...Hai readers selamat datang di karya ke 4 ku. Semoga kalian suka dengan ceritanya nanti ya....
...Bantu like+komen+ulasan bintang juga untuk karya author ini....
"Apa tak ada jalan lain, Mas? Masih banyak pekerjaan di sini! Kenapa Mas harus cari ke tempat yang jauh? Lalu bagaimana dengan Aku dan Dhiya? Apa kamu akan meninggalkan kami, Mas?” Berderet pertanyaan, Yara lontarkan. Ia pun mengeluh kepada Afkar saat mereka tengah duduk di bale panjang yang berada di samping rumah kontrakan tempat mereka tinggal saat ini.
Afkar sedang meminta ijin kepada Yara atas keputusannya pergi ke kota untuk beradu nasib di sana. Kebangkrutan pabrik tempatnya bekerja membuat Afkar harus mencari pekerjaan lain. Pria itu sempat bekerja serabutan di kampungnya tapi itupun tak membuat kebutuhan mereka tercukupi. Pekerjaan serabutan tidak pasti, kadang ada dan lebih banyak menganggur.
Biaya kontrakan harus dibayar tiap bulan. Yara yang kebetulan pintar memasak pun ikut membantu berjualan sayur matang. Tapi Afkar tidak mau membuat Yara ikut menanggung beban rumah tangga karena menurutnya, suami lah yang harus bekerja dan istri hanya cukup melayani dan mengurus rumah tangga saja.
Afkar mempunyai sikap yang keras kepala dan egois. Semua keinginan dan perintahnya tak mau dibantah dan harus diikuti. Sebab itulah Yara selalu patuh, meski kadang tidak sesuai dengan isi hati Yara. Tapi Yara bersyukur dengan sisi penyayang yang dimiliki suaminya itu. Disitulah Yara merasa nyaman dan terlindungi.
"Ini adalah jalan terbaik Ay, Mas nggak mau kamu juga ikut bekerja. Mas mau yang terbaik buat kalian! Kamu liat sendiri Mas sudah mencoba melamar pekerjaan di beberapa tempat, tapi tak ada hasilnya," ucap Afkar putus asa. Ia tidak tahu harus berbuat apa lagi.
"Tapi aku ikhlas buat bantu kamu Mas, aku gak mau jauh dari kamu, aku gak punya siapa-siapa selain kamu dan Dhiya!" Wajah Yara terlihat sendu. Ia tidak menyetujui keputusan Afkar, itu hanya awal. Tapi selanjutnya Yara pun menyetujuinya.
"Doakan saja Mas mu ini, Ay! Ini sudah keputusan Mas. Mas harap kamu bisa menerimanya, tiap bulan akan Mas kirim uang untuk kamu dan Dhiya agar kalian berdua tidak hidup kekurangan. Mas sayang sama kalian berdua." Afkar menarik Yara ke dalam pelukannya, kecupan lembut pun mendarat di kening Yara, membuat istrinya itu kembali mendesah berat. Lagi-lagi Yara harus menyetujui keinginan suaminya itu.
Di samping sikap Afkar yang keras kepala, ada sikap yang lembut dan penuh kasih sayang selalu Yara dapatkan dari Afkar. Sikap seperti itulah yang membuat Yara tak ingin berpisah dari Afkar. Ia tak sanggup jika berjauhan dengan suaminya itu. Tapi Afkar tidak ingin keadaan mereka seperti ini terus tanpa perubahan.
Afkar meminta ijin pada Yara setelah beberapa hari lalu bertemu dengan Firman. Temannya yang baru pulang merantau dari kota. Ia mengajak Afkar untuk ikut dengannya ke Kota. Firman merasa kasihan mendengar Afkar menceritakan keadaan dan kondisi keluarganya saat ini.
Firman yang bekerja sebagai satpam pabrik tekstil di Jakarta, memberitahu ada lowongan pekerjaan sebagai kepala bagian di sana. Ada penambahan gedung baru untuk pabrik tekstil tersebut sehingga membutuhkan banyak karyawan baru.
