Suasana persidangan perceraian diwarnai oleh ketegangan dan keheningan yang terasa di ruang sidang. Ruangan dengan dinding-dinding yang dingin dan formal menciptakan panggung untuk pertempuran hukum yang penuh emosi. Pengacara masing-masing pihak duduk di meja mereka, bersiap untuk mempertahankan argumennya.
Di tengah ruang sidang, terdapat pengadil yang duduk di atas kursi tinggi, menatap serius ke arah para pihak yang berselisih. Matahari yang menyinari melalui jendela memberikan sentuhan cahaya ke ruangan, tetapi suasana tetap terasa tegang.
Pihak-pihak yang terlibat, baik itu pasangan yang bercerai maupun pengacara mereka, mungkin terlihat tegang dan penuh kekhawatiran. Ekspresi wajah mereka mencerminkan beban emosional yang membebani, seolah-olah ruangan itu sendiri memperbesar setiap detail dari konflik yang sedang terjadi.
“Sudah siap, Bu?” tanya pengacara Tania padanya.
Wanita itu terdiam sesaat, matanya memandang ke arah meja lalu memalingkan wajah ke sebelahnya. Tanpa sengaja bertemu pandang dengan seorang laki-laki yang menatap tajam dan jijik seakan dirinya adalah kotoran yang tak layak untuk dipandang.
“Sudah, Pak. Pak Herman, apakah ini nyata? Saya masih tidak menyangka pernikahan saya yang baru seumur jagung akan berakhir kandas seperti ini,” gumam Tania.
“Ini nyata, Bu. Hari ini Bu Tania hanya mengatakan apa yang terjadi sebenarnya lalu biarkan hakim memutuskan.”
“Apakah hakim akan percaya sementara suami yang saya percaya saja tidak mempercayainya?"
“Hidup memang seperti itu, siapa pun itu tidak ada yang bisa dipercaya selain diri sendiri.”
“Benar, tetapi saat ini sulit untuk saya menerimanya,” ucap Tania dengan mata melirik ke arah suaminya yang memalingkan wajah.
“Apa pun yang terjadi ke depannya, Bu Tania harus kuat. Saya akan mendampingi ibu selama persidangan nanti."
Tania duduk di kursi persidangan dengan mata yang memancarkan kekecewaan dan hati yang hancur. Suaranya yang terhenti sejenak mencerminkan shock yang melingkupinya ketika hakim memutuskan perceraian dengan Xander. Raut wajahnya yang sebelumnya penuh harap-harap cemas, kini berubah menjadi bayangan kekecewaan yang mendalam.
“Saya sudah tidak tahan hidup bersama wanita yang tukang selingkuh. Dia ... bermesraan dengan lelaki lain di saat suaminya sendiri sedang bekerja. Bukankah perempuan yang tidak bisa menjaga kehormatannya pantas untuk digugat cerai? Untuk itulah saya datang ke sini, menggugat cerai wanita murahan itu!" ujar Xander sinis, tanpa mengkhawatirkan harga diri Tania yang terluka oleh kata-katanya.
“Baik, saya terima pernyataan Pak Xander barusan,” ucap Hakim.
Pengumuman hakim menciptakan keheningan yang memenuhi ruangan, seolah-olah waktu berhenti sejenak. Tania merasa seolah-olah tanah di bawah kakinya runtuh, dan dunia yang selama ini dia kenal terlihat runtuh bersama putusan tersebut. Mungkin ada kilas air mata yang terlihat di sudut mata Tania, namun dia berusaha menahan emosinya di hadapan semua orang. Hati yang hancur terasa seperti menggantung dalam kekosongan, menciptakan rasa kehilangan yang begitu mendalam.
“Semudah itukah hubungan yang aku bangun hancur dalam sehari dan ketukan palu saja. Setelah ini aku akan menghadapi dunia sendiri tanpa siapapun dan bantuan orang lain,” tekad Tania yang sudah lelah dengan drama dalam hidupnya.
“Pak, sebentar,” ucap Tania saat mereka mulai keluar dari ruang persidangan. Kebetulan ada Xander berbicara dengan pengacaranya saat ini.
“Terima kasih atas tuduhan dan tatapan menjijikkan kamu itu,” ucap Tania lalu memberikannya kepada Xander.
