Nadira (22 tahun) membuka tutup kaleng susu milik anaknya yang bernama Amara Qirani (2 tahun). Wajah cantik polos tanpa make up itu tampak sedih setelah melihat ke dalam kaleng susu tersebut. Ternyata persediaan susu untuk anak perempuannya itu sudah mulai menipis dan kemungkinan hanya cukup untuk besok.
Nadira terdiam sejenak sambil menatap dinding dapur yang sudah bolong-bolong dengan tatapan kosong menerawang. Ia benar-benar bingung harus ke mana lagi mencari pinjaman. Sementara semua orang sudah mulai tidak percaya dengan janji-janjinya.
Wanita berperawakan mungil serta memiliki kulit putih mulus itu berjalan gontai menuju ruang depan, di mana suaminya tengah bersantai di sana.
Dari kejauhan, Nadira memperhatikan Arman Raditya (30 tahun) yang sedang duduk sambil bersandar di sandaran kursi plastik dengan wajah yang tampak kusut pula. Perlahan Nadira duduk di samping Arman dan berhasil membuat lelaki itu tersentak kaget.
"Eh, Dira." Arman tersenyum kemudian membenarkan posisi duduknya.
"Bagaimana ini, Mas? Susu dan popok Amara tinggal sedikit lagi. Beras dan gas kita juga," ucap Nadira dengan wajah cemas menatap lelaki tampan dengan postur tubuh tinggi besar tersebut.
Tampak Arman tengah menghembuskan napas berat. Ia mengelus pundak Nadira sambil tersenyum kecut. "Besok, kamu pinjem lagi aja ke warung-warung terdekat. Nanti, kalau Mas udah dapat pekerjaan, kita bayar lunas hutang-hutang kita kepada mereka," sahut Arman.
Arman baru saja di PHK dari tempat kerjanya. Perusahaan tempat ia bekerja mengalami kerugian besar dan oleh sebab itu mereka mulai karena mengurangi jumlah karyawan. Sekarang Arman menganggur dan masih mencari pekerjaan baru.
"Tapi Mas, mereka sudah tidak percaya dengan kata-kataku. Mereka bahkan kesal karena aku tidak juga membayarkan hutang-hutang kita yang dulu," sahut Nadira.
Nadira membuang napas berat sambil menitikkan air matanya. "Sebenarnya aku malu, Mas. Sangat-sangat malu. Setiap kali aku mendekat ke warung mereka, mereka selalu menyindir-nyindir soal hutang-hutang kita."
Arman meraih wajah cantik Nadira yang kini terlihat sendu. Ia menyeka air mata yang mengalir di kedua pipi Nadira dengan begitu lembut. "Baiklah. Sebaiknya kita tidur dulu. Ini sudah malam. Besok Mas coba menemui ibu, siapa tahu ibu punya uang. Setidaknya untuk susu dan popok Amara," bujuk Arman.
Sebenarnya Nadira ragu jika Arman berhasil mendapatkan uang dari ibu mertuanya itu. Secara mereka juga sudah punya banyak hutang kepadanya. Namun, sebagai istri penurut, Nadira pun akhirnya mengangguk.
"Baiklah, Mas. Semoga saja ibu bersedia memberikan pinjaman untuk kita," sahut Nadira.
Nadira bangkit dari posisinya kemudian berjalan menuju kamar mereka, Arman masih terdiam di ruangan itu dengan wajah kusut, sekusut suasana hatinya saat itu.
"Ya, Tuhan! Ke mana lagi aku harus mengadu dan meminjam uang untuk menutupi kebutuhan kami bertiga. Jangankan orang lain, orang tuaku saja sudah tidak bisa membantu kami," keluhnya sambil membuang napas berat.
Keesokan harinya.
Pagi-pagi sekali, Arman sudah pamit kepada Nadira. Lelaki berwajah tampan itu bahkan melewatkan sarapannya dan hanya sempat menyeruput secangkir kopi buatan istri kecilnya itu.