Afkar yang menguasai bagian tersebut pun merasa ingin mencoba bekerja di sana. Sebab sebelumnya Afkar adalah kepala bagian produksi di pabrik tempatnya bekerja dulu. Firman memberi waktu 2 hari pada Afkar agar temannya itu membuat keputusan. Ia akan ikut ke kota atau tidak.
Afkar pun tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu begitu saja.
Yara akhirnya mengizinkan suaminya untuk pergi ke Jakarta. Meski berat hati tapi Yara selalu mendoakan yang terbaik untuk suaminya karena Yara tahu sifat suaminya yang tidak mau dibantah saat ia mengambil keputusan.
Sikap Afkar memang egois dan keras kepala. Tapi ada hal lebih yang membuat Yara jatuh cinta kepada suaminya itu, sikap sayang kepada dirinya yang membuat Yara rela dipersunting Afkar diusia mudanya. Sebab Yara pikir, ia tak punya keluarga lagi selain ibu panti yang telah membesarkanya setelah mamanya meninggal dunia.
Dipersunting Afkar adalah salah satu anugerah buat Yara. wanita itu jadi mempunyai keluarga karena selama ini hanya anak panti dan Ibu Panti saja. Satu-satunya keluarga Yara yang ia tahu.
***
Keputusan sudah diambil. Afkar positif untuk ikut dengan Firman. Malam ini pun, pasangan suami istri itu melanjutkan perbincangannya di dalam kamar, setelah sebelumnya bermain dengan anak mereka. Dhiya namanya, bocah imut, cantik dan menggemaskan. Pipi nya yang gembul membuat orang yang melihatnya merasa gemas, anak seusianya saat ini sedang lincah-lincahnya berjalan dan berbicara. Gadis kecil itu memanggil Yara dengan sebutan bunda.
Dhiya yang begitu dekat dengan ayahnya pasti akan langsung minta di gendong sambil mengucap cadel kata lucu khas anak kecil. Itu membuat mereka bahagia. Mereka tinggal di rumah kontrakn tepat ketika Yara hamil Dira karena Afkar pikir ingin belajar mandiri semereka ingin mandiri dengan tinggal pisah dari orang tua Afkar.
"Mas, kalau di kota hati-hati ya, kabarin aku terus, jangan sampai lupa untuk telepon kalau bisa video call sama Dhiya! Kalau kelamaan gak liat ayahnya, nanti Dhiya lupa lagi sama kamu, Mas? Jangan lupa kirim alamatnya juga sesampainya di kota padaku! Nanti kalau Mas lupa pulang, aku bisa susul Mas ke kota!" Cecar Yara dengan banyak nasehat dan pertanyaan kepada Afkar seraya mengusap pelan punggung Dhiya ssampai bocah itu tertidur.
Dhiya sudah tak lagi mimi asi. Ia lebih nyaman tidur sambil nyedot mpeng kecil. Terlihat Dhiya lelah karena seharian bermain dan bercanda dengan ayah dan bundanya.
Yara pun masih berbicara sambil membelakangi Afkar, sedangkan Afkar berbaring menghadap langit kamar. Telinganya masih terus menangkap suara dan mendengarkan Yara berbicara. Kedua tangan Afkar yang tadinya dijadikan sandaran kepala olehnya langsung berpindah memeluk tubuh Yara dari belakang punggungnya
"Iya sayang!” jawab Afkar sambil menciumi kepala Yara berulang kali. Aroma khas shampo yang belinya di warung tetangga membuat Afkar candu. Afkar pun memeluk Yara. “Mas akan lakuin apa yang kamu bilang, lagi pula Mas masih di sini loh!" Yara merasa geli karena Afkar malah menciumi leher jenjang nan putih mulus miliknya
"Mas... geli, lepasin gak! Nanti Dhiya bangun kasian dia rewel tadi siang.”
Afkar melepaskan pelukannya dan merubah posisi tidurnya menjadi terlentang di samping Yara, Mereka berbincang tentang rencana kepergian Afkar ke kota. Sedangkan Yara tidur dengan beralaskan tangan Afkar, jemari Yara bermain di atas dada bidang Afkar.
"Jaga hati dan mata Mas ya! Di kota itu wanitanya cantik-cantik, gak seperti aku yang cuma orang kampung dan gak berpendidikan, Mas.” Wajah Yara berubah muram dan menunduk menempel pada dada bidang suaminya.
