'RUMAH'
Apa yang bisa kalian definisikan mengenai rumah?
Mungkin bagi kalian, rumah adalah tempat tenyaman untuk beristirahat. Tempat terindah untuk berbagi keluh kesah. Dan bahkan mungkin tempat terhangat untuk menyalurkan segala dingin yang dialami di luar sana.
Namun, bagiku rumah itu neraka. Penuh luka, tangis, bahkan sayatan yang tak terlihat. Jiwa ku hampir remuk, saat seseorang dengan lantang menghina ku di depan orang banyak. Batinku begitu hancur, tatkala harus di hadapkan dengan seonggok ocehan yang tak berujung.
Aku tak tahu, sampai kapan luka ini berakhir. Mencoba untuk tertawa itu bukanlah hal yang mudah.
Aku seperti manusia bertopeng!
Yang berusaha menutupi luka dengan wajah ceria.
***
Hingga di satu pagi, aku terbangun dengan rasa terkejut tatkala mendengar teriakan dari luar kamar.
"Naraa.. Naraaaaa.. Bangun lo! Capek punya anak gak bisa di urus!"
"Dasar beban keluarga!"
"Liat abang-abang lo, contoh mereka anj*ng!"
"Naraaaaa..!"
"Anak sialan, bangunn!"
[ Ya, gadis itu bernama Nara Myesha Putri. Ia terlahir dari rahim seorang ibu bernama Desi. Jika ada yang menanyakan perihal ayahnya, ia sudah meninggalkan Nara sejak umur 15 tahun. Dimana malapetaka itu mulai muncul bertubi-tubi saat ayahnya pergi ]
Aku, sudah biasa mendengar ucapan brutal dari mama.
Kala itu, aku langsung menyahuti ucapan mamaku yang begitu marah. Dan bergegas membuka pintu kamar.
"Iya mah, sebentar." ucapku pelan.
Aku terkejut bukan main, ketika melihat kedua tangan mama memegang senjata andalannya, yaitu cambuk dan belati.
Aku menatap takut pada mama. Namun, mama tak menghiraukan.
'Sekeji itukah aku di mata mama?'
'Kenapa mama tidak pernah memperlakukan ku layak kedua kakak ku?'
'Aku takut Ya Tuhan, tolongg.'
Tanpa izin, mama menerobos masuk kamarku,
Meski aku sudah biasa tersiksa dengan segala luka.
Tapi tetap saja, jika mama memegang benda di tangannya tubuhku akan bergetar dengan hebat.
"Tiarap lo!"
Tak bisa di pungkiri, aku memang salah. Aku hanya bisa menuruti semua keinginan mama.
Hingga satu cambukan mendarat di punggungku.
Sekali cambukan, aku masih bisa menahannya. Dan pada cambukan ke-10 aku tak sanggup menahan sakit yang luar biasa. Perih, itu yang aku rasakan saat itu.
"Awsshhh.. sakitt maaa."
Ucapku dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Gue gak peduli, setan!"
"Suruh siapa bangun telat."
"Dasar gadis pemalas!"
"Rasakan ini semua Nara Myesha Putri."
"Beban keluarga!"
"Anj*ng, Bangsat lo!"
"Benci gue sama lo!"
Umpatan demi umpatan terus terdengar dari mulut mama. Aku tidak tahu letak salahku, padahal pagi itu masih jam 5 subuh.
Badanku begitu sakit, perih, serasa hancur begitu cambukan genap di angka 50.
Mama, menatap wajah ku dengan tatapan benci!
Kemudian mengeluarkan belati yang ia simpan di atas nakas kamarku.
"Rasakan semua penderitaan yang gue alami, anak sialan!"
"Awashhh.. perih maa.. hiksssss"
Kala itu, aku benar-benar tidak bisa menahan perihnya luka di pipiku. Dimana kini luka baru itu terkena air mata yang baru saja mengalir.
Sakit, perih, linu. Itu semua ku rasakan!
Hingga aku mulai merasakan darah segar keluar dari pipiku dan menetes ke sprei kasur ku.
'berdarah lagi. bahkan ketika luka kemarin belum kering.' batinku.
Setelah menyiksaku, mama beranjak keluar kamar dan dengan kerasnya menutup pintu kamarku.
