Seorang wanita berlari masuk ke rumah sakit dengan anak kecil di gendongannya. Peluh bercucuran, begitupun dengan air mata. Penampilannya benar-benar sangat menyedihkan. Meskipun rasanya dia sudah ingin mati, tapi dia tidak bisa menyerah sebelum mereka sampai di UGD, rumah sakit.
"Dok, tolong anak saya, Dok. Dia tiba-tiba pingsan!" ujar wanita itu kepada dokter jaga di UGD. Dia menyerahkan Ezra, bocah berumur 5 tahun pada perawat. Seolah menolak untuk paham, wanita itu hendak masuk ke UGD, tapi di tahan oleh dokter yang akan memeriksa anaknya.
Nabila, 27 tahun, menjadi pengangguran setelah 5 tahun lalu bersinggungan dengan seorang Mafia kejam. Hari-harinya suram seketika, semua akses tertutup. Baik pekerjaan, atau usaha yang dia geluti selalu gagal tak bertepi. Asuransi kesehatan miliknya dan sang anak tidak bisa dia klaim, uang tabungan semakin menipis dan dia tidak bisa melakukan apapun. Bahkan Nabila tidak malu untuk menjadi buruh cuci gosok, meskipun dulu dia adalah seseorang yang sangat berbakat dalam dunia kerjanya.
"Tenang ya, Bu! Kita periksa dulu, keadaan pasien!" jawab dokter itu, kemudian masuk ke UGD.
Jantung Nabila berdegup sangat kencang. Entah apa yang terjadi pada anaknya hingga dia bisa berakhir pingsan seperti itu. Nabila hanya takut penyakit anaknya semakin memburuk karena dia sudah tidak bisa memberikan pengobatan terbaik. Keringat dingin membanjiri wajah Nabila, tangan dan lututnya bergetar hebat. Sungguh, jika dia bisa, dia ingin menggantikan anaknya untuk berada di dalam.
"Ya Allah, semoga kamu baik-baik aja, Nak!"
Beberapa saat kemudian, pintu UGD terbuka. Dokter tadi kembali menghampiri Nabila dan tentu saja Nabila mendekati dokter tersebut dengan perasaan tak menentu. Bulir-bulir kristal meluncur keluar, tanpa permisi. Tangannya mengusap air mata kasar, bibirnya menyunggingkan senyum tipis.
"Bagaimana, Dok? Anak saya baik-baik saja, bukan?"
Dokter itu menunduk cukup dalam, matanya kembali menatap wajah Nabila setelah dia merasa siap. "Maaf, Bu. Kami curiga jika kondisi ginjal anak ibu sudah semakin memburuk, kami akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Tapi, Ibu harus bersiap, anak Ibu harus segera mendapatkan donor ginjal agar kita bisa segera mengoperasi pasien."
Inalilahi wainailaihi rojiun. Nabila ambruk di lantai rumah sakit. Apa yang dia takutkan benar-benar terjadi. Kondisi anaknya semakin memburuk, apa yang harus Nabila lakukan? Jika dia bisa mendonorkan ginjalnya untuk Ezra, dia pasti akan dengan senang hati memberikan ginjal miliknya padanya. Di mana dia harus mencari pendonor dan juga uang untuk biaya operasi. Untuk makan saja sudah sangat sulit. Meminta pinjaman juga tidak mungkin karena orang-orang sudah tidak ada yang mempercayainya.
"Astaghfirullah," gumam Nabila menekan dada sebelah kirinya yang terasa sangat sesak. Kepalanya tertunduk, air mata semakin lama semakin deras. Hatinya hancur, dia bingung harus melakukan apa. Dia tidak mau kehilangan Ezra yang sudah menemaninya selama 5 tahun ini. Tapi apa yang harus dia lakukan?
Nabila bangkit, dia langsung mengejar dokter yang sedang berjalan di koridor rumah sakit itu. "Dok!" panggil Nabila. "Sambil menunggu kabar dari rumah sakit, saya akan mengusahakan untuk mencari donor untuk anak saya, bisakah jika anak saya pindah ke ruangan dulu. Saya mohon, Dok!"
Sura Nabila terdengar sangat memilukan, dia masih memiliki sisa-sisa tangis. Namun, sangat berusaha untuk berbicara dengan nada suara yang normal.
"Coba ke bagian, administrasi saja, Bu," jawab dokter itu. Nabila mengangguk, buru-buru dia berlari ke meja administrasi. Tangannya terulur, merogoh kantong kecil yang ada di dalam tasnya.
