Gibran memacu mobilnya dengan kecepatan sedang. Wajahnya mengeras, sesekali melirik seorang gadis berseragam batik yang sesunggukan di sampingnya. Rasa lelahnya yang baru saja pulang latihan tak terasa lagi di gantikan rasa marah pada gadis dengan seragam awut-awutannya.
"Nad tidak merokok, oooom. Nad di fitnah."
Gibran menulikan telinga mendengar pembelaan gadis belia di sampingnya itu. Apa yang disampaikan guru BK gadis ini membuat kepalanya serasa ingin pecah. Ini ke sepuluh kalinya dalam bulan ini Gibran ke sekolah untuk menjemputnya di ruang BK dengan alasan yang kadang otak cerdasnya tidak bisa pahami. Bagaimana mungkin seorang gadis belia berwajah manis polos seolah tanpa dosa melakukan hal-hal luar biasa itu. Kedapatan bolos dengan memanjat tembok, berebut lipstick sampai cakar-cakaran, menghajar seorang cowok, mengempeskan ban motor guru, membakar buku perpus, mencoret---Arg, Gibran tak sanggup lagi mengabsen satu persatu ulah gadis ini.
"Nad--"
"Diam Nadia. Om bilang, diem!!!" Gibran menatap tajam gadis bernama nadia itu, gadis belia yang baru saja duduk dibangku SMA kelas 12 yang kini menjadi tanggungjawabnya dengan statusnya, Nyonya Gibran Al Fateh.
"Oooom jahaaaat. Om gak pernah dengar Nadia. Nad benci om. Benci!!!"
Gibran terkekeh sinis, "Om nggak peduli Nadia."
Gadis di sampingnya itu semakin kesal. Ia tak segan melempar tas punggungnya pada Gibran hingga mobil oleng hampir menabrak pembatas jalan.
"NADIA!!!"
"APA? OM MAU MUKUL?! NIH PUKUL!!! NADIA BENCI SAMA, OM. BENCIIII!!!" Nadia mengarahkan wajahnya menantang Gibran. Pria berseragam loreng itu hanya menghela nafas. Ia menepikan mobil di pinggir jalan dan hanya diam membiarkan Nadia memukulinya sesuka hati. Tenaga dari kepalan tangan gadis kecil itu tak berpengaruh sama sekali pada dirinya.
"Udah?" Tanyanya saat Nadia tak lagi memukulinya. Mungkin lelah sendiri karena jelas Gibran tak merasa sama sekali harus menghentikan pukulan yang terasa seperti gelitikan itu.
"Nadia benci, om." Nadia menangis sesungggukan, kesal karena Gibran sama sekali tidak menanggapinya dengan serius.
"Nanti lanjutin di rumah. Bahaya kalau dijalan." Ujar Gibran lalu kembali memacu kendaraannya menuju salah satu kompleks mewah dimana Nadia tinggal.
Mobil berhenti tepat di depan pintu rumah. Satpam yang berjaga sudah menutup kembali pintu gerbang dan bergegas untuk membuka pintu rumah megah itu.
Gibran melepaskan Seatbelt yang membelit tubuh tegapnya lalu keluar dari mobil. Ia membuka pintu mobil samping dan tanpa beban mengangkat badan kecil Nadia yang sudah terlelap setelah lelah menangis.
"Terima kasih, Pak. Tolong mobilnya di masukan dalam garasi." Ucapnya pada satpam yang mengangguk patuh di depan pintu.
Gibran masuk dalam rumah besar nan megah itu dengan Nadia dalam gendongannya. Ia beranjak ke lantai dua setelah sebelumnya berpesan pada bibik untuk menyiapkannya makan malam.
Kamar dominasi pink dengan banyak tempelan gambar-gambar cowok dari negara gingseng tertata dengan rapi. Gibran membaringkan Nadia dengan hati-hati. Tanpa sungkan melepaskan satu persatu kancing seragam Nadia yang sudah berselancar di alam mimpinya. Setelah semua kancing terlepas, ia tak langsung melepaskan seragam Nadia melainkan menaikkan selimut untuk menutupi badan gadis berumur tujuh belas tahun itu. Gibran lalu berdiri membuka lemari dan mengambil sepasang piyama bergambar stroberi yang ada di tumpukkan baju lainnya yang tersusun dengan rapi.
Gibran menghembuskan nafas kasar, menatap gamang sosok gadis remaja yang terlelap dalam bungkusan selimut. Jika saja keadaan ini terjadi sepuluh tahun yang lalu, ia tak akan sebingung ini sekarang. Nadia bukan lagi gadis berseragam merah putih yang bisa ia perlakukan sebagai anak sendiri. Nadia seorang gadis belia dengan paras dan bentuk tubuh yang meskipun mungil tapi tetap saja terlihat pas pada bagian-bagian tertentu yang menunjukan bahwa ia tak bisa lagi sembarang menyentuhnya. Tapi bagaimanapun ia tak bisa membiarkan Nadia tertidur dengan pakaian yang seharian ia pakai. Maka dengan ragu, disingkapnya selimut tersebut. Gibran menghalihkan pandangannya ke tempat lain sedangkan tangannya melepaskan seragam yang membalut tubuh Nadia. Setelah seragamnya serlepas, ia menggantinya dengan piyama kancing yang cukup memudahkannya menyelesaikan pekerjaan itu secepatnya. Gibran menghembuskan nafas lega setelah kancing terakhir terpasang dengan benar. Ditatapnya Nadia dengan lekat sebelum kemudian meninggalkan kamar gadis itu.