Kaget, sangat-sangat kaget!
Bahkan aku tidak bisa duduk dengan benar kala itu. Rasa perih dibarengi memar serta aliran darah begitu terasa di punggung dan pipiku.
Aku menatap nanar tubuhku di sebuah cermin besar di pinggir lemari.
"I don't love my self" ucapku dengan tatapan nanar melihat tubuhku penuh dengan luka.
'Benci'. Satu kata yang keluar ketika melihat wajahku.
Aku saja membencinya, apalagi oranglain?
Bukan-bukan!
Bukan orang lain, tapi wanita yang telah melahirkan ku.
***
Di sisi lain, aku telah bersiap dengan seragam ku. Berusaha sebisa mungkin untuk menutupi luka sayatan itu dengan plester yang sengaja aku stok dengan banyaknya.
Tapp Tapp Tapp
Aku mulai berjalan keluar kamar. Tidak ada yang peduli, denganku. Bahkan kini kedua kakaku sangat sibuk dengan gawainya masing-masing.
"Pagi adik pembawa sial." ucap kakak pertamaku, Roy.
"Gue bukan pembawa sial!" jawab ku kala itu.
"Kalo lo bukan pembawa sial, mana mungkin papah meninggal, B*go!!!" serang kakak kedua ku, Rayhan.
Baru saja aku akan menjawab perkataan kedua kakakku, mama datang dengan ucapan brutalnya.
"anj*ng lo! berani bentak anakku? keluar dari rumah ini, cepat!"
ucap mamaku, dengan telunjuk yang mengarah ke pintu depan.
Aku hanya bisa menahan kekesalan dari sikap mama. Bukan kesal, tapi kecewa! Kecewa yang sangat dalam.
Aku berlalu keluar dan bergegas menuju sekolah.
Bagiku, dunia luar adalah tempat yang lebih baik daripada di rumah.
Aku bisa saja melupakan sejenak masalah keluargaku, dengan tertawa riang bersama teman-teman ku.
'mama.. aku sangat menyayangimu! Bagaimanapun, mama udah melahirkan ku. tapi sikap mama.. ' gumamku dalam hati.
Tak terasa air mata menetes dari pelupuk mataku.
Begitu perih, dan terlukanya aku!
'Ayah mengapa aku di perlakukan berbeda?'
Ingin sekali mengadu setiap permasalahan kepada ayah, tapi apa boleh buat?
Haruskah aku mati agar bisa bertemu dengan ayah kesayanganku?
Tidak! Aku tidak boleh mati, sebelum mama menyadari kesalahannya dalam mendidik anak. Aku akan tetap tumbuh menjadi wanita kuat!
***
Tak terasa 20 menit perjalanan begitu singkat bagiku.
Kini aku telah sampai di sekolah.
Bertemu sahabat dibangku SMA, bisa sedikit memberikanku rasa syukur, bahwa masih ada orang yang menyayangiku.
"Haii Bestieeeee!!" seru Nesha padaku.
"Ohh, haiii. udah lama disini nes?"
"Lumayan."
"Langsung ke kelas yuk." ajakku.
Nesha, yang menyadari ada pelester yang membentang di pipiku, ia langsung menghentikan jalannya dan beralih menatapku.
"Umm wait! Pipi lo.. " ucap nya kemudian dengan tangan yang hampir saja menyentuh luka sayatan itu.
"Ah ini tadi gue gak sengaja kena pager tetangga." ucapku sekenanya.
Aku memang bukan tipikal orang yang senang curhat, bahkan sahabat dekat pun tidak tahu menahu masalah ku di rumah.
"Anjirr.. lu mau maling mangga apa gimana ra?"
"Emm ituu gak sengaja! Udalah ayo ke kelas."
Aku sesegera mungkin mendesaknya agar mau beranjak dari parkiran.
Ketika melewati lapangan, aku merasakan sakit luar biasa di punggungku.
"Raa, Awasssss!" pekik siswa tampan di sekolahku.
DUK!!
"Awsshhh"
Sakit!
Bahkan perih kembali terasa, saat bola basket mengenai punggungku.
Fino, lelaki itu mengernyit ketika melihat bercak darah di baju seragam ku.
