"Malam ini kita clubbing yuk, Jess. Malam minggu kamu libur kerja, kan?" tanya Fika.
"Aku memang libur kerja. Tapi, aku mau istirahat saja malam ini. Aku lelah," jawab Jessy sembari menurunkan sedikit jok mobil yang didudukinya agar posisi lebih nyaman.
"Ck! Nggak asik!" protes Fika sembari terus fokus pada kemudi mobilnya.
Jessy dan Fika merupakan teman satu jurusan di kampus. Mereka sudah saling mengenal sejak awal masuk kampus dan sekarang telah 4 semester dilalui bersama.
"Btw, hubungan kamu sama Justin bagaimana?" tanya Fika.
"Baik-baik saja. Memangnya kenapa?" Jessy terlihat santai menjawab pertanyaan Fika yang ditujukan padanya.
"Aneh sih, dia kok masih betah pacaran dengan orang sepertimu," ledek Fika. "Pacaran tapi jarang ketemu, ceweknya sibuk kerja tiap pulang kampus. Giliran malam minggu lebih milih tidur. Itu gunanya pacaran buat apa?"
"Kita kan baru pacaran, masa harus kelonan tiap malam? Aku kan nggak kayak kamu." Jessy membalikkan sindiran kepada Fika.
"Hahaha ... Padahal enak jadi aku. Jarang dikelonin tapi transferan masuk rutin. Belum nikah serasa sudah dinafkahin."
Fika mengerlingkan mata genit. Ia sama sekali tidak malu mengakui siapa dirinya. Fika selama ini mengaku sebagai simpanan seorang pengusaha. Tentunya ia tidak mengatakannya kepada setiap orang, hanya kepada Jessy karena mereka memang berteman baik.
Kehidupan Fika bisa dibilang penuh kemewahan. Wanita itu tinggal di sebuah apartemen dengan fasilitas mewah. Baju, tas, dan sepatu yang dikenakannya merupakan barang-barang bermerk. Bahkan ia diberikan mobil oleh lelaki yang menjadikannya simpanan.
Fika berasal dari keluarga biasa-biasa saja yang hidup di kampung. Kebutuhan hidup yang tinggi di kota membuatnya memutuskan untuk menjadi seorang wanita simpanan demi kehidupan yang layak dan mapan.
"Kamu pernah nggak sih, merasa bersalah sudah menjadi wanita simpanan? Pasanganmu kan sudah punya istri dan punya anak," tanya Jessy penasaran.
Sebagai seorang teman ia tak terlalu ingin mencampuri urusan temannya. Keputusan hidup dan resikonya tentu saja Fika yang berhak menentukannya.
"Yah, kadang aku pernah berpikir seperti itu, sih ... Tapi, semua itu kalah dengan realita yang aku hadapi. Hidup butuh uang, Jess. Saat ada orang yang berbaik hati menawarkan diri untuk memenuhi segala kebutuhanku, bagaimana aku bisa menolaknya?"
"Tapi ada maunya!" timpal Jessy.
"Hahaha ... Mana ada yang gratis di dunia ini? Buang air kecil di pom bensin saja harus bayar."
"Kamu sedang menyamakan dirimu dengan toilet umum?" sindir Jessy.
Fika manyun. Kalau saja yang berbicara bukan teman baiknya, ia pasti sudah menghajar wanita di sampingnya itu. "Perumpamaanmu kejam banget, ya!" gerutunya.
"Lah, kan kamu sendiri yang tadi membahas tentang toilet umum." Jessy membela diri.
"Yah, terserahlah!" Fika kelihatan pasrah. "Kalau dipikir-pikir aku memang kayak toilet umum yang dipakai sewaktu-waktu kalau diperlukan."
"Jangan tersinggung, aku kan hanya bercanda," Jessy sedikit merasa bersalah merasa bercandanya kali ini cukup berlebihan. Apalagi melihat Fika jadi kelihatan lemas karena perbincangan mereka.
"Hahaha ... Aduh, santai saja lagi! Kayak nggak biasanya kita membahas hal ini. Aku sih santai saja!"
Fika memang terlihat biasa-biasa saja dan tidak mudah tersinggung. Dia tipe wanita yang sepertinya tidak pernah meras susah di depan orang lain. Namun, Jessy merasa Fika melakukannya hany untuk menutupi perasaannya yang sebenarnya.
