“Devano!”
“Devano!”
“Devano!”
Suara gerumuh itu berhasil memenuhi seluruh ruangan, gedung olahraga in-door menjadi penuh dengan ratusan manusia yang menyerukan satu nama. Tidak ada hal yang jauh lebih menyenangkan dari ini, adalah bagian terbaik bagi mereka yang menyerukan satu nama ‘Devano’ dengan sekencang-kencangnya, seolah pita suara tersebut sudah disetting dengan sedemikian rupa tidak akan pernah putus meski berteriak sekencang-kencangnya.
Devano adalah magnet.
Devano adalah idola.
Devano adalah pujaan.
Devano adalah segalanya.
Namun sosok yang diserukan hampir seluruh lautan manusia itu tidak ada di panggung, sosok itu tampak duduk manis di salah satu kursi bundar dengan meja berbentuk sama. Di pojokan bersama dengan salah satu temannya, sibuk bermain ponsel seolah dia sedang berada dalam dunianya sendiri. Tidak peduli dengan seruan
para cewek yang menyerukan namanya dengan begitu bangga, tidak peduli dengan suara musik dari band-band ternama Ibu Kota yang menjadi pengisi acara. Hingga lampu utama menyoroti dirinya, membuat bulu-bulu mata lentik itu tampak begitu nyata tatkala mata hazel itu menyipit dengan sempurna.
“Devano!”
“Devano!”
“Devano!”
Teriakan itu kembali berseru, jika mungkin mayoritas cowok akan merasa tersanjung kemudian merasa paling tampan di dunia karena begitu dipuja oleh hampir seluruh cewek yang ada di sana, tapi ini berbeda dengan Devano. Alih-alih dia merasa bangga akan dirinya, dia malah merasa terganggu, risih, dan juga … kesal.
“Jadi, Devano kenapa kamu tidak maju ke atas panggung untuk acara pemilihan pangeran terkeren sekolah tahunan kita?” tanya itu membuat Devano diam. Senyum merekah dari pembawa acara kontras terlihat dari tatapan dingin Devano, mimik wajah yang datar bahkan seolah-olah enggan. Membuat semua penonton yang sedari tadi menyerukan namanya pun berhenti.
Suasana tiba-tiba menjadi hening, wajah tampan dan tubuh gagah Devano kini terpampang nyata pada layar besar yang ada di atas panggung. Semua orang kini sudah begitu ingin menunggu satu jawaban dari Devano. Kenapa cowok tampan yang menjadi incaran seluruh siswi di sekolah itu enggan naik? Padahal jelas, dibandingkan dengan cowok-cowok lainnya yang sudah berdiri di atas panggung sana, Devano jelas memiliki peluang besar untuk memenangkan pemilihan ini.
“Gue udah punya cewek,” ucap Devano.
Jelas jawaban Devano ini kontras dengan pertanyaan dari pembawa acara sebelumnya. Namun, cukup menegaskan jika dirinya enggan untuk mengikuti kontes tersebut.
Suara kasak-kusuk kembali terdengar dengan begitu nyata, sebab mendengar jawaban Devano yang berarti cowok itu sudah tidak jomlo lagi. Ini adalah masalah serius, dan kini pertanyaan beralih kepada; sejak kapan? Siapa cewek beruntung yang bisa mendapatkan Devano? Bagaimana tampangnya? Berasal dari keluarga bagaimana cewek tersebut? Dan, seberapa cerdas cewek tersebut?
“Wah, Devano jadi udah nggak jomlo lagi, ya? Kalau boleh tahu siapa cewek Devano sekarang? Semua anak yang ada di sini pasti penasaran dengan ceweknya Devano,” tanya pembawa acara tersebut.
Lagi, suasana kembali hening, dan kini ada yang aneh dari mimik wajah Devano. Ya, mimik wajah Devano tidak lagi datar dan dingin seperti sebelumnya. Namun, mimik wajah Devano kini tampak terlihat tidak terbaca, senyum licik samar-samar terukir pada sudut bibirnya, hingga kemudian Devano menunjuk seseorang yang ada di ujung matanya kemudian dia berkata, “Ayla Cantika Putri, dia adalah cewek gue,”
Deg!
Satu jawaban yang berhasil membuat semua orang yang ada di sana memandang pada satu arah yang sama. Satu jawaban yang membuat seseorang menjadi pusat perhatian secara tiba-tiba.
