NovelToon NovelToon

Andra Dan Rea Let The Story Begin

Rea, Si Anak Panti

Andrea Kirana, atau dia akrab dipanggil Rea. Gadis berseragam putih abu-abu itu, melangkah melewati anak lain sambil menundukkan wajahnya. Setelah memarkirkan sepedanya di antara deretan sepeda motor yang dipakai oleh siswa lain.

Tanpa berani mengangkat wajahnya, Rea berlalu dari sana. Mengabaikan bisik-bisik dari siswa yang dilewatinya. "Itu tu, si anak panti naik sepeda butut," beberapa bisikan yang terdengar oleh Rea. Gadis itu berusaha mengabaikan semua ledekan itu. Tapi nyatanya, hatinya berkata lain. Wajahnya terasa panas. Dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Rea berjalan cepat dari sana. Tidak peduli pada beberapa siswa yang dia tabrak. Minta maaf pun tidak. Gadis itu terus berlari, menaiki tangga di sudut sekolah. Lantas menarik nafasnya dalam. Seiring air mata yang benar-benar tumpah dari matanya.

"Memangnya salah kalau aku anak panti? Memangnya salah kalau aku yatim piatu? Memangnya salah kalau cuma naik sepeda butut kalau ke sekolah. Memangnya itu salah?!" teriak Rea keras, menumpahkan segala kekesalan di hatinya. Tempatnya berdiri adalah tempat paling sunyi yang ada di sekolah itu. Tidak ada yang akan berkunjung ke sana kalau bukan penjaga sekolah untuk bersih-bersih.

Rea memang tinggal di sebuah panti asuhan dekat dengan sekolahnya. Gadis itu bisa masuk ke sana melalui jalur prestasi. Karena memang otak Rea yang pintar. Tapi yang jadi masalah adalah, sekolah Rea sekolah elit, sekolah dengan mayoritas muridnya berasal dari golongan orang berada. Hingga Rea sering menjadi korban olok-olokan bahkan mengarah ke pembullyan. Sindiran verbal yang sering Rea terima soal penampilannya yang kucel dan jadul. Soal dirinya yang selalu naik sepeda butut. Soal dia yang hanya anak panti asuhan.

Berulangkali Rea minta pindah sekolah saja. Tapi Ibu panti selalu mengatakan di tempat Rea-lah, sekolah yang bisa mewujudkan cita-cita gadis itu. Tempat lain bisa tapi prospek di sekolah Rea lebih cerah.

Sebenarnya, yang membuli Rea hanya satu siswa Tapi siswa lain buat tidak tahu. Hingga siswa itu semakin bebas membuli Rea. Dan hal ini tidak ada yang melaporkan ke pihak sekolah. Sebab semua acuh dengan keadaan Rea.

"Hai....anak panti," kalimat itu sangat sederhana. Tapi bagi Rea, cukup untuk mengikis rasa percaya diri yang dia punya. Atau "sepeda bututmu salah parkir," seloroh siswa itu lagi. Rea ingin membalas tapi apa yang bisa dia lakukan. Balas mengatai siswa itu, Rea pikir itu bukan jalan terbaik untuk membalas sebuah pembulian. Pada akhirnya, Rea hanya diam, melahap semua sindiran dan ejekan yang datang padanya. Kenyang dengan ejekan siswa itu, ganti trauma yang Rea rasa. Gadis itu enggan bertemu dengan siswa itu. Tubuhnya langsung panas dingin, hanya dengan mendengar suara siswa itu.

"Tu kan bener di sini?" seorang siswi berkulit hitam manis tampak berada di dekat pintu gudang itu. Nana, satu nama yang selalu ada untuk Rea. Selalu menemani Rea. Melihat Nana, Rea dengan cepat mengusap bekas air mata yang menempel di pipi.

"Clara lagi?" tanya Nana. Tanpa menunggu jawaban Rea, Nana mengepalkan tangannya. Bertubuh tinggi jangkung membuat postur tubuh Nana seperti pria. Berbeda dengan Rea yang jelas terlihat sisi fenimimnya.