***
"Nadia belum turun, Bik?"
Bibik yang sedang menyiapkan makanan menggeleng.
"Belum, Pak. Katanya non nadia mogok makan hari ini."
Gibran menghela nafas pelan, ia membalik piring lalu menyendok nasi goreng yang sudah disiapkan dengan segelas air hangat di depannya. Ia baru saja selesai lari pagi. Saat ia bangun subuh tadi, Nadia masih tertidur lelap.
"Dia sering begini, bik?" Tanya Gibran setelah meneguk air putih di gelasnya.
"Baru kali ini, Pak. Dulu waktu masih ada Tuan dan Nyonya juga biasa begini tapi Nyonya selalu bawa makanan ke kamarnya." Jelas bibik sembari menyerahkan jus apel pada Gibran.
Gibran mengangguk paham. Kehilangan orangtua bukanlah hal yang mudah bagi setiap orang. Kedua orangtua Nadia yang merupakan seniornya telah tiada karena kecelakaan mobil sepulang dari mengantarnya ke bandara tujuh tahun lalu ketika Gibran akan berangkat ke afrika sebagai pasukan pengamanan daerah konflik. Ia tidak mengetahui kabar meninggalnya dua sahabatnya itu sampai ia menelfon di Indonesia di waktu luangnya. Perasaannya hancur mengetahui keadaan dua karibnya yang telah tiada tepat di hari keberangkatannya terlebih memikirkan putri mereka yang sangat muda, Nadia.
Setelah selesai sarapan, Gibran kembali ke kamar Nadia. Ia membuka gorden yang menghalau sinar matahari menembus kamar gadis itu.
"Biiiik, jangan di bukaaa." Rengek Nadia merasa terganggu dengan sinar matahari yang menyilaukan matanya. Ia mengambil bantal untuk menutup kepalanya. Selimut yang ia pakai sudah terjatuh ke lantai memperlihatan tungkai putihnya yang hanya mengenakan rok abu-abu yang kini tersingkap setengah pahanya. Gibran yang berdiri menyaksikan bagaimana gadis itu kembali menikmati tidurnya hanya bisa menggelengkan kepala.
Gibran mendekati ranjang dan menurunkan rok Nadia. Ia kemudian menarik bantal yang menutupi kepala Nadia membuat gadis itu memberenggut kesal.
"Bibik jangan rese deh!!!" Gumamnya kesal.
"Bangun!" Gibran menyenggol kaki Nadia.
"Ish!!!"
"Bangun atau Om siram."
"ASTAGAAAAAAA TIRANIIII!!!" Nadia terduduk dengan wajah bantalnya. Bibirnya memberenggut kesal.
"Mandi lalu sarapan."
"NGGAK!!!"
"nad?!" Tegur Gibran penuh ancaman.
"IYAAAA AH!!! BAWEL BANGAT!!!" Semprotnya kesal. Nadia beranjak dari ranjang dengan menghentak-hentakkan kakinya kesal menuju kamar mandi.
Gibran yang sudah terbiasa dengan kekeras kepalaan gadis itu hanya bisa menghela nafas lelah. Menunggu gadis itu menyelesaikan kegiatannya di kamar mandi yang akan sangat lama, Gibran merapikan ranjang bersprei pink itu. Setelah merapikan ranjang ia beranjak menuju meja belajar Nadia mengecek buku pelajarannya apakah terpakai dengan benar atau hanya berakhir menjadi pesawat-pesawatan seperti biasa. Ia cukup bangga saat melihat nilai-nilai gadis itu. Meskipun bandel, Nadia adalah anak yang cerdas, kecerdasannya sudah tentu mengalir dari DNA kedua orangtuanya yang merupakan orang-orang hebat yang sangat di hormatinya.
"Oooooom! Nad lupa bawa handuk." Nadia berteriak dari dalam kamar mandi.
Gibran menutup buku di tangannya lalu berjalan mengambil handuk bersih nadia yang ada di dalam lemari.
"Ini!" Katanya membalikkan badan memunggunggi pintu kamar mandi. Nadia membuka pintu pelan lalu mengulurkan tangan merebut kasar handuk pink di tangan Gibran kemudian menutup kembali pintu kamar mandi dengan sedikit bantingan. Rupanya kekesalannya semalam belum juga reda.
Gibran tengah duduk di sisi ranjang menatap foto di frame besar yang terpasang di dinding dekat cermin besar Nadia. Dua orang berwajah teduh tengah tersenyum lebar kearah kamera sedangkan seorang gadis kecil dengan rambut di kuncir dua mengenakan seragam putih merah mengalungkan kedua tangannya erat mencium pipi seorang pemuda berseragam loreng baret biru yang tengah menggendongnya. Gibran ingat foto tersebut diambil saat hari naas itu. Itulah terakhir kalinya ia melihat senyuman dua orang yang berarti dalam hidupnya.
"Om ngapain masih disini? Balik sana!!!" Gibran menoleh keasal suara. Nadia menatapnya tajam dengan kedua tangan terlipat di dadanya. Gibran memindai Nadia dari ujung kaki keujung kepala. Naura hanya mengenakan handuk sebatas paha dengan rambut basa di gulung handuk kecil tanpa alas kaki.
