Maka, kelakuannya semakin gila saja. Nela, bahkan selingkuh terang-terangan dengan bergonta-ganti lelaki.
Kembali pada kisah, Azura.
Satu projek novelnya yang di angkat menjadi sebuah layar lebar. Azura di pertemukan kembali dengan teman sekolahnya yang dulu sangat jahil padanya.
"Dimas, jadi ... kamu, sutradara film Ketika Cinta Berdzikir?"
"Azura! Jadi penulis novelnya itu beneran, Azura kamu?"
Kedua orang yang lama tak bertemu ini sama-sama tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing dan setelahnya tertawa bersama.
Keduanya pun mencari tempat untuk dapat mengobrol santai.
"Ya Allah, ternyata projek yang akan aku tangani ini adalah hasil karya dari temen masa sekolah ku dulu. Syalika Azura yang suka mojok sendirian di kelas, gak taunya lagi bikin cerpen." Dimas pun tertawa, kecil dengan kebetulan yang ia dapatkan.
Sungguh gaya tertawa yang sangat menawan. Giginya yang putih berbaris. Wajahnya yang terpahat begitu mempesona. Hingga, Azura menundukkan pandangannya demi menepis rasa yang tiba-tiba hinggap di dalam hatinya.
"Ya, setelah itu kertas berisi cerita-cerita lucu itu kau bawa lari. Kau jadikan pesawat kertas, lalu nyangkut ke atap sekolahan," ucap Azura setengah merengut. Meskipun masih dengan tatapannya yang sengaja melihat pada ujung sepatunya sendiri.
"Ah, Kenapa kau justru mengingat hal yang seperti itu. Aku jadi merasa bersalah padamu. Baiklah, aku akan menebusnya. Katakan, apa yang harus aku lakukan? agar dosa-dosaku padamu di masa lalu tidak Allah jadikan beban di akhirat nanti." Dimas Anggara berkata dengan mimik muka yang sangat serius. Akan tetapi tatapan matanya begitu sendu menatap ke arah wanita berpakaian serba tertutup di hadapannya.
"Iya, tentu saja kau harus menebusnya. Dengan, cara ... kau harus membuat debut film pertamaku ini dengan sangat epik," ucap Azura dengan seulas senyum tipisnya. Dimana hal itu tentu saja mendatangkan kelegaan bagi Dimas Anggara.
"Serius, cuma gitu doang? Kalo itu sih, kecil buat aku!" Kelakar Dimas bergaya sombong. Ternyata, hal itu sukses membuat Azura tertawa meskipun ia menutupinya dengan telapak tangannya.
Dimas menyeruput kembali kopi hitam yang tinggal sedikit di dalam cangkirnya. Begitupun dengan Azura, wanita muslimah dengan pakaian longgarnya demi menutupi aurat dan juga bentuk tubuhnya yang agak besar ini, terlihat menyeruput jus jeruk yang tinggal setengah gelas.
"Oh iya, ketika kita bertemu di pusat perbelanjaan saat itu, Kenapa kau tidak ada ketika aku kembali ke tempat yang sama?"
"Ah, waktu itu ... Kau terlalu lama. Kedua anakku sudah merengek minta mainan," jawab, Azura dengan senyum simpul yang tanpa sengaja ia tampakkan.
"Jadi gitu ya, ya ampun ... aku udah suudzon dong. Ku pikir, kamu masih membenciku, sehingga tidak ingin melihat wajahku lagi." Dimas pun tertawa seraya menggaruk tengkuknya.
"Hemm ... dosa lagi!" kelakar Azura sambil menggelengkan kepalanya. Kemudian, ia kembali fokus menatap kertas-kertas yang berasa di atas meja. Membaca script yang di ajukan oleh tim pembuat naskah. Apakah ada yang kurang dari susunan mereka.
Jika kalian mengira, pada saat ini Azura dan Dimas tengah berdua-duaan ... sungguh Itu adalah sebuah kesalahan besar.