"Kamu ini bicara apa sih, Ay! di mata Mas itu yang paling cantik dan menarik cuman Yara, Ayara faeqa Wirawan yang sudah merebut hati dan pikiran mas saat pertama kali bertemu."
"Ish, gombal” cubitan pun ia layangkan ke perut Afkar.” Wirawannya gak usah di sebut, Mas!”
“Aww... sakit, Ay!” sambil mengelus perut bekas cubitan Yara, Afkar bersikap manja seakan cubitan itu terasa sakit. Padahal kenyataannya tak terasa hanya saja ia senang menggoda istrinya.
“Memangnya kenapa dengan nama terakhirmu? Itu bisa jadi petunjuk untuk keberadaan papamu, Ay," ujar Afkar.
Yara mengedikkan bahu. “Mama pernah bilang jangan biarkan orang tahu nama belakangku, Mas!”
Afkar terdiam. “Aku merasa ada yang disembunyikan di sini. Mungkin saja papamu sedang mencari kalian?" Afkar curiga dengan ucapan Yara.
Bersambung.
Hai ini adalah Novel karyaku selanjutnya.
Seperti biasa masukan Favorit, Like dan komen ya....
Kutunggu kehadiran kakak semua di karya baruku....
...Karya ke empat yang masih sepi. Mohon dukungannya dengan kasih rating 5 ⭐⭐⭐⭐⭐ bintang, like dan Favorit kalian untuk karya baruku ini....
...Selamat membaca...
Yara tak memedulikan itu. “Biarlah... Selama dua puluh lima tahun seharusnya kami sudah bertemu, jika memang Papa peduli pada kami. Dia pasti mencari akan mencari keberadaanku dan ibu, Mas! Yang penting buat ku saat ini, hanya bersamamu. Ingat jangan genit kamu, Mas!” Yara memperingatkan sambil mencubit nakal dada suaminya.
"Kamu bikin mas gemas kalau begini! Duh jadi makin berat ninggalin kamu, Ay ... Ay!” kecupan singkat Afkar daratkan di pucuk kepala Yara sambil memeluk gemas
tubuhnya.
"Makanya jangan pergi!" yara berusaha mencegah. "Nanti kalau aku kangen gimana, Mas!"
"Sebenarnya, Mas juga merasa berat tapi Mas tidak punya pilihan. Kita harus punya tekad agar hidup lebih layak dan Dhiya harus punya masa depan yang cerah.” Berulang kali kecupan manis Afkar ia daratkan di kening Yara memberikan pengertian pada wanita yang 3 tahun menjadi istrinya.
“Besok Mas mau ke tempat ibu, Mas akan menitipkan kamu dan Dhiya di sana. Agar Mas tenang berada di kota jika kalian bersama mereka.
"Maksud Mas, aku dan Dhiya pindah ke rumah ibu?” tanya Yara sambil mendongak menatap Afkar. Ia merasa keberatan jika harus pindah karena selama ini sikap ibu Afkar kepadanya tak begitu ramah.
Bahkan terkesan tak suka.
Bu Nuri yang merupakan ibu dari Afkar pernah mengatakan kalau Afkar sudah di butakan cinta karena memilih gadis dari panti asuhan seperti Yara. Padahal banyak gadis di desanya yang berasal dari keluarga berada dan terpandang. Para gadis yang menginginkan Afkar menjadi calon suaminya. Sayangnya Bu Nuri tidak bisa mengubah keinginan Afkar karena Afkar mendapat dukungan dari sang ayah yang selalu memberi restu asal itu baik untuk dirinya.
Keluarga Afkar terbilang keluarga berada karena bisnis turun temurun dari keluarganya. Keadaan ekonomi keluarga berjalan lancar. Pak Setyo yang merupakan ayah dari Afkar terkenal sebagai juragan penggiling padi. Bisnis penggilingan padi yang terus berjalan dari dulu sampai sekarang. Satu-satunya usaha yang menjadi penghasilan keluarga Afkar.
Malam ini jadi malam hangat antara pasangan pasutri itu. Mereka berdua tidak ingin melewatkan sisa malam bersama. Sebab lusa Afkar tidak akan menemani Yara dihangatnya malam selanjutnya.