Seorang cewek dengan dress selutut bermotif renda dengan warna abu-abu tua itu pun hanya bisa terdiam dengan bodoh, cewek itu bahkan seolah masih belum menyadari jika dirinya kini menjadi pusat perhatian semua orang. Matanya masih memandang Devano dengan berbinar, senyum merekahnya masih tertuju pada Devano dengan begitu nyata. Hingga pada akhirnya sorotan lampu tertuju kepadanya juga, membuat rasa silau itu menyipitkan mata bundarnya dengan nyata. Cewek berambut panjang sepunggung yang kini dicempol satu itu pun mencoba menutupi wajahnya, tapi dia bisa melihat tatapan licik Devano kepadanya tampak begitu nyata. Hingga kemudian, cewek itu baru sadar jika ternyata dirinya sudah menjadi bahan tatapan oleh semua orang yang ada di ruangan itu. Cewek itu hanya terdiam terpaku, dia belum bisa untuk mencerna apa yang terjadi ini.
“Ayla Cantika Putri, beruntung sekali kamu bisa berpacaran dengan seorang Devano Adam Kalendra,”
“Hah?” kata cewek itu dengan mimik wajah bodohnya.
Poni yang sedari tadi menutupi keningnya pun tampak bergerak seirama dengan gerakan tubuhnya. Ayla—nama cewek itu, menunjuk dirinya sendiri seolah tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh sang pembawa acara. “Hah, gue ceweknya Devano? Gue!” pekiknya, mengulang ucapannya berkali-kali. Hingga Devano melangkah, dan berhenti tepat di depannya. Ayla masih enggan menyangka jika itu adalah hal yang nyata.
Mata Ayla menatap Devano tanpa berkedip, cowok itu sudah berada di depannya, hanya berjarak beberapa inci. Kemudian Devano memeluk Ayla dengan sempurna. Bibir Devano berada tepat di sebelah Ayla, dengan seringaian licik, Devano tersenyum, lalu berbisik, “Selamat, elo bakal dibenci oleh cewek satu sekolah,”
Jelas, sangat jelas terdengar di telinga Ayla, bahkan tubuh Ayla mematung sempurna mendengar ucapan dari Devano tersebut. Tubuh Ayla mematung dengan sempurna, matanya nanar memandang Devano yang sudah menepuk lembut puncak kepalanya sambil tersenyum simpul. Ayla, tidak menyangka jika cowok itu memiliki dendam kepadanya yang teramat dalam, Ayla sama sekali tidak menyangka jika kesalahan kecilnya mampu membuat Devano mengatakan hal seperti ini.
“Pulangnya hati-hati, Sayang. Maaf, aku nggak bisa antar,” kini suara Devano cukup keras, sehingga terdengar oleh sekitarnya. Devano kembali ke tempat duduknya semula, dan Ayla mulai kehilangan semua kewarasannya.
Seluruh orang yang ada di sana mulai berkasak-kusuk kepada Ayla, memandang Ayla dengan tatapan merendahkan dan lain sebagainya. Ayla mulai panik, Ayla mulai merasa jika dirinya berada di dalam bahaya. Dan sekarang Ayla sendiri tidak tahu apa yang bisa dia lakukan untuk menyelamatkan dirinya sendiri.
“Enggaaaaak!!!”
Kring! Kring! Kring!
“Ayla Cantika Putri! Mau sampai kapan kamu tidur terus seperti ini! Udah jam enam, buruan mandi dan bersiap! Kalau enggak, Abang tinggal nih!”
Teriakan itu berhasil membuat Ayla langsung bangkit dari tidurnya. Dia mengambil posisi duduk, mengucek matanya dengan nyata dan menggaruk rambutnya yang tampak acak-acakan sempurna.
Jadi semua ini mimpi?
Semua yang dialami oleh Ayla adalah mimpi, kan?
“Abang, ini mimpi, kan?” tanya Ayla bodoh, membuat lelaki jangkung yang mengenakan kaus warna cokelat itu pun melirik Ayla dengan sempurna.
Daren Wicaksono—kakak laki-laki satu-satunya milik Ayla pun menoleh, lelaki yang jarak usianya tiga tahun dari Ayla itu tidak akan pernah paham tentang semua hal yang dialami oleh adiknya. Kadang, Daren mengira jika Ayla adalah adik kecilnya yang cukup … aneh.
