"Apa? Menikah? yang benar aja lah, Mak, jangan bercanda, gak lucu!" umpat Rizda Endean Batu Bara, gadis cantik yang sering dipanggil Dean oleh orang-orang yang mengenalnya.
Semua bermula karena telepon bapaknya yang memintanya untuk pulang, tidak bisa mengelak, dan tanpa beban akhirnya Dean pun pulang ke rumah.
Hampir saja Dean pingsan mendengar penuturan ibunya. Dia diminta buru-buru pulang dari kampung, dengan alasan ada tamu penting datang dan dia harus pulang detik itu juga. Kalau Mamanya yang meminta, dia pasti bisa menolak, tapi kalau sudah bapaknya, Dean angkat tangan, gadis itu pasti langsung menurut.
Bagi suku Batak, menjadi anak pertama sekaligus 'boru panggoaran' (putri pertama) memiliki satu beban mental tersendiri bagi Dean. Dia dituntut jadi cerminan bagi adik-adiknya, sekaligus menjadi harapan bagi orang tuanya.
Pada umumnya, menjadi anak pertama, terlebih karena kalau anak perempuan, pasti akan sangat dekat dengan ayahnya, dimanja dalam bentuk ketegasan seorang ayah, karena anak itu lah yang membuat orang tua 'naik' pangkatnya dan diberi nama panggilan bagi kedua orang tua tersebut.
Saat Hotman dan Tiur menikah, mereka dipanggil Mak dan pak harapan yang berarti mereka sedang mengharapkan anak, lalu Dean lahir, hingga mereka pun memiliki panggoaran (panggilan) dengan sebutan Mak Dean dan Pak Dean.
"Kau aja yang ngomong Pak, gak mau boru (putri) mu ini pulang!" Terdengar suara ibunya mengadu pada ayahnya, hingga Dean yang memang gadis keras kepala sedikit ciut nyalinya.
"Dimana kau, Boru? pulang lah dulu. Ada yang mau bapak bicarakan samamu," ucap pak Hotman melalui ponsel ibunya.
"Iya, Pak. Aku pulang," jawab Dean tidak berdaya. Lalu di sini'lah Dean, di hadapan banyak orang yang menatapnya dengan intens.
"Udah gadis kau, Nang?" ( panggilan sayang untuk anak perempuan batak) tanya seorang wanita yang hampir seumuran dengan ibunya, sembari memeluk erat Dean. Dia sama sekali tidak mengenal wanita itu.
"Eh, iya Tante," jawabnya tersenyum kaku.
"Kok kau panggil tante, itu namborumu, loak!" sanggah inangudanya (bibi-istri dari adik ayahnya).
Semua orang dalam ruangan itu tertawa. Dalam keluarga mereka, inangudanya yang satu itu memang terkenal bar-bar namun, hatinya sangat baik. Istri omnya itu paling berjiwa muda hingga kompak dengan Dean.
"De, ini namborumu, adik bapak. Dia satu-satunya adik perempuan bapakmu, yang selama ini tinggal di Amerika," terang Mak Tiur menjelaskan kepada putrinya.
"Oh, ternyata kedatangan keluarga dari luar negeri, pantas hampir semua keluarga bapak datang ke rumah mereka siang ini," batin Dean.
Masih bingung akan apa yang terjadi, tiba-tiba saja wanita yang disebut namboru tadi meletakkan sejumput beras ke atas kepala Dean, dan mengatakan pantun dalam bahasa Batak yang mengartikan bahwa dia mengharapkan Dean yang sudah ditunjuk sebagai calon menantunya, segera berjodoh dengan anaknya.
Horas... horas... horas... ucap sang namboru sembari menabur beras berkat ke atas yang dianggap menjadi simbol berkah dan kebahagiaan.
Semua orang tampak gembira, hanya wajah bapaknya yang tampak diam, tanpa ekspresi.