Jarak dan tempat yang akan memisahkan mereka. Yara berharap keputusan ini akan membuat kehidupan mereka lebih baik untuk masa depan keluarga kecilnya.
Yara termenung sambil meluk raga suaminya. Memutar kembali kenangan pertemuan pertamanya dengan Afkar Chairi, suaminya.
Flashback on
Sore itu adalah pertemuan pertama Yara dengan Afkar. Yara tergesa saat menyeberang jalan hendak menghampiri angkutan umum yang ada seberang jalamn. Yara baru saja pulang dari sekolah karena kegiatan tambahannya dari sekolah.m. Menyebabkan Yara pulang ke panti agak terlambat.
Beruntung Yara mendapatkan beasiswa sehingga ia bisa masuk ke sekolah favorit di kotanya. Anak panti yang lain bersekolah tak jauh dari Panti Asuhan, sedangkan Yara mendapat ijin dari ibu panti untuk bersekolah di tempat lain yang jaraknya agak jauh dari panti untuk akomodasi transportasi Yara mendapat sumbangan dari donatur. Sedangkan uang saku Yara dapat dari ketua panti yang mendukung prestasinya. Nilai uang jajan yang tidak seberapa karena itulah Yara sering berjualan kue kering.
Mendapat kebijakan dari pihak panti karena prestasinya membuat orang lain iri padanya. Ada saja beberapa dari saudara satu panti dengan Yara merasa tidak suka pada gadis itu. Ada juga yang memberi semangat kepadanya agar tidak mendengar ocehan orang lain.
Oleh karena itu Yara rajin membuat jajanan atau kue kering yang ia bisa buat. Lumayan pikirnya untuk menambah uang jajan.
Cuaca yang sedikit gerimis menyebabkan jalanan sedikit licin saat itu. Tak sengaja seorang pria menyerempet Yara karena kendaraan motor yang dikendarai pria tersebut melenceng dan menyenggol tubuh Yara. Yara yang terkejut kemudian terjatuh sehingga tangan dan kakinya lecet sampai berdarah.
Begitu juga dengan Afkar, pria yang menyerempet Yara. Ia hampir saya terjatuh bersama motor sport-nya. Beruntung saat itu Afkar masih bisa mengendalikan kendaraannya. Afkar langsung menepi dan memarkirkan motor sportnya, kemudian menghampiri Yara yang masih duduk di pinggir trotoar. Hanya ada beberapa orang di sekitar situ.
Yara dibantu seorang ibu yang kebetulan sedang menunggu angkutan umum tak jauh dari tempat kejadian.
“Hati-hati dong Mas, kalau bawa motor!” Hardik si ibu. “Kasian si Neng sampe lecet begini,” ucap ibu yang menolong Yara.
“Iya Bu, saya minta maaf! saya tidak sengaja, tadi jalannya licin dan ada batu kerikil jadi ban motor saya agak melenceng.” Afkar pun turut membantu Yara yang kesulitan berjalan karena lututnya sedikit lecet.
“Ssh... Aww ...,” desis Yara kesakitan dengan suara pelan tapi masih terdengar oleh Afkar.
Yara duduk di trotoar jalan. Afkar lekas berjongkok melihat luka di kaki dan tangan Yara.
“Sebentar saya beli air dulu.” Afkar meninggalkan Yara.
Yara duduk ditemani ibu yang menolongnya tadi.
Tak lama Afkar kembali dari warung setelah membeli air minum. Ia berjongkok dan memberikan air mineral itu kepada Yara.
“Maaf saya tidak sengaja, jalanan tadi begitu licin, saya sudah berusaha menghindar tapi masih kebablasan.” Afkar tersenyum canggung ketika dirinya memperhatikan Yara. Yara tertunduk saat diperhatikan. Gadis itu hanya mengangguk pelan membalasnya.
“Ngga pa-pa, Mas! ini musibah, siapa yang mau ada kejadian seperti ini?” Yara menerima air botol tersebut kemudian meneguknya perlahan.
'Cantik'
Batin Afkar, ia terkesima dengan wajah Yara yang cantik ditambah lesung pipi yang membuat Yara mempesona.