“Emangnya kamu habis ngapain?” tanya Daren dengan penuh selidik. “Kamu abis mimpi apa?” selorohnya lagi, mata Daren langsung melotot, Ayla pun menciut dengan tatapan abangnya tersebut.
“Nggak mimpi apa-apa, Abang! Hanya mimpi buruk aja!” elak Ayla.
Sambil mengembuskan napas lega, Ayla pun tersenyum juga, dia benar-benar bersyukur jika apa yang terjadi hanyalah mimpi buruk semata, dan Ayla tidak perlu takut lagi untuk pergi ke sekolah pagi ini. Terlebih setelah acara MOS berakhir.
“Ya sudah, mandi sana! Abang udah buatin kamu nasi goreng tuh!”
“Kok nasi goreng lagi?” protes Ayla. Selama seminggu ayahnya dinas ke luar kota, abangnya selalu membuatkan menu nasi goreng di setiap hari selama tiga kali makan Ayla, sebuah menu yang benar-benar membuat Ayla akan takut makan nasi goreng setelah ini.
“Emangnya mau dibuatin makan Abang apa?” kesal Daren, Ayla pun hanya tersenyum kaku juga. “Abang ke kampusnya entaran, jadi kamu Abang titipin sama temen barumu,”
“Hah, apa?” tanya Ayla, yang kini mengambil handuk hendak pergi ke kamar mandi, tapi terhenti sebab ucapan dari Abangnya. “Emangnya aku paket apa? Main diserah-serahin ke sembarang orang segala. Aku nggak mau, Bang!”
“Harus mau, Abang udah telepon dia!”
“Kok Abang maksa sih! Aku nggak mau, aku nggak kenal!”
“Nanti kan bisa kenalan, repot amat sih!”
“Abang, aku nggak mau!” teriak Ayla, tapi Daren sama sekali tidak menggubris ucapan dari adiknya.
“Setengah jam lagi dia akan dateng, jangan sampai kamu bikin dia nunggu lama. Awas kalau kamu rese!” ancam Daren.
Ayla hanya bisa menahan napas, melihat abangnya menutup pintu kamarnya dari luar. Sungguh, Ayla sama sekali tidak menyangka jika abangnya akan setega ini kepadanya.
Teman baru? Siapa? Ayla sama sekali tidak tahu, Ayla sama sekali tidak kenal, dan yang pasti ayahnya selalu mengatakan kepada Ayla jika, jangan pernah mau ikut dengan orang yang sama sekali tidak dikenal. Lantas bagaimana bisa abangnya menitipkan dirinya kepada orang dengan cara sembarangan seperti ini? Ayla
benar-benar tidak habis pikir!
Ayla telah selesai bersiap, rambut hitam lurus sepingganya ia biarkan digerai dengan rapi, dan wangi. Sambil memandang cermin yang ada di depannya, Ayla kini memandang salah satu foto yang sudah beberapa bulan yang lalu tertempel rapi di ujung cermin tersebut. Kadang-kadang, ketika abangnya masuk, foto itu ditutup dengan kertas, atau apa pun, setidaknya agar abangnya tidak tahu. Bukan apa-apa, Ayla hanya malas dengan abangnya, sebab Ayla tahu jika abangnya adalah sosok yang suka sekali dalam urusan meledek.
“Aku pergi sekolah dulu, Devano. Sampai ketemu di sekolah, ya!” gumam Ayla. Mencium foto tersebut kemudian bergegas keluar dari kamar.
Ya, Devano Adam Kalendra. Siapa yang tidak kenal dengan sosok tampan dan cool tersebut? Karena ketampanannya Devano berhasil membius seluruh sekolah menja memuja-muja dirinya. Pun dengan Ayla, meski Ayla tahu jika Devano adalah kakak tingkatnya di sekolah, tapi Ayla sudah memantapkan hati untuk menjadi salah satu bagian dari penggemar Devano garis keras, dan penggemar abadi. Itulah yang dilakukan Ayla, bahkan dia melakukan begitu banyak hal bodoh. Seperti membeli kertas bekas duduk Devano, memoto bangku tempat nongkrong Devano dan lain sebagainya. Hingga uang tabungan Ayla nyaris habis hanya karena kecintaannya dengan Devano. Ayla hanya berhadap jika suatu saat perasaannya itu terbalas dengan nyata, dia hanya berharap jika apa yang hatinya rasa Devano juga merasakannya.