"Mak, ini kenapa ditabur di atas kepalaku berasnya?" tanya Dean tidak mengerti, mengambil beberapa butir dari rambutnya.
"Itu artinya kau sudah ditodo (ditunjuk) jadi parumaen (menantu) namborumu ini, dan akan menikah sama anaknya." Kembali Inangudanya tadi menerangkan.
"Apa? Menikah?" pekik Dean terkejut. "Mak, ini maksudnya kekmana? Kok nikah pula kata nanguda ini?" tanya Dean mengernyitkan keningnya. Kepanikan tampak muncul di wajahnya, karena terlihat kedua orang tuanya tidak membantah, yang artinya ini serius.
"Iya, De. Namborumu ini sudah melamarmu untuk anaknya, paribanmu, dan mamak sama bapak udah setuju," jawab Mak Tiur pelan.
Dunia Dean seketika runtuh, dia tidak menduga kala nasibnya sama seperti kisah Siti Nurbaya. Tidak, ini gak mungkin. Ini sudah zaman modern, gak berlaku lagi perjodohan, apalagi ini tanpa persetujuannya.
"Aku gak mau, Mak. Apalah kalian ini, kok bisa pula kalian menjodohkanku sama orang yang gak ku kenal. Lagi pula masih kuliah aku, Pak, Mak. Pokoknya aku gak mau dijodohkan. Maaf namboru, aku menolak perjodohan ini," pekik Dean segera bangkit dari duduknya dan masuk ke kamar. Nasibnya sungguh sial, padahal dia baru saja jadian dengan pria yang sudah lama dia taksir di kampus.
"Aduh, gimana itu Eda ( kakak ipar), Ito (Abang), si Dean gak mau pula dijodohkan sama anak ku," ucap Uli merasa sedih. Padahal dia sudah menyukai Dean pada pertemuan pertama ini.
"Eda sabar ya. Nanti aku kasih pengertian sama si Dean," jawab Mak Tiur melirik suaminya. Sebenarnya pernikahan ini agak berat untuk disetujuinya, dia berharap putrinya itu bisa memilih sendiri calon suaminya, dan bukan dijodohkan begini, terlebih dengan paribannya sendiri.
Tapi Uli yang sejak dulu ingin menjodohkan anaknya dengan salah satu putri abang-abangnya, terlanjur memohon pada suaminya.
Pak Hotman sebenarnya punya dua orang adik laki-laki lainnya, mereka pun memiliki anak gadis, tapi semua anak gadis mereka menolak perjodohan ini. Uli menangis terisak di depan pak Hotman, yang membuat pria itu tidak tega. Sejak dulu memang Uli paling dekat dengan pak Hotman, jadi lebih sering mengadu pada Abang sulungnya itu.
***
"Namborumu sudah pulang, tega kau gak mau buka pintu kamarmu, berulang kali dia mengetuk pintu kamarmu," ucap Mak Tiur yang sudah duduk di tepi tempat tidur, membelai rambut Dean yang berbaring dengan telungkup.
Gadis itu masih diam, gak mau buka mulut. Dia masih kesal sama orang tuanya yang main terima saja lamaran orang.
"Duduklah De, kita bicara," lanjut Mak Tiur melihat tidak ada reaksi dari anak gadisnya itu.
Masih tetap sama, gadis itu masih diam, bergeming, bahkan pura-pura tidur.
"Mamak tahu kau belum tidur, kita harus bicara," ulang Mak Tiur. Belum sempat melanjutkan ucapannya, suaminya pun masuk ke kamar Dean duduk di kursi meja belajar garis itu dan menghadap ke arah putrinya
"Duduklah boru, Bapak mau bicara," suara bariton itu sontak saja mengkomandoi Dean untuk segera duduk. Dia begitu segan kepada bapaknya. Walau bapaknya adalah orang yang tegas namun, dibalik ketegasannya itu dia begitu menyayanginya, memanjakan putrinya itu dengan caranya sendiri dan selalu berkata lembut kepadanya, itu yang tidak bisa Dean abaikan dari ayahnya.