Mungkin saat itulah cinta pada pandangan pertama dirasakan oleh Afkar saat melihat kecantikan dan ketemuan dari manik mata Yara.
“Maaf, Nak, Ibu tak bisa untuk menemani lebih lama. Angkutan umumnya sudah mau pergi!” ucap ibu yang tadi membantu Yara.
“Iya Bu, ngga pa-pa, terima kasih sudah membantu," sahut Yara.
“Iya, Nak. Mas itu tolong ya, si Nengnya bawa ke rumah sakit, kasian luka begitu!" perintahnya kepada Afkar.
“Iya Bu, saya pasti akan membawanya ke rumah sakit.”
Tak berapa lama, saat luka lecet Yara sudah di obati oleh Afkar. Gadis itu menolak untuk di bawa ke rumah sakit. Menurutnya, luka yang ia terima hanya luka kecil. Tapi Yara ridak menolak saat Afkar berniat dan mengantarkan gadis itu pulang.
Dari kejadian itu membuat Afkar dan Yara dekat. Setiap hari berangkat sekolah Afkar mengantarkan Yara terlebih dahulu barulah ia berangkat kerja. Hingga akhirnya mereka menjalin hubungan dan berlanjut serius. Afkar berniat untuk meminangnya.
Afkar selalu menemui Yara di panti bahkan sering membantu kegiatan panti. Afkar pun selalu mendukung dan memberi semangat kepada Yara setiap kali gadis itu bercerita tentang sekolah.
Kasih sayang dan perhatian yang Afkar berikan membuat Yara tak bisa berpaling dari pria itu. Afkar pun berjanji akan meminangnya setelah Yara lulus sekolah nanti.
Ibu panti tempat Yara tinggal pun tak bisa memaksa semua di serahkan kepada gadis itu. Sebenarnya ibu panti berharap Yara bisa melanjutkan pendidikannya ke jenjang kuliah karena ia tahu Yara termasuk anak yang berprestasi.
Ibu panti tidak bisa memaksa mungkin dengan menikah dengan orang yang di cintainya dan perhatian padanya Yara akan bahagia dan mempunyai keluarga baru.
Afkar pernah berucap akan mengijinkan Yara untuk melanjutkan pendidikannya saat mereka sudah menikah nanti.
Perkataan tersebut membuat Bu panti lega. Ia berharap Yara bisa menggapai cita cita yang selama ini ia ceritakan kepada dirinya.
Meski hubungan Afkar dan Yara tak mendapatkan sambutan hangat dari Bu Nuri, ibu dari Afkar. Namun bapak dari Pria yang berjanji akan menikahinya itu bersikap sebaliknya. Pak Setyo mendukung apapun keputusan Afkar karena ia lihat sikap dan pribadi Yara adalah anak yang baik.
Afkar yang memenuhi janjinya kepada Yara, menikahinya selepas ia lulus sekolah.
Kebahagiaan terpancar dari keduanya. Hingga beberapa tahun mereka menikah hadir si buah hati yang menambah kebahagiaan Yara dan Afkar. Sampai kejadian kebangkrutan pabrik itu terjadi, kehidupan mereka berangsur berubah. Dari sanalah awal kerumitan keluarga kecil Yara.
Bersambung.
...Masih di karya ke empatku. Jangan lupa rating bintang nya untuk karya ini....
...like dan komen agar author semangat buat nulis.. ...
...selamat membaca...
Flashback of
Pagi menjelang siang, Yara dan Afkar bersiap pergi ke rumah orang tua Afkar yang tak jauh dari rumah mereka. Dhiya yang ikut pun terlelap dalam dekapan Yara, jarak tempat tinggal mereka hanya terpisah satu desa.
Satu jam perjalanan mereka tempuh, sambil sesekali mengobrol dan bercanda seperti yang mereka lakukan. Motor matic andalan Afkar pun telah memasuki rumah berpagar besi yang berdiri kokoh di desanya, tempatnya dibesarkan dari kecil. Di samping rumah tersebut berdiri satu bangunan besar tempat penggilingan padi. Salah satu usaha yang keluarga Afkar punya dari dulu sampai sekarang. Usaha penggilingan padi itu sangat terkenal di desanya.