"Kamu nggak ada keinginan buat berhenti, Fik?" tanya Jessy.
"Hm. Berhenti, ya?" Fika terlihat memikirkan pertanyaan Jessy. "Aku tidak pernah memikirkan sampai sana. Mungkin kalau Mas Leon sudah bosan padaku, tidak perlu aku berhenti tapi dia yang akan membuangku."
"Sampai saat ini sih aku masih nyaman-nyaman saja seperti ini. Aku juga merasa kalau aku bukan pelakor."
"Tapi kamu tidur dengan suami orang, Fik."
"Iya, aku tahu. Aku hanya tidur dengan Mas Leon kalau dia mendatangiku. Hubungan kami hanya sebatas itu. Aku butuh uangnya dan dia butuh ... Tubuhku!"
"Ya ... dari pada jajan sembarangan di luar, kan? Aku juga menjaga diri hanya melayani Mas Leon saja."
Jessy mengalihkan pandangan ke samping. Ia tak bisa berkomentar apa-apa.
"Aku tuh nggak sampai punya niat jahat menghancurkan rumah tangga Mas Leon, Jess. Aku malah berharap kalau mereka bisa terus harmonis. Aku cukup jadi orang luar saja menikmati sebagian kecil uang Mas Leon. Aku ini wanita simpanan yang punya prinsip!"
Jessy ingin tertawa mendengar ucapan Fika barusan. Masalah orang memang beda-beda, begitu pula dengan jalan penyelesaiannya.
"Kamu sudah pernah tidur dengan Justin?"
"Sembarangan!" bentak Jessy saat mendengar pertanyaan Fika.
"Cuma tanya ... Lagi pula itu kan hal biasa."
"Aku kan sudah bilang kalau aku ini tidak sebebas kamu." Jessy agak kesal.
"Lalu kalian kalau pacaran ngapain? Cuma makan bareng atau nonton bareng, gitu?"
"Ya, apa salahnya begitu?"
Selama ini memang Jessy hanya menghabiskan waktunya untuk bekerja. Jika ada kesempatan pergi dengan Justin, paling untuk makan bareng, nonton bareng, atau belajar bareng.
"Kalau cuma nonton atau makan bareng sih nggak usah pacaran! Sama teman juga bisa!" oceh Fika.
"Nanti kalau aku ajak dia tidur bareng, kayaknya gak bakal mampu deh aku mintai apartemen sama mobil seperti Mas Leon kamu!" canda Jessy.
"Hahaha ...." perkataan Jessy menghibur Fika. "Makanya kalau pacaran sama yang lebih tua biar sudah mapan," kata Fika.
"Tapi kebanyakan yang sudah mapan juga sudah punya anak istri."
"Justin kan anaknya dosen, bisalah kalau kamu mau minta-minta yang agan mahalan. Dia lumayan kaya, loh!"
"Kalau mau kekayaannya, ngapain juga pacaran sama Justin? Harusnya aku pacaran sama papanya saja, kan?"
"Wah, ide bagus, tuh! Tumben otaknya jalan!" seru Fika bersemangat.
Jessy geleng-geleng. Ia rasa pemikirannya agak kacau gara-gara berteman dengan Fika.
"Kamu sudah pernah bertemu papanya Justin?"
"Belumlah!" jawab Jessy ketus.
"Iya juga, sih! Bu Magda saja tidak tahu kalau kamu sama Justin pacaran. Kenapa kamu nggak protes saja sama Justin, masa sudah satu tahun belum dikenalkan ke Bu Magda."
"Aku yang tidak mau," jawab Jessy.
"Kenapa, Jess? Bukannya Bu Magda suka sama kamu? Dia pasti senang kan, kalau anaknya pacaran sama mahasiswa kesayangannya?"
"Justru itu aku tidak mau. Hubunganku dengan Bu Magda sangat baik. Aku tidak mau hubungan itu rusak kalau tahu aku pacaran dengan putranya."
Jessy menghela napas. Ia memikirkan hubungannya yang cukup rumit dengan Justin. Belum tentu Bu Magda akan menyukainya kalau tahu hubungan mereka. Apalagi Jessy merasa kalau keluarganya tidak setara dengan keluarga Justin.