"Ya, Tuhan ... semoga Mas Arman berhasil mendapatkan uang itu," gumamnya sambil memperhatikan punggung Arman yang kini berjalan semakin menjauh.
Seperti rencana awalnya, tujuan utama Arman hari ini adalah kediaman sang ibu. Setelah 20 menit kemudian, Arman pun tiba di tempat itu. Dari kejauhan Arman melihat sang ibu yang tengah sibuk menjemur pakaian yang baru dicuci, di halaman rumahnya.
"Ada apa lagi, Arman?" tanya Bu Ningsih dengan wajah sedikit menekuk melihat kedatangan anak lelakinya itu. Tanpa diberitahu, wanita paruh baya itu sudah tahu benar apa niat dan tujuan Arman menemui dirinya.
"Sebaiknya kita bicara di dalam saja, Bu. Aku tidak ingin kedengaran tetangga di sini," sahut Arman sembari mengajak sang ibu untuk masuk ke dalam rumah.
Bu Ningsih menghembuskan napas kasar. "Pasti pinjem duit lagi, kan?"
Arman menghampiri sofa ruang depan kemudian duduk di sana sambil menatap wajah sang ibu.
"Ya, Bu. Aku pengen pinjem uang lagi buat beli susu Amara."
Bu Ningsih ikut duduk di sofa tersebut, tak jauh dari posisi Arman berada. "Bukannya Ibu tidak ingin kasih pinjam lagi ke kamu, Arman. Tapi, hutangmu yang dulu-dulu aja, belum kamu bayar. Masa sekarang mau pinjem lagi? Bisa-bisa uang simpanan Ibu ludes," celetuk Bu Ningsih.
Arman terdiam dengan kepala tertunduk menghadap lantai.
"Ya, sudah. Sebentar!" Bu Ningsih bangkit dari posisinya kemudian melangkah masuk ke dalam kamarnya. Selang beberapa menit kemudian, wanita paruh baya itu kembali lagi.
"Ini." Bu Ningsih menyodorkan selembar uang kertas berwarna biru kepada Arman.
"Ibu tidak bisa kasih pinjam lagi ke kamu dan hanya ini yang bisa Ibu berikan. Kamu tahu sendiri 'kan, Arman. Ibu ini tidak bekerja dan hanya mengharapkan kiriman dari kakakmu di sana," lanjut Bu Ningsih.
Ya, selama ini Bu Ningsih hanya mengandalkan uang kiriman dari saudara perempuan Arman yang bekerja sebagai TKW di negara seberang. Selain itu, ia pun tidak punya penghasilan lain.
Arman menatap uang dengan nominal 50 ribu rupiah tersebut. "Tidak bisakah Ibu menambahkan sedikit lagi?"
"Tidak bisa, Arman. Hanya itu yang bisa Ibu berikan ke kamu," jawab Bu Ningsih dengan tegas.
Arman menghembuskan napas berat. "Baiklah kalau begitu. Aku pamit dulu ya, Bu."
Setelah mencium punggung tangan Bu Ningsih, Arman pun segera pergi dan meninggalkan kediaman wanita paruh baya itu.
Lagi-lagi Arman menatap sedih ke arah uang itu. "Uang segini hanya cukup untuk beli susu Amara dengan ukuran kecil. Sementara kebutuhan yang lain juga sudah hampir habis," keluhnya.
"Sekarang aku harus meminjam uang ke mana lagi?" lanjutnya.
Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dari salah satu rumah warga. Arman refleks melihat ke arah keributan itu. Ternyata sedang terjadi perdebatan sengit antara dua orang lelaki bertubuh besar dan sangar dengan seorang ibu-ibu pemilik rumah.
Arman mendengarkan apa yang mereka ributkan dan dari yang ia dengar, Arman bisa menyimpulkan bahwa dua orang lelaki bertubuh besar itu adalah anak buah juragan Bahri, sang lintah darat.