"Lah raa, itu lo kok berdarah?"
"Bukan-bukan, ii-iniii bu-bukan darahh, fin."
Perasaan takut, nyeri kini campur aduk!
Iya, aku takut temanku tahu jika aku anak broken home! Aku tidak mau jika harus di kasihani dengan alasan kurang kasih sayang.
"Terus itu apa ra? gue anter ke UKS ya."
"Gak usah fin, gue sama Nesha aja."
Aku segera beranjak pergi dari lapangan itu, dan menarik pegelangan tangan sahabat ku.
"Fin, dia parah gak?" tanya Robi kemudian
Fino hanya menggelengkan kepalanya.
"Aneh!"
"Aneh kenapa Fin?"
"Padahal kan tadi cuma terkena bola basket, tapi kok bisa ada bercak darah di bajunya?"
"M-maksud lo?"
Robi yang panik pun merasa gugup, dan merasa bersalah padaku kala itu.
"Jangan-jangan diaa.. " Ucap Fino terpotong saat mendengar bunyi bel.
Kriingg.. Kriinggg.. kriingggg
Kringgg.. Kringgg.. Kringg
'aish kenapa gue kepikiran soal Nara sih'
ucapnya dalam hati.
"Lah fin, ayok masuk" Ucap Robi kemudian.
***
Kini aku tengah memasuki kelas, dimana disini begitu ramai. Berbeda dengan di rumah! Disana terdapat banyak keheningan, sekalinya ramai, ramai oleh cemoohan.
Menjadi diriku, sangat berat! Aku tidak yakin, kalian mampu bertahan jika berada di kondisi yang aku alami.
"Ra bengong mulu" ucap Nesha
Seketika itu lamunan ku buyar dibuatnya.
"Elah bukannya jawab, diem-diem bae." tukasnya kembali
Aku hanya melirik sekilas kepada nya.
"Btw itu tadi lo kenapa bisa ada bercak darah ra?"
'Pertanyaan itu'
Sebuah pertanyaan, yang membuat aku bingung bagaimana untuk menjawabnya.
"Ah itu mungkin bolanya kotor nes."
"Bola? kotor?"
"jawaban lo gak masuk akal, ra!"
Tukasnya kemudian.
Aku, hanya diam. Tanpa sepatah kata yang keluar lagi.
Bingung harus bagaimana menjawab pertanyaan dari Nesha.
Hingga Nesha kembali membuka suaranya.
"Ra, nanti pulang sekolah ada hal yang mau gue omongin sama lo."
Ada perasaan campur aduk, kala itu. Aku takut jika ia akan menagih penjelasan langsung dariku.
Tapi, sesegera mungkin aku menepis pikiran itu!
"Oke"
Hanya mengangguk mantap menjawab ajakan sahabatku.
Pelajaran demi pelajaran telah aku lewati, hingga bel pulang pun berbunyi.
"Ra, ayok!"
Aku berjalan mengikuti langkah sahabatku.
Terlihat di seberang sana, ada Fino dan Robi yang melihat ke arahku dengan tatapan yang tak bisa di artikan.
Hingga sampailah waktu itu aku berhadapan dengan mereka.
"Raa.." sapa Fino padaku.
"Iya fin?"
"Are you oke?"
aku merasa heran dengan ucapannya. Ia seperti tau apa yang aku rasakan.
"I'm fine."
"Ra buru lah ege, time is gold woii!"
Nesha, menarik pergelangan tanganku. Aku pun beranjak pergi meninggalkan Robi.
***
Taman Kota
"Nessss.."
"Duduk ra!"
"Mau bicara apa?"
"Raa, pliss terbuka sama gue!" Ucapnya dengan memegang tangan ku.
Aku kaget sekaligus bingung dengan ucapannya.
'Terbuka'
'Apa yang dia maksud adalah terbuka masalah ku?'
"Terbuka, maksudnya gimana nes?"
"Ra, gue tau lo lagi mengalami luka batin kan?"
Perkataan itu, benar-benar membuatku berkecamuk. Bingung dan takut!
Aku bingung harus menceritakannya atau tidak, dan aku takut jika harus kehilangan sahabatku.
"Pliss ra jawab!"
"Kenapa lo tiba-tiba tanya gitu?"