"Saya tunggu kamu. Cepat gantian. Kita harus sudah berada di asrama sebelum siang." Gibran beranjak dari ranjang mengambil sendal bulu-bulu Nadia dan memakaikan pada gadis remaja yang menatapnya dengan alis terangkat satu.
"Kita? Om aja, nadia enggak." Katanya jutek. ia memasukkan kakinya dalam sendal bulunya lalu berjalan kearah lemari untuk memilih pakaian yang akan dia pakai untuk menghabiskan hari minggunya bersama sahabat-sahabatnya.
"Mulai sekarang Nadia ikut ke asrama. Tinggal disana."
"Whaaaaat!!! No way!!! Om jangan semena-mena ya. Nad nggak mau hidup di tempat kayak penjara gak jelas seperti itu." Tolaknya keras. Nadia menatap Gibran nyalang. "Om nggak bisa maksa-maksa nadia."
"Kamu tidak bisa menolak. Itu hukuman untuk kamu." Kata Gibran tenang. Ia mendekati Nadia, berdiri di depan gadis belia yang melihatnya seolah siap untuk mengunyahnya. Ia mengulurkan tangannya melewati tubuh Nadia meraih baju kaos dan sepasang dalaman yang juga bisa di jangkaunya dengan mudah.
"Pakai!" Perintahnya mengabaikan wajah kusut Nadia.
"Nggak mau!"
Gibran mengangguk, meraih ujung handuk Nadia "Biar saya pakaikan."
"SINIIN!!!" Bentaknya kesal mengambil kasar pakaiannya yang ada di tangan Gibran.
Gibran tersenyum tipis, menepuk pelan pipi Nadia "Jangan nakal. Kamu tidak akan pernah menang melawanku." Ujarnya pelan mengantarkan pesan mengancam dengan cara yang sangat halus membuat Nadia semakin kesal.
"Dasar om-om jahat!"
Gibran acuh. Ia berlalu membiarkan Nadia memakai pakaiannya sementara dirinya mengambil koper hitam Nadia dan mulai memasukkan barang-barang yang perlu di bawa gadis itu.
"Kenapa pakaianmu kekecilan semua?" Tanya Gibran heran merentangkan satu persatu pakaian nadia dengan wajah heran.
Nadia yang sudah selesai memakai dalamnya di balik handuk mencibir "Pakaian anak jaman now, om. Orangtua mana paham." Sindirnya mendekati Gibran dengan melipat kedua tangannya di dada. Tak niat sama sekali untuk membantu.
"Setelah ini kita ke toko pakaian. Beli yang baru. Yang ini di bakar saja."
"NO WAY IN MILLION WAYS!!!" Tolak Nadia merebut pakaiannya dari tangan Gibran. Ia mendorong tubuh besar itu menjauh dari lemarinya. Nadia merentangkan tangannya di depan pintu lemari menghalau Gibran menyentuh koleksi pakaiannya yang setengah mati ia dapatkan.
"Kalau om berani menyentuh sehelai pakaian Nad, om bakalan liat pesawat-pesawat om yang selemari itu menjadi sampah daur ulang." Ancamnya.
Gibran terdiam. Bukan karena memikirkan pesawat-pesawatnya namun karena pemandangan di depannya yang cukup mengusik nalurinya sebagai pria dewasa.
"Handuk kamu lepas."
"Huh? KYAAAAAAAAAAA!!!"
---
Kenalan yuk sama gadis nakalnya om Gibran
Nadia bersungut menyeret kopernya masuk ke dalam salah satu rumah bercat hijau yang berjejer rapi dalam kompleks militer. Ini bukan pertamanya ia datang ke tempat ini. Menjadi seorang istri tentara dengan segala macam keribetan administrasi pernikahan kompi membuat ia terbiasa ke komplek ini untuk menyelesaikan urusan mereka yang waktu itu membuatnya hampir melarikan diri keluar negeri jika saja Gibran tidak menemukan jadwal tiket keberangkatannya menuju seoul, tempat yang pas untuk melarikan diri. Sebenarnya dirinya termasuk anak yang mudah diatur tapi saat kedua orangtuanya pergi selama-lamanya ia tak punya alasan lagi untuk menjadi anak patuh dan disiplin. Ia tak punya siapa-siapa lagi yang bisa ia banggakan. Ditambah lagi dengan keberadaan Gibran mengobrak abrik seluruh hidup tenangnya dengan peraturan-peraturan yang menyakitkan kepala.
"Masuk! Jangan bengong disitu."
Nadia memutar bola mata kesal. Satu-satunya orang yang bisa menyeretnya ke tempat ini hanyalah orang itu, Kapten Gibran Al fateh si penguasa alam semesta yang berstatus sebagai suaminya. Nadia sebenarnya lebih baik lupa ingatan daripada mengingat dirinya sebagai istri dari seorang Gibran. Pernikahan itu, jika bukan karena pesan ayahnya di akhir nafas lelaki yang dicintainya itu, ia tak akan pernah sudi menjadi istri orang tua sekaku kanebo kering itu. Seingatnya dulu Om Gibrannya adalah seorang cowok ganteng yang hangat begitu memanjakannya, menuruti setiap keinginannya bukan om-om tua pengatur yang kerjaannya cuma bisa memerintah hidupnya seenak perasaannya.
"Kamar Nad mana?"
Gibran menatap Nadia dengan kering berkerut "Itu! Kamu lupa ranjang pengantin kita?" Ujar Gibran dengan seringai nakalnya.