Para petani di desa itu banyak yang menggunakan jasa penggilingan padi milik Pak Setyo bapak dari Afkar. Pa Setyo terkenal orang yang dermawan dan ramah. Halaman yang luas terpampang di depan rumah tersebut. Lahan tersebut biasa digunakan untuk menjemur gabah padi sebelum masuk penggilingan.
“Assalamualaikum,” ucap Afkar ketika memasuki pekarangan rumahnya.
“Waalaikumusalam,” jawab seseorang dari pekarangan, ia terlihat memakai topi yang terbuat dari anyaman bambu berbentuk kerucut ditemani beberapa orang yang sedang membantunya menghamparkan gabah padi untuk dijemur.
Penggilingan padi ini menyediakan jasa menggiling gabah bagi petani di wilayah sekitarnya. Usaha ini tidak membeli gabah petani lalu menjualnya dalam bentuk beras, namun hanya menyediakan jasa penggilingan bagi gabah yang dibawa oleh petani. Ongkos giling dibayar berdasarkan jumlah gabah yang digiling.
Usaha ini memiliki lantai jemur yang disediakan bagi petani yang ingin menjemur gabahnya tanpa dipungut biaya pengeringan. Namun kebanyakan petani (sekitar 60%) datang membawa gabah dalam keadaan kering siap giling.
Kebiasaan petani sekitar adalah membawa gabah dalam jumlah kecil, Tidak seluruh gabah hasil panen langsung digiling, namun digiling sedikit demi sedikit sesuai dengan kebutuhan konsumsi.
“Duh cucu Mbah kung, datang,” sapa Pak Setyo seraya membuka penutup kepala yang bertengger di atas kepalanya. Pak Setyo menghampiri Afkar dan Yara. Ketika mereka akan berjabat tangan mencium tangan Pak Setyo, beliau menahannya.
“Tunggu dulu!" Cegah Pak Setyo. “Kalian langsung masuk saja ke dalam. Kasian cucuku kalau di sini, panas! Lagian bapak mau cuci tangan dan ganti baju dulu, biar bersih," ujarnya.
“Baik pak, kalau begitu Afkar ke dalam dulu,” pamit Afkar.
“Ya, silahkan!”
Yara pun ikut berpamitan dengan menundukkan kepala kepada pak Setyo.
“Tidurkan anakmu di kamar! Nanti Bapak akan ajak ia bermain kalau sudah bangun,” ucapnya kepada Yara.
Yara mengangguk sopan. "Iya, Pak."
Yara mengikut Afkar masuk ke dalam rumahnya. Suasana di rumah itu sepi, karena adik perempuan Afkar yang bernama Mila, belum lama menikah. Mila ikut dengan sang suami tinggal di rumah dinas. Suami dari adiknya itu merupakan anggota pasukan khusus negara. Pernikahan Mila dengan pria yang mempunyai pangkat itu makin menambah kebanggaan tersendiri untuk sang ibu, Bu Nuri.
Mendapat menantu dari kalangan terhormat dan berada. Berbeda dengan Afkar yang mendapat istri dari kalangan orang biasa, tak jelas asal usulnya pula. Sebab itulah Bu Nuri tidak pernah setuju dan tidak suka pada Yara.
Ada perasaan takut dan tidak nyaman setiap kali berkunjung ke rumah mertuanya itu. Meskipun rumah tangganya dengan Afkar sudah berjalan beberapa tahun. Tapi sikap Bu Nuri terhadap Yara masih sama. Apalagi semenjak ia mendapat menantu idaman dari anak bungsunya. Sindiran, celaan bahkan sering diacuhkan itu yang Yara dapatkan dari Bu Nuri setiap berkunjung ke rumah itu.
Berbeda dengan sikapnya terhadap Dhiya. Mungkin karena Dhiya adalah cucunya. Ada darah Bu Nuri yang mengalir dalam tubuh anaknya. Jadi sikapnya begitu perhatian pada gadis kecil itu.
Yara tak masalah jika sikap mertuanya tidak baik kepadanya yang terpenting adalah Dhiya mendapatkan kasih sayang dari Mbah Kung dan Mbah Utinya.
Afkar yang mengerti akan kegundahan hati Yara merangkul pundaknya.