Ayla kembali tersenyum simpul, lembaran surat-surat yang sudah dia tulis hampir tiap malam untuk Devano itu masih tersimpan rapi. Surat-surat yang seharusnya sampai di tangan Devano, tapi Ayla terlalu pengecut untuk memberikannya langsung. Sehingga yang bisa Ayla lakukan hanyalah, menyimpan surat tersebut di dalam laci, dan menggenggam harapannya sendiri. Ya, itulah yang Ayla lakukan selama ini.
“Woy! Kenapa sih kamu ngelamun terus!” jitak Daren, Ayla langsung mengaduh kesakitan, ia mengelus puncak kepalanya dengan sempurna.
Segera Ayla merapikan lagi rambut lurusnya, jangan sampai kusut, dan jangan sampai bau rokok Daren. Sebab jika dia tidak sengaja berpapasan dengan Devano, Ayla tidak mau dianggap sebagai cewek jorok.
“Abang kenapa, sih? Ada masalah apa sama aku!” kesal Ayla.
Daren mengembuskan napas kesalnya juga. Dia pun bersedekap, memandang adik perempuan satu-satunya yang ia punya itu.
“Tunggu, kamu mau ke sekolah kan?” tanya Daren. Ayla pun mengangguk, dahinya berkerut sempurna.
“Iyalah, udah pakai seragam gini! Emangnya mau ke mana lagi? Ke pasar?” dengus Ayla.
“Dandananmu udah kayak Tante-Tante mau mangkal! Hapus lipstikmu itu!” marah Daren. Ayla langsung memekik, ternyata abangnya tahu kalau dia memakai lipstick. Padahal lipstik yang dia gunakan sudah sangat tipis sekali.
“Ini nggak lipstik, Bang! Ini lipgloss!” elak Ayla.
“Hapus nggak?”
“Ini …” ucapan Ayla terhenti saat Daren sudah memiting kedua tangannya dan menghapus lipstik yang ada di bibirnya dengan sempurna. “Abang!”
“Apaan ini! Lipstik! Merah gini!” marah Daren, menunjukkan tisu bekas menghapus bibir Ayla yang berwarna merah.
“Emang lipgloss zaman sekarang seperti itu, Abang!”
“Maskara, hapus itu maskara! Buruan sana cuci muka! Apa-apaan sih! Mau sekolah kayak mau mangkal!”
“Abang! Kan semua teman-temanku pakai ginian semua!”
“Hapus nggak?”
Tiiit! Tiiit!
Dan pertengkaran antara suadara itu pun terpaksa harus berhenti, ketika suara bel motor mulai mengganggu indera pendengaran dari Ayla dan juga Daren. Keduanya pun menoleh dengan sempurna, sama-sama saling pandang dan Daren tersenyum dengan penuh makna.
“Nah, temen Abang udah datang. Ayo buruan ke depan,” ajak Daren sambil menarik tangan Ayla, tapi sekarang giliran Ayla yang enggan beranjak dari tempatnya.
“Nggak cuci muka dulu nih, Bang? Aku pakai maskara, lho?”
“Ah, udah, cuci mukanya entaran di sekolah aja. Nanti Abang video call kamu dan kamu harus cuci muka!”
“Sekarang aja, Bang!”
“Udah telat, Ayla. Kamu mau temen Abang nungguin lama?”
“Tapi, Bang, Abang!”
Ayla hanya bisa pasrah saat tubuhnya diseret dengan sempurna oleh abangnya, rasa kesal dan marah bercampur aduk menjadi satu, tapi Ayla tidak bisa berbuat apa-apa.
“Bro, nitip adek gue, ya! Kalian kan satu sekolah. Jagain dia, kalau nakal elo jerwer.”
“Siap, Bang! Gue bakal jagain adek elo seperti gue jagain adek gue sendiri!”
Seruan itu membuat Ayla menoleh, mata Ayla melotot sempurna dengan mulut yang terbuka lebar. Bagaimana tidak, di depannya kini sudah ada sosok cowok yang masih nangkring di atas motor besarnya. Cowok itu mengenakan jaket levis, dan yang lebih membuat Ayla kaget adalah sosok cowok tersebut. Ya, cowok tersebut adalah cowok yang telah membuat Ayla merasa sial di hari pertama MOSnya. Ya, sosok itu adalah Arka Mahesa! Si biang rusuh baru di sekolah yang bahkan di hari pertama MOS sudah dipanggil berkali-kali ke ruang BP, sebuah hal yang sangat mengerikan dan bagaimana bisa abangnya menyuruh Ayla nebeng Arka?