Jessy hanyalah anak yatim piatu yang tinggal bersama paman dan bibinya. Untuk membayar kuliah dan biaya hidup sehari-hari, ia harus bekerja sambilan di sebuah kafe. Ia tipe orang yang tidak mau terlalu merepotkan orang lain. Apalagi selama ini pamannya sudah banyak berkorban membiayai sekolahnya dari SD hingga SMA.
"Makasih ya, Fik, sudah antar aku," kata Jessy seraya turun dari mobil milik temannya itu.
"Bayarannya dong!" ucap Fika dari dalam mobilnya.
Jessy langsung merogoh sakunya. Bukannya mengeluarkan uang, ia menyimpulkan jari membentuk tanda "saranghae" yang membuat Fika tertawa.
"Selamat bersantai, Jess. Sampai ketemu hari senin," kata Fika mengakhiri perbincangan mereka. Ia segera melajukan kembali mobilnya meninggalkan area rumah Jessy.
Jessy berbalik badan, membuka pintu pagar kayu rumahnya.
Bruk!
Baru saja ia sampai di depan pintu, sang bibi sudah mengejutkannya dengan melemparkan tas miliknya. Barang-barang Jessy sudah dikeluarkan semua dari dalam rumah.
"Ini kenapa, Bi?" tanya Jessy kaget.
"Kamu kan sudah besar, saatnya untuk hidup mandiri, jangan merepotkan kami lagi!" jawab sang bibi dengan wajah angkuhnya.
Beberapa saat kemudian Rindi, sepupunya keluar dari arah dalam. Ia tampak tersenyum senang melihat raut kebingungan Jessy.
"Aku kan sudah kerja sendiri, Bi, supaya tidak merepotkan Paman dan Bibi. Lagipula, ini kan rumahku sendiri," ucap Jessy.
Orang tua Jessy memang telah lama meninggal. Saat itu ia masih kelas 5 SD dan harus tinggal bersama paman dan bibinya sebagai wali. Rumah itu satu-satunya peninggalan dari orang tuanya.
"Haduh, mau hitung-hitungan? Merawatmu selama bertahun-tahun juga sudah menghabiskan banyak biaya. Memangnya kamu bisa menggantinya?"
Bibi berbicara dengan suara lantang sembari berkacak pinggang memaki Jessy.
"Sudah, pergi sana! Kamu kan bisa tinggal di kos-kosan," sahut Rindi. "Kasihan orang tuaku terbebani terus olehmu," lanjutnya.
Jessy tersenyum miris. Bibi dan sepupunya sudah bersekongkol untuk mengusirnya dari rumah sendiri. "Masalahnya ini rumahku. Kenapa aku harus pergi dari rumahku sendiri?"
"Kata siapa? Sertifikat rumah ini kan atas nama Papaku. Orang tuamu sudah menjual rumah ini pada Papaku," bantah Rindi.
"Dia kira biaya pengurusan kematian orang tuanya gratis. Belum lagi harus mengurusnya, kalau bukan karena papamu juga aku tidak mau dibebani olehnya. Gara-gara dia uang papamu habis terus, jatah belanja mama jadi sedikit."
Jessy menghela napas. "Terserah kalian saja mau menganggap itu sebagai hutang. Kalau aku punya uang, nanti aku bayar. Tapi aku tidak mau pergi dari sini."
Bibi dan Rindi saling berpandangan lalu tertawa.
"Hahaha ... Kapan kamu bakal punya uang? Pegawai restoran memang gajinya seberapa besar? Gara-gara kamu juga aku harus terlambat kuliah satu tahun!" omel Rindi.
Rindi memang lebih tua satu tahun dari Jessy. Setelah lulus kuliah, ayahnya menyuruh istirahat satu tahun karena tidak punya biaya.
"Kalau kamu tahu diri, cepat pergi dari sini! Sudah cukup kami direpotkan olehmu selama ini," kata Bibi.
"Aku mau tunggu Paman pulang dulu."
"Papa masih lama di luar kota. Jangan sok mau merayu Papaku, deh! Tahu diri sedikit kalau jadi orang!" bentak Rindi.
"Ya, tidak sekarang juga kalau aku harus pergi. Aku belum ada persiapan apa-apa."
