Namaku Sekar Melati Sukma. Aku biasa dipanggil Melati. Aku adalah seorang gadis yang terlahir berbeda dengan anak lain pada umumnya. Di awal kehidupanku, aku sempat kuning, karena kekurangan air susu ibu, dan diusiaku enam bulan, aku mengalami kejang cukup lama, hingga aku dinyatakan koma, dan aku harus tinggal di ruang NICU cukup lama.
Ketika aku balita, pertumbuhanku berbeda dengan teman seumuran ku. Aku selalu terlambat dalam hal perkembangan, sampai aku selalu mendapat catatan dari bidan desa saat di posyandu. Hingga aku masuk Sekolah TK, aku masih sering terkucilkan karena diriku yang berbeda. Banyak teman seumuran ku yang sudah bisa bersepeda, dan asyik bermain dengan teman seumuran, dan dengan asyiknya mereka tertawa bahagia bersama. Sedangkan aku hanya mampu melihat dari jendela kamarku. Ya, aku tidak diijinkan bapakku untuk bermain diluar, karena selain akan diejek, aku akan kecapekan, dan itu mempengaruhi kesehatan ku. Dan hal itu sangat tidak disukai bapakku, karena bapak akan sangat kerepotan jika sampai hal itu terjadi, karena ibuku jauh dariku, dia bekerja sebagai TKW di negeri jiran.
Ketika aku masuk SD, barulah aku memiliki seorang teman, dia bernama Fauzia, yang biasa dipanggil Zia. Dia adalah anak dari keluarga petani, yang kehidupannya pas pasan, tetapi dia begitu baik, dan dia selalu mau berteman denganku, meski banyak teman lain yang menghasutnya untuk menjauhiku, karena aku berbeda. Zia mengajakku untuk bergabung ikut mengaji di masjid, tentu saja untuk hal itu, bapak mengijinkanku, tetapi dengan pengawasan. Aku sangat bahagia, bisa bergabung dengan mereka, meski aku tetap terkucilkan.
Aku terlahir dengan lidah yang kurang normal, lidahku pendek, sehingga untuk berbicara, kata-kataku kurang jelas. Selain itu, sejak lahir paru-paruku memang mengalami kelainan, sehingga aku sering merasakan kesulitan bernapas, bahkan pernah aku merasa hampir mati, karena cukup lama aku kehabisan oksigen, sampai aku pingsan dan dibawa ke rumah sakit.
Bapakku adalah orang yang paling aku sayangi, karena bapak lah yang selalu sigap dengan segala keadaanku, termasuk aku yang harus keluar masuk rumah sakit untuk berobat.
Hingga di tahun kelima aku sekolah di sekolah dasar, ibuku melahirkan anak kembarnya laki-laki. Hatiku sangat bahagia, karena dengan begitu, aku akan punya teman di rumah, tanpa aku harus bermain di luar.
Ibuku sudah lama tidak kembali ke luar negeri semenjak aku kelas empat SD, dan banyak sekali larangan dari ibuku kala itu, termasuk larangan untukku bermain dengan Zia. Sebagai penghibur hatiku yang sepi, aku bermain dengan adik kembar ku. Entah apa alasannya, yang jelas, karena ibuku sangat menyayangiku dan ingin aku selalu baik-baik saja.
Akupun sudah masuk SMP, adik kembar ku sudah masuk usia dua tahun, dimana mereka sudah lepas ASI. karena sebuah keadaan, mengharuskan ibuku kembali ke luar negeri dan meninggalkan aku, bapak dan tentunya kedua adik kembar ku. Kedua adikku dirawat oleh nenekku, sedangkan ayahku bekerja juga dari pagi sampai sore.
Aku masuk SMP bersama Zia. Kami satu sekolahan, tetapi kami berbeda kelas. Aku sangat bahagia, karena aku sudah bisa bermain lagi bersama Zia dan teman-teman seusiaku.
Aku memiliki paras yang cukup cantik, dengan kulitan bersih. IQ ku juga bagus, aku termasuk anak cerdas dan pintar, sejak di Sekolah Dasar, aku selalu mendapat prestasi, sehingga mudah bagiku untuk masuk sekolah menengah pertama favorit di kotaku. Banyak guru yang menyukaiku karena kecerdasan ku, Namun, semua kehidupan ku mulai terasa berubah dan terasa lebih sulit, semenjak suatu kejadian di Usiaku remaja, tepatnya di bangku SMP.