“Abang, kamu nggak salah orang, kan?” tanya Ayla yang sudah mulai ngeri, perasaan tidak enak mulai menyelimuti hati.
“Apa yang salah? Dia teman satu sekolah sama kamu, kan? Dia teman main Abang dan kebetulan dia baru saja pindah. Noh, rumahnya tepat di depan rumah kita,” jawab Daren dengan santai.
“Apa!” kaget Ayla. Dia kembali melotot kepada Arka, sementara Arka melambaikan tangannya dengan sempurna kepada Ayla, seolah Arka tidak memiliki rasa bersalah sama sekali.
Wajah Ayla merah padam, dia masih ingat bagaimana Arka mengikat ujung rok milik Ayla dengan tali raffia yang diujungnya diberi kulit pisang, dan karena hal itu Ayla dijuluki oleh kakak tingkat sebagai cewek monyet. Malu bukan main, kesal bukan main, dan semua hal itu berkecamuk menjadi satu hanya karena ulah cowok tidak berperasaan seperti Arka.
“Hay, Bulan. Ayla artinya bulan, kan? Gue harus panggil elo apa? Bul, Lan, atau … Nyet!” ledek Arka dengan tawa sumbang yang ia tujukan kepada Ayla.
“Arka Mahesa, gue sumpahin lo jadi babi!” teriak Ayla kesal. Dia ingin melempar Arka dengan sandal, tapi Daren langsung melerai keduanya, melihat jam yang melingkar manis di pergelangan tangannya kemudian Daren menghela napas panjangnya dengan sempurna.
“Udah, ditunda dulu ributnya. Udah siang, kalian telat kalau nggak buru-buru.”
“Monyet satu ini nih, Bang!” adu Arka. Ayla kembali melotot tidak percaya, bagaimana bisa abangnya sekarang menjadi abangnya Arka?
“Elo—“
“Udah, ayo buruan naik motor Arka.”
“Nggak mau!”
“Buruan, Ayla!”
“Sampai lebaran kambing pun aku nggak sudi!” kesal Ayla.
“Ayla, naik atau aku aduin ke Papa!”
“Abang!”
Sambil menghentakkan kakinya dengan kesal, Ayla pun akhirnya mengikuti perintah abangnya. Naik di boncengan motor Arka dengan posisi agak jauh kemudian kedua tangannya berpegangan di belakang jok. Kesal, iya, tapi dia tidak punya pilihan lain, sebab abangnya sudah mengancam dengan cara seperti itu.
“Nyet, pengangan. Kalau enggak elo jatoh.”
“Bodoh!”
“Gue udah ngasih tahu, ya.”
“Bodoh amat!” sentak Ayla.
Sambil tersenyum, Arka pun langsung melajukan motornya dengan kencang, membuat Ayla mencengkeram kuat pegangan yang ada di belakang. Tangan Ayla sampai benar-benar sakit. Motor Arka melaju dengan begitu cepat, bahkan hanya butuh waktu belasan menit untuk sampai ke sekolah. Setelah sampai, bahkan baru di gerbang sekolah, Ayla langsung melompat dari motor Arka yang kebetulan berhenti karena gerbangnya ditutup. Ayla tanpa mengucapkan terimakasih dan lain sebagainya, langsung berlari masuk ke dalam gerbang, merapikan rambunya dengan jemari tangan, dan hal itu berhasil membuat Arka berdecak kesal.
“Gue nggak telat, kan, Tan?” tanya Ayla. Semua murid sudah ada di lapangan depan untuk upacara bendera, dan untung saja upacara bendera belum dimulai.
“Belum kok, elo ke mana aja, sih, Ay?” tanya cewek yang dipanggil Ayla dengan nama Tan, tersebut. Ya, Intan adalah namanya.
“Gue telat, tadi pagi mimpi buruk.”
“Mimpi buruk apaan? Kirain elo bakal mimpi indah.”
“Kok bisa?” tanya Ayla bingung, kenapa dia harus mimpi indah segala?
“Ya iyalah, siapa yang nggak akan mimpi indah, kalau udah jadi superstar sekarang.”
“Superstar?” ulang Ayla dengan bodoh.