Lama Arman terdiam di tempatnya berdiri sambil memikirkan sesuatu. "Juragan Bahri ... apakah aku harus meminjam uang kepadanya? Tapi, bunga yang diminta oleh lelaki itu gak tanggung-tanggung," gumam Arman.
"Tapi, jika aku pulang tanpa membawa uang, anak dan istriku terancam kelaparan," lanjutnya dengan wajah kusut.
Setelah menimbang-nimbang akhirnya Arman memutuskan untuk memberanikan diri meminjam uang kepada rentenir itu. Dengan langkah cepat, Arman menghampiri kedua lelaki bertubuh besar itu.
Kebetulan, kedua lelaki bertubuh besar itu sudah berhasil mendapatkan apa yang mereka inginkan dari ibu-ibu tersebut. Mereka kini bersiap meninggalkan tempat itu dengan menaiki sebuah motor.
"Pak, Pak! Maaf mengganggu. Bolehkah saya bertemu dengan juragan Bahri?" tanya Arman dengan ragu-ragu.
"Ada perlu apa sama juragan?" tanya salah seorang lelaki sangar itu.
"Sa-saya ingin meminjam uang, Pak," jawab Arman dengan terbata-bata.
Kedua lelaki itu saling tatap dengan wajah menyeringai. Mereka senang karena berhasil mendapatkan mangsa baru tanpa susah payah.
"Baiklah. Kalau begitu ikuti kami," jawab lelaki sangar itu.
...***...
Di kediaman Juragan Bahri.
Lelaki paruh baya dengan perawakan gemuk serta berperut buncit itu tengah sibuk memperhatikan sebuah KTP yang sedang ia pegang.
"Jadi namamu, Arman?" tanya Juragan Bahri sambil melirik Arman dengan wajah sinis.
"Ya, Juragan." Arman mengangguk cepat sambil menyunggingkan sebuah senyuman.
"Hmmm ...." Lelaki itu bergumam sambil memperhatikan Arman dengan seksama. "Kamu sudah tahu 'kan bagaimana sistem meminjam uang kepadaku?"
"Ya, Juragan. Kedua anak buah Anda sudah memberitahu saya dan saya sudah menyetujui sistemnya," jawab Arman dengan mantap.
Lelaki paruh baya itu mengangguk pelan. "Jadi, berapa yang kamu butuhkan?"
"Tidak banyak, Juragan. Hanya 5 juta saja," sahut Arman dengan mantap.
"5 juta, itu artinya kamu harus mengembalikannya kepadaku sebesar 10 juta. Tidak termasuk uang mingguan yang harus kamu setorkan kepadaku hingga kamu bisa melunasi yang 10 juta itu. Bagaimana?" Juragan Bahri menyeringai menatap Arman.
Arman terdiam sejenak sambil berpikir keras. Karena dalam kondisi yang sangat terdesak, Arman pun terpaksa menyetujuinya. "Ya, Juragan. Saya setuju," jawabnya.
Juragan Bahri tertawa lepas. Ia kemudian meraih sejumlah uang dari dalam saku bajunya. Setelah menghitung-hitung jumlah uang tersebut, Juragan Bahri pun segera meletakkan uang tersebut ke atas meja yang ada di hadapannya.
"Ini uangnya, 5 juta. Sekarang hitunglah lagi," ucap Juragan Bahri.
Arman segera meraih sejumlah uang yang ada di atas meja dengan begitu antusias. Tangannya bergetar dan wajahnya terus tersenyum, seolah ia tengah menemukan solusi tepat untuk masalahnya.
Arman menghitung satu persatu lembaran uang tersebut dan setelah beberapa menit, ia pun kembali tersenyum lega. "Terima kasih, Juragan. Jumlahnya pas," ucap Arman.
"Bagus! Dan ingat minggu ini kamu sudah harus menyetorkan uang mingguan itu," sahut Juragan Bahri.
"Ya, Juragan. Tentu saja," jawab Arman dengan begitu yakin.