Karena, mereka berada di satu lokasi yang ramai sekali dengan orang yang lalu lalang dan hilir mudik. Tentunya, dengan kesibukan mereka masing-masing.
Siang ini, Azura diminta datang ke lokasi syuting untuk bertemu dengan siapa sutradara yang akan menangani film yang diangkat dari salah satu novel best sellernya.
Terdapat, beberapa orang di kanan dan kiri Azura termasuk dengan sahabatnya Dina dan juga Setyo adiknya.
Hanya saja, mereka tidak mau ikut nimbrung dengan obrolan kedua orang yang tengah bernostalgia ini.
"Ini, naskahnya udah perfect banget. Setiap scene-nya juga tidak melenceng jauh dari novelnya. Aku suka," ucap Azura yang membuat kedua sudut bibir Dimas tertarik ke atas. Hingga di wajahnya yang tampan tercipta sebuah lengkungan senyum yang menawan.
"Ma, Heru mau jadi artis ya. Kata, Om Dimas boleh," ucap anak laki-laki pertamanya yang berusia hampir tujuh tahun itu.
"Memangnya, Heru bisa akting?" celetuk Azura yang membuat putranya itu langsung menggembungkan kedua pipinya.
Sementara, Lulu anak perempuan Azura, asik duduk manis sambil makan biskuit kesukaannya.
"Kedua anak kamu lucu-lucu ya. Aku jadi mau punya anak kayak mereka deh," ucapan Dimas sontak membuat kening Azura berkerut.
"Emangnya kamu belum nikah, Dim?"
...Bersambung...
Bukan demi kamu, saya hidup, dengan menelan semua air mata.
Bukan demi kamu, saya hidup dengan mulut yang tertutup seakan bisu.
Di dalam hati, pijar cinta akan terus menyala.
Namun, bukan untuk dirimu.
Demi mereka, ya ... semua demi mereka.
Dua malaikat kecil pengobat luka dan nestapaku.
Kehidupan ini telah membawa rentetan kejadian masa lalu.
Kenangan itu tak tertandingi di sekeliling kita sekarang ini.
Tanpa perlu bertanya, saya menerima begitu banyak jawaban.
Lihatlah pada apa yang saya inginkan, dan apa yg pada gilirannya saya akan terima.
Satu hal, satu masa.
Aku pasti akan menerima semua dengan lapang dada.
Satu hal, satu masa.
Apa yang kau tabur itu yang kau tuai pula.
Masa lalu, sejatinya bukan untuk di lupa.
Namun, tidak juga lantas membuat kita terpuruk selamanya.
Yakinlah, suatu saat kesabaran akan berbuah manis.
By: Me
___________________________
"Dimas."
Tuk tuk tuk.
"Dimas Anggara!"
"Siap pak!" Pria yang di sebut namanya sontak bangun dari lamunannya. Ia tersentak kaget, dan bertingkah absurd.
"Hadehh, yu lagi mikir apa? Ai lagi bahas projek film yang akan turun syuting bukan depan!" Seorang pria dengan hidung mancung besar khas India, terlihat kesal. Karena sejak tadi ia macam berbicara dengan tembok.
Pria tampan yang berkulit langsat ini, belum pernah tak profesional seperti ini. Dimas justru terkenal sebagai sutradara termuda yang tengah di perhitungkan kredibilitas kerjanya.
Karena, rata-rata film yang ia direct akan menjadi salah satu film yang epik dan terlihat lebih mahal. Dimas, memiliki feel dan angle yang tak di miliki oleh sutradara lain. Pemuda berusia dua puluh tujuh tahun ini, pernah menuntut ilmu perfilman di salah satu universitas luar negeri.
Dimas terlahir di keluarga yang bisa dibilang serba kecukupan. Karena kepintaran setelah beruntungnya, maka Dimas mendapatkan beasiswa dari universitas yang ia inginkan.