"Laporkan saja ke Pak Budi...biar masuk BK," geram Nana. Dia heran Rea, betah bener di buli dari awal masuk sampai sekarang, mereka hampir lulus.

"Jangan Na, bentar lagi juga kelar. Aku gak perlu ketemu dia lagi, please jangan bertindak aneh-aneh ya," mohon Rea. Melihat itu, Nana hanya bisa menarik nafas, "kau terlalu baik jadi orang," gerutu Nana.

"Ya sudah, aku jadi hantu saja kalau begitu," canda Rea mulai melupakan bulian singkat tadi.

"Ogah gue temenan sama hantu, susah rawatannya. Minta kembang, menyan dan teman-temannya. Repot nanti aku," seloroh Nana. Keduanya mulai turun, masuk ke kelas mereka. Rea bisa tersenyum mendengar candaan receh Nana.

"Anak panti...anak panti....anak kampung...anak kampung," lagu itu disenandungkan oleh Clara. Siswi yang menjadi the one and the only, haters Rea di sekolah itu. Sialnya lagi mereka satu kelas. Seperti sekarang, gumaman Clara benar-benar memecah konsentrasi Rea dalam mendengarkan penjelasan Bu Mia, guru akuntansi biaya mereka. Hingga ocehan Bu Mia yang sudah ngalor ngidul balik ngidul lagi itu tidak seberapa yang mampir ke otaknya. Padahal biasanya, dia seperti spon yang ketemu air. Diserap habis tu si air.

"Clara kurang kerjaan banget sih," omel Nana. Bu Mia sudah keluar dari kelas Rea. Menimbulkan sedikit suara gaduh. Seperti anak ayam yang lepas dari pengawasan maknya, ngoceh sana sini tidak karuan. "Biarin ajalah. Kalau diladenin bikin tensi naik," jawab Rea berusaha tenang. Gadis manis itu kadang terpengaruh juga oleh ledekan si Clara itu. Tapi dia sadar diri dengan keadaannya. Gadis itu selalu ingat pesan Bu Pantinya, "jangan membuat masalah." Pesan itu seperti sudah terdoktrin rapi di otaknya.

"Eh temen-temen, kalian tahu gak kalau hari ini ada hadiah spesial buat Rea, si anak panti," teriak Clara keras. Tinggal satu mata pelajaran lagi dan mereka akan pulang.

"Maksudmu apa?" salak Nana garang. Rea langsung memijat pelipisnya. Sejak tadi dia sudah berusaha menahan Nana. "Ada deh, kalian lihat saja nanti. Hadiah spesial buat Rea, si anak panti.

Nana langsung mengumpat Clara begitu berada di parkiran. Ternyata mereka mengempeskan ban sepeda Rea. Eh salah bukan sekedar dikempesin, soalnya waktu dipompa sama penjaga sekolah, langsung kempes lagi. "Ini bukan kempes Neng, tapi bannya pasti bocor," seloroh si penjaga sekolah.

Rea dan Nana hanya bisa saling pandang, lalu berlalu dari sana. "Kamu pulang saja dulu. Aku nggak apa-apa kok," ucap Rea. Bersamaan dengan itu rombongan Clara cs lewat dengan motor masing-masing. "Gimana? Suka gak dengan hadiah kita? Sepeda butut begitu gak level berada di antara sepeda motor kita yang mahal ini," sindir Clara.

"Cukup Clara! Kamu keterlaluan kali ini!" Emosi Nana melonjak naik. Gadis itu sudah maju menantang Clara, jika saja teriakan pak Budi membuyarkan aksi Clara. Tatapan tajam Pak Budi seketika membuat Clara dan yang lainnya kabur dari tempat itu.