"Sus, saya bayar segini dulu. Nanti kalau ada tambahan biaya saya akan membayarnya lagi!"
Tangan Nabila bergetar saat menyerahkan lembaran merah kepada suster itu. Ini adalah uang terakhir yang dia miliki. Setelah ini, Nabila tidak tahu apa dia masih bisa bertahan hidup atau tidak. Yang terpenting sekarang adalah Ezra. Malam ini dia akan mencari pinjaman ke seluruh sudut kota, dengan harapan, akan ada orang baik yang mau membantunya.
....
Langkah kaki Nabila semakin gontai. Sudah puluhan orang dia hubungi untuk minta pinjaman, tapi tetap saja. Hasilnya nihil, Nabila tidak mendapatkan apapun. Hanya cemoohan yang dia dapat. Hanya tatapan meremehkan yang mereka berikan. Nabila masih bisa mendengar dengan jelas apa yang kerabatnya katakan padanya.
"Kalau sudah tahu tidak punya uang, biarkan saja Ezra meninggal, berhutang juga percuma. Tidak mungkin Ezra mendapatkan donor ginjal. Hutang kamu yang kemarin juga belum di bayar, sekarang malah mau berhutang lagi. Seharusnya kamu malu."
Inalilahi, bagaimana mungkin seseorang yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengannya begitu tega mengatakan hal menyakitkan seperti itu. Nabila bukan meminta, dia hanya ingin meminjam. Jika dia mendapat uang, dia pasti akan membayar semua hutangnya. Tapi mulut orang-orang itu benar-benar sangat kejam.
"Ya Allah, kemana lagi aku harus mencari pinjaman, sekarang sudah sangat malam. Tapi aku belum menemukan titik terang. Tolong permudah semuanya untukku ya, Allah."
Nabila kembali menyusuri trotoar di jalanan itu dengan kepala tertunduk. Kakinya terus melangkah tak tentu arah. Harus ke mana dia sekarang, semua temannya hilang setelah tahu jika dia jatuh miskin. Kedua orangtuanya sudah tiada, tidak ada yang bisa dia mintai tolong selain dirinya sendiri. Tapi, sekarang dirinya pun sudah tidak berguna.
Tin! Tin! Tin!
Suara klakson mobil begitu bising. Para pengendara itu mengumpat Nabila dan meneriakinya gila. Namun, orang yang diteriaki mendadak tuli. Dia benar-benar tidak mendengar dan tidak sadar jika saat ini dia sedang berjalan di zebra cross yang lampunya masih merah. Tanda hijau untuk pejalan kaki belum menyala. Tatapan Nabila kosong ... tidak ada yang berani menghentikan kegilaan Nabila karena malam itu jalanan cukup ramai.
Tinnnnnnn!
Suara klakson panjang tiba-tiba mengusik pendengaran Nabila. Wanita itu menoleh, matanya langsung membola begitu cahaya mobil di depan menusuk mata hingga pandangan dia ... mejadi buram dan ....
Brukkkkk!
Langit seolah ikut menangis melihat kesedihan dan kesulitan Nabila. Buliran air mulai jatuh membasahi bumi. Termasuk membasahi tubuh Nabila yang tergelatak di jalanan. Semua orang mulai berkerumun.
"Telpon ambulan! Seseorang, tolong telpon ambulan!"
Suasana di sana benar-benar tidak terlihat baik-baik saja. Para pejalan kaki dan juga pengendara mengerumuni mobil yang menyebabkan kecelakaan. Mereka menggedor pintu mobil itu berkali-kali. Namun, orang yang ada di dalam bergeming.
Pintu depan mobil terbuka. Seseorang langsung menarik kerah baju laki-laki itu ingin menghajarnya. Namun, tidak jadi karena polantas tiba-tiba ada di lokasi.
"Saya akan bertanggungjawab," ucap sang sopir pada polisi yang menghampirinya. Sementara di dalam mobil, seseorang dengan setelan jas rapi tengah mengusap dagu sembari mendengus kesal, karena perjalanannya terganggu.
Sepasang mata wanita yang terbaring di atas hospital bad mengerejap beberapa kali. Untuk beberapa saat, dia hanya diam, menatap langit-langit ruangan itu tanpa melakukan pergerakan apapun. Sampai, telinganya mendengar suara seseorang yang sedang mengobrol. Kepalanya menoleh ke samping. Pemandangan pertama yang dia lihat adalah punggung seseorang. Tubuh yang berada di depan dinding kaca itu terlihat sangat proposional. Bahunya lebar dan agak sedikit berisi.