"Jawab atau kita gausah sahabatan lagi!" tukasnya.
"Tapi.. nesss."
"Ra kita itu sahabatan udah lama, kenapa lo harus sembunyiin semuanya dari gue ra? kenapaaaa? lo gak nganggep gue sahabat? iyaa? hah?" ucapannya membuat hatiku bergetar, belum lagi ia menumpahkan air matanya di depan aku.
"Aku cuma belum siap, nes!" ucapku kemudian.
"Sampe kapan ra? sampe kapan lu tertutup sama gue? hiksss.. hiksss"
Aku hanya bisa meneguk saliva ku ketika mendengar ucapan Nesha. Aku merasa begitu di pedulikan olehnya.
"Raa.. jawab! Lo sering di siksa kan?"
"JAWAB RAAAA!"
"IYA NES, IYAA GUE ANAK BROKEN HOME. PUAS LO.. hikss hikss"
Kala itu aku benar-benar tidak bisa menghindar dari pertanyaan sahabatku.
"Cerita sama gue, apa yang udah nyokap lo lakuin ra?"
Ia kembali memegang tanganku.
"Lo gak perlu tau, nes! its my privasi. Pliss hargain privasi gue."
"Kalo lo gak mau kasih tau, biar gue yang cari sendiri ra."
Nesha beranjak pergi meninggalkanku di sudut taman kota itu.
Aku menangis histeris. Beruntungnya saat itu taman sedang sepi, hingga aku bisa dengan leluasa meluapkan emosiku.
"Aarrrggghhhhh......"
'kenapa semua harus terjadi padaku?'
'sudah cukup aku kehilangan ayah, tolong jangan ambil sahabatku Tuhan'
***
Di sisi lain,
Robi dan juga Fino tengah mengintip di semak-semak dekat lampu taman.
"Gak nyangka gue, fin."
"Tapi dia selalu ceria dan tertawa dengan riang."
ucap Robi kemudian.
"Mungkin dia menutupi luka itu, rob."
Tiba-tiba..
DUKK
Terasa ada tangan yang menepuk bahu mereka berdua.
Mereka kaget!
Takut jika Nara yang menepuk nya.
Namun ketika pandangan mereka mengarah pada kursi taman, Nara masih menangis disana.
Sesegera mungkin, mereka membalikkan badan.
"S-sorry nes, gue gak ada maksud buat ngikutin kalian."
"iya nes, apa yang Fino bilang itu real."
"Tolong gue mohon, jangan marah nes." ucap Robi padanya.
"Gue gak akan marah kalo kalian mau bantuin gue."
"Bantuin apaan?" ucap mereka berdua.
"Ayok ikut gue!"
Tukas Nesha kemudian.
Mereka bertiga pun langsung menuju ke rumah makan yang ada di seberang Taman Kota itu.
"Tunggu, lo tega banget ninggalin Nara disana, nes!" sinis Fino padanya.
"Dia berhak sendiri untuk meluapkan segala emosinya, fin."
"Btw.. lo tadi mau minta bantuan apa nes?" seru Robi tiba-tiba.
"Oke jadi giniii........ "
***
Di rumah mewah tampak seorang wanita paruh baya sedang berkacak pinggang di halaman rumahnya.
"ma, kenapa sih kek setrikaan aja?" seru Roy kemudian
"liat Roy, adek kamu si Nara jam 4 sore belum pulang." seru mama dengan menunjukkan jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Gak, Roy gak punya adek!"
"Dia udah bunuh papah mah!"
Ucap Roy dengan mengingat kejadian yang lalu.
"Sudahlah kamu masuk sana!"
10 menit kemudian..
"Kemana itu anak sialan! Awas aja kalo dateng gue bejek-bejek tu wajah!"
Sreettt.. Sreettt..
Setelah lama aku menenangkan diri, aku kembali ke rumah. Terlihat disana ada mama yang sedang menunggu dengan wajah merah padamnya.
"Assalamu'alaikum, mah."
Baru saja aku akan mengecup tangan mama, namun mama dengan segera menggores tangaku dengan belati.
"Awwwww.. maaa."
"kenapa? gak usah lebay jadi anak!"
"masuk ke kamar, gue tunggu! Cepaatttt!"
Hufftt..