"Makanya aku bantu kamu beres-beres. Semua barangmu sudah aku kemas. Aku juga sudah menelepon taksi untuk mengantarmu pergi. Aku cukup baik hati, kan?" kata Rindi. "Kamu juga bisa menumpang sementara di tempat Fika temanmu itu. Aku dengar dia anak orang kaya," tambahnya.
Jessy terdiam. Berdebat dengan mereka tidak akan ada habisnya. Selama tinggal bersama, ia memang sudah merasa jika mereka tidak menyukainya. Ia hanya diterima karena ada pamannya, adik kandung ayahnya yang telah meninggal.
"Tuh, taksinya sudah datang!" seru Rindi bahagia.
Dengan semangat Rindi dan ibunya mengangkat barang-barang milik Jessy dan memasukkannya ke dalam bagasi taksi.
Jessy hanya bisa menghela napas. Padahal ia sudah sangat kelelahan dan ingin istirahat. Belum sempat masuk rumah ia sudah disuruh pergi dari rumahnya sendiri.
"Aku sudah membayar taksi ini bahkan memberi uang lebih. Silakan kamu pergi kalau bisa sejauh mungkin dari sini. Jangan coba-coba mengadu pada ayahku, ya! Awas saja kalau itu terjadi," bisik Rindi.
Jessy diam, tidak membalas ucapan sepupunya yang menyakitkan. Ia masuk ke dalam jok taksi yang akan membawanya pergi.
Tampak Rindi dan bibinya tersenyum bahagia melambaikan tangan ke arahnya dari luar kaca.
"Kita mau kemana, Mba?" tanya sang sopir taksi.
"Kemana saja, Pak. Kalau bisa carikan sekalian tempat kos murah yang dekat dengan kampus X," katanya.
"Oke!"
Sang sopir mulai mengemudikan mobilnya. Jessy memandangi rumah yang sejak kecil menjadi tempatnya tumbuh. Ia tak mengira akan secepat ini diusir dari sana.
Beberapa waktu terakhir Rindi dan Bibinya memang secara blak-blakan mengutarakan rasa tidak suka kepadanya. Mereka sering memberi sindiran yang menyakitkan. Salah satu tujuan Jessy bekerja untuk mencari alasan agar ia tidak terlalu banyak menghabiskan waktu di rumah.
Pamannya memang selalu baik padanya. Ia masih diberi uang setiap kali pamannya pulang dari tugas kantor. Meskipun hanya karyawan biasa, tapi posisi pamannya di perusahaan cukup mendapatkan gaji yang lumayan.
Rindi dan Bibinya selalu protes jika jatah mereka berkurang karena Jessy. Jessy sebisa mungkin tidak meminta uang pada pamannya karena ia cukup tahu diri. Namun, sepertinya mereka memang benar-benar tidak menginginkannya ada di sana.
"Mba, kita sudah sampai," kata sang sopir taksi.
Jessy diantar ke sebuah bangunan kos-kosan berlantai empat yang letaknya agak masuk dari jalan utama. Tempatnya lumayan bagus jika dilihat dari luar.
"Tadi saya sudah menghubungi pemilik kos, katanya ada dua kamar yang masih kosong, siapa tahu cocok."
"Di sini biaya sewanya berapa per bulan?" tanya Jessy. Ia perlu tahu agar menjadi bahan pertimbangan disesuaikan dengan gajinya.
"Lima ratus ribu per bulan, Mba. Banyak kok mahasiswa yang kos di sini. Selain itu ada juga pekerja kantoran."
Biaya sewanya tidak terlalu mahal tapi juga tidak bisa dikatakan murah untuk kondisi Jessy saat ini. Gajinya bekerja di kafe hanya tiga juta per bulan. Itu saja harus disisihkan untuk membayar biaya kuliahnya dan biaya hidup.
"Ya sudah, Pak! Antar saya ke dalam," kata Jessy.
Ia merasa tidak punya banyak pilihan. Tempat kosnya cukup dekat dengan kampua dan tempat kerjanya. Mungkin ia hanya perlu memutar otak untuk meningkatkan penghasilannya.
Drrt ... Drrt ....
Ponselnya bergetar. Pamannya menelepon.
"Halo," sapa Jessy
"Jess, Paman dengar kamu mau kos sendiri, ya? Tadi Bibimu mengabari," kata paman dari seberang telepon.