“Kamu harus bersabar menghadapi ibu. Dia memang seperti itu, jangan di ambil hati dengan apa yang dikatakannya!” ucap Afkar lembut seraya mengelus pundak Yara.
Semangat dari suaminya itu membuat Yara nyaman dan tidak menyerah agar bisa mendapatkan hati dari Bu Nuri.
“Iya, Mas." Yara mengikuti langkah Afkar memasuki ruang keluarga.
“Kamu masih ingat pulang, Kar! Ibu kira kamu tidak ingat kalau ibu sama bapakmu masih ada!” Sindir Bu Nuri yang datang tiba-tiba dari arah dapur. Bu Nuri langsung mencecar Afkar dengan sindiran dan pertanyaan.
Bu Nuri berjalan menghampiri keduanya.
“Assalamualaikum, Bu." Afkar berjalan mendekati Bu Nuri lalu mencium tangannya dengan takzim.
Yara pun mengikutinya menyalami Bu Nuri.
“Waalaikumussalam,” jawab Bu Nuri ketus kepada Yara.
“Bagaimana keadaan ibu, sehat?” Yara yang memulai percakapan itu mencoba mencairkan suasana agar tak terasa canggung.
“Kamu lihat sendiri keadaan ibu, sehat kan? Apa kamu berharap ibu mertuamu ini sakit-sakitan?” sahut Bu Nuri tetap dengan nada ketus membuat Yara menundukkan kepalanya.
“Bu, tolong jangan bersikap seperti itu terus sama Yara. Dia istriku, itu berarti anak ibu juga.” Afkar merangkul Bu Nuri kemudian menuntunnya untuk duduk di sofa. Bu Nuri pun menurut.
“Ay, bawa Dhiya ke kamar dulu, rebahkan di kasur biar nggak pegal!” Titah Afkar kepada Yara.
Yara mengangguk pelan. “Iya Mas, Bu ... Yara pamit ke kamar dulu." Yara pamit pada Bu Nuri. Tak ada jawaban dari mertuanya itu. Beliau hanya melirik sekilas masih dengan wajah ketus.
“Kamu ini Kar, 'kan Ibu sudah bilang bantu bapakmu di sini untuk apa kamu kerja serabutan di sana? Jangan buat orang tuamu malu. Kamu itu sarjana masa kerja kaya gitu,” hardik Bu Nuri dengan tegas. Ia menceramahi Afkar tanpa henti.
Bu Nuri mengetahui kegiatan Afkar usai berhenti kerja itu dari orang yang sering menggiling padi ke tempatnya. Mereka memberitahu Bu Nuri kalau mereka pernah melihat Afkar bekerja serabutan setelah beberapa bulan pabrik tempatnya bekerja mengalami kebangkrutan.
“Semenjak menikah dengan Yara, kamu itu nggak ada kemajuan, Nak! Malah begini jadinya. Sia-sia orang tuamu ini menyekolahkanmu.” Bu Nuri masih terus mengomel meluapkan emosinya yang selama ini ia pendam karena Afkar sudah lama tak berkunjung ke sana.
“Sabar Bu, jangan terus menyalahkan Yara. Ini semua bukan salahnya! Mungkin sudah jalannya kehidupan Afkar seperti ini. Sang Pencipta Kehidupan sedang menguji kesabaranku, Bu! Toh yang penting Afkar gak mengemis buat cari uang,” Seru Afkar sambil mengelus lembut baju Bu Nuri, berusaha untuk menenangkannya.
“Kamu ini, sama seperti bapakmu, selalu seperti itu!” desis Bu Nuri.
“Loh, bukannya bagus itu Bu! berarti anakmu itu bertanggung jawab dan mandiri,” sambung Pak Setyo yang tiba-tiba datang dari pintu samping. Sedari tadi saat membersihkan kaki dan tangan sebelum masuk ke dalam rumah. Pak Setyo mendengarkan apa yang di bicarakan istri dan anak pertamanya itu.
.
.
.
Bersambung
Promo maning masih berlangsung teroos.
Mampir ke karya teman otor ya. karya mereka tuh tak kalah seru loh.
Mampir Yak!!!!
bye... bye...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!