"Dengarkan Bapak, Nang," ucap pak Hotman memulai rapat dadakan malam itu. "Namborumu, si Uli itu adalah satu-satunya adik bapak dan dia ingin sekali calon menantunya adalah dari keluarga Batubara, karena dia pun boru Batubara, itulah sebabnya kenapa Bapak tidak bisa menolak permintaannya. Di adat kita orang Batak kalau sudah namborumu menunjuk kau jadi menantunya, maka tidak bisa lagi menolak," terang sang ayah.
"Tapi seharusnya'kan bapak sama mama ngomong dulu sama aku jangan main terima aja, nggak menghargai itu namanya," bantah Dean masih tetap tidak terima.
"Kau benar, ada hakmu memberi suara tapi itulah adat Batak. Tadi namborumu sudah meletakkan beras ke atas kepala, maka kau tak bisa lagi menolak," ucap pak Hotma menerangkan.
"Lagi pula kenapa harus aku, Pak? Masih banyak anak bapakuda (adik laki-laki bapak) kan? Ada Kak Sarma, masih ada kak Lela, ada juga kak Roma, kenapa harus aku? Pokoknya aku nggak mau menerima perjodohan ini!"
*
*
*
Hai, jumpa lagi sama novel baruku, mampir dan betah ya. Kali ini aku angkat dari kisah temanku yang kebetulan suku Batak. Mungkin akan sedikit memusingkan, tapi percayalah ceritanya menarik 😉😉
kalau ada kata atau istilah yang tidak dimengerti, boleh tanya di kolom komen, pasti aku jawab. Terima kasih🙏🙏☺️
"Terima sajalah, siapa tahu ganteng anak namboru itu," ucap kak Roma, anak dari adik Pak Hotman
Kali ini mereka berkumpul di rumah adik kedua dari bapaknya karena hari ini giliran rumah mereka yang disinggahi oleh namboru Uli.
"Benar apa kata Roma, terima aja. Namboru pasti sayang sama mu, Dean," timpal Sarma, anak dari bapakuda nya.
Kalau soal kekompakan yang bersaudara Dean akui keluarga ayahnya sangat kompak, terlebih ketika opung Doli (kakek) dan opung Boru (nenek) meninggal, tali persaudaraan mereka semakin erat.
"Nggak mau lah, kenapa nggak kakak aja yang nikah sama dia? Kakak udah cukup umur untuk menikah, sementara aku masih kuliah," jawab Dean yang merasa kesal terhadap Kakak sepupunya itu, ketika ikut mendukung perihal perjodohan itu.
Dean memang tidak terlalu kompak dengan sepupunya, entah kenapa mereka selalu jahil kepadanya dan merasa tidak suka. Mungkin karena mereka lebih tua daripada Dean, makanya memperlakukan Dean sesuka hati mereka, padahal kalau dari segi adat daerah Batak tertentu, harusnya walaupun Sarma dan Roma, serta Lela lebih tua darinya, wajib memanggil kakak kepada Dean karena Ayah Dean adalah anak sulung di keluarga besar mereka.
Namun, karena sudah tinggal di kota dan mengikuti kebiasaan adat di Indonesia memanggil kakak kepada yang lebih tua, akhirnya Dean dan kedua adiknya memanggil kakak kepada anak-anak dari bapakudanya ( adik laki-laki ayahnya).
"Sebenarnya bukan aku tidak mau tapi kau tahu sendiri kan aku sama Bang Robert sudah lama berpacaran tinggal nunggu dia naik pangkat aja kami akan nikah," jawab Sarma buang badan.
"Itu kan cuma alasan kakak aja. Kalau gitu kenapa nggak Roma untung nggak nggak lelah ucapnya menunjuk dengan salat mata pada rumah dan lain-lain sedang asyik mengunyah keripik pisang coklat yang dibawa namboru mereka.