Tunggu! ... Nabila mengedarkan pandangannya ke semua sudut ruangan itu, dia memegang kepalanya dengan cepat. Helaan napas lega terdengar. Syukurlah, dia masih memakai jilbab. Nabila kembali terdiam, dia berusaha mengingat, apa yang terjadi sebelumnya.
"Astaghfirullah!" ucapnya terkejut, dia membekap mulutnya dengan tangan yang bebas dari selang infus. Kedua matanya membola. Orang yang sedang bertelepon itu pasti orang yang hampir menabraknya tadi. Nabila memejamkan mata cukup lama. Melihat keadaan di ruangan itu, sudah jelas tertebak bahwa laki-laki ini pasti orang kaya. Lalu, saat ini dia pasti sedang menunggunya untuk meminta ganti rugi. Nabila tidak bisa diam saja. Dia harus segera keluar, biaya Ezra saja belum pasti dapat atau tidak. Jika harus ganti rugi juga, Nabila tidak akan bisa bertahan.
Dengan perasaan penuh rasa bersalah, Nabila melepaskan selang infus yang menancap pada tangan kirinya. Dia turun dari atas ranjang dengan gerakan yang sangat pelan. Matanya melirik ke arah pintu, kemudian melirik laki-laki itu lagi sekilas. Bibirnya menyunggingkan senyum. Nabila mulai berjalan mengendap-endap seperti maling. Namun, baru beberapa langkah, matanya sudah kembali di kejutkan dengan pintu kamar rawat yang bergeser.
"Bos!" panggil seseorang kepada laki-laki yang sedang bertelepon.
Laki-laki yang sedang bertelepon itu menoleh. Matanya benar-benar sangat bersinar, hidung mancung, bibir seksi dengan jenggot rapi dan rambut yang sedikit di angkat ke atas membuat tampilannya benar-benar sangat tampan. Dia adalah Bara. Laki-laki keturunan Prancis asli yang dulunya merupakan ketua Mafia sindikat narkoba dan juga senjata ilegal. Hanya saja, setelah melewati banyak hal, pria tampan nan gagah ini berhenti dari dunia gelap dan memilih untuk melanjutkan bisnis yang ada. Perusahaan inti milik Bara memang berada di Prancis. Namun, selain perusahaan inti, anak perusahaannya tersebar hampir di seluruh negara termasuk di Indonesia.
Bara memang masih terlihat sangat segar meskipun dia sudah berusia 37 tahun. Ya, bisa dibilang sudah matang. Tidak ada yang kurang dari seorang Bara, selain jomblo, dia hanya minus akhlak karena lingkungan yang dia pijak tidak mengajarkannya hal seperti itu.
"Bos, saya ...."
"Shuuttt!" Bara menaruh jari telunjuknya di atas bibir, senyum menyeringai muncul. Dia menunjuk ke arah gorden yang ada di seberangnya. Durant menoleh ke arah gorden tersebut, dia ikut tersenyum ketika melihat sepasang kaki mungil ada di sana.
"Ekhemm!" dehem Bara sembari memperhatikan kaki tersebut. "Kau tahu Durant, siapapun orang yang berani mengkhianati saya. Akan saya ikat dia di pohon, lalu saya cincang tangan dan kakinya agar dia mengerti jika tidak seorangpun bisa melawan, saya."
Lutut Nabila bergetar hebat. Tangan kanannya berusaha menghentikan tangan kiri yang ikut Tremor, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Kedua tangan itu benar-benar bergetar membuat Nabila semakin takut dan semakin gugup. Dia yakin jika laki-laki itu adalah seorang psikopat. Ya Tuhan, jangan biarkan aku mati dalam keadaan seperti ini. Anakku masih membutuhkan ku ....
Srakkk!
"Akhhh!"
Mata Nabila terpejam kuat, tubuhnya menunduk dalam. Dia membungkuk beberapa kali sembari mengatakan kata maaf.
"Saya tahu saya salah, Pak. Tolong maafkan saya, saya tidak berniat untuk mengkhianati, Anda. Saya hanya harus segera keluar dari sini. Anak saya sedang sakit. Maafkan saya, Pak. Maafkan saya!"
Brak!