Sebenarnya, sang ayah menolak impian serta cita-citanya yang ingin menjadi sutradara terhebat. Membuat berbagai film bermutu dan keren.
Namun, karena sang ayah lelah mendapati penolakan demi penolakan dari Putra keduanya ini. Maka, ia pun terkesan membebaskan atau bisa dibilang masa bodo.
Beberapa tahun lalu, Dimas sempat di tarik untuk menangani projek film Hollywood. Namun, Dimas ingin memajukan industri perfilman di negaranya sendiri. Ia merasa harus memenuhi panggilan tanggung jawab dalam memberikan tontonan yang bukan hanya sekedar hiburan, tapi juga dapat menjadi sebuah tuntunan.
Sebab, itu ia mengambil ranah religi, romance dan komedi. Ternyata, tanpa ia sangka, pertemuan tak terduga itu terjadi lagi. Ketika dirinya tengah menangani sebuah projek film yang diadaptasi dari novel religi best seller.
Siapa sangka, jika teman sekolahnya yang selalu ia ganggu yang kini menjadi penulis terkenal itu. Bukan hanya itu yang membuatnya tak habis pikir. Gadis berkepang dua yang sering mojok untuk menulis dan sering ia curi hasil tulisannya itu, ternyata telah menikah dan memiliki dua orang anak yang sangat pintar dan menggemaskan.
Dimas, sangat menyukai anak kecil. Bahkan, ia sering mengajak para keponakannya untuk menginap di rumah pribadinya. Ia sangat senang jika rumahnya yang sepi ramai suara anak-anak kecil. Ia merasa hidup sebagai manusia jika seperti itu.
"Maaf, Mr. Sanjeev. Saya kurang berkonsentrasi. Saya, tidak akan mengulangi hal ini lagi. Tapi, saya mau mohon ijin ke toilet sebentar untuk mendinginkan wajah dan kepala saya, permisi." Tanpa menunggu persetujuan sang produser, Dimas tetap berlalu melaksanakan keinginannya.
Dirinya agak tidak suka ketika harus bekerja sama dengan produser pelaksana yang cerewet seperti itu. Ingin hasil film bagus, akan tetapi perhitungan sangat ketika mengeluarkan dana. Ia juga ingin beberapa bagian dari novel asli diganti.
Dimas tentu saja tidak setuju. Sebab, itu akan merusak cerita hingga akhir. Menurut Dimas, cerita aslinya tidak perlu di remake atau di modifikasi lagi. Karena struktur plot dan alurnya sudah sangat kuat.
"Ck. Kenapa dia main pergi saja, he. Ini tak betul. Jika bukan lantaran tangannya yang mampu membuat film ini menjadi epik bahkan masuk blockbuster movie, tentu Ai tidak menggunakan jasanya. Pria sok pintar, dan sok religius!" Pria berusia empat puluh dua tahun ini. Dengan kontur wajah tirus mata besar yang sayu serta kulit sawo matang. Terlihat terus-menerus, menggerutu.
Dirinya, tidak suka dibantah. Dan, Dimas adakah tipikal orang yang akan mengatakan apa yang tidak sesuai di depan, siapapun itu orangnya. Suka maka ia akan katakan suka, jika buruk maka ia akan katakan buruk.
"Hei, Dim. Udah kelar lu rapat ama, si mister Bros?"
"Bisa ganti produser gak sih kita."
...Bersambung ...
"Mana bisa! Kecuali Produser utama yang mengganti. Lu berani, ngomong sama tuan Amar Devkhan?" tanya salah satu kawan dari Dimas yang merupakan salah satu kameramen senior.
"Iya juga sih, Bang. Harus sabar sajalah sekarang. Aku harus tetap memperjuangkan projek ini. Agar tetap terlaksana seperti keinginanku dan para pembuat naskah. Bahkan, para artis juga sudah setuju dengan plot dan alurnya. Ternyata, beberapa dari mereka pernah membaca novel itu dari platform aplikasi online."