"Dih, jangan bawa-bawa kita, dong. Kamu kan tahu aku juga udah punya pacar, kalau Lela, dia mau melanjutkan kuliahnya jadi belum mau memikirkan soal pernikahan," sanggah Roma.
"Benar itu! Nah pilihannya tinggal kalian bertiga, karena adik-adikmu masih kecil ya kau pilihan terakhir. Lagi pula namboru itu juga udah mengikatmu sebagai menantu pilihannya, dengan menabur beras ke atas kepalamu'kan?" ucap Sarma memperjelas keadaan Dean kini.
"Jangan kakak pikir aku gak tahu, Sian cerita kalau sebenarnya namboru pilih kak Sarma untuk pertama kali, bahkan juga sudah hampir di kasih beras," ujar Dean, tidak mau dianggap bodoh.
Hal yang menyakitkan dari perjodohan ini selain karena dia tidak mengenal siapa calonnya dan bukan pilihannya juga karena ternyata paribannya itu justru memilih gadis lain untuk menjadi istrinya, dan karena ditolak oleh gadis itu, membuatnya menjadi pilihan terakhir.
Memangnya dia seburuk itu? Hanya dijadikan kandidat terakhir, bak pertandingan bola menjadi pemain cadangan.
"Dean, dengarkan kakak, kamu'kan juga belum punya cowok, nggak salah juga untuk pendekatan dengan anak namboru itu, siapa tahu cocok. Kamu sebagai adik harus ngalah sama kita. Kasihan namboru Uli, dia cuman satu-satunya adik perempuan dari bapak kita, lagi pula kalau sampai anaknya nanti nikah sama bule ngikutin jejak bapaknya, Namboru Uli bakal sedih. Dia'kan pengen juga punya menantu boru Batak," lanjut Sarma mencoba memberikan penjelasan kepada Dean.
Setelah acara makan siang, namboru Uli menarik tangannya untuk bicara empat mata. Mereka meminjam kamar Sarma untuk ngobrol agar tidak didengar siapapun.
"Kamu mau ya, Nang, nikah sama Hasea. Namboru nggak mau kalau dia nanti jadi sama cewek bule itu," bujuk namboru Uli.
Dean jadi semakin tidak tega melihat wajah wanita itu yang memohon dengan sangat serius. Entah angin dari mana yang bertiup masuk ke dalam saluran pernapasan yang membuatnya seketika langsung mengangguk setuju.
Pekikan gembira namboru Uli membuat Dean sadar atas apa yang sudah dia lakukan.
"Kamu menerimanya? Akhirnya kamu terima permohonan Namboru, Dean. Namborumu ini senang sekali, terima kasih ya. Kalau begitu aku mau bicara langsung sama bapakmu."
Usai mengatakan hal itu Namboru Uli dengan penuh kegembiraan pergi meninggalkannya, tinggallah dia sendiri yang meratapi nasibnya.
Memangnya tadi aku bilang apa? Kayaknya aku nggak jawab apa-apa deh," ucapnya bermonolog. Namun, kembali dia mengingat bahwa tadi dia sempat mengangguk, hingga membuat namborunya menganggap itu tanda persetujuan darinya. Tinggallah Dean menyesali perbuatan bodohnya.
"Ito, akhirnya si Dean setuju menikah dengan si Hasea, sebaiknya kita tetapkan tanggal pernikahannya, biar nanti aku kembali lagi ke Amerika menjemput bapaknya lalu meminta Hasea datang ke Medan," ucap Namboru Uli dengan wajah berbinar.
Namboru Uli bersama suaminya memang tinggal di Amerika, karena perusahaan mereka sudah lama membuka cabang di Jakarta, maka Rudolf, ayahnya mengutus Hasea yang sudah mahir berbahasa Indonesia dan beberapa tahun pernah tinggal di Indonesia, menjadi CEO di sana, mengawasi jalannya perusahaan mereka. Sudah 5 tahun dia tinggal di sana, tapi tidak sekalipun dia pernah berniat bertemu dengan tulang (paman : Abang/Adik dari ibu) nya.