Lagi-lagi Nabila dibuat ketakutan. Laki-laki tadi mendorongnya sampai dia terbentur dinding rumah sakit cukup keras. Dia belum berani membuka mata, jantungnya berdegup tak karuan. Napas hangat laki-laki ini benar-benar membuat Nabila hilang akal.
Perlahan, kepala itu terkulai lemah. Bara tersenyum, dia mentoyor kepala Nabila, memposisikan kepala itu agar bisa tegap menghadap ke wajahnya. "Jangan pura-pura pingsan, Nabila! Saya tahu kau tidak selemah itu!"
Deg!
Suara ini, suara maskulin yang masih sangat dia ingat. Bajingan ini, dia ....
"Kau!" ucap Nabila menatap Bara dengan tatapan tajam. Detak jantungnya semakin tak karuan. Napasnya memburu, dia berusaha untuk melepaskan diri, tapi Bara mencekal tangannya semakin kuat.
"Apa yang kau lakukan, di sini, Brengsek!" kesal Nabila. Mereka memang sudah pernah bertemu.
Lima tahun yang lalu, Tuhan mempertemukan mereka saat mereka sedang mengadakan rapat di kota Paris. Kesombongan Bara saat itu tidak bisa Nabila lupakan, bagaimana dia meminta Nabila untuk melepaskan jilbabnya dan mengancam akan memecatnya berhasil membuat Nabila, geram. Dan karena laki-laki ini juga Nabila hidup seperti pengemis selama lima tahun. Bayangkan, lima tahun Nabila tidak bisa mendapatkan pekerjaan karena namanya di black list oleh laki-laki bajingan ini.
"Apa kau sudah sadar dimana kesalahanmu?"
"Ck!" Nabila mengangkat satu sudut bibirnya. "Aku manusia, Bara. Aku memiliki hak untuk memilih apa yang ingin dan apa yang tidak ingin aku lakukan. Jika kau tidak suka aku membantah mu, kenapa kau begitu perduli? Aku ini hanya sebutir nasi yang bisa kau lenyapkan hanya dengan menjentikkan jari. Terserah kau mau melakukan apa. Aku tidak perduli. Aku sudah tidak memiliki hubungan apapun lagi denganmu!"
Bugh!
Nabila kembali melongo. Apa dada orang ini terbuat dari semen tiga roda, kenapa sangat keras dan sulit untuk di gerakan. Dia ingin melepaskan diri tapi laki-laki itu malah semakin menunduk dan menatapnya dengan tatapan iblis. Bau maskulin menyeruak, menusuk hidung Nabila membuatnya hampir kehilangan kewarasan. Apalagi deru napas hangat Bara yang memuat bulu kuduknya merinding.
"Saya sudah pernah mengatakan kalau saya tidak suka dibantah, Nabila. Satu hal lagi, saya tahu, kau sedang membutuhkan bantuan saya."
Bara melepaskan kungkunganya. Dia berjalan mendekati Duran, kemudian mengambil sebuah map dari tangan asistennya tersebut. Dokumen itu sudah di rubah ke dalam bahasa Inggris, jadi dia bisa membacanya dengan leluasa.
"Ezra Malik al-Fatih. Dia anak mu, bukan?"
Bara tersenyum penuh kemenangan saat melihat Nabila yang begitu cerewet terdiam.
"Saya akan membantumu untuk mencarikannya pendonor. Saya juga akan membayar semua biaya operasi dan biaya perawatan. Tapi, dengan satu syarat!"
Bara kembali berjalan mendekati Nabila, dia menunduk, kemudian ... "Tidurlah bersamaku!" bisik Bara dengan senyum menyeringai.
Awalnya Nabila diam. Namun, detik berikutnya dia tergelak. Keningnya mengkerut merasa bingung dengan permintaan konyol laki-laki gila di depannya.
"Aku tidak akan pernah mau menerima tawaran darimu, Bara. Aku bisa mencari uang dan juga pendonor di tempat lain, tanpa harus menjual diri pada orang bejat sepertimu."
.
.
.
.
Beberapa jam yang lalu, saat semua orang sedang sibuk. Seseorang turun dari mobil kemudian berjalan mendekati wanita yang tergeletak di atas aspal. Awalnya Bara tidak perduli. Namun, saat dia sudah berbalik hendak meninggalkan wanita itu, Bara kembali menoleh. Dia menatap wajah wanita itu dengan alis tertaut.
"Nabila!" gumamnya, dengan wajah terkejut.