Setelah mendapatkan uang itu, Arman pun bergegas kembali ke rumahnya. Rumah sederhana yang merupakan peninggalan dari mendiang orang tua Nadira.
"Dira! Amara! Kalian di mana?" panggil Arman dengan begitu semangat memanggil istri dan anak perempuannya.
Namun, hingga berkali-kali Arman memanggil, tak ada sahutan yang terdengar dari kedua perempuan kesayangannya itu. Arman mencari Nadira dan Amara ke seluruh ruangan yang ada di rumah sederhana tersebut dan tenyata mereka memang tidak ada di sana.
"Ke mana mereka?" gumam Arman.
Arman duduk di kursi yang ada di ruang depan sembari menunggu kedatangan Nadira dan Amara. Tidak berselang lama, terdengar langkah kecil Amara dari teras depan. Ia segera menoleh dan ternyata benar, Nadira dan Amara baru saja tiba di kediaman mereka.
"Ayah!" panggil Amara seraya berlari ke arah Arman.
"Eh, Sayang. Kamu dari mana aja?" tanya Arman sembari menggendong Amara dan memeluk tubuh mungilnya.
"Kami dari rumah tetangga, Mas. Aku bantu-bantu membersihkan rumah mereka dan hasilnya lumayan buat jajan Amara," jawab Nadira sambil tersenyum menatap Arman. Wajah cantik wanita itu tampak lelah dan keringatnya pun masih terlihat bercucuran.
Arman menghampiri Nadira kemudian menyeka keringat istrinya itu dengan lembut. "Maafkan Mas yang tidak becus mengurus kalian berdua," lirihnya.
"Tidak apa-apa, Mas. Aku ikhlas, kok."
Arman meraih tangan Nadira kemudian membawanya untuk duduk bersama di kursi plastik tersebut. Ia tersenyum lalu menyerahkan sejumlah uang yang tadi ia dapatkan dari juragan Bahri kepada Nadira.
"Ini uangnya, Dira sayang. Sekarang kamu bisa beli popok dan susu untuk Amara. Dan jangan lupa, beli semua barang kebutuhan kita yang sudah habis."
Nadira mengerutkan kedua alisnya. "Uang dari mana ini, Mas? Kok, banyak sekali?" tanya Nadira kebingungan.
Arman menghembuskan napas berat. Tidak mungkin ia berkata jujur kepada Nadira soal dari mana ia mendapatkan uang itu. Dengan terpaksa, Arman pun memilih bohong.
"Tadi aku bertemu dengan salah satu teman kerjaku dulu. Aku curhat sama dia soal masalah yang kita hadapi saat ini dan mungkin dia merasa iba lalu memberikan uang ini kepadaku," jelas Arman.
"Lalu, bagaimana cara kita mengembalikannya, Mas? Uang ini jumlahnya sangatlah besar," ucap Nadira.
"Kamu tidak usah khawatir, Dira. Dia bilang, kita bisa mengembalikannya jika sudah punya uang," sahut Arman yang akhirnya berhasil menenangkan wanita itu.
"Oh, syukurlah kalau begitu. Ternyata masih ada orang baik yang bersedia membantu kita ya, Mas. Semoga Tuhan membalas semua kebaikannya," ucap Nadira sambil tersenyum lega.
"Amin," sahut Arman.
Hari itu Nadira belanja banyak untuk kebutuhan dapurnya. Begitu pula untuk susu dan popok Amara. Tidak lupa, ia juga mulai mencicil hutang-hutangnya yang tertunggak di warung-warung dekat rumahnya.
"Wah, Dira. Kamu lagi banyak uang, ya? Beli telur sampai sebanyak ini," goda salah satu pemilik warung yang terletak tak jauh dari rumah Nadira berada.
Nadira tampak malu-malu. "Sebenarnya tidak juga, Bu."
Beberapa hari kemudian.