***
"Bapak senang sekali kau mau menerima perjodohan ini, kau tidak melihat bagaimana tadi gembiranya wajah namborumu itu," ucap ayahnya yang sudah mengambil tempat duduk di samping Dean, yang duduk di teras menikmati belaian angin malam dan berharap kesesakan yang ada dan mumet di kepalanya bisa berkurang.
"Kenapa harus Pariban, Pak? Padahal kalau pun nggak nikah sama si Hasea itu tetapnya kita bersaudara dengan namboru Uli. Apa enaknya menikah dengan sepupu, Pak? Sebenarnya itu sudah dianggap sebagai incest," ujar Dean cuek. Harusnya pernikahan antara sepupu seperti itu sudah tidak dibenarkan lagi.
"Tapi berbeda dengan kita, di adat orang Batak menikah dengan sepupu itu justru lebih dihargai oleh para keluarga, artinya hubungan kekeluargaan itu akan lebih erat. Lagi pula kalau namborumu yang jadi mertuamu kau akan senang tidak perlu menghadapi mertua yang cerewet yang suka usil dan suka mengadu domba anak dan menantunya," sambar Bu Tiur yang entah Sejak kapan sudah berdiri diambang pintu.
Dean hanya bisa menarik napas mendengarkan argumen kedua orang tuanya, apapun yang dia katakan tidak akan berlaku untuk mereka.
Dia hanya perlu mengulur waktu. Lagi pula janji untuk mempertemukan mereka masih lama, dia masih bisa mengatur rencana dan mencari akal agar perjodohan itu dibatalkan.
Sampai sekarang belum ada yang tahu bahwa dia sudah punya pacar. Dean baru saja jadian dengan pria yang sudah lama dia taksir satu bulan yang lalu dan itu pun dengan perjuangan yang begitu berat.
Sebenarnya, bisa saja dia juga menolak permintaan Namboru Uli dengan alasan dia juga sudah punya kekasih, seperti yang dilakukan Kak Sarma, tapi tidak dia lakukan karena pacarnya bukanlah suku Batak, yang pastinya ayahnya akan menolak hubungan mereka.
Note Author:
-Namboru : Panggilan untuk adik/ kakak perempuan dari ayah
-Bapak Uda: Adik ayah
-Inanguda : Istri Bapakuda
-Tulang : Adik/Abang dari ibu
-Nantulang : Istri tulang
-Opung doli: Kakek
-Opung Boru: Nenek
-Ito : Abang
"Kenapa pula mukamu itu? Nggak enak kali ditengok, udah macam kain yang nggak digosok, keriting," ucap Juli teman Dean di kampus, satu jurusannya yang menatap wajah Dean yang sejak tadi cemberut.
Hufffh... hanya terdengar suara ******* Napas Dean yang berat, dia ingin sekali cerita tapi bingung harus mulai dari mana.
"What's up, Gals! udah datang aja kalian, mata kuliah juga masih dua jam lagi mulai," sapa Rini yang baru saja tiba di jurusan bersama Astrid, langsung duduk di bangku panjang bersama Dean dan Juli. "Kenapa pula muka kau itu, De? Kok kusut kali?"
Dean hanya mengerling tanpa berniat menjawab, setidaknya untuk saat ini. "Woi, Rizda Endean Batu Bara, gak ada mulut kau menjawab?!" hardik Rini yang kesal karena merasa dicueki sahabatnya itu.
"Hadeh, berisik kali kau lah. Kepalaku pusing kali ini woi," ucapnya menatap satu persatu kedua teman kompaknya.