Baru saja tadi pagi mama menyiksaku. Apakah sekarang mama akan menyiksaku lagi?
Aku begegas masuk ke kamar, dan mengganti pakaianku.
Tiba-tiba ada tangan yang mendorong ku dengan keras, dan bughhh kepalaku terbentur tembok.
Begitu tersasa linu dan sakitt, tapi aku berusaha menahannya. Dan melihat, siapa yang telah mendorong ku.
"Mamaa!" pekiku
"Habis ngelonte kamu yah?"
"Enggak ma.."
"Bohongg!"
"Anak cewek kok pulang menjelang maghrib!"
"abis ngapain kamu anak sialan?"
Mama terus memukuli ku dengan cambuk yang selalu ia pegang tatkala melihatku.
"Ampunn maaa! cukuuppp!"
"tidak ada kata ampun untuk anak pembangkang, dasar bedebah!"
"hiksss.. hiksss.. hikssss..."
Aku tidak bisa melawan, hanya ada suara isakan dariku saat mama menyiksaku.
Mama terus mencambuk ku dengan ganas, hingga kini bukan hanya punggungku yang terluka. Namun juga tangan, kaki, dahi, bahkan sekujur tubuhku begitu banyak memar-memar yang terlihat.
Setelah puas menyiksaku, mama mengguyur ku dengan air dingin yang sengaja ia sediakan dalam botol ukuran besar.
Byuuurrrrr
Aku yang sedang menahan sakit, sangat kaget dengan perlakuan mama.
'aku kira, mama sudah keluar kamar'
Kini lukaku amat perih, tubuhku menggigil dingin.
"Jangan pernah macam-macam sama saya, atau anda akan mendapatkan siksaan lebih dari ini."
seketika ucapan mama menjadi formal saat bicara denganku.
Aku hanya bisa meringis. Sakit, perih, linu, semua badanku seperti remuk. Aku berusaha berdiri dengan tertatih-tatih. Mencoba mengganti pakaian ku yang berlumur noda darah itu.
Aku tidak tahu apa yang akan mama lakukan selanjutnya.
***
Di sisi lain, ada 3 orang yang sedang menguping di samping jendela rumah Nara. Mereka masih mengenakan seragam sekolah nya.
"Anjirr.. Ngerii!" sahut Robi
Mereka hanya bisa menahan linu ketika mendengar suara cambukan di dalam kamar Nara.
"Ssttttt..." ucap Nesha pada kedua lelaki itu.
"Udah ayo kita pulang!"
Fino, sempat tak bisa menahan amarahnya. Namun kedua temannya menahan Fino agar tidak bertindak gegabah. Hingga akhirnya ia mengajak untuk segera pulang.
Prangggg..
Fino menyenggol satu pot kecil di pinggirnya.
"Anjj.. luuu!" ucap Nesha dengan bola matanya seperti hendak keluar.
"Siapa itu?"
"Siapa disana?"
DEGGG..
Tapp.. Tapp.. Tapp..
Suara langkah kaki semakin terdengar di telinga mereka.
Jantung mereka bertiga bedegup kencang, ditambah keringat dingin yang membasahi tubuhnya.
Dak dik duk
Hingga satu langkah lagi Desi akan sampai ke samping rumahnya.
Namun, ketika ia hendak membalikkan badannya.
DORRRR..
Suara Reyhan mengejutkannya!
"Ee kodokk kodokkkk kodokkk!"
hahahahaha.. tawa menggema Rayhan membuat telinganya berdengung.
"Astaga, kesambet apa kamu Rayhan?"
"Lagian mama ngapain ngendap-ngendap kayak maling?"
"Tadi mama dengar suara pecahan pot, disini."
"Halah, paling itu kucing mah."
"Tapi mama penasaran."
miawwww miawwww miawwww
Suara Robi menirukan suara kucing semirip mungkin.
"Tuhkan, ayolah masuk mah. Ray laperr."
Mereka berdua pun masuk ke dalam rumah.
Tanpa mereka sadar ketiga orang yang berada di samping rumah menghembuskan nafasnya lega.
"Hhhhhhh.. "
"lega gue" ucap Fino
"Gas lah kita pulang!" ucapnya lagi
"Gas" jawab Nesha dan Robi.