“Elo kan saat di acara penutupan MOS bikin geger satu sekolah, karena pernyataan
dari Kak Devano yang mengatakan kalau kalian berdua udah pacaran, Ayla!”
“Apa!”
Ayla hanya bisa memekik seperti orang bodoh, kemudian dia sadar teman-temannya sudah menatapnya dengan tatapan ‘aneh’ itu. Tatapan tidak suka, tatapan kesal, tatapan tersaingi, dan lain sebagainya.
Ini adalah hari pertama Ayla masuk sekolah SMA Bhakti Dharma yang Ayla bayangkan jika kehidupan SMAnya akan menjadi begitu indah seperti apa yang diceritakan pada novel-novel romansa, atau di sinetron-sinetron yang sering ia tonton di stasiun TV lokal. Namun bagaimana jika dirinya bisa sesial ini?
Jadi, apa yang terjadi di dalam mimpinya itu … nyata?
Ayla mengacak rambutnya frustasi, dia berharap jika semua yang terjadi itu adalah mimpi. Tepat setelah Devano pergi meninggalkan ruangan, semua orang langsung mengolok-olok Ayla dengan sempurna, semua cewek tidak suka dengan Ayla. Ayla bahkan terpaksa harus diselamatkan oleh Nuna keluar dari gedung olah raga tersebut agar Ayla tidak disiksa oleh cewek satu sekolahan.
Ayla kembali menarik kesadarannya, memandang Intan dengan wajah pucat pasinya. Dari semua mimpi buruk yang ada, kenapa dia harus mendapati kenyataan jika statusnya sekarang di mata semua siswa satu sekolah adalah, pacar dari Devano! Padahal menurut Ayla, bahkan sampai detik ini dia sama sekali tidak merasa menjadi pacar dari Devano sama sekali.
Pertama, Ayla tidak memiliki nomor Devano, jadi bagaimana bisa mereka pacaran jika teleponan dan saling mengirim pesan saja tidak pernah sama sekali!
Kedua, Ayla bahkan tidak pernah berbicara dengan Devano, bahkan hal itu adalah sesuatu yang mustahil. Jadi, bagaimana bisa mereka berpacaran?
Jadi, bagian mananya yang bisa dianggap Ayla adalah pacar Devano? Ayla benar-benar bingung setengah mati dengan hal itu.
“Ay, sejak kapan lo bisa deket dan gimana ceritanya lo bisa pacaran sama Kak Devano? Elo nyolong start ya?” tanya Intan yang agaknya butuh penjelasan dari sahabatnya.
Sedari SMP, baik Intan, Ayla, dan Nuna adalah sahabat, dan ketiganya sama-sama tahu Devano dengan cara yang tidak sengaja ketika mereka berada di bangku akhir masa SMP, dan itulah motivasi pertama yang membuat mereka untuk bisa masuk SMA Bhakti Dharma, tidak ada yang lainnya lagi.
“Apa elo nggak percaya gue, Tan? Demi Tuhan, gue juga nggak tahu! Gue bareng terus sama elo kan selama MOS? Terus pas acara penutupan MOS itu pun kita bareng-bareng juga. Jadi kapan gue PDKT sama Kak Devanonya? Kapan gue pacarannya sama dia coba? Gue nggak paham!”
Intan mengerutkan keningnya dengan sempurna, bagaimana tidak, Ayla yang merupakan sosok yang disebut pacar Devano malah bingung sendiri dengan apa yang terjadi. Sebuah hal ganjil yang tidak masuk akal di dunia.
“Terus, kejadian yang di toilet itu? Ada apa? Elo kan lari keluar dari toilet dengan wajah bego elo, Ay,” selidik Intan lagi.
Tunggu ….
Ayla mengingat satu kejadian yang nyaris saja dia hapus dari ingatannya tapi dia tidak akan pernah bisa sama sekali. Sebuah dosa terbesar yang kemungkinan besar Ayla meyakini jika karena kejadian itulah Devano menjadi dendam terhadapnya. Bagaimana tidak …
Pagi itu, Ayla melihat Devano masuk ke toilet, Ayla sudah menunggu lama, tapi Ayla tidak melihat Devano melintas di depannya. Ayla hanya ingin memotret Devano, agar dia bisa mendapatkan foto Devano pada jarak terdekat yang pernah ada, kemudian dia akan memamerkan keberhasilannya ke semua orang. Namun, bahkan sampai kedua kaki Ayla kesemutan, Devano tak kunjung keluar.