Ikuti terus ceritaku, di bab berikutnya...
Sejak masuk di bangku SMP, Melati sudah tidak seperti dulu saat semua teman di sekolahan, mereka mengetahui latar belakangnya dan mengetahui keadaannya. Di SMP, banyak teman baru yang baru mengenalnya namun mereka welcome padanya.
"Hai, Kenalin, aku Satria." kata Seorang teman laki-laki yang duduk di depan Melati sambil berbalik badan, mengulurkan tangan untuk mengajaknya berkenalan.
"Oh, ya. Aku Melati." kata Melati.
"Nama yang cantik, secantik orangnya." kata Satria sambil tersenyum.
"Terimakasih." jawab Melati tersenyum malu. Ya, malu, karena baru kali ini dia dipuji seorang laki-laki seumurannya.
"Oya, kamu mau ga jadi temenku?" tanya Satria mulai sok akrab.
"Iya, boleh." jawab Melati.
"Okey, mulai sekarang, kita Berteman ya." kata Satria.
"Bukannya semua dikelas ini juga teman?" tanya Melati.
"Tapi kan beda." kata Satria.
"Bedanya?"
"Aku ingin kita jadi sahabat. Ga cuma temen sekelas aja." kata Satria.
"Kenapa kamu ingin bersahabat denganku?" tanya Melati.
"Karena kamu baik." kata Satria sambil menatap Melati dengan penuh arti.
Kebetulan Melati duduk sendiri, karena memang kelas itu jumlah siswa nya ganjil, sehingga Melati kebagian duduk sendiri.
"Kamu, kenapa duduk sendiri?" tanya Satria.
"Gapapa. Udah biasa." jawab Melati.
"Biasa? Kamu terbiasa sendiri gitu?" tanya Satria heran.
Melati mengangguk membenarkan jawaban Satria.
"Kok bisa?"
"Ya, karena aku suka sendiri." jawab Melati.
"Ya udah, mulai sekarang, kamu ga sendiri lagi kok, aku akan temani kamu." kata Satria.
Lagi-lagi kata-kata Satria mampu membuat Melati merona merah wajahnya.
"Ehm, pak guru datang" kata Melati mengingatkan Satria. Satria pun memutar kembali badannya menghadap kedepan.
"Selamat pagi semuanya." sapa pak Guru yang baru dikenal Melati. Karena memang, Melati dan teman-temannya baru masuk lima hari.
"Pagi pak..." jawab semua penghuni kelas.
"Okey, perkenalkan, nama saya Dewa, saya disini akan mengajar pelajaran TIK, Teknologi, Informasi dan Komunikasi. Karena komputer di sekolahan ini terbatas, maka saya akan membagi kalian menjadi dua kelompok ya. Nomer Absen satu sampai absen duapuluh, sebagai kelompok satu, dan absen duapuluh satu sampai absen terakhir sebagai kelompok dua." kata pak Dewa.
"Kalian mengerti?" tanya pak Dewa.
"Mengerti pak." jawab para siswa kelas 7A.
"Untuk pertemuan pertama, saya belum memulai untuk praktik ya, kita akan mulai untuk teori Dan perkenalan dulu." kata pak Dewa.
Satu persatu dari kamipun memperkenalkan diri dengan menyebut nama dan alamat kami. Hingga jam pelajaran selesai, kamipun waktunya pulang.
Saat di parkiran sepeda, aku bersama Zia berjalan bersama dan mengambil sepeda kami untuk segera pulang. Merekapun mengobrol sambil mengayuh sepeda menuju rumah.
"Eh, Zi, tempatmu uda ada pelajaran TIK belum?" tanya Melati.
"Udah, kemarin. Kenapa Mel?" tanya Zia.
"Siapa gurunya?" tanya Melati.
"Pak Dewa."
"Sama dong."
"Oya?"
"Iya."
"Aku denger, pak Dewa itu masih baru lho di sekolahan, beliau masih kuliah juga." kata Zia.