"Astaga mulutnya!!!" Nadia mengipasi wajahnya yang tiba-tiba menghangat. Ingatan saat malam pertama ia datang ke tempat itu benar-benar membuat ia memikirkan kembali keinginannya untuk membenturkan kepala di tembok agar segera amnesia. Dirinya yang pagi itu terbangun dengan posisi menelungkup diatas badan Gibran yang tak mengenakan baju dengan otot-otot liat yang super wow seketika mengubah dirinya seperti wanita ja*ang mengendus, menjilat, mengemut---astagaaaa, Oke salahkan dirinya yang tak bisa membedakan pangeran di surga dan Gibran si malaikat penjaga neraka dan minuman bening si*lan itu.
"Om jangan macam-macam ya. Nad laporin kak seto loh!"
Gibran mengedikkan bahu "Kak seto kamu itu tidak akan bisa apa-apa kalau om tunjukin kartu hijau." Balas Gibran mengambil alih koper Nadia dan menyeretnya masuk dalam kamar. Nadia menyusul dengan gerutuan tak berujung.
"Itu sepreinya gak bisa ganti pink saja? Hijau mulu kayak t*i kuda." Nadia melipat tangan di dada mengomentari satu persatu barang yang ada di kamar yang pernah di tempatinya selama seminggu.
"Terserah kamu saja." Gibran tak mau ambil pusing dengan urusan pemilihan warna. Bahkan tanpa ranjangpun ia masih bisa tidur nyenyak.
"Beresin pakaian kamu! Disini gak ada bibik yang bisa kamu perintah." Lanjut Gibran membuka koper Nadia dan membiarkannya begitu saja. Pria itu keluar kamar meninggalkan Nadia yang menganga tak percaya mendegar perintah dari si malaikat kerak neraka. Nadia menghentakkan kaki kesal membayangkan hari-harinya di tempat itu pasti tidak ada ubahnya dengan tinggal dibalik jeruji besi.
Bukannya membereskan kopernya Nadia malah melemparkan tubuhnya diatas ranjang yang tak seempuk ranjangnnya. Ia mengernyit saat merasakan punggungnya yang sedikit nyeri merasakan kerasnya kasur tipis Gibran. Badannya pasti hancur lebur kalau ia tidur setiap malam di ranjang seperti ini. Seminggu dulu saja ia sampai tidak masuk sekolah karena merasa badannya tak bisa di gerakan sama sekali. Oleh karena demi keselamatan jiwa dan raganya Ia harus pikirkan cara agar secepatnya keluar dari rumah hijau tersebut. Bahkan kalau pilihan terakhirnya adalah pura-pura mati, ia akan lakukan.
.
.
.
"Om, nad laper." Nadia keluar kamar dengan penampilannya yang masih sama. Baju hitam dan rok hitam hanya saja kunciran di rambut panjangnya sudah ia lepas.
Gibran yang tengah membaca buku di ruangan depan melirik jam di pergelangannya "Mau makan apa?" Tanyanya tanpa mengalihkan perhatiannya dari halaman perhalaman buku di tangannya.
"Pizza, ayam bakar, dan thai tea yang ada di dekat rumah." jawab Nadia mendekat pada Gibran, tanpa segan duduk menyandarkan kepalanya di bahu bidang pria dewasa itu mengintip apa yang sedang dibacanya. Nadia mencibir melihat tulisan kecil yang selalu seperti obat tidur baginya. Seharusnya Gibran nikahi saja buku-bukunya tak perlu menyeret dirinya dalam masalah rumah tangga yang pelik. Tapi amanah papa? Nadia memanyunkan bibirnya mengendus-endus bahu Gibran. Baunya enak.
"Isi koper kamu udah dipindahin dalam lemari?" Gibran yang kegelian menjauhkan kepala Nadia dari badannya.
Nadia mengangguk, "Lengan nad sakit bangat. Butuh spa dan menipedi sekalian." Katanya sembari mengangkat kakinya bertumpu diatas meja. Sepatu boots selututnya masih terpasang lengkap membungkus kaki putihnya. Kepalanya tak lagi menyandar setelah diberi sentilan manis di jidatnya dari sang suami.
Gibran mendorong kaki Nadia dengan kakinya hingga terhempas diatas lantai.
"Duduk yang bener."
Nadia berdecih, sekuat tenaga mengepalkan tangannya memukul dada Gibran "Ngeseliiiiiin!!!" Pukulnya bertubi-tubi "Pokoknya nad nggak mau lama-lama disini. Sumpek. sempit dan arghhhh... tante-tantenya sibuk bangat nyinyirin nad." Ujarnya kesal. Ia tak menghiraukan bagaimana Gibran menatapnya yang penting ia harus segera meninggalkan tempat menyebalkan ini. Salah satu yang membuatnya tidak bisa betah di rumah hijau itu adalah omongan tetangga, ibu-ibu komplek yang bermulut manis namun menyimpan nyinyiran di belakangnya tentang statusnya yang masih sekolah tapi sudah menjadi seorang istri. Di tuduh MBA lah, penebus utanglah, nikah bayaran lah, paling parah dirinya dituduh menggoda Gibran si lelaki baik-baik, astagaaaaaa sinetron dan segala kebulshitannya dianut oleh ibu-ibu kurang kerjaan itu dan Nadia sangat membencinya.