Nabila menatap sengit laki-laki di depannya, harga dirinya benar-benar dijatuhkan oleh Bara. Selain sudah membuatnya menderita, Bara juga ingin merebut kehidupan damainya. Sampai kapanpun Nabila tidak akan mau menerima tawaran dari laki-laki itu.
"Maaf, Tuan Bara yang terhormat, insyaallah, saya tidak akan membutuhkan bantuan, Anda. Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan!" Nabila memalingkan wajah dari laki-laki di depannya. Ia melengos meninggalkan kamar rawat itu masih dengan baju pasien karena dia tidak tahu dimana baju yang tadi dia pakai.
Bara menarik ujung bibirnya. Dia membiarkan Nabila keluar dari ruangan itu. Perhitungan seorang Bara tidak pernah salah. Nabila akan kembali padanya, bahkan memohon dan berlutut untuk mendapatkan bantuan.
"Kau yakin anak itu masih kritis, Durant?" tanya Bara menatap pintu kamar itu lekat.
Durant mengangguk, dia mempersilakan Bara untuk keluar dari sana. Namun, saat sudah berjalan di lorong, Bara menoleh ke arah Durant. "Wanita gila itu pergi tanpa alas kaki, Durant. Pergilah carikan apa yang dia butuhkan!"
Kembali sekertarisnya itu mengangguk. Durant meninggalkan Bara yang malah berbelok ke arah lain. Mencari sosok Nabila untuk memastikan jika wanita itu memang tidak akan bisa kemana pun.
"Dasar, Brengsek! Bisa-bisanya dia mengatakan ingin meniduri ku setelah apa yang dia lakukan. Astaghfirullah ...!" Nabila mengembuskan napas panjang, mengelus dada mencoba untuk meredam emosi meskipun itu sangat sulit. Bara sudah menghancurkan hidupnya satu kali. Jika kali ini dia menghancurkan nya lagi, maka tidak akan ada yang tersisa untuknya. Kehidupan, harga diri. Semaunya lenyap dalam genggaman laki-laki itu.
"Halo!" ucapnya pada orang di sebrang telepon. "Ah, iya." Kepala Nabila celingukan ke kanan dan ke kiri, depan, belakang. Semuanya tak lepas dari pantauan. Dia berusaha mencari tahu, dimana dia sekarang. Tangannya terulur menepuk lengan seorang suster, menanyakan rumah sakit apa itu. Setelah mendapatkan jawaban, Nabila langsung berlari ke arah lift. Ia bergerak gelisah dalam ruangan kecil itu. Apa yang harus dia lakukan ... bibirnya menyunggingkan senyum getir. Dia sampai lupa kalau dia tidak memakai sandal. Syukurlah dia berada di rumah sakit yang sama dengan anaknya. Nabila tidak harus mengeluarkan uang untuk membayar ongkos kendaraan.
"Dokter!" panggil Nabila, ketika melihat dokter yang keluar dari ruang ICU. Dadanya naik turun menandakan jika napasnya sangat cepat. Karena dia yang berlari seperti orang di kejar angsa.
"Ikut ke ruangan saya sebentar!" ucap dokter itu. Nabila mengangguk, dia mengikuti dokter yang menangani Ezra hingga dia bisa duduk di depan meja dokter tersebut.
"Jadi begini. Melihat kondisi anak, Ibu. Saya tidak bisa menjanjikan apapun. Jika dalam beberapa hari masih belum ada tindakan, sebaiknya Ibu bersiap untuk kemungkinan terburuknya. Maaf, bukan saya menakut-nakuti Ibu, satu jam yang lalu, Ezra menunjukan tanda-tanda jika dia akan membuka mata, tapi entahlah ... semuanya malah semakin memburuk. Jika mamang tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan pendonor! Dengan berat hati saya akan mengatakan, sebaiknya Ibu Ikhlaskan saja Ezra. Biaya perawatan di ruang ICU tidak sedikit. Jangan sampai karena hal ini, Ibu malah terjebak. Lebih baik uangnya dipakai untuk orang yang masih hidup."
Bulir bening kembali menetes dari sudut mata Nabila. Wanita itu menunduk, dia sangat tahu jika mencari pendonor adalah hal yang sangat sulit. Mungkin ini juga alasan kenapa dokter mengatakan hal menyakitkan seperti ini. Nabila tahu jika dia orang miskin, tapi untuk menyerah sekarang, Nabila tidak bisa.
"Saya ingin menemui anak saya sebentar, Dok! Terima kasih!"