“Jangan bersikap seolah kamu adalah korban, Tania. Wanita seperti kamu gampang dalam berpura-pura. Kamu pikir aku akan mudah terbuai dengan kata-katamu. Sekalinya murahan akan tetap seperti itu.” Cincin yang tadi dipegang oleh Xander kini dilempar ke sembarang arah seakan tidak berguna baginya.
Tania berusaha untuk sabar dengan hinaan serta cacian yang ditujukan padanya. Kepalanya terasa seakan ada aliran listrik yang menyengat hingga dirinya sulit untuk berdiri tegak. Namun, kepala Tania dengan berani menatap mata Xander.
“Hinaan kamu itu tidak membuat aku merasa bersalah ataupun menjadikanku yang bersalah. Saat ini kamu masih bisa menghina dan mencaciku tapi suatu saat nanti jangan sampai hinaan itu berubah dengan bujukan untukku.” Tidak mau berlama-lama akhirnya Tania pergi dari ruang sidang ini.
“Aku tidak akan berpaling lagi padamu, j@l4n9!" seru Xander dengan rahang mengeras.
Langkah kaki Tania memelan, langkah pengacara Tania pun ikut pelan. Spontan tangannya memegang kepala dengan mata memicing. Apa yang dirasa Tania saat ini terasa berputar dan sulit untuk fokus pada satu titik.
“Ada apa, Bu?” ucap pengacara panik.
“Tidak apa,” ucap Tania berusaha untuk bersikap biasa saja.
“Apakah Bu Tania yakin? Kondisi ibu saat ini tidak memungkinkan. Dalam hukum agama Ibu tidak diperbolehkan untuk melakukan perceraian.”
“Apakah saat saya tidak yakin kondisinya akan berubah? Kata talak sudah jatuh lantas apa yang harus saya pertahankan lagi? Pertahanan orang yang tidak menghargai saya sama saja dengan masuk ke lubang yang dalam.”
“Saya berharap, Pak Xander akan sadar lalu menyesali perbuatannya."
Helaan napas berat terdengar lalu suara lembut kembali meluncur di bibir Tania. “Entahlah. Namun, satu hal yang pasti, saya akan buktikan tanpa ada dirinya saya bisa bertahan. Anak saya nantinya tidak akan mengenalnya sebagai seorang ayah!” tegasnya. Meskipun dada terasa sesak, tapi dia harus terlihat tegar di depan semua orang.
“Bu Tania keren, bisa berpikir positif dan semangat dalam menjalani hidup padahal apa yang Bu Tania alami saat ini sangatlah sulit.” Pengacara itu memuji Tania tulus sebab kebanyakan kliennya akan menangis tersedu saat sidang perceraian akan digelar, tapi tidak berlaku buat Tania Maharani. Kliennya itu justru terlihat tegar meski detik-detik pernikahannya berakhir di meja hijau.
Tania tertawa kecil. “Mau bagaimana lagi, toh semuanya sudah terjadi. Tidak ada gunanya saya larut dalam kesedihan sementara hidup harus terus berjalan."
Setelah itu, pengacara membawa Tania pergi dari pengadilan agama. Pak pengacara merasa khawatir dengan keadaan Tania yang saat ini dalam kondisi tengah berbadan dua. Pengacara Tania benar-benar menjaga perempuan itu.
“Pak, pulang saja dulu. Saya mau jalan kaki saja. Saya mau menikmati rasa sakit saya dulu,” ucap Tania.
“Bu Tania yakin? Bukankah tadi mau pingsan?”
“Saya tidak akan pingsan, saya kuat.”
“Baiklah, kalau terjadi sesuatu jangan lupa hubungi saya.”
Tania melangkah di atas trotoar dengan langkah yang terasa berat, seperti beban dunia diletakkan di pundaknya. Mata yang sebelumnya penuh harap-harap cemas kini menatap ke sembarang arah, menciptakan kesan bahwa pandangannya tenggelam dalam pikiran yang jauh. Di wajahnya terukir ekspresi hampa, dan raut kesedihan yang sulit disembunyikan.
Rasa sesak di dada Tania begitu mendalam, seolah-olah ada batu besar yang menghimpit hatinya. Udara di sekitarnya terasa berat, mencerminkan beratnya beban emosional yang dia rasakan. Meskipun jalanan ramai di sekitarnya, Tania merasa terisolasi dalam kesendirian yang mendalam.