"Tergantung sikap kamu." Kata Gibran tenang, mengabaikan semua umpatan dan makian gadis belia yang kini menatapnya dengan bibir manyun, kedua alis menukik tajam.
"Lapeeeeeer!!!" Nadia mengelus perut ratanya yang sudah mengeluarkan bunyi protes sejak di kamar tadi.
"Belum kenyang makan hati?"
"BELOOOOM!!! OM GAK ADA HATI, GAK ADA YANG BISA DIMAKAN!!!" Nadia kembali menjatuhkan kepalanya di bahu Gibran sengaja menghentakkannnya dengan sedikit keras.
"Kamu gak capek teriak-teriak?"
"GAK!!!"
Gibran terkekeh, ia meletakkan buku di tangannya diatas meja. Kedua tangannya beralih meraih pipi Nadia menepuk-nepuknya pelan membuat wajah Nadia terlihat semakin lucu dengan bibir monyong.
"Tunggu disini, om keluar beli makanan. Nanti malam saja kita memasak." Kata Gibran melepaskan kedua tangannya dari pipi gadis belianya lalu berdiri mengambil kunci motor yang tergantung di dinding dekat pintu kamar. Nadia segera beranjak menyusul saat melihat gibran membuka pintu keluar rumah.
"Tunggu disini saja."
"Nad ikut." Nadia berucap ngeyel. Satu tangannya mengapit lengan Gibran tak mau ditinggal.
Gibran menarik nafas melihat penampilan istri kecilnya yang terlihat seperti rocker kecil yang siap manggung, pakaian yang serba hitam super minim.
"Ganti baju sana!"
Nadia menggeleng "NO! Ribet, nanti om tinggal." Tolak nadia mengeratkan lilitannya di lengan berotot Gibran.
"Gak boleh ikut kalau begitu." Gibran pun tak mau kalah dengan gadis keras kepala yang bergelayut manja di badannya.
Nadia menggelengkan kepala dramatis. Kali ini kedua tangannya berpindah memeluk pinggang Gibran dari samping seolah tak ingin terpisah.
Gibran memijat pelipisnya yang tiba-tiba pusing akan kelakuan Nadia yang tak bisa diberi tau. Dengan langkah berat karena Nadia yang tak juga melepas pelukannya, Gibran masuk ke dalam kamar dan mengambil salah satu jaket Armynya yang ia gantungkan di belakang pintu. Tangannya melepas lilitan jari Nadia yang bertaut disisi tubuhnya.
"Pakai!" Ujarnya menyerahkan jaketnya pada Nadia.
Nadia menggeleng "Ih, gak matching, Om. Udah gini aja, keren. Ngapain sih ngerecokin style nadia?!" Kedua tangannya terlipat di dada menatap malas jaket Gibran yang menurutnya sangat tidak sesuai dengan pakaian yang ia kenakan.
Tak memperdulikan penolakan Nadia, Gibran memakaikan jaket miliknya ketubuh mungil Nadia tanpa kesulitan.
"Ayo!" Katanya puas melihat jaket besarnya membungkus badan Nadia.
Nadia menghentakan kaki kesal melihat penampilannya yang sangat tidak bergaya. Jaket gibran bahkan menyentuh ujung bootsnya. Apa-apaan ini, Udah mirip orang-orangan sawal, gerutunya sebal.
"Naaad!!!"
Suara Gibran dari arah luar rumah mau tidak mau menyeret langkahnya keluar. Mukanya kusut dan masam, menatap sebal pria yang sudah duduk tenang diatas motornya.
"Jadi ikut nggak?"
"JADIIII!!!" Ujarnya sebal lalu berjalan dengan kaki di hentakkan membuat bunyi yang sangat berisik.
"Tutup pintu!"
"ARGH!!! BAWEL!!!" Nadia rasanya ingin mengacak-ngacak wajah menyebalkan Gibran. Dengan langkah yang semakin di hentakkan ia berbalik untuk menutup pintu rumah.
"Buruuuu!"
"Iyaaaa ughhhh susah bangat sih ngoncinya." Nadia memukul daun pintu dengan kesal karena kesulitan mengunci pintu. Seumur-umur dia baru melihat modelan kunci dengan lubang berkarat seperti ini.
"Arg! Akhirnya. Ribet elaaaah." Nadia menendang pintu setelah berhasil menguncinya.
"Sekalian robohin dindingnya." Sindir Gibran.
Nadia memutar bola mata malas tak peduli sindiran yang diarahkan padanya. Dengan lincah ia melompat di belakang gibran, menyelipkan kedua lengan kecilnya dikedua sisi tubuh Gibran.
"Jalan!!! Cacing di perut Nad udah pada demo." Ditempelkan pipinya di punggung tegap Gibran.
Gibran melepas satu tangannya untuk mengencangkan pegangan Nadia di badannya. "Jangan di lepas."
"Hmmmmmm!!!"
Gibran menjalankan motornya keluar kompleks. Ia membunyikan klakson saat melewati pos jaga di gerbang depan. Kompleks perumahan prajurit ada di jejeran paling belakang disusul oleh para pejabat dan kemudian petinggi lain di bagian paling depan. Gibran dengan pangkatnya sebagai kapten korvet, perwira menengah menempati rumah di jejeran depan. Sebenarnya rumah asrama yang ia tinggali sangat layak tapi apalah artinya jika di bandingkan dengan kastil si tuan putri Nadia Gaudia yang super megah yang semua fasilitas ada di dalamnya.