"Tau darimana kamu Zi?" tanya Melati.
"Dari temen sekelas ku, kebetulan katanya dia tetanggaan sama pak Dewa." kata Zia.
"Oh. gitu?"
Saat mereka sedang berbincang, tiba-tiba seorang cowok lewat dengan sepeda gunungnya.
"Hai Melati." sapa Satria.
"Satria?"
"Siapa Mel?" tanya Zia.
"Dia ini temen sekelas ku Zi. Sat, kenalin, ini sahabatku. namanya Zia." kata Melati.
"Oya. salam kenal Zia. Aku Satria."
"Ohya salam kenal." jawab Zia.
"Ehm, Mel, aku duluan ya." kata Satria menyalip Melati dan Zia.
"Oh, ya Sat." jawab Melati.
Saat Satria sudah agak jauh, Zia bertanya pada Melati.
"Itu tadi temen sekelas kamu Mel? Akrab banget?" tanya Zia.
"Iya Zi, alhamdulillah, sejak SD, aku jarang punya teman, kemarin juga aku sempet khawatir, nanti aku ada temen engga kalau kita beda kelas, ternyata, ada." kata Melati.
"Ya ampun Mel, yakin aja. Percaya diri, kamu itu juga butuh teman, kamu juga berhak berteman dengan siapa aja." kata Zia.
"Tapi ga semua orang bisa nerima keadaanku Zi." kata Melati.
"Tapi aku dan Satria bisa nerima kamu." kata Zia.
"Makasih ya Zi."
"Sama-sama." jawab Zia.
💞💞💞
Waktu terus berlalu, Tak terasa sudah enam bulan Melati bersekolah di SMP Favorit itu.
Suatu pagi, seperti biasa, Melati membereskan rumah sambil menggendong adiknya yang kecil, dan tentunya sambil tetap membereskan rumahnya. Sedangkan bapaknya juga menggendong adik yang satunya, dengan sambil memasak. Namun, aku merasakan, tanganku seperti kram, hingga akhirnya aku menurunkan adikku dan aku beristirahat sejenak.
"Melati, itu kerjaan masih belum selesai kenapa sudah istirahat?" omel nenek yang baru masuk ke rumahnya.
"Sini, Aldo sama nenek." kata nenek Giyam sambil menggendong Aldo, adik Melati yang tadi Digendong Melati.
Dengan segera dan menahan rasa sakit pada ulu hatinya karena menahan rasa pada tangannya, Melati melanjutkan pekerjaan nya. Dilihatnya jam sudah menunjukkan pukul enam pagi, dia sudah harus bersiap-siap berangkat sekolah.
Saat sedang mencuci piring, tak dirasakan Melati, tiba-tiba piring yang dia pegang lepas dan akhirnya pecah. Dia merasakan tangan kanannya mati rasa, dan tidak ada kekuatan sedikitpun, lemas tak bertenaga dan tak dapat merasakan apapun, termasuk air.
Praaaaang...
"Astagfirullah." kata Melati spontan, refleks aku memegang tangan kanannya sambil meringis.
"Ya ampun Melati!" teriak nenek.
"Pecah lagi piring nya?" tanya nenek tak habis pikir dengan Melati .
"Maaf nek." lagi lagi hanya kata itu yang mampu Melati ucapkan sambil berusaha untuk mbereskan kepingan hati.
Setelah membersihkan pecahan piring, Melati juga menyusun kepingan hati yang juga pecah karena bentakan neneknya. Tangannya yang mati rasa tampak keluar darah, sehingga Melati segera mengobati luka itu dan menutupnya dengan hansaplast. Melati melihat jam sudah menunjukkan pukul 6.30 Melati segera beranjak dari duduknya, dan akan melanjutkan pekerjaan nya di dapur, namun, dia bingung harus gimana megang nya, karena tangan kanannya masih mati rasa, lemas tak bertenaga.
"Tinggalkan saja pekerjaanmu Mbak, segeralah berangkat sekolah, ini sudah siang." kata pak Yudi, bapaknya Melati.
"Eh, ehm... Ya pak." kata Melati sambil beranjak ke kamarnya untuk mengambil tasnya dan memakai sepatunya.