Setiap langkah yang diambilnya menghasilkan suara yang hampir tak terdengar, menciptakan kesan bahwa keheningan mendampinginya. Mungkin kenangan-kenangan pahit dari perpisahannya merayap di setiap sudut pikirannya, menyulut rasa sakit yang sulit dijelaskan.
“Setelah anak ini lahir, aku akan berjuang sendiri. Aku tidak akan membutuhkan bantuan mantan suamiku itu. Apa pun yang terjadi ke depannya, aku harus menjalaninya sendirian tanpa bantuan orang lain,” gumam Tania dengan tangan memegang perutnya.
“Xander, keputusan masa kini akan membuatku menjadi lebih dewasa lagi nanti.” Tania mengusap kasar wajahnya sambil membuang napas panjang.
.
.
.
Lima Tahun Kemudian ....
Berdiri di depan pintu bertuliskan nama ruangan sang bos, Tania mengendalikan diri untuk tidak terlihat gugup. Menarik napas panjang, kemudian mengembuskan secara perlahan. Tidak biasanya pria berambut keperakan memintanya datang ke ruangan tanpa memberitahu maksud dan tujuannya apa hingga membuat wanita itu jadi penasaran.
Tangan mulai mengetuk pintu sebanyak tiga kali, lalu menempelkan jemari tangan mungil nan lentik di handle pintu. "Permisi, Pak. Tadi Bapak panggil saya?" ucap Tania lembut saat pintu itu terbuka lebar.
Seorang pria bertubuh tegap nan tinggi menghentikan sejenak pekerjaannya, lalu menoleh ke sumber suara. "Eeh ... kamu ternyata. Benar, tadi saya memanggilmu. Ayo, silakan masuk!"
Tania melangkah masuk kemudian duduk di seberang kursi sang bos setelah dipersilakan duduk oleh atasannya. Rasa penasaran semakin menelusup ke dalam relung hati yang terdalam saat ekor matanya melihat sebuah amplop coklat tergeletak di samping tubuh pria itu.
Ya Tuhan, jangan sampai aku dipecat dari perusahaan ini. Kalau sampai terjadi entah harus dengan cara apa lagi aku membesarkan anakku, ucap Tania dalam hati. Degup jantung wanita itu semakin berdetak tak beraturan disertai keringat dingin yang mulai muncul ke permukaan kulit. Sungguh, ia tidak sanggup bila harus menerima kabar pemecatan dirinya dari perusahaan tersebut.
Tidak ingin semakin penasaran, Tania memberanikan diri bertanya kepada atasannya. "Pak, kalau boleh tahu ada hal apa hingga membuat Bapak memanggil saya ke sini."
"Begini ... Tania. Kamu tahu, 'kan bahwa kantor pusat kita di Jakarta sedang membutuhkan pegawai baru. Nah, Pak Johan memutuskan memutasi kamu untuk bekerja di kantor pusat di Jakarta. Beliau sangat puas melihat kinerjamu selama tiga tahun belakangan ini. Berkat loyalitas dan kerja kerasmu, Big Bos menginginkan kamu bekerja di sana mulai bulan depan."
Tania yang sedang duduk di kursi tersentak mendengar sederet kalimat itu. Bola mata wanita itu melebar sempurna, menatap atasannya yang duduk santai di kursi kebesarannya. Ia tidak menduga jika Akmal dan Johan berencana memindahkannya untuk bekerja di Jakarta.
"Maaf, Pak. Bagaimana?" Tania berkedip, mencoba menanyakan kembali maksud dari perkataan Akmal. Hanya ingin memastikan bahwa yang didengarnya barusan adalah kekeliruan semata.
Akan tetapi, melihat raut wajah Akmal tampak begitu serius membuat Tania semakin yakin kalau pria berambut keperakan itu bersungguh-sungguh atas ucapannya.
"Kamu mendengar apa yang saya katakan, Tania. Di Jakarta, kamu pasti bisa meraih jenjang karir lebih baik lagi daripada di sini. Kinerjamu selama ini selalu bagus dan membuat kami semua merasa puas. Saya yakin di Jakarta nanti kamu tidak akan kesulitan mendapatkan promosi untuk naik jabatan," papar Akmal panjang lebar.