"Untung tadi pagi gue pakai sunblock, jadi it's okay panas-panasan kayak gini, no problem," celetuk Nana yang menemani Rea "menuntun" sepedanya. Berbekal uang pecahan seratus ribu dari Pak Budi, Rea dan Nana berkeliling mencari tambal ban sepeda. Nana memacu Genio-nya dengan kecepatan siput, untuk mengimbangi langkah Rea.

"Kamu pulang aja deh. Nanti dicariin sama Mbahmu," ucap Rea tidak enak hati pada Nana. Menemaninya berputar-putar mencari bengkel yang mau memperbaiki sepedanya.

"Aku sudah telepon Mbah Putri, pamit pulang sore ada ekskul," jawab Nana enteng. Sebenarnya Rea tahu, Nana tidak akan meninggalkannya sendiri meski dia menyuruhnya."Terserahlah kalau begitu. Kelaparan jangan ngeluh...aku kan cuma anak panti yang gak punya apa-apa," Rea menjawab dengan wajah ceria.

Meski setelahnya, Rea langsung menundukkan wajah. Menahan laju air mata yang mulai menganak sungai di matanya. Ingatkan menunduk bisa menghentikan tangisnya. Nyatanya dia salah. Karena begitu dia melihat ke bawah, Rea malah melihat sepatu warrior usang miliknya. Sepatu yang dia dapat saat ada yang menyumbangkan barang bekas ke panti asuhannya.

"Yah, aku memang Rea si anak panti. Tidak mungkin bisa memakai brand sekelas Nike atau Adidas atau Fila seperti yang siswa lain pakai. Air mata Rea semakin deras mengalir. Sesak dan sakit dia rasakan dalam hatinya. Kenapa hidup seolah tidak adil padanya. Pertanyaan itu yang selalu terlintas di kepalanya.

*****

Karya baru guys, semoga kalian suka...

*****

Kepanikan Nana

Di sisi lain, Andra langsung mendengus geram, ketika pria itu mendudukkan diri di depan sang Papa. Pria tampan berusia 24 tahun itu, jelas kesal dengan ulah papanya.

"Papa berniat merusak liburanku ya?" todong Andra pada papanya. "Alah, cuma audit perusahaan kecil. Dengan otakmu, tidak akan memakan waktu lebih dari dua hari," jawab si papa santai. "Memang tidak lebih dari dua hari, tapi kan tetap ribet jadinya. Aku tu mau liburan sama yang lain. Rehat Papa, istirahat. Sudah ngebul ni kepala lihat angka tiap hari," keluhan Andra bak kereta cepat yang datang melintas. Sekilas tapi panjangnya minta ampun.

"Siapa suruh kau memilih jadi akuntan. Ya, isinya deretan angka semua. Kalau kau milih masuk kantor Papa, pemandangannya akan beda," sang Papa berkata sembari menaikkan alisnya.

Andra langsung berdecih kesal mendengar ucapan sang ayah. Sementara ini, Andra memang belum mau meneruskan bisnis keluarga mereka. Pada akhirnya, Andra hanya bisa menghela nafasnya panjang. Bisa dipastikan kalau liburannya kali ini akan berantakan. Liburan campur audit, what the hell is going on?

******

Rea langsung menghentikan langkahnya ketika Clara menghadangnya. "Masih bisa sekolah kamu?" tanya gadis itu sombong.

"Memangnya kenapa? Sekolah pakai otak, yang lain hanya pendukung," jawab Rea. Kali ini dia mencoba melawan. Beruntung kemarin dia dan Nana berhasil menemukan bengkel yang mau memperbaiki sepedanya. Rea jelas senang sekali, apalagi uang dari pak Budi masih tersisa. Dan pak guru baik hati itu tidak mau menerima kembaliannya. Pria itu juga menolak ketika Rea ingin mengganti uang tambal ban itu.

"Wooohhh, berani jawab dia guys," kata Clara pada gengnya. Gadis itu mendekat ke arah Rea. Rea reflek memundurkan langkah. Berpegang erat pada stang sepeda miliknya.