"Kenapa? Apa Ferdi mutusin kau? Apa dia ternyata udah punya pacar?" sosor Astrid pasalnya baru kemarin mereka bertemu, wajah Dean tampak bahagia menceritakan hubungan dengan Ferdi, pria yang sudah sebulan ini jadian dengannya.
"Ssssttt... apa lah kau ini, asal ngomong aja," sambar Juli.
"Terus kenapa? biasanya anak ini ceria, tapi hari ini kok malah mendung mukanya," lanjut Rini masih penasaran.
"Aku mau dijodohkan sama paribanku!" Akhirnya Dean memutuskan bercerita pada kedua temannya.
"Apa?"
"Apa?"
Kedua temannya kompak terkejut. "Serius? Paribanmu yang mana?" tanya Juli yang kebetulan tinggal masih dekat rumahnya, jadi sedikit banyak dia tahu anggota keluarga Dean, setahunya sahabatnya itu hanya punya dua bapakuda saja.
"Pariban, berarti anak namborumu? Memangnya kau punya namboru?" susul Rini yang juga pernah singgah ke rumahnya.
"Punya. Dia tinggal di Los Angeles, tapi anaknya udah lima tahun ini tinggal di Jakarta," terang Dean mengusap wajahnya.
"Amangborumu itu bule?" susul Juli semakin penasaran.
Dean hanya mengangguk lemah. Dia masih bingung mencari jalan keluar untuk masalahnya ini.
"Ganteng lah, bodoh kali kau gak mau sama dia, Wak!" lanjut Rini semakin tertarik mendengarkan cerita Dean.
"Dih, mau ganteng, buruk rupa, aku gak peduli. Aku cuma cintanya sama Ferdi!" tegas Dean. "Seandainya lah Ferdi suku Batak," lanjutnya meratap nasib.
Pembicaraan harus berakhir karena dosen pengampu mata kuliah yang mereka ambil sudah datang semua teman-teman satu jurusannya juga berhamburan masuk mengambil kursi yang seperti biasa karena mereka lebih dulu datang sudah mengambil tempat dengan posisi enak yaitu di barisan paling belakang.
Hampir dua jam mata kuliah itu berlangsung, tidak ada satupun materi yang diterangkan oleh dosen itu nyangkut di kepala Dean. Satu pesan dari Ferdi sudah dia terima, mengajaknya makan siang di kantin fakultas pria itu yang langsung disambutnya dengan balasan oke.
Akhirnya dosen mata kuliah psikologi itu keluar bersamaan dengan teriakan lega dari anak-anak di dalam ruang kelas. Dean dan ketiga temannya ikut bergegas keluar dari sana, menuju kantin karena memang keempatnya sudah dilanda lapar yang sangat berat.
Dari kejauhan, Dean sudah melihat Ferdi yang duduk seorang diri menunggu mereka. Pria Jawa - Sunda itu begitu tampan, selalu berhasil membuat dadanya berdebar.
"Halo ganteng, sendirian aja nih? Godain kita dong," ucap Rini mentoel pundak Ferdi dari belakang hingga membuat pria itu sontak menoleh.
"Maaf, Tante, saya udah ada yang punya. Nih, orangnya," ucap Ferdi sembari tersenyum menunjuk ke arah Dean. "Kenapa nih pacarku kok cemberut?" lanjutnya melihat ke arah Dean.
"Cieee... pacar nie...," timpal Rini. Gadis itu memang paling heboh dan selalu ceria, imbang dengan sifat Dean, tapi untuk saat ini keceriaan Dean hilang semenjak dia tahu dirinya akan dijodohkan dengan paribannya.
Ferdi yang memang pria kalem dan sedikit pemalu itu hanya mengulum senyum mendengar godaan Rini. Pria asli keturunan suku Jawa - Sunda bisa dengan cepat beradaptasi dengan Dean dan ketiga sahabatnya, yang memang selalu ceria, dan bicara dengan nada lebih keras.
Sejak ayahnya mutasi tugas di Medan, Ferdi dan keluarganya juga ikut pindah, melanjutkan kuliahnya di kampus Dean.