Dimas, sudah berjanji pada, Azura akan membuat film ini menjadi begitu epik. Ia tidak mungkin mengecewakan harapan dari wanita yang sebenarnya ia sukai semenjak sekolah menengah pertama dulu. Ia akan berusaha sekuat tenaga mewujudkan impian Azura. Ini adalah, debut pertama dari wanita yang sering ia jahili hanya demi menarik perhatian Azura kala itu.
Hanya saja, Azura begitu cuek terhadap apapun yang terjadi di sekitarnya. Ia selalu asik dengan dunia tulis menulisnya. Dimas, kesal merasa tak dianggap. karena itulah ia membuang setiap karya tulisan yang Azura buat. Entah sudah tak terhitung berapa kali ia membuat seorang Azura bersedih dan kecewa padanya. Karena itu, projek ini akan ia jadikan sebagai salah satu caranya untuk meminta maaf pada Azura.
_______________________
"Bagaimana, Dim. Projek mu kali ini? Kenapa masih belum syuting juga?" Seorang wanita cantik dengan jilbab instan tengah menuangkan nasi ke dalam piring. Usianya memang sudah tak lagi muda, akan tetapi hanya ada beberapa kerutan yang tercetak di wajah pribuminya.
"Awal bulan, kita sudah mulai syuting, Um. Karena itu, Dimas akan bolak balik Jakarta –Brunai dan terakhir kita ke Dubai," jelas Dimas yang terlihat menuang air mineral ke dalam gelasnya yang panjang.
Malam ini sesuai janjinya, ia akan menginap di kediaman kedua orang tuanya. Katanya, sang ayah yang bernama Jaydan Akbar ingin bicara penting. Karena itulah, Dimas berada di sini. Menikmati masakan buatan sang umma. Wanita yang telah melahirkannya di atas pesawat.
Panjang ceritanya. Mungkin, nanti akan kita bahas jika kalian semua penasaran.
"Umma mau panggil ayah dulu ya. Tidak biasanya pria tua itu terlambat turun."
Baru saja, Fatika ingin menaiki undakan tangga pertama. Pria yang telah membersamainya mengarungi biduk rumah tangga selama tiga puluh tahun ini, terlihat turun dengan senyum penuh kharisma. Hingga detik ini, Fatika selalu dibuat jatuh cinta oleh suaminya itu.
"Wah, direction papan atas tenyata sempat juga datang kerumah kita, Um," sindir Jaydan dengan lengkungan senyum.
"Yuk, kita makan, Yah. Biar aku yang pimpin doa." Dimas mengehentikan cibiran sang ayah dengan mengajaknya makan. Ia memang harus selalu mempersiapkan mentalnya untuk menghadapi sang ayah.
Entahlah, meskipun Dimas telah membuktikan bahwa profesi pilihannya ini telah memberi kehidupan mandiri yang layak padanya. Tetap saja, Jaydan sang ayah. Melihatnya sebelah mata.
Jaydan, menginginkan satu-satunya, anak lelakinya itu meneruskan usaha yang secara turun temurun di kelola oleh keturunan keluarga Akbar.
Setelah mereka selesai makan.
"Maaf, Yah. Dimas datang kesini dan bermaksud menginap di rumah ini lantaran, aku ingin merangkai hubungan kita. Di saat keadaan masing-masing dari kita yang sangat sibuk. Setidaknya aku telah berusaha untuk meluangkan waktu untuk kebersamaan kita. Kenapa, Ayah selalu mengacaukan momen seperti ini dengan permintaan Ayah yang terdengar sedikit egois."
Begitulah, karakter Dimas. Bahkan dengan orang tuanya sendiri. Jika dirinya tak suka maka ia akan katakan tak suka. Ia akan terus berdebat sampai mereka mendapatkan kesepakatan dalam hal apapun itu. Termasuk, berpaa gaji tukang kebun di kediaman sang ayah.
"Setidaknya, berbaktilah pada kami dengan cara seperti ini, Dimas!"
...Bersambung ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!