"Pecah lagi piring nya?" tanya pak Yudi sambil menggendong Aldi saat Melati memakai sepatunya dengan tangan kirinya. Tampak putrinya kesulitan menalikan tali sepatunya, pak Yudi pun mendekati Melati.
"Tanganmu lemas lagi mbak?" tanya pak Yudi membahasakan adiknya dengan sebutan mbak.
"Ehm, gapapa kok pak." kata Melati berusaha tetap baik-baik saja dihadapan bapaknya.
"Bapak bantu mbak." kata pak Yudi sambil meletakkan Aldi yang sudah minta jalan jalan sendiri.
Pak Yudi pun menalikan tali sepatu Melati.
"Terimakasih pak." kata Melati sambil mencium tangan bapaknya.
"Perlu bapak antar?" tanya pak Yudi.
"Ga usah pak." kata Melati.
"Bisa naik sepeda sendiri?" tanya pak Yudi.
"Biasanya kan juga bisa pak." kata Melati.
"Hmmm maksud bapak, tanganmu masih sakit kan?" tanya pak Yudi yang sudah mengetahui kalau tangan Melati sering lemas tak bertenaga dan mati rasa.
"Gapapa pak, tangan kiri masih bisa." kata Melati yang bertekad untuk tidak merepotkan bapaknya.
"Melati berangkat ya pak, Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam." jawab pak Yudi melepas keberangkatan putrinya berangkat sekolah.
"Kamu kuat nduk, kamu kuat. Maafkan bapak mu ini yang tidak bisa menjadi bapak yang baik buatmu. Semoga kamu kelak bisa mendapatkan kebahagiaan mu." batin pak Yudi dengan mata yang berkaca-kaca.
"Pa...Apak." panggil Aldi yang tadi bermain sendiri, kini sudah di dekat pak Yudi. Pak Yudi pun segera menggendong Aldi untuk dimandikan, karena jam delapan dia juga harus berangkat kerja.
Sedangkan Melati sudah sampai di rumah Zia, dan ternyata Zia masih menunggunya.
"Maaf Zi, kita jadi terlambat. Aku kira kamu sudah duluan." kata Melati.
"Belum kok Mel, ya udah ayo berangkat, sudah terlambat ini." kata Zia.
Merekapun segera mengayuh sepeda mereka menuju sekolahan. Sesampainya di sekolahan, pintu gerbang sudah ditutup, tetapi mereka minta ijin untuk masuk, dengan prosedur masuk ruang BK terlebih dahulu, karena harus dicatat atas keterlambatan mereka.
"Mel, kelasmu ini jadwalnya siapa?" tanya Zia.
"Bu Kus." jawab Melati.
"Bu Kus? Wah, bakal ga boleh masuk kelas dong kamu Mel." kata Zia.
"Ehm, iya sih. Tapi gapapa, aku coba masuk dulu, kalo ga boleh, ya nanti aku belajar dari luar." kata Melati.
"Perlu aku anterin.?" tanya Zia.
"Ga perlu Zi."
Merekapu. berpisah di koridor. Zia ke kelasnya, dan Melati juga langsung menuju kelasnya sendiri.
Tok tok tok
"Assalamualaikum." salam Melati membuka pintu.
"Wa'alaikumsalam." jawab bu Kus.
"Maaf bu, saya terlambat." kata Melati.
"Sudah tau konsekuensi nya kalau terlambat?" tanya bu Kus.
"Tau bu."
"Silakan tunggu diluar."
"Baik bu."
Melatipun kembali keluar kelas karena tidak diijinkna masuk kelas. Tangannya sudah lebih baik, tidak mati rasa lagi. Tetapi luka bekas pecahan piring tadi, cukup sakit juga di jari telunjuknya. Melatipun membaca-baca materi pelajaran Biologi, yang diampu oleh ibu Kus.
"Melati?" sapa seseorang yang tenyata itu gurunya sendiri.
"Pak Dewa?"
"Kenapa di luar?" tanya pak Dewa.
"Ehm, saya datang terlambat pak." jawab Melati.
"Kok bisa? Biasanya kamu tertib kan?" tanya pak Dewa.