"Tapi, Pak. Saya sudah nyaman bekerja di sini bersama Bapak dan rekan-rekan yang lain. Selain itu, saya pun merasa cukup puas atas apa yang diberikan saat ini. Tidak pernah terpikirkan sekalipun untuk mengejar jabatan yang tinggi." Tania mengutarakan apa yang mengganjal hatinya kepada Akmal.
Selama ini, Tania memang selalu mensyukuri atas nikmat yang Tuhan berikan kepadanya. Meskipun hidup sederhana, tinggal di rumah kontrakan sempit dan jabatan hanya sebagai staf biasa dengan gaji cukup untuk biaya kehidupan sehari-hari, tetapi ia tidak pernah mengeluh atau merasa iri kepada orang lain sebab Tuhan sudah mengatur rezeki masing-masing.
"Saya tahu, kamu selalu merasa puas atas apa yang Tuhan berikan kepadamu selama ini. Namun, tidakkah kamu berpikir semakin lama anakmu semakin tumbuh besar dan dia membutuhkan biaya banyak untuk dapat melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Memangnya kamu tidak mau menyekolahkan anakmu ke sekolah ternama dengan sistem pendidikan yang jauh lebih baik dari sebelumnya?"
Akmal membawa tubuhnya ke depan hingga kini posisinya berada persis di hadapan Tania. "Jika kamu menempati jabatan bagus di sana maka penghasilanmu pun semakin lebih baik lagi. Kamu dapat bernapas lega kalau mempunyai tabungan cukup untuk masa depan anakmu."
Tania terdiam. Tidak lagi membantah. Semua yang dikatakan Akmal benar adanya.
Hidup menjadi single parent dengan satu orang anak tidaklah mudah. Terlebih di dunia ini ia hanya hidup sebatang kara tanpa ada orang tua, keluarga apalagi sanak saudara hingga kehidupannya cukup sulit. Beruntungnya ia mempunyai ijazah serta otak yang cukup cerdas untuk bekal mencari nafkah untuk membiayai anak semata wayangnya.
"Kamu bisa pikirkan dulu. Saya harap kamu menyetujuinya. Toh ini semua demi kebaikanmu juga anakmu." Akmal menyerahkan amplop warna coklat ke hadapan Tania. "Ini sudah pemindahtugasanmu ke Jakarta. Simpan baik-baik. Jika kamu berubah pikiran, bisa temui saya lagi di sini. Ingat, kesempatan itu tidak mungkin datang dua kali. Jadi, pikirkan dengan matang."
Tania mengambil surat yang disodorkan Akmal kepadanya. "Baik, Pak. Saya akan memikirkannya matang-matang. Terima kasih karena Bapak memberikan kesempatan ini kepada saya."
Akmal tersenyum lebar hingga memperlihatkan deretan giginya yang kekuningan. "Jangan sungkan, Tan. Saya melakukan ini karena kamu memang pantas mendapatkannya dibandingkan pegawai yang lain."
***
Taman Kanak-Kanak X, merupakan sekolah yang cukup terkenal di kota Yogyakarta. Setiap tahun ajaran baru, para orang tua wali murid berbondong-bondong mendaftarkan anak-anak mereka agar bisa bersekolah di sana. Begitu pun dengan seorang wanita muda bernama Tania Maharani.
Satu tahun lalu, saat anak semata wayang Tania menginjak usia empat tahun, ia mendaftarkan Arsenio Rayshiva atau biasa dipanggil Arsen untuk sekolah di sana. Meskipun hanya bekerja sebagai staf biasa, tetapi ia ingin memberikan pendidikan terbaik bagi anak tercinta.
Arsenio merupakan bocah laki-laki berusia lima tahun yang gemar menjawab pertanyaan dari guru. Ia juga sangat mudah menyelesaikan tugas yang diberikan oleh sang guru di sekolah. Kepintaran bocah laki-laki itu di atas rata-rata dan menjadi bahan perbincangan para guru.
Tubuhnya lebih tinggi dibanding anak seusianya. Keramahan serta kepedulian membuat ia memiliki banyak teman. Namun, ia paling dekat hanya dengan satu murid saja. Seorang anak perempuan cantik bernama Ayra Kamila.