Rasa penasaran Ayla semakin bertambah, ketika suasana toilet sepi. Dengan rasa bangganya, Ayla merekam suasana toilet sebagai bukti jika Devano baru saja masuk ke dalam toilet tersebut. Ayla yakin jika mungkin Devano sudah pergi, dia melangkah masuk ke toilet cowok dengan pikiran ingin melihat sisa-sisa jejak yang ditinggalkan oleh Devano. Namun, siapa sangka, di saat Ayla masuk ke dalam toilet itu, dia melihat Devano sedang berdiri di depan toilet sedang buang air kecil. Mata Ayla melotot dengan sempurna melihat Devano, pun dengan Devano yang wajahnya sudah merah padam karena merasa malu.
Satu …
Dua …
Tiga …
Em—
“Kyaaaa!!!”
Teriakan itu hampir menggemparkan toilet sekolah, tanpa aba-aba Ayla berlari tunggang-langgang.
Ayla menggelengkan kepalanya mengingat kejadian memalukan tersebut. Dia tidak melihat apa pun, dia hanya melihat wajah Devano. Tapi tetap saja, kejadian waktu itu adalah kejadian yang bahkan paling memalukan yang pernah ada. Ayla yakin jika sekarang mungkin Devano telah berpikir jika dirinya adalah cewek mesum atau lain sebagainya. Sebuah hal yang tidak pernah terpikirkan bahkan sampai kapan pun itu.
“Bukan apa-apa, Intan. Gue hanya lihat kecoa di toilet. Elo tahu, kan, kalau gue takut kecoa,” dusta Ayla pada akhirnya.
Kini, Ayla menundukkan wajahnya, dia merutuki dirinya sendiri. Kehidupannya di SMA Dharma Bhakti pasti akan kacau sekarang ini, dan Ayla harus siap dengan risiko yang ada.
Ayla, melirik dengan kesal, saat lengannya disenggol oleh Arka. Mata Arka melotot memandangnya, tapi Ayla tidak mempedulikan sama sekali.
“Nyet, kenapa lo ninggalin gue tadi?” tanya Arka. Ayla mengabaikan ucapan Arka, dia kemudian memandang pada barisan depan pengurus upacara bendera. Di sana, Ayla melihat sosok Devano mengenakan seragam putih abu-abunya dengan gagah. Mengenakan topi dengan mimik wajah tegas yang sempurna.
Ayla tersenyum malu-malu, demi apa pun, Ayla tidak pernah menyangka jika rasa kagum kepada Devano akan segila ini. Ayla, memegang dadanya yang terus berdetak tak karuan. Entah perasaan apa yang mulai merasuki hati Ayla, dia juga tidak tahu. Hanya saja, setiap kali dia melihat Devano, jantungnya langsung berdetak dengan cara tidak karuan sama sekali.
Apakah ini yang namanya cinta?
Plak!!
“Auh!” keluh Ayla, ketika kepalanya dijitak oleh seseorang, dia menoleh, siapa sangka jika orang yang menjitak itu adalah Arka.
“Mupeng banget lo liatin Devano!” kata Arka kemudian.
“Berisik lo!” sentak Ayla.
Arka tak menjawab ucapan Ayla, dia menarik sebelah alisnya. Mendekatkan wajahnya tepat di depan wajah Ayla dan hal itu berhasil membuat Ayla kaget bukan main.
“Elo yakin pacaran sama Devano?” tanya Arka kemudian. Menarik tubuhnya dari Ayla, dan hal itu berhasil membuat Ayla melotot. “Kok gue nggak yakin, ya, mana mungkin sekelas Devano si cowok paling sempurna di sekolah, mau sama cebol kayak elo. Elo kan monyet,”
“Ar … ka,”
“Udah-udah, fokus upacara!” marah salah satu OSIS yang bertugas di belakang anak-anak baris upacara.
Ayla dan Arka pun pada akhirnya saling diam, menundukkan wajah mereka dalam-dalam. Tapi, Arka adalah Arka, mana bisa dia diam dan tak menjahili Ayla? Bahkan setiap kali Arka selalu mencari gara-gara dengan Ayla apa pun itu asalkan Ayla bisa marah kepadanya. Ya, itu adalah tujuan dari Arka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!