"Udah sampe?" Nadia mengangkat wajahnya saat motor sudah berhenti. Ia memukul bahu Gibran gemas karena laki-laki itu bukannya menjawab malah meninggalkannya masuk ke dalam warung kecil beratap rumbia di hadapannya. Nadia mengibaskan rambutnya lalu dengan langkah penuh percaya diri menyusul Gibran yang sudah berdiri memesan makanan. Padahal ia ingin makan pizza, eh malah berakhir di warung penjual gado-gado. Sabaaaar Nad... Om kamu emang jelmaan siluman. Batinnya mengurut dadanya pelan.
"Tambahin esnya yang banyak om di tehnya." Ujarnya berlalu di belakang Gibran yang langsung menyampaikan pesanan si tuan putri.
Nadia duduk di deretan paling belakang yanh menghadap langsung kearah sawah warga yang sedang membentang hijau. Gibran menyusul setelah memastikan pesanannya di catat dengan baik dan tidak ada yang terlewatkan apalagi pesanan Nadia, Gibran tidak ingin ada drama di situasi yang panas begini di tengah orang banyak.
"Kita bangun rumah di tengah sawah aja gimana, Om?" Nadia menoleh pada Gibran menunjuk tengah sawah dengan mata berbinar.
Gibran melongokkan kepala. Angin siang menerpa wajahnya memberikan kesejukan di tengah cuaca terik. Tangannya terulur menyelipkan anak rambut nadia dibelakang telinga gadis itu.
"Pasti seru, Om. Paginya bisa liat matahari terbit, Sorenya kita bisa main layangan di tengah sawah, terus malamnya bisa liat banyak kunang-kunang deh." Nadia membayangkannya dengan ekspresi yang membuat Gibran menyunggingkan senyum tipis. Sudah lama sekali ia melihat senyum ceria Nadia yang seperti itu. Setelah kedua orangtuanya meninggal, hanya airmata dan bibir yang selalu mengucapkan kemarahan dan umpatan yang Gibran liat dari gadis itu. Salahnya karena ia tak meluangkan waktu lebih banyak untuk Nadia sehingga ia tumbuh menjadi remaja dan manja, terbiasa dengan keinganan yang selalu terpenuhi.
"Nanti Om pikirkan." Ucap Gibran menimpali seadanya. Tapi dalam hatinya yang terdalam, ia akan melakukan apapun demi kembalinya Nadia gadis manisnya yang pintar.
"Ini Bang pesanannya."
"Terima kasih."
Nadia semakin berbinar melihat saos kacang yang melumer diatas potongan nasi dan sayuran, keinginannya akan pizza hilang seketika. Es teh pun menggantikan thai tea kesukaannya. Se-labil itu seleranya.
"Selamat mak--"
"Bismillah, Nad." Tegur Gibran menahan sendok yang siap meluncur dalam mulutnya.
"IYA! BISMILLAH!!"
Gibran tersenyum tipis, mengelus pelan rambut Nadia.
---
Si rocker cilik
Nadia menyendok sesuap demi sesuap gado-gado hangat yang ada di depannya. Sesekali ia menyerut es tehnya dengan nikmat.
"Ikat rambut kamu mana?" Gibran yang sejak tadi hanya menonton Nadia makan menyelipkan anak rambut gadis itu yang sesekali terjatuh menjuntai hampir menyentuh makanannya. "Ikat lah rambutnya."
"Gak tau." Nadia berucap tak peduli sembari terus menikmati sepiring gado-gado yang ternyata sangat pas rasanya dengan seleranya.
Gibran menggelengkan kepala pelan. Ia beranjak dari kursinya berjalan kebelakang Nadia. Pria berotot itu mengumpulkan rambut Nadia lalu menggulungnya. Beberapa anak rambut yang tak bisa tergulung dibiarkan begitu saja menghiasi tengkuk putih Nadia. Gibran jadi menyesal menggulung rambut Nadia karena sekarang tengkuk gadis muda ini terlihat sangat mengganggu. Gibran berdeham mengabaikan rasa tak nyaman yang menjalarinya. Ia kembali ke tempat duduknya, sekali lagi menghela nafas pendek, melihat bagian leher Nadia yang terekspos walaupun sudah memakai jaketnya. Seharusnya tadi dia mengambil model turtle neck saja sekalian Nadia dipakaikan syal.
"Yoooow baaaang Gibran! Astagaaaaa pengantin baru akhirnya ketemu jugaaa."
Gibran menoleh dan mendapati teman satu timnya di afrika dulu tersenyum lebar. "Oh hi, Vin."
"Duduk vin." Gibran menarik kursi plastik untuk Vina namun langsung di tolaknya.
"Gak usah, bang. Kami udah mau jalan."
"Kamu sama siapa?" Gibran menoleh kebelakang tapi tak melihat siapapun yang mungkin ia kenal.
"Elsa. Tuh sedang mesan makanan." Tunjuknya pada seorang wanita berhijab warna pastel yang sedang berdiri di depan meja pelayanan.