"Kamu pikir kamu hebat bisa masuk sekolah ini? Kamu ini cuma anak panti yang bisa masuk ke sini karena belas kasihan Pak Munawar," Clara berkata penuh intimidasi.

Rea mengeratkan pegangannya pada sepedanya. Mata gadis itu mulai mengembun. Sakit sekali rasanya, ketika Clara mengucapkan hal itu. Meski hal itu memang benar. Dia masuk ke sini karena Ibu Panti dan Kepala Sekolah saling mengenal. Hingga pria itu bisa merekomendasikan dirinya masuk ke sekolah itu melalui jalur prestasi. Walau prestasi dan kecerdasan Rea mendukung semua itu. Terbukti dari awal masuk hingga sekarang, Rea selalu berada di tiga besar ranking umum di sekolah itu.

"Lalu ada masalah? Yang penting aku sekolah dengan benar, tidak neko-neko, aawwww," Rea meringis ketika Clara mendorong tubuhnya. Gadis itu terjatuh, reflek membuat sepedanya ikut terjatuh. "Kau menyindirku?"

Rea menggeleng, merasakan perih pada lututnya. "Clara jangan!" Rea berteriak ketika Clara menginjak-injak sepedanya. Gadis itu hanya bisa menangis, ketika Clara dan yang lainnya pergi setelah puas mengerjai dirinya. Tidak ada seorangpun yang tahu akan kejadian itu, tempat itu berada di belakang sekolah. Jarang ada orang yang lewat, selain dirinya.

Rea duduk sembari memeluk lututnya, dengan tangis tak kunjung mereda. Melihat sedih pada sepedanya. Kali ini dia harus bagaimana lagi? Semalam dia kembali minta pindah pada ibu panti, dan wanita itu kembali menolak. "Tanggung Rea, tidak sampai sepuluh bulan lagi dan kamu bisa lulus dari sana,"

Dia sudah tidak tahan dengan perlakuan Clara padanya. Hinaan dan sindiran Clara benar-benar menghancurkan mental Rea. Gadis itu tidak punya rasa percaya diri, bahkan untuk menatap wajah orang lain.

****

"Bagaimana bisa dia menghancurkan liburanku?" Andra masih merasa geram dengan Daniar, sang papa. Pria itu terpaksa menambah dua hari jadwal liburannya, dua hari untuk melakukan audit yang sang papa minta. Semua temannya sudah kembali ke ibukota. Menyisakan dirinya, Nick dan Gina, kekasih Nick. Keduanya akan pulang bersama Andra.

Lebih menyebalkan lagi, mereka tidak mendapatkan tiket pesawat pada hari H keberangkatan mereka ke ibukota. Andra yang asal mengubah schedule, membuat mereka mengalami kesialan yang tidak berkesudahan. "Kau tahu sendiri, ini puncak musim liburan. Jadi susah mendapatkan tiket," Andra menjawab kesal ketika Nick bertanya soal tiket.

"Bahkan pewaris Sky Airlines pun bisa tidak mendapatkan tiket," ledek Gina. Ucapan Gina semakin membuat Andra geram. Hingga akhirnya mereka pulang menggunakan mobil. Terpaksa, naik kereta atau bus, mereka tidak mau. Padahal kan lebih nyaman.

Siang itu mereka siap bertolak dari kota itu. Sebagian barang sudah dikirim melalui ekspedisi khusus. Menyisakan benda penting yang mereka letakkan dalam satu tas ransel. Juga tas tangan milik Gina. Nick dan Andra akan mengemudi bergantian sampai ibukota.

*****

"Kita bertemu di gerbang. Aku akan mengambil si Gennie dulu," kata Nana dengan nafas terengah-engah. Sama dengan Rea, gadis itu malah lebih parah. Rasa sakit di lututnya membuat wajahnya merah padam. Bermaksud mencari hiburan, Nana mengajak Rea masuk ke bandara yang baru dibuka. Bandara itu memang menyediakan touring untuk mengelilingi tempat itu. Tapi ternyata mereka masuk ke area yang dilarang dimasuki oleh orang awam. Enggan mencari mencari masalah, Rea dan Nana memilih kabur ketika seorang satpam melihat mereka. Hingga keduanya dikejar oleh security bandara.