"Ini uangnya, Juragan." Arman menyerahkan sejumlah uang untuk membayar angsuran mingguan seperti yang diminta oleh Juragan Bahri.
Juragan Bahri tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. "Bagus-bagus! Semoga minggu-minggu ke depannya, kamu akan tetap seperti ini, Arman."
"Amin, Juragan. Semoga dalam beberapa hari ini saya bisa menemukan pekerjaan baru agar bisa melunasi semua hutang-hutang saya kepada Juragan," jawab Arman.
"Ya. Sebaiknya begitu."
"Ehm, saya permisi dulu ya, Juragan. Terima kasih," ucap Arman sembari pergi meninggalkan kediaman lelaki bertubuh gempal itu.
"Ya, ya!"
Juragan Bahri dan kedua anak buahnya terdiam sambil memperhatikan Arman yang melangkah semakin menjauh dari mereka.
"Juragan, kami punya kabar baik untuk Anda. Ini soal Arman," ucap salah seorang anak buah Juragan Bahri sambil menyeringai licik.
"Apa itu?" Lelaki paruh baya itu mulai penasaran.
"Ternyata Arman memiliki istri yang sangat cantik. Tubuhnya mungil dan kulitnya putih, seputih susu, Juragan!" sambung lelaki itu.
"Benar, Juragan. Wanita itu benar-benar cantik dan dia tipe wanita pilihan Juragan," timpal yang lainnya.
Juragan Bahri tersenyum miring sambil mengelus jenggotnya yang tebal. "Benarkah itu? Apakah dia sudah punya anak?"
"Sudah, Juragan. Satu anak perempuan yang baru berusia 2 tahun. Cantik, persis seperti ibunya," sahut lelaki itu lagi.
Juragan Bahri tersenyum lebar. "Tidak masalah. Tapi, kalian serius 'kan kalau wanita itu cantik seperti wanita-wanita idamanku?"
"Ya, Juragan. Tentu saja! Mana pernah kami berani membohongi Juragan."
Lelaki itu meraih ponselnya kemudian mengulurkannya ke hadapan lelaki itu. "Lihatlah, Juragan. Ini foto wanita itu bersama anak perempuannya. Cantik, bukan?"
Juragan Bahri meraih ponsel tersebut lalu memperhatikan foto Nadira bersama Amara yang dengan sengaja diambil oleh anak buahnya.
"Ck ck ck, benar-benar cantik! Siapa nama wanita ini?"
"Nadira, Juragan."
"Nadira? Hmmm, sangat cantik, secantik orangnya." Juragan Bahri kembali menyeringai licik.
...***...
Setelah membayar angsuran mingguan kepada Juragan Bahri, Arman pun kembali melanjutkan perjalanannya. Ia mencoba menelusuri jalan untuk mencari lowongan pekerjaan.
Banyak pabrik dan pergudangan yang ia lewati, tetapi sayang tak ada satu pun yang menyediakan lowongan pekerjaan untuknya. Namun, Arman tidak menyerah. Ia terus melangkahkan kakinya sambil bertanya-tanya pada warga sekitar soal lowongan pekerjaan.
Tak terasa, siang pun menjelang. Teriknya panas matahari membuat Arman kelelahan dan memutuskan untuk beristirahat sejenak di sebuah warung pinggir jalan. Ia memesan secangkir minuman dingin dan menikmati minuman tersebut sambil memperhatikan sekeliling tempat itu.
"Dari mana, Nak?" tanya pemilik warung. Seorang lelaki tua yang masih semangat mencari rupiah untuk keluarganya.
"Sebenarnya saya sedang mencari pekerjaan, Pak. Sudah lama saya menganggur setelah dipecat dari tempat kerja saya sebelumnya," sahut Arman.
Lelaki tua itu mengangguk pelan. "Sekarang ini mencari pekerjaan memang sulit. Ehm, kalau Bapak boleh tau, pekerjaan seperti apa yang kamu inginkan?"
"Apa saja, Pak. Selagi itu halal dan menghasilkan," jawab Arman dengan mantap.