"Ehm, bapak duduk sini ya." lanjut pak Dewa yang sudah duduk di kursi dekat Melati.
"Ya pak. Silakan." kata Melati.
"Kamu belum jawab pertanyaan bapak, kenapa terlambat?"
"Ehm, tadi adik saya rewel pak."
"Owh... begitu?"
"Ehm. Pak Dewa ga ngajar?" Melati mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Ngajar, tapi nanti. Pas saya lihat Melati duduk disini sendiri, ya bapak ke sini. Gapapa kan bapak temani?" tanya pak Dewa ramah.
"Oh, ya pak. Gapapa."
Merekapun berbincang banyak hal, Pak Dewa menyemangati Melati terkait belajar yang harus terus dijalaninya. Dan bercerita tentang ilmu teknologi dan informasi dan komunikasi sesuai mata pelajaran yang diajarkan pak Dewa.
Setelah terdengar bel pergantian jam pelajaran, pak Dewa pamit untuk mengajar, dan Melati juga beranjak dan masuk ke kelasnya, setelah bu Kus keluar dari kelasnya.
"Mel, kok tumben sih kamu telat?" tanya Satria setelah Melati duduk di kursinya.
"Biasa, adikku rewel." jawab Melati.
"Sampe sesiang ini?"
"Iya."
"Eh, bentar. Ini, tangan kamu kenapa Mel?" tanya Satria memegang jemari Melati yang dihansaplast.
Gadis berjilbab itu menarik tangannya yang dipegang oleh Satria dengan menunduk, dia tidak terbiasa jarinya dipegang laki-laki lain kecuali bapaknya.
"Gapapa." jawab Melati menyembunyikan jemari tangannya di pangkuannya.
"Bentar Mel. Jangan gitu lah Mel, kita ini sahabat lho, ayo lah cerita sama aku." kata Satria khawatir.
"Aku gapapaa Sat."
"Hem, ya udah. Okey, aku harap, memang begitu adanya. Kamu baik-baik ya Mel."
"Iya."
Kemudian guru pelajaran matematika pun datang. Satria kembali tenang dengan duduk ya, begitupun dengan Melati. Mereka fokus dengan pelajaran yang diberikan oleh guru matematika. Hari ini ada banyak catatan yang harus Melati kerjakan, belum lagi catatan dari bu Kus tadi, yang dipinjam Melati dari Satria.
Saat jam istirahat, Melati meminjam buku Satria untuk menyalin catatan.
"Sat, pinjam bukumu dong, ada catatan Apa dari bu Kus tadi?" tanya Melati.
"Biasa Mel, ada banyak catatan dari beliau, biasa lah, kalau pelajaran Biologi kan pasti gitu, catetannya se papan tulis penuh." kata Satria menyerahkan bukunya.
"Aku pinjem dulu ya." kata Melati.
"Mau kamu salin sekarang?"
"Ehm, iya."
"Kamu ga ke kantin dulu aja, makan. Emang kamu ga laper?"
"Ehm,..."
"Udah, bawa aja bukuku, sekarang ikut aku ke kantin yuk, kita makan dulu." ajak Satria, cowok berkacamata yang memang tampak culun itu, menarik tangan Melati untuk menuju ke kantin, menghentikan niat Melati untuk menyalin catatan sekarang.
"Ehm, ya udah deh, ayuk."
Satriapun bejalan beriringan bersama Melati menuju kantin untuk makan bersama, karena Satria tahu, dengan kesiangan, pasti Melati belum sarapan, sehingga dia mengajak Melati untuk sarapan terlebih dahulu. Merekapun makan bersama di kantin dengan Ditraktir Satria.
"Makan yang banyak, jangan sampe perutmu kosong Mel, entar tanganmu lemes lagi kaya kemarin." kata Satria yang sudah mengetahui keadaan Melati akhir-akhir ini.
"Hem" hanya itu jawaban Melati.
Satria terus mengamati Melati yang tampak sedang menutupi sesuatu darinya, Namun Satria tak ingin mengusik kenyamanan gadis itu, karena baginya, Melati mau menuruti kemauannya saja, itu sudah lebuh dari cukup.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!