Dan tanpa mereka ketahui aku tengah mengernyit heran dengan suara yang ada di luar.
'Apa itu ulah Birly?'
[ Birly adalah kucing peliharaan Nara. Namun, Desi alias mama Nara tidak pernah mengizinkannya untuk membawa ke dalam rumah. Menurutnya kucing itu jorok dan bau. ]
'Kalo iya Birly, dia bisa di siksa'
skip_
Malam itu, aku sama sekali tidak bisa tidur dengan lelap. Dimana kini aku merasakan kasurku sudah tidak nyaman. 'Ralat' bukan kasur yang tidak nyaman, tapi karena luka ini yang terlalu banyak sehingga menyebabkan ketidaknyamanan ketika tidur.
Jika aku terlentang, punggung ku sangat sakit. Jika aku ke samping tangan ku juga masih ngilu.
Apa aku harus tengkurap? Setidaknya nyeri di pahaku masih bisa aku tahan.
***
Pagi harinya, aku benar-benar sulit untuk bergerak. Bahkan tubuhku sangat berat.
Aku sedikit demi sedikit menggerakkan badan ku, tapi gagal.
"Awsshhh.. sakiiitt"
'Badan yang penuh memar ini harus aku paksakan bergerak'
Aku tahan rasa sakit itu, dan akhirnya berhasil!
Aku langsung ke kamar mandi untuk mengelap tubuhku.
"Jika di lap saja sakit, bagaimana kalo di siram air?"
Hingga kegiatan itu selesai, aku tidak langsung keluar dari kamar mandi.
Sejenak, aku memandangi wajahku dengan tatapan kasihan.
Bagaimana tidak kasihan? Di pipi ada bekas sayatan, di dahi bekas benturan, punggung tangan kaki? penuh dengan luka bekas cambukan.
Saat aku hendak keluar dari kamar mandi, betapa terkejutnya ketika melihat mama sedang berdiri di hadapanku.
"Maa, ada apa?" tanyaku, pelan.
"Hanya ingin melihat anak sialan!" tukasnya, dengan menjambak rambutku keras.
"Awwww.. sakiiitt, maaaa lepasiinnn" teriaku.
Mama pun langsung melepaskan jambakan itu, dan berlalu pergi keluar dari kamarku.
'hufftttt.. '
Aku langsung saja keluar dan mengganti pakaian ku.
Aku tidak berniat untuk mengikuti ritual sarapan bersama mereka, karena aku yakin tidak ada orang yang menginginkan ku di meja itu.
Buktinya, ketika aku langsung keluar rumah pun mereka sangat acuh seolah-olah tidak melihatku.
"Udah mulai gak sopan tu si anak sialan."
Dua anaknya hanya bisa berdehem mengiyakan ucapan Desi.
***
Broommm.. Broommm.. Broommm..
Ku lajukan motorku dengan kecepatan sedang. Bukan tak punya mobil, namun satu-satunya mobil hadiah dari Ayah sudah di rampas oleh Kak Roy.
Tak bisa ku bayangkan, jika aku terus berada di rumah aku bisa kehilangan nyawa dengan sangat konyol.
'Aku ingin seperti orang lain yang sukses di usia muda.'
Tinn.. Tinn.. Tinn..
Seketika suara kelakson motor di seberang sangat mengagetkanku.
Aku segera menepi, setelah tau bahwa jalan yang aku ambil adalah jalan hak pengendara lain.
"Woiii.. kalo nyetir motor itu jangan sambil melamun b*go!" Umpat sang pengendara itu padaku.
"Cantik-cantik kok melamun."
"Masih muda, beban pikirannya udah banyak.. hahahhaa."
"Kamu masih terlalu muda untuk stres dek, cari kebahagiaan mu sendiri! Lawan takdir ituu." ucap seorang lelaki yang umurnya mungkin tak jauh dariku.
"Eee.. iya maaf Pak, kakak, bu."
Aku pun langsung kembali ke jalur jalanan ku. Masih beruntung takdir berpihak padaku, bisa saja aku tertabrak pengendara lain akibat kelalaian ku.
Tiba-tiba terbersit ucapan Kakak pengendara motor tadi.
'Lawan takdir ituu, dan cari kebahagiaan.'