Jam istirahat berbunyi. Arsenio dan Ayra berjalan menuju sebuah taman yang tempatnya tidak begitu jauh dari kelas mereka. Masing-masing membawa tote bag, berisikan bekal makanan yang dibuatkan oleh sang mama.
"Arsen, kita duduk di sana saja. Kita bisa sekalian main setelah menghabiskan bekal makanan yang dibuat oleh Mama." Arya berkata sambil menunjuk sebuah bangku kosong tepat di dekat ayunan. Tempat itu tidak begitu panas sebab berada di bawah pohon rimbun yang menjulang tinggi ke atas.
Tidak ingin membuat temannya kecewa, Arsenio menganggukan kepala dan menuruti keinginan si bocah kecil berwajah cantik bagaikan boneka. Lantas, mereka menuju bangku tersebut.
Hanya berjarak kurang dari satu meter, segerombolan anak seusianya menyerobot dan sengaja menabrak si gadis kecil bermata sipit hingga terjatuh ke lantai. Namun, mereka seakan tuli dan lebih memilih berlalu begitu saja tanpa memedulikan tubuh mungil Ayra tersungkur di tanah.
"Aaw!" pekik Arya ketika tubuhnya tersungkur ke tanah membuat tote bag miliknya terlempar ke depan.
"Ayra!" teriak Arsenio histeris. Ia mensejajarkan tubuhnya hingga sejajar dengan sang sahabat. "Kamu terluka?" tanya bocah laki-laki dengan raut wajah cemas.
Arya menggelengkan kepala lemah. Meskipun merasakan tangan dan lututnya terluka, ia seolah-olah menyembunyikan itu semua dari Arsenio karena tidak mau kalau sahabatnya itu berurusan dengan Haikal--anak laki-laki yang terkenal nakal dan biang rusuh di sekolah.
"Iya, Arsen. Aku baik-baik saja," jawab Arya. Ia sembunyikan telapak tangan yang berdarah ke belakang tubuh, kemudian menyembunyikan luka di sekitar lutut dengan cara menutupinya menggunakan rok yang dikenakan.
"Ayo, aku bantu kamu berdiri." Tangan mungil Arsenio terulur ke depan lalu menarik tubuh Ayra.
Saat mereka sudah berdiri, ekor matanya yang indah tidak sengaja melihat bagian lutut Ayra yang terluka. Namun, karena tidak begitu jelas membuat Arsenio terpaksa mengangkat sedikit rok sahabatnya hingga memperlihatkan sesuatu yang membuat bocah kecil itu merasa geram.
"Haikal!" teriak Arsenio dengan wajah memerah.
.
.
.
Yang dipanggil bernama Haikal, menoleh, lalu menjulurkan lidah kepada Arsenio. Seakan tidak peduli akan teriakan kencang yang menggelegar di pagi hari. Mereka malah tertawa puas karena berhasil merebut bangku kosong yang hendak diisi oleh Arsenio dan Ayra.
Kesal akan kelakukan teman sekelasnya, Arsenio melangkah maju ke depan menghampiri Haikal dan geng-nya. Wajah bocah kecil itu memerah dengan dada kembang kempis. "Kamu keterlaluan! Berani-beraninya menyerobot bangku milik orang lain kemudian sengaja mendorong Ayra hingga jatuh tersungkur ke tanah. Apa kamu tidak tahu, lutut dan telapak tangan Ayra terluka olehmu. Cepat, minta maaf kepada Ayra sekarang juga!" Tangan mungilnya mengepal di samping tubuh.
"Kalau aku tidak mau, lalu kamu mau apa? Ingin menghajarku, begitu?" Haikal memandang sinis ke arah Arsenio. "Anak mami sepertimu tidak akan mungkin mampu melawanku. Lihat, tubuhku saja lebih berisi daripada kamu."
Mendengar Haikal memanggil Arsenio dengan sebutan 'anak mami', sontak membuat kedua teman Haikal tertawa terbahak. "Dasar Anak Mami! Arsen si Anak Mami!" seru Arka dan Arsya hampir bersamaan.
"Loh, bukannya memang Arsen ini memang anak mami ya? Buktinya selama ini kita tidak pernah melihat Papa-nya datang ke sekolah. Setiap ada acara di sekolah hanya Mama-nya saja yang datang," celetuk Arka.