"Bisa menyetir mobil?" tanya lelaki tua itu lagi.
Arman terdiam sejenak sambil menatap lelaki tua itu dengan seksama. "Bisa, Pak. Memangnya kenapa? Apa ada lowongan pekerjaan sebagai sopir?"
"Tuh, coba lihat!"
Pak tua itu menunjuk ke sebuah selebaran yang menempel di tembok dekat warungnya. Selebaran lowongan pekerjaan yang tertulis membutuhkan seorang sopir pribadi.
"Sopir pribadi?" Arman tersenyum lebar kemudian bangkit dari posisinya. Ia menghampiri selebaran tersebut lalu membacanya dengan seksama.
"Bagaimana? Kamu tertarik?" tanya lelaki tua itu lagi.
Arman masih tersenyum lebar. "Sepertinya saya tertarik, Pak. Dan gaji yang ditawarkan cukup menggiurkan," jawab Arman dengan mantap.
"Kalau begitu, hubungi saja nomor ponsel yang tercantum di brosur itu. Siapa tahu rejekimu," ucapnya.
Arman terdiam sejenak sambil tersenyum kecut. Bagaimana cara menghubungi nomor ponsel orang itu, sementara ia saja tidak memiliki ponsel, walaupun hanya ponsel butut.
"Saya tidak punya hape, Pak. Tapi tidak apa, saya masih bisa berjalan menuju kediaman orang itu dan sepertinya tidak jauh dari sini," sahut Arman sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Ya, coba aja. Jika memang rejekimu pasti tidak akan ke mana," jawab pak tua itu.
Arman meraih selebaran itu lalu menyimpannya ke dalam saku celana. "Terima kasih, Pak atas infonya."
"Sama-sama." Lelaki tua itu tersenyum.
Setelah tubuhnya tidak lagi kelelahan, Arman pun kembali melanjutkan perjalanannya menuju kediaman seseorang yang membutuhkan sopir pribadi tersebut.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya Arman tiba di kediaman orang tersebut. Arman menyeka keringatnya sembari memperhatikan bangunan megah yang menjulang di hadapannya.
"Wow, rumahnya besar sekali!" gumam Arman.
"Ada apa ya, Mas?" Seorang security menghampiri Arman.
"Saya menemukan brosur ini di jalan dan saya tertarik untuk melamar menjadi sopir pribadi seperti yang tertulis di sini," jawab Arman sambil tersenyum hangat.
"Oh iya. Kebetulan sekali Nyonya ada di dalam. Tunggu sebentar, biar saya kasih tau Nyonya dulu," ucap security itu.
"Baik, Pak. Terima kasih." Arman menunggu di tempat itu dengan sabar hingga akhirnya sang security kembali lagi dengan wajah semringah.
"Silakan masuk, Mas. Nyonya ingin Anda segera menghadap kepadanya," ucap security.
"Baik, baik!" jawab Arman dengan begitu antusias.
Setelah pintu gerbang mewah itu terbuka, Arman pun segera mengikuti langkah security yang kini menuntunnya memasuki bangunan megah tersebut. Arman terpelongo, ia benar-benar takjub melihat kemegahan serta kemewahan tempat itu. Sama seperti rumah-rumah orang kaya yang ia lihat di tv-tv.
"Silakan duduk. Sebentar lagi Nyonya Ira akan segera turun," ucap Security.
Arman pun mengangguk dan duduk di ruangan itu sambil menunggu sang pemilik rumah. Sementara penjaga keamanan itu sudah kembali ke depan untuk melaksanakan tugasnya.
Hanya berselang beberapa menit kemudian, tampak seorang wanita cantik tengah menuruni anak tangga yang ada di hadapan Arman. Arman terus memperhatikan wanita itu lalu bangkit dari posisinya. Kini wanita itu berdiri tepat di hadapan Arman lalu memintanya untuk duduk kembali.
"Duduklah," titahnya.