Rea mengangguk mendengar ucapan Nana. Mereka berpisah arah. Rea berlari kencang menuju pintu keluar. Saat itulah seorang security melihatnya. "Jangan kabur kamu!" teriak pria dengan seragam biru navi itu.

"Yaelah Pak, gue kagak nyolong. Cuma salah masuk pintu aja," gerutu Rea. Ketika sampai di pintu keluar, si satpam masih belum menyerah mengejarnya. "Masih getol aja ngejar gue," Rea berkata dengan nafas ngos-ngosan. Gadis itu menoleh ke kiri dan kanan. Mencari tempat persembunyian. Hingga dilihatnya sebuah mobil yang terparkir tak jauh darinya. Rea langsung mendekat ke arah mobil hitam itu. Sesaat mengendap-ngendap seperti pencuri. Sepertinya yang punya mobil sedang tidak ada. Rea merunduk di samping mobil ketika si satpam mengikutinya. "Ya ampun, aku harus apa?" Rea panik. Mengintip pada si pria security itu. Hingga tiba-tiba terdengar bunyi "klik", bagasi di belakangnya terbuka. Tanpa ragu, Rea masuk ke dalamnya.

"Aihhh, kenapa aku malah membuka bagasi," gumam Nick. Pria itu lantas mengunci bagasi mobilnya lagi. "Ada apa Pak?" tanya Gina, melihat seorang security berdiri di depan mereka.

"Oh tidak apa-apa, Bu. Tadi sedang cari orang tapi sepertinya sudah pergi," jawab pak satpam. Lalu berlalu pergi dari sana. Andra dan Gina langsung masuk ke mobil. Dan mobil itu mulai melaju meninggalkan tempat itu.

"Alamak, kenapa mobilnya jalan? Mana ini tidak bisa dibuka lagi," keluh Rea. Gadis itu mulai memukul-mukul atap bagasi itu. Tapi Gina yang sudah memasang air pods-nya tentu tidak mendengar ketukan di bagasi di belakangnya.

Mobil itu melaju keluar dari area bandara. Karena mereka hanya mampir makan di tempat makan yang sedang hybe saat ini. Dan lokasinya berada di dekat bandara. Mobil Nick melewati Nana yang yang menunggu Rea dengan gelisah di luar gerbang tempat itu.

"Bagaimana ini? Kenapa dia tidak datang-datang. Apa dia tertangkap satpam bandara?" gumam Nana. Ketakutan mulai merayapi hati Nana. Terlebih, dia tidak bisa menghubungi Rea karena gadis itu tidak memiliki ponsel.

"Aku harus mencarinya ke mana?" Kepanikan Nana semakin menjadi kala hari mulai beranjak petang. "Rea, kamu di mana?" Nana berulang kali mengatakan itu.

***

Rea, Kamu Di mana?

Mobil Nick sudah separuh jalan menuju ibukota. Kali ini giliran Andra yang mengemudi. Pria itu menyuruh Nick duduk di depan. Tidak membiarkannya duduk di jok belakang bersama Gina. "Nanti kalian berbuat mesum di belakang sana," Andra protes. Pria itu benar-benar bisa bicara tanpa filter.

Nick langsung menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bagaimana niatnya bisa terbaca oleh akuntan super julid ini. "Kau ini menyebalkan!" Nick mengumpat Andra.

Sementara di belakang sana, Rea sejak tadi terus saja memukul tutup bagasi itu. Dia sudah kesemutan akut. Dengan udara mulai menipis dan memanas. "Tolong buka pintunya! Ada orang di sini!" teriaknya berkali-kali. Hingga ketika Gina melepas air pods-nya, wanita itu mulai menajamkan telinganya ketika dia mendengar suara samar dari arah belakang. Lebih tepatnya dari bagasi mobil itu.