"Betul itu!" seru Arsya tidak mau kalah. Bocah berkepala plontos ikut menimpali, tidak mau kalah dari saudara kembarnya.
Haikal bangkit dari kursi, lalu berdiri di hadapan Arsenio hingga posisi mereka saling berhadapan. "Oh iya, aku hampir lupa. Arsenio, 'kan memang tidak punya Papa. Kata Mama-ku, Arsenio ini anak haram makanya tidak tahu siapa Papa-nya," sindirnya semakin membuat Arsenio marah.
"Arsenio ... anak haram! Arsenio ... anak haram!" Haikal serta si kembar Arka dan Arsya semakin gencar mengolok-olok Arsenio. Si kepala geng tersenyum sinis. Anak ini jelas bermasalah. Entah apa yang membuatnya sampai membenci Arsenio setengah mati.
"Diam! Aku bukan anak haram! Aku punya Papa sama seperti kalian!" teriak Arsenio semakin emosi. Rahang bocah kecil itu mengeras. Mata kian tajam menatap.
"Kalau memang kamu punya Papa, lalu di mana Papa-mu sekarang? Tunjukan kepada kami," cibir Arka. Bocah satu ini seakan tidak takut melihat wajah Arsenio semakin memerah akibat emosi yang dipendam selama ini.
"Papa-ku ada ...."
Haikal melambaikan tangan di udara. "Alah, palingan juga kamu cuma berbohong agar kami tidak mem-bully-mu. Iya, 'kan? Kamu itu anak haram, Arsenio! Anak haram." Bocah bertubuh besar menekankan kalimat terakhir
"Aku bukan anak haram!" teriak Arsenio seraya melayangkan sebuah pukulan keras di pipi Haikal. Mendapat serangan tidak terduga membuat bocah kecil yang terkenal di pembuat rusuh dan masalah membulatkan mata dengan sempurna.
"Daaar berengsek!" maki Haikal, menyentuh pipinya yang terasa sakit. Ia memberi kode kepada dua temannya untuk membantu. Dalam sekejap dua anak lelaki itu mendorong Arsenio hingga terjatuh ke tanah.
"Arsen!" teriak Ayra takut saat melihat sahabatnya terjatuh.
Namun, Arsenio sama sekali tidak merasa kesakitan saat tubuhnya didorong. Ia cepat berdiri, kemudian membersihkan sisa tanah yang menempel di seragam. Amarah dalam diri telah menjalar ke seluruh tubuh. Arsenio sudah tidak tahan lagi bila terus menerus di-bully oleh teman sekelasnya.
Kaki kanan Arsenio menjejak di tanah dengan kencang. Kemudian, dua tangannya mengepal sempurna. Siku melipat di sisi tubuh. Lengan tangan ditarik ke belakang, kemudian ....
"Rasakan ini!" Suara menggelegar di taman sekolah. Secepat kilat Arsenio berlari dan langsung melesakkan kepalan tangan ke wajah Haikal. Tepat mengenai hidung bocah nakal tersebut.
Ayra serta si kembar terbelalak sempurna saat melihat tubuh Haikal jatuh ke belakang hingga terjerembab. "Arsen, hentikan! Jangan berkelahi!" teriak sahabat Arsenio.
Akan tetapi, Arsenio seperti anak kecil yang kehilangan akal sehat. Ia melompat dan duduk di perut Haikal. "Sudah kukatakan, jangan panggil aku anak haram! Aku punya Papa sama seperti kalian!"
Amarah yang meledak-ledak membuat Arsenio kehilangan kendali. Ia kembali memukul wajah Haikal hingga meninggalkan luka lebam di pipi. Si bocah nakal yang terkenal tukang rusuh menangis dan menjerit kesakitan namun tidak ada satu orang pun yang berani menolongnya saat menyaksikan sendiri betapa menggilanya Arsenio ketika menghajar Haikal.
***
Tania menutup telepon. Bergegas meraih tas serta jaket yang disampirkan di kursi kerjanya. Menghela napas berkali-kali dan mengusap dadanya dengan lembut.
"Loh, Tan, kamu mau ke mana?" tanya Asri saat berpapasan dengan rekan kerjanya di depan pintu masuk perusahaan.