"Ehm, terima kasih, Nyonya."
Arman lalu duduk dan kembali memperhatikan wanita itu. Wanita yang hampir berusia 50 tahun, tetapi tetap cantik dan menawan. Tidak kalah dengan wanita yang berusia 25 tahun.
Bentuk tubuhnya bagus, rambutnya pun terlihat indah terawat, cara mengaplikasikan make up-nya bagus. Terlihat natural dan tidak menor. Bahkan kerutan yang seharusnya menghiasi wajah wanita itu, benar-benar tak terlihat.
Tidak ketinggalan, gaya berpakaiannya yang seperti anak muda. Kemeja ketat serta celana jeans yang ketat pula. Seperti kata orang kebanyakan, uang bicara. Dan mungkin seperti itu lah gambaran Nyonya Ira Lestari ini. Dengan perawatan yang terbaik dan pastinya membutuhkan kocek yang tidak sedikit serta pakaian mahal dan bermerek.
"Katanya kamu ingin melamar menjadi sopir pribadiku. Apa itu benar?" tanya wanita itu sambil memperhatikan wajah tampan Arman dengan seksama. Dari ujung rambut hingga ke ujung kaki, tak terlewat sedikit pun.
Arman sampai grogi ketika wanita itu memperhatikan dirinya. "I-iya, Nyonya. Itu benar," jawab Arman sambil tersipu malu.
"Kamu punya SIM? Dan apa kamu punya pengalaman menyetir sebelumnya?" tanya wanita itu lagi, sambil menyilangkan kakinya.
"Dulu saya pernah menjadi pengantar barang saat bekerja di pabrik. Walaupun mungkin mobilnya berbeda, tetapi Nyonya tidak usah khawatir. Saya punya pengalaman menyetir berbagai macam jenis dan merk mobil. Dan soal SIM, saya sudah punya, hanya saja sudah sebulanan ini belum diperpanjang," jelas Arman sambil menatap wanita itu dengan penuh harap. Berharap ia bisa menemukan rejekinya bersama wanita itu.
"Coba kamu berdiri di sini," titah wanita itu sambil menunjuk ke ruang kosong yang ada di hadapannya.
Arman pun segera bangkit dari posisinya kemudian berdiri di tempat yang ditujukan oleh wanita itu. "Di sini, Nyonya?"
"Ya." Wanita itu memperhatikan postur tubuh Arman dengan seksama.
"Hmmm, sesuai kriteriaku. Tampan, body-nya bagus, tinggi dan berotot," gumam Nyonya Ira dalam hati.
"Kamu sudah berkeluarga, ehmm?"
"Nama saya Arman, Nyonya. Dan ya, saya sudah berkeluarga."
"Begini ya, Arman. Kalau mau jadi sopir pribadiku itu syaratnya harus siap siaga 24 jam. Soalnya aku wanita yang sangat sibuk dan memiliki kegiatan yang cukup banyak di luar. Aku tidak ingin ada alasan apa pun jika aku membutuhkanmu, termasuk alasan istri dan sebagainya. Bagaimana, apa kamu bersedia?" jelas wanita itu
Arman sempat berpikir beberapa detik sebelum ia menganggukkan kepalanya. Dari pada menganggur, lebih baik ia terima persyaratan dari Nyonya Ira barusan, begitu lah yang ada di pikiran Arman saat itu.
"Ya, Nyonya. Saya setuju," jawab Arman dengan mantap.
Wanita itu tersenyum lebar. "Ehm, baguslah kalau begitu. Tapi sebelum aku memutuskan untuk menerimamu, kamu harus menjalani test terlebih dahulu. Aku tidak ingin mobilku lecet-lecet karenamu sebab biaya perbaikannya tidak semurah yang kamu bayangkan," lanjut Nyonya Ira.
"Baik, Nyonya."
Wanita itu bangkit dari posisinya lalu mengajak Arman ke halaman depan, di mana mobilnya berada.
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!