'Apaaa ku bisaa?'
Ah, sudahlah yang terpenting hari ini aku bertemu Nesha. Ia adalah sumber dari kebahagiaanku saat ini.
"Nes.. Neshaaaaa.." teriakku padanya.
"Hai ra.. Are you oke bestie?" ucapnya dengan tatapan , yang baru kali ini aku lihat dari matanya.
"Gue? Gue selalu oke kapan pun nes." ucapku dengan senyum getir dalam hatiku.
Nesha yang menyadari kebohongan itu, hanya bisa bergumam dalam hatinya.
'Bohong'
"Ayok ke kelass!" sahut ku dengan wajah ceria.
Dibalik wajah ceriaku, tersimpan rasa sakit saat terus melangkahkan kaki.
Nesha yang menyadari itupun langsung menghentikan langkahnya.
"Wait ra.."
"Iya kenapa?"
"Lo jalannya kek nahan sakit gitu sih?"
"hah?"
"Iyaa. Gue tanya sekali lagi, are you oke?"
Ucap Nesha dan tanpa sengaja menyenggol lengan bekas cambukan itu.
"Awsshhhh.. "
"Lah, tangan lo gak ada luka tapi kek sakit sih"
ucap Nesha dengan terus memijat-mijat tanganku.
"Awww.. sakit nesss."
"Eee yaudah mau ke UKS?"
"Ke kelas aja deh."
Hal itu pun langsung di angguki oleh Nesha.
***
Jam terus berganti, hingga kini tiba waktunya istirahat.
"Raa kantin yuk!"
"Emm, nitip aja nes. Boleh gak?"
"Mmm.. mau nitip apa lo?"
"Baa-"
Ucapanku terpotong saat melihat Fino dan Robi di ambang pintu.
"Gak, kalian gak usah ke kantin. Ini gue bawa makanan kesukaan lo Ra." ucap Fino
"Dan ini buat lo." seru Robi pada Nesha
"Thanks ya, nanti gue ganti uangnya, fin."
"Lo pikir gue semiskin apa Ra?"
"Gue cuma gak enak, fin."
"Dah makan aja tu."
Aku pun dengan lahap memakan makanan yang di berikan Fino.
"Ee.. Nes lo ada minum?"
"Gue gak ke kantin loh, mana ada gue punya ege."
Aku hanya bisa menahan haus yang luar biasa.
Hingga satu tangan pun terulur memberikan sebotol air mineral padaku.
"Nih.."
"Makasih, Fin."
Baru saja aku mau meminumnya, Nesha menyenggol ku. Air itu tumpah pada lenganku.
Degg..
'Foundation itu, pasti luntur'
Saat aku menarik lenganku, tiba-tiba Nesha mengambil sebuah kapas dan mengelap tanganku.
"Jangan, Nes.. "
"Why?" tanya Fino.
"Ee.. nanti juga kering sendiri kok." ucapku
"Iya kering, tapi lama egee." sahut Nesha padaku.
"Njirr bbajasa lo dari kemaren bar-bar bett ness." ucap Robi di sela-sela itu.
Nesha mengacuhkan ucapannya itu.
Dannn..
"What is this?" tanya Fino pada lukaku.
"Emmm, bukan ini.. bu-bukan apa-apaa.."
Aku benar-benar gugup dengan situasi saat ini.
"Bukan apa-apaa lo bilang, Raaa?" Nesha terlihat begitu geram padaku saat itu.
"Yang jelas ini luka, ra.." sambar Robi kemudian.
"Nanti juga sembuh kok."
"Bilang sama kita siapa yang udah buat lo kayak gini?" Ucap mereka serentak.
Hal itu membuatku membulatkan mata, karena.. Aku tidak mungkin memberi tahu pada mereka jika mama lah yang melakukannya.
"Naraaa Myesha Putriiiii.." Ucap mereka kembali.
Itu membuatku benar-benar tekejutt.
"Mmmm... ee.. iniii, anuuu.. "
"NARAAAAAAA......"
"iyaa iyaaa gue kasih tauu."
"SIAPAA?"
Lagi-lagi mereka berbicara dengan kompaknya.
"Jadiii.. Yang lakuin ini semua ituuuu..."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!