"Kalian, apa dengar sesuatu?" tanya Gina sedikit takut. Wanita itu kembali menajamkan pendengarannya. Memang benar dia mendengar suara dari bagasi.

"Dengar apa?" Andra bertanya. Dua orang itu mungkin tidak terlalu mendengar suara lain sebab mereka tengah memutar audio. Untuk menemani Andra menyetir. "Matikan dulu musiknya," pinta Gina. Nick lantas mematikannya. "Dengarkan itu!"

Dua pria itu menajamkan pendengaran masing-masing, dan benar saja. Sayup-sayup mereka mendengar teriakan dari bagasi. Andra segera berhenti di tempat yang cukup terang dan tenang. Tapi tidak sepi. Ketiganya lantas menuju bagian belakang mobil. Andra terlihat biasa saja, maklum dia sudah berulangkali di hadapkan pada hal yang bisa membuat jantungan orang lain, kebangkrutan. Nick dan Gina jelas terlihat takut. "Siap?" Andra bertanya. Anggukan kepala kedua temannya menjadi jawaban. Mereka samar masih bisa mendengar suara lirih dari dalam bagasi itu.

"Klik," kunci bagasi dibuka, Rea jelas berbinar senang. Akhirnya dia terbebas dari tempat maha sempit ini. Berbeda dengan Rea, tiga orang itu tentu terkejut mendapati seorang gadis bersembunyi di bagasi mobil mereka.

"Siapa kau? Apa yang kau lakukan di situ? Apa kau seorang penjahat?!" Andra mencecar Rea dengan deretan pertanyaan yang langsung membuat gadis itu tidak bisa menjawab.

"Andra, jangan kasar begitu," Gina berkata lembut. Melihat Rea yang ketakutan melihat Andra. "Bisa bantu saya keluar dari sini, tolong," mohon Rea dengan suara lirih. Nick dan Gina bergegas mengeluarkan Rea. Begitu keluar dari ruang sempit itu, Rea langsung jatuh terduduk. Kesemutan di tambah sesak mulai melanda.

"Kau tidak apa-apa?" kembali Gina bertanya. Rea menggeleng. "Bawa dia ke klinik. Sepertinya dia perlu oksigen," Gina menatap ke arah Andra yang melihat Rea dengan tatapan elangnya.

"Tidak mau!" Andra langsung menolak. Buat apa mengurusi orang yang tidak jelas. Sudah ngumpet di bagasi mereka. Sekarang minta dibawa ke klinik lagi. Enak saja. "Andra tolong, dia pucat sekali," Gina mulai mengusap peluh yang keluar di dahi Rea. Tidak tahu kenapa, Gina langsung merasa iba melihat Rea. Dia yang seorang psikolog, sekali lihat saja, dia tahu jika Rea punya masalah dengan keadaan psikisnya.

"Dokter tolong dia!" Gina berteriak begitu menemukan sebuah klinik. Nick dengan hati-hati membaringkan tubuh Rea di bed pasien. Seorang dokter langsung mendekat, setelahnya dokter itu langsung memasangkan selang oksigen di hidup Rea. Seperti orang kelaparan oksigen, Rea langsung menghirup oksigen yang masuk ke hidungnya dengan rakus.

Andra mendudukan diri dengan malas di kursi tunggu klinik itu. Sama sekali tidak berminat untuk mengetahui keadaan Rea. "Jadi biarkan dia istirahat untuk satu atau dua jam kedepan sampai kadar oksigennya paling tidak di atas 80%," saran dokter itu.

"Jadi....." Andra bertanya. "Dia harus istirahat satu atau dua jam," Gina yang menjawab. "Oh come on, guys. Kita tidak kenal dia. Kenapa kita yang repot mengurusi dia," protes Andra.