"Aku mau ke sekolah dulu, Ri. Kalau Pak Akmal bertanya, tolong sampaikan jika aku pulang duluan." Tania berjalan setengah berlari menuju tempat parkiran. Mengenakan jaket, kemudian memasang helm hingga terdengar bunyi 'klik' barulah wanita itu menyalakan mesin motor menuju sekolahan.
Jalanan yang tidak terlalu ramai membuat Tania bisa dengan cepat sampai di sekolah. Ia berjalan melewati sebuah lorong panjang menuju ruang kepala sekolah dengan dipandu seorang security. Di depan pintu bertuliskan 'head master' atau dalam bahasa Indonesia disebut kepala sekolah, tersedia kursi panjang yang diduduki oleh dua orang anak kecil. Satu di antaranya adalah Arsenio.
"Sayang, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu berkelahi hingga membuat temanku babak belur." Membungkukan sedikit tubuh hingga sejajar dengan sang anak.
Kepala Arsenio menunduk, merasa bersalah karena telah menyeret mama tercinta dalam masalah ini. "Maafkan aku karena sudah berkelahi, Ma." Pandangan mata menatap bayangan diri di atas lantai. Tidak berani menatap mata milik Tania.
"Sebenarnya apa yang membuatmu sampai tega menghajar Haikal, Nak. Katakan kepada Mama. Jangan berbohong."
"Itu semua karena Haikal mengatai Arsen dengan sebutan 'anak haram', Budhe," imbuh Ayra, si bocah bermata sipit. "Haikal jugalah yang memulai perkelahian ini. Dia merebut tempat kami dan mendorongku hingga terjatuh ke tanah. Lihat, luka ini disebabkan oleh kenakalan Haikal." Tangan mungil itu menunjukan beberapa luka yang sudah diobati oleh guru.
Sebagai seorang sahabat, tentu saja Ayra tidak mau kalau sampai Arsenio mendapat hukuman dari Tania. Walaupun Arsenio juga salah karena terpancing emosi, tetapi bocah berusia lima tahun tidak akan memulai perkelahian bila tidak dipancing terlebih dulu. Tidak akan ada asap bila tidak ada api. Mungkin itulah peribahasa yang tepat untuk menggambarkan keadaan Arsenio saat ini.
Menghela napas kasar tatkala mendengar jawaban Ayra. Kini ia mengerti kenapa Arsenio bisa hilang kendali. Bibir wanita itu telah terbuka lebar dan hendak berkata, pintu ruang kepala sekolah sudah terbuka. Seorang wanita muda berusia tiga puluh tahun keluar dari ruangan itu dan segera menghampiri Tania.
"Makanya, kalau punya anak dididik dengan baik. Jangan biarkan anakmu tumbuh jadi anak nakal dan hobi memukuli temannya di sekolah! Sudah anak haram, nakal, tukang buat onar lagi!" cibir Bu Sandra sambil menatap tajam ke arah Tania.
Tidak terima bila anak tercinta dihina di depan umum, naluri Tania sebagai seorang ibu untuk melindungi dan menjaga anak tercinta muncul tiba-tiba.
Lantas, Tania bangkit hingga posisi tubuhnya sejajar dengan Sandra. Tersenyum sinis sambil menghunuskan tatapan tajam. "Hati-hati, Bu, jangan sampai Tuhan murka karena Ibu sering menerbarkan fitnah kepada orang lain. Jangan sampai malah aib Ibu yang tersebar di hadapan banyak orang. Saya yakin, Bu Sandra pasti akan malu setengah mati setelah aib yang disimpan rapat diumbar orang lain."
Sandra mendelik dan bola matanya melotot. "Kamu?" Jari telunjuk wanita itu mengarah ke wajah Tania.
"Jangan pernah berani-beraninya menunjuk saya menggunakan tanganmu itu!" Tania menepis tangan Sandra, yang mana perbuatan itu semakin membuat tetangganya geram.
"Bu Tania!" panggil seorang wanita dari pintu yang tiba-tiba terbuka.
Semua orang menoleh ke sumber suara. Tania menyibak rambut pajang dan hitam legam. "Semut pun bisa menggigit apabila terus disakiti, Bu. Begitu pun dengan saya. Jadi, jangan pernah berurusan lagi dengan saya." Usai mengucapkan kalimat terakhir, wanita berkulit indah bagai pualam melangkah masuk ke dalam ruangan kepala sekolah.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!