Gibran tersenyum kecil saat sosok wanita anggun dengan hijab membalut kepalanya tersenyum canggung padanya. Elsa, Satu nama itu yang sering sekali disandingkan dengan namanya selama ini, digadang-gadang sebagai kapten yoo dan dokter kang versi lokal namun semuanya tak berakhir seperti yang orang-orang pikirkan karena sejak awal Gibran hanya memiliki satu nama untuk mendampinginya, Nadia Gaudia Rasya, si gadis manja dan nakal yang kini sedang menyantap makanannya dengan lahap tanpa peduli apapun disekitarnya. Gibran memgangguk sebagai sapaan sopannya. Perhatiannya kini teralih pada gadis yang masih menikmati gado-gadonya. Tangan Gibran terulur menghapus peluh di pelipis Nadia yang tampak kepayahan dengan suasana warung yang cukup panas.
"Om, jaketnya di lepas aja deh." Nadia bersungut, sudah tidak tahan lagi dengan pakaian tebal yang membungkusnya. Oh ayolah, hanya orang dengan penyakit hipotermia akut yang memakai jaket siang bolong seperti ini.
"Habiskan makananmu." Gibran menahan tangan Nadia yang berusaha menanggalkan jaketnya.
"Ugh!!!! Geraaaaah." Rengek Nadia seperti ingin menangis. Gibran kalau sudah bertitah maka mutlak di laksanakan. Entahlah, Nadia jadi bingung sebenarnya ia ini istri atau seorang prajurit bawahan gibran sih, perasaan hidupnya beda tipis dengan penjajahan.
"Siapa, Bang? Ponakan?" Tanya Vina penasaran, sejak tadi melihat interaksi dua orang berbeda generasi yang terlihat imbang. Baru kali ini Gibran mendapatkan lawan yang cukup tangguh untuk berdebat, anak perempuan lagi.
"My Wife."
"Ooooh... . Hah????? Whaaaaaaat??? Wife??? Ngarang ah!!!"
Gibran melirik sekitarnya, beberapa pengunjung tampak memperhatikan kehebohan yang disebabkan suara nyaring seorang wanita berambut pendek dengan gaya pakaiannya yang lebih cocok di pakai oleh preman.
Vina menatap Gibran tak percaya lalu beralih pada Nadia yang kini menatapnya dengan wajah polos tanpa dosa. Ya ampun, si kecil manis lucu ini istrinya kapten? Tidak mungkin.
"Are you serious?"
Gibran mengangguk mengiyakan. Mulut Vina terbuka lebar saking tak bisa mempercayai kenyataan si kapten panutannya memperistri seorang yang, Oh my, harus dia sebut apa gadis remaja dengan penampilan yang eye catching ini?!
"Bang, Dia masih kecil loh. Lebih cocok jadi anak daripada dijadiin istri." Vina berucap sepelan mungkin agar tak terdengar oleh Nadia. Melihat bagaimana gadis remaja di depannya ini berani melawan Gibran, sudah pasti kepalanya tak kalah keras dengan si kapten. Vina menggelengkan kepala tak percaya. Seorang Gibran melepaskan perempuan dewasa, cerdas, solihah, cantik, terpandang, anak bos besar, seorang dokter seperti Elsa demi menikahi gadis remaja yang, ---astagaaaa bahkan makan saja masih belepotan.
"Tante temannya Om?" Nadia menjauhkan piring kosong yang sudah dilahap habis kesisi kanannya. Tangan kanannya meraih pipet dan menyerup Es tehnya menatap Vina dengan mata bolanya.
Vina mengangguk dengan wajah bloon. "Beneran istri bang Gibran?" Tanyanya masih tak bisa percaya dengan pernyataan Gibran. Meskipun Gibran tak pernah berbohong tapi ini terlalu sulit untuk ia percaya.
Nadia mengangguk dengan malas "Nadia Gaudia Rasya. Panggil aja Nad. Tante kok tahan temenan sama Om-om galak gini?! Kalau jadi tante, udah lama Nad jorokin di selokan depan sekolah." Katanya sembari mengulurkan tangan yang langsung disambut Vina dengan kening berkerut heran.
"In fact He is your husband." Kata Vina tak menyembunyikan nada geli dalam kalimatnya.
"Yes. Nasib buruk." Ujar Nadia melirik kesal Gibran dengan sudut matanya. Lelaki itu tampak tenang menikmati makanan di depannya seolah dua orang perempuan di depannya ini sedang membicarakan hal lain bukan dirinya.
"He is a nice guy." Kata Vina ikut-ikutan melirik Gibran yang makan dengan lahap. Ya terlepas dari sikapnya yang menyebalkan suka memerintah dan irit bicara, Gibran seseorang yang setia kawan. Kepemimpinannya juga tak perlu diragukan lagi. Vina bahkan tak segan mengaguminya dengan terang-terangan.
"Pencitraan, Tan. Nad aja tiap hari udah kayak hidup di zaman jepang. Apa-apa di larang. Kan kesal, Tan." Sungut Nadia.
Vina terkekeh. Baru pertama kalinya ia bertemu perempuan yang tak mempan dengan pesona seorang Gibran Al Fateh. Selama ia mengenal dan bekerja bersama Gibran, tak sedikit perempuan yang dengan terang-terangan maupun diam-diam menyukainya. Gibran Al Fateh seorang kapten dengan kemampuan perang yang mumpuni, berwajah rupawan, lelaki baik-baik dan berduit, semakin mempesona dengan kediamannya yang membuat orang penasaran padanya.
"Vin, balik yuk!"
"Oh, ok." Vina langsung berdiri saat Elsa menghampiri mereka.
"Bang Gi." Panggil Elsa dengan suara lembutnya. Gibran mengangkat kepala lalu tersenyum pada Elsa.
"Kalian sudah mau pulang?" Tanyanya basa basi.