Dokter mengangguk, dan Nabila keluar dari ruangan itu dengan perasaan tak menentu. Langkahnya gontai. Nabila masuk ke ruangan Ezra setelah mengenakan pakaian steril. Menatap malaikat kecil di depannya dengan tatapan nanar. Ya Tuhan, haruskah anak sekecil ini merasakan sakit luar biasa? Tidak cukupkah selama beberapa tahun ke belakang Ezra harus bulak balik ke rumah sakit untuk cuci darah?
"Sayang ...!" panggil Nabila menggenggam tangan mungil Ezra lembut. Matanya sudah memerah menahan tangis. Bibirnya bergetar tapi dia tidak busa menunjukan kesedihannya kepada anak kecil itu. Sudah cukup Ezra menderita, Nabila tidak ingin menambah beban untuk Ezra karena tangisannya.
"Mama janji, mama akan mengusahakan yang terbaik untukmu. Ezra akan sembuh, Ezra harus kuat, Sayang! Mama ... mama akan mencari pendonor. Ezra tidak harus memakai kateter lagi. Ezra pasti akan sembuh. Tunggu mama ya Sayang!"
Kecukupan kecil Nabila berikan pada kening anak semata wayangnya. Ia keluar dari ruang ICU. Tubuhnya ambruk, Nabila menunduk sembari menekan dan memukul dadanya berkali-kali. "Kau memang ibu yang tidak berguna, Nabila. Kau benar-benar tidak berguna!"
Sekuat apapun Nabila mencoba untuk tegar, dia tidak bisa. Ini terlalu menyakitkan, hanya Ezra yang dia miliki sekarang. Jika dia melepaskan Ezra, dia pasti akan sangat menyesal. Bahunya kembali bergetar, derai air mata tidak bisa berhenti mengalir, kebingungan dan keputusasaan menghantui dirinya. Ezra harus sembuh, tapi dengan cara apa Nabila mencari donor secepat itu.
Sebuah tangan besar terulur di depan matanya. Sepasang sandal yang sangat cantik tangan itu letakan dengan gerakan perlahan. Nabila mendongak, meski dia masih sesenggukan dan pandangannya buram bertirai air mata, itu tak lantas membuat Nabila tidak tahu siapa orang yang sedang berdiri di depannya.
"Saya sudah bilang hanya saya yang bisa menolong mu, Anak Ayam. Mencari pendonor organ tidak semudah mencari pendonor darah. Jika tidak menerima tawaran dari saya, kau akan kehilangan anak mu!"
Kali ini Nabila tidak berkutik. Otaknya benar-benar buntu. Dia mengusap air matanya kasar. Berjalan mendekati Bara kemudian duduk di samping laki-laki itu.
"Persyaratan mu!" ucap Nabila dengan wajah tertunduk. "Apakah tidak ada persyaratan lain. Aku bisa melakukan pekerjaan apapun," ujarnya lagi. Kini dia bisa menatap mata Bara meksipun tangannya bergetar hebat.
Bara kembali tersenyum, "Saya hanya meminta satu malam, tidur satu malam dengan saya, dan saya akan memberikan semua yang kau inginkan. Bahkan, karirmu. Saya akan memberikan semuanya."
Kedua tangan Nabila terkepal. Rahangnya mengetat, dengan urat-urat di lehernya yang semakin menegang. Dia berusaha untuk berpikir jernih, tapi sekarang bukan waktunya untuk melakukan itu. Nabila sedang ada di ujung tanduk, bergerak mundur, ada singa yang siap memangsa. Namun, jika dia maju dengan keegoisannya, jurang kematian siap menenggelamkan.
"Baiklah, aku akan menerimanya, Pak Bara," ucap Nabila gugup. "Tapi aku memiliki satu syarat ... ... nikahi aku untuk satu malam, setelah itu kau boleh menceraikan-ku!" ujarnya dengan air mata bercucuran.
Bara mengangguk, dia mengambil sesuatu dari saku celananya, kemudian menempelkan beda itu di telinga.
"Carikan pendonor untuk, Ezra meski harus ke ujung dunia! Saya ingin, besok pendonor itu sudah ada sini!"
"Baik, Bos!"
.
.
.
Bahu Nabila kembali bergetar. Suara tangisannya terdengar semakin pilu. Ya Tuhan, haruskah dia menjual agamanya untuk menyelamatkan Ezra. Tolong selamatkan dia....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!