Keduanya bertemu, berawal dari Dean dan ketiga sahabatnya iseng pergi berenang di kolam renang kampus yang notabene lebih banyak dikuasai oleh mahasiswa jurusan olahraga. Hari itu Ferdi ada di sana, bersama teman-temannya. Ferdi sendiri jurusan teknik informatika, yang gedung jurusannya dekat dengan fakultas kedokteran, yang membuatnya sering bertemu dengan Dean. Setelah beberapa kali bertemu di kantin jurusan Fakultas kedokteran yang makanannya terkenal paling enak di seluruh kantin yang ada di kampus, Ferdi memberanikan diri mendekati Dean, itu pun karena dia melihat Dean juga menunjukkan sinyal menyukainya.
"Kenapa sih, kok cemberut? lagi sakit perut ya?" tanya Ferdi menatap wajah Dean yang tidak bersemangat. Sejak tadi dia memikirkan sebaiknya dia terus terang kepada Ferdi. Dean tidak mau masalah ini, didengarnya dari orang lain, dia tidak ingin Ferdi salah paham dan akhirnya memutuskan hubungan mereka karena jujur, Dean sangat menyukai pria itu.
Ferdi adalah pacar pertamanya. Pria yang pertama kali mengajarkan dalam hidupnya bagaimana dicintai dan diperlakukan begitu lembut oleh seorang pria. Dari Ferdi pula Dean mulai mempunyai kesadaran untuk merias diri.
Selama ini dia tidak peduli dengan penampilannya. Berbusana saja sesuka hatinya, bahkan sepanjang sejarah hidupnya, bisa dihitung dengan jari berapa kali dia menggunakan dress. Tapi semenjak jadian dengan Ferdi, salah satu pria yang paling diminati oleh para kaum hawa di kampusnya karena memang anak BEM, mulai mengubah penampilannya dan juga cara bicaranya.
Walaupun berulang kali Ferdi mengatakan bahwa dia lebih menyukai Dean apa adanya, menyukai gadis ceria yang selama ini diperhatikannya secara diam-diam di kantin jurusan.
"Kenapa sih kau suka padaku?" tanya Dean suatu hari ketika mereka pulang dari kampus bersama.
"Aku suka dengan keceriaan mu serta tawamu bisa menular. Kalau kau tertawa, tanpa kusadari aku juga ikut tersenyum melihatmu. Belum lagi bola matamu yang begitu indah, setiap kau memandangku hatiku berdebar dan saat itu pula aku meyakini diriku bahwa aku ingin memilikimu," ucap Ferdi dengan lembut.
Ferdi begitu pintarnya membuai hati Dean, gadis itu yang selama ini tidak pernah menyukai lawan jenisnya kini bisa jatuh ke dalam pelukan Ferdi.
Namun, sejak pertama mereka jadian satu hal yang membuat Dean sempat berpikir dua kali untuk menjalin hubungan dengan pria itu, karena Ferdi bukan suku Batak. Dia benci mengingat hal itu tapi mau bagaimana lagi keluarganya begitu kuat memegang adat istiadat. Ayahnya selalu menekankan pada mereka bertiga untuk mencari jodoh suku Batak.
"Gak bisa gitu lah, Pak. Kalau jodohku nanti suku Minang kek mana pula?" tanya Hasian Renata, anak kedua Pak Hotman.
"Gak usah dipertanyakan lagi, Bapak pasti gak setuju. Apalagi kau, Dean, kau Boru panggoaran ( Anak perempuan sulung) wajib sama orang Batak kau ya, Boru, jangan kau kecewakan bapakmu ini," ucap Pak Hotman saat makan malam bersama istri dan ketiga anaknya.
Note Author:
-Amangboru: suami Namboru
-Boru Panggoaran : Anak sulung perempuan yang namanya jadi panggilan untuk kedua orang tuanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!