Elsa mengangguk. Matanya melirik sosok gadis remaja yang sedang memangku dagu dengan dua tangannya yang sedang menatap padanya.
"Hai, Tan." Nadia melambaikan tangannya menyapa.
"Oh, Hai." Balas Elsa ramah. Ia kemudian menoleh pada Gibran menunggu laki-laki itu mengatakan sesuatu namun Gibran sepertinya tak berniat mengatakan sesuatu.
"Saya Nadia. Tante namanya siapa? Teman Om Gibran juga?"
Elsa tersenyum lembut menganggukkan kepalanya. Ia mengulurkan tangannya menyambut Nadia "Elsa."
"Wah, teman-temannya Om Gi semuanya cantik-cantik." Ucap Nadia penuh kekaguman. "Tapi Nad juga tidak kalah cantik." Lanjutnya penuh percaya diri.
"Iya, Nad juga cantik. Nad ponakannya Bang Gibran?" Tanya Elsa penasaran. Setaunya Gibran adalah yatim piatu tanpa sanak saudara di dunia ini jadi siapa Nadia?! Elsa melirik Gibran yang tenang-tenang saja di tempatnya, menumpuk piring yang sudah kosong.
Dilain sisi, Vina sudah mulai gelisah. Ia belum pernah membayangkan disituasi yang seperti ini. Bahkan medan perang dibawah hujan peluruh lebih baik daripada berada disituasi yang rawan seperti ini. Ia berdoa dalam hati semoga Nadia tidak mengatakan apa-apa tentang hubungannya dengan Gibran atau kalau bisa ada seseorang yang menghentikan Nadia, Gibran misalnya tapi sepertinya lelaki itu tak berniat menutupi apapun.
"Lebih baik kali ya, Tan jadi ponakan tapi sayangnya Nad bukan ponakan om tapi istrinya. Menyebalkan." Gerutu Nadia tak menyadari aura yang berubah di sekelilingnya.
"Istri? Maksudnya?" Elsa berusaha menahan suaranya agar tak bergetar namun sia-sia. Ia menatap Gibran meminta penjelasan.
"Iya, Tan. Sebel bangat. Dasar Om om pedofil." Sungut Nadia melipat tangan di dadanya.
"Benar, Bang?" Elsa tak lagi memperdulikan Nadia yang bersungut di kursinya. Ia hanya menunggu kejujuran dari laki-laki di depannya ini. Laki-laki yang dalam diamnya telah mematahkan hatinya.
Gibran tersenyum tipis, "Iya. Nadia istri saya." Katanya menatap lurus Elsa yang berusaha untuk tidak menangis.
"El, Ayo balik." Vina sudah tidak tahan lagi. Ia memegang lengan Elsa yang terlihat begitu rapuh. "Bang, kami duluan." Vina segera membawa Elsa keluar tanda menunggu jawaban Gibran.
"Teman abang kenapa?" Tanya Nadia heran, memperhatikan punggung Elsa dan Vina menjauh dari mereka.
Gibran mengedikkan bahu "Ayo pulang." Gibran beranjak dari kursinya menuju kasir. Nadia berlari kecil menyusul Gibran, berdiri disamping lelaki jakung itu. Jari-jarinya menyelip diantara jari-jari panjang Gibran yang bebas. Sesekali ia menggigitnya gemas membuat Gibran meringis saat gigi-gigi kecilnya menancap di kulit berotot itu. Nadia paling suka memainkan jemari Gibran karena hangatnya mengingatkannya dengan jari-jari milik ayahnya yang hangat yang selalu membelai rambutnya.
Gibran menyentil kening Nadia yang sudah iseng menjahilinya. Gadis itu bahkan tak segan-segan melakukannya di depan banyak orang. Nadia menyengir memarkan gigi-gigi putihnya puas. Keduanya keluar dari warung beriringan setelah membayar pesanan.
"Om, Itu Tante Vina dan tante Elsa kan?" Nadia menahan langkah Gibran saat tak sengaja menangkap dua sosok yang baru saja di kenalnya sedang berpelukan di depan sebuah mobil putih.
"Iya kan?" Nadia mengguncang lengan Gibran saat lelaki itu tak menjawab.
Gibran menghembuskan nafas pelan "Hm." Ia melepaskan tautan tangan mereka lalu mulai membelokkan motor dan menyalakan mesin.
"Naik."
Nadia mengangguk, ia duduk dibelakang Gibran. Ia meneloh kebelakang dan mendapati kedua teman Gibran itu menatap kearah mereka dengan pandangan yang sulit Nadia artikan. Tapi yang jelas Nadia bisa melihat kedua mata Elsa yang basah dan Vina yang tersenyum lemah di sampingnya.
"Pegangan." Nadia tersentak saat kedua tangannya ditarik Gibran untuk memeluknya. Mengabaikan tatapan dari Elsa dan Vina, Nadia menautkan jarinya kuat melingkari perut Gibran. Ia menempelkan pipinya di punggung hangat lelaki yang sudah tujuh tahun belakangan ini mengambil peran sebagai orangtuanya. Entah kenapa perasaan takut kehilangan tiba-tiba datang. Elsa? Nadia mengenyahkan semua pikiran buruk dikepalanya, ia mengeratkan pelukannya membenamkan wajahnya di punggung lebar Gibra.
Ada apa sebenarnya antara Om Gibran dan Tante Elsa?
---
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!