"Kita tidak bisa meninggalkan dia begitu saja. Dia lemas, ada infeksi di lututnya. Kali ini berbaik hatilah sedikit, Tuan Akuntan," bujuk Gina. Andra langsung menggeram marah mendengar panggilan Gina.

Pada akhirnya Andra terpaksa menuruti keinginan Gina. Menunggu dua jam di sana. Kesal bukan kepalang Andra rasakan. Beberapa kali melirik ponsel dan jam tangannya. Dia ada meeting esok hari dengan para akuntan seluruh negeri itu. Tapi kalau begini caranya, bisa dipastikan dia akan terlambat atau malah tidak bisa hadir sama sekali.

Hampir pukul dua pagi ketika Rea diizinkan pergi dari klinik itu. Rea terpaksa mengganti pakaiannya dengan gaun milik Gina. Karena celana jeansnya terpaksa dipotong, untuk mengobati luka di lututnya yang ternyata sudah infeksi.

"Kau ini siapa? Kenapa membuat susah orang saja!" salak Andra garang. Rea langsung merapatkan tubuhnya ke tubuh Gina. Teriakan Andra mengingatkan Rea pada Clara. "Andra....namanya Rea. Dia sembunyi di bagasi karena dikejar satpam bandara. Dia masuk area terlarang," desis Gina penuh ancaman. "Alasan! Suruh dia kembali ke kotanya. Carikan dia bus yang lewat," sarkas Andra.

"Andra! Kau tidak lihat keadaannya?" Nick yang bicara kali ini. "Dia perlu pemeriksaan lebih lanjut, jadi dia akan ikut kita pulang," Gina memutuskan.

"What??!!! Gina, apa kau gila? Kalian sembarangan membawa orang asing pulang ke rumah. Kalau dia penipu atau penjahat atau bahkan pembunuh bayaran, aduuuuhhh.... sakit, brengsek!" Andra semakin ngegas ketika Nicky menoyor kepalanya.

"Hentikan otak kriminalmu itu!" Nick memperingatkan. Mendengar ucapan Andra, Rea mulai menangis. "Lihat! Pintar sekali dia berakting!"

"Andra diam!" Gina hampir berteriak jika saja dia tidak ingat tengah berada di tempat umum. "Sudah diam, jangan dengarkan dia. Dia itu cuma akuntan super julid," Andra mendelik mendengar ucapan Gina.

Rea masih terisak lirih ketika mobil itu mulai melaju, melanjutkan perjalanan mereka yang masih separuh lagi. Dalam perjalanan itu, Rea selalu memeluk tubuh Gina. Gadis itu merasa aman dan nyaman saat bersama Gina. Sementara di depan sana, Andra sesekali mengumpat marah ketika melihat ke jok belakang. "Pintar sekali cari perhatian!" maki Andra dalam hati.

*****

Di sisi lain, kehebohan langsung melanda panti asuhan tempat Rea tinggal, setelah Nana memberitahu kalau Rea hilang sejak petang tadi. Gadis itu datang ke panti ditemani Kakeknya. Hampir tengah malam, berhubung Nana baru berani bercerita ketika dia tidak tahu harus bagaaimana lagi.

"Ya Tuhan, terus ini bagaimana?" Ibu Rani, ibu panti langsung pusing tujuh keliling. Dia bingung harus bagaimana. Mau lapor polisi, pasti tidak akan direspon oleh mereka. Mengingat Rea menghilang belum ada satu kali dua puluh empat jam.

Nana hanya bisa menggigit kukunya, atau meremas tangannya. Gadis itu jelas ikutan panik dan takut. Membayangkan hal buruk menimpa Rea, sang sahabat. Malam itu, dua hal terjadi bersamaan. Panti yang heboh karena Rea hilang dan Rea yang tidur dalam pelukan Gina. Bergerak semakin menjauh dari kota Rea.

"Rea, kamu di mana?" tanya Nana dalam hati.

******

Visual Andra,

Kredit Pinterest.com

******

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!