Ingin rasanya Jessy memberi tahu semuanya. Namun, ia tidak tega membuat perselisihan di dalam keluarga pamannya yang baik hati.
"Ah, iya, Paman. Aku mau fokus kuliah dan kerja makanya pilih kos-kosan yang dekat."
"Paman malah khawatir kalau kamu tinggal di luar. Sayang juga uangmu nanti habis untuk bayar kos dan biaya hidup," kata paman.
"Aduh, Paman masih menganggapku anak kecil? Aku sudah 20 tahun dan bisa mandiri. Aku akan baik-baik saja, Paman," mata Jessy.
"Ya sudah kalau itu memang maumu. Kalau tidak betah, pulang saja. Kalau butuh uang, jangan sungkan bilang Paman."
"Iya, Paman."
"Jaga diri, jangan aneh-aneh walaupun tinggal sendiri," kata paman menasihati.
"Iya, Paman. Aku bisa bertanggung jawab pada hidupku sendiri. Paman juga jaga kesehatan."
Jessy menutup sambungan telepon usai perbincangannya dengan sang paman selesai. Ia beralih menata barang-barang di tempat kos yang baru akan ditempatinya. Mulai hari ini, Jessy akan tinggal di sana entah sampai berapa lama.
"Kamu tinggal di apartemenku saja deh, Jess. Rindi itu memang sepertinya perlu disobek-sobek mulutnya. Teganya dia mengusir kamu dari rumah. Dasar keluarga gila!"
Fika terlihat emosi saat mendengarkan cerita dari Jessy. Ia tidak menyangka teman baiknya sudah diusir dari rumah. Jessy tidak mengatakan apapun sampai Fika tahu sendiri. Rindi memberi tahu jika Jessy sudah tidak tinggal di rumahnya saat ia datang untuk menjemputnya.
"Sudahlah, aku tidak mau memperpanjang masalah. Toh aku sudah dapat kos-kosan yang lumayan nyaman." Jessy menjawab pertanyaan Fika sembari menikmati makanannya di kantin.
"Kamu jadi orang jangan terlalu mengalah, nanti habis diinjak-injak orang!" Fika memberi nasihatnya dengan menggebu-gebu.
Jessy bisa saja melawan bibi dan sepupunya. Ia yakin pamannya juga pasti akan membelanya. Bahkan jika sampai harus bertengkar dengan sang bibi, pamannya akan memihak padanya. Ia tidak mau keluarga pamannya berantakan hanya karena dirinya.
"Tugas kuliah untuk besok sudah selesai apa belum?" tanya Jessy mengalihkan pembicaraan.
Fika terdiam sesaat. "Ah, kayaknya belum deh, Jess ... Bantuin dong ...," ucapnya sembari meringis.
Jessy memutar malas bola matanya. "Kerjakan sendiri deh! Capek aku bantuin kamu terus," protesnya.
"Ayolah Jessy yang baik ... Nanti aku beri tempat tinggal gratis kalau kamu mau membantuku mengerjakan tugas." Fika mengerlingkan matanya.
"Nggak mau! Nanti kalau Daddy kamu datang aku jadi nyamuk pengganggu."
"Nggak, Kok ... Mas Leon itu orang yang baik. Pasti dia juga kasihan kalau tahu temanku jadi gelandangan nggak punya rumah."
"Enak saja gelandangan! Aku masih sanggup bayar kos-kosan, ya!" Jessy menampol kepala Fika.
"Hidup sendiri itu berat, Jess ... Percaya deh sama aku. Apalagi kita tinggal di kota metropolitan yang apa-apa serba mahal."
Tiba-tiba selera makan Jessy jadi hilang. Ia ingat ada salah satu teman yang memberitahu jika ia dipanggil menghadap ke bagian administrasi. Sepertinya ia akan bermasalah dengan pembayaran kuliahnya.
"Apa kamu tertarik aku carikan Sugar Daddy?" lirih Fika.
Jessy membelalakkan mata. "Kamu sudah gila, apa?"
"Ya, aku kan hanya mau bantu kamu saja. Siapa tahu kamu minat. Aku tidak sedang ingin menjerumuskanmu menjadi sepertiku. Tapi ... Aku tahu sulitnya hidup sendiri di kota besar."
Jessy menggeleng-gelengkan kepala. "Stop deh ide gilanya. Kamu ada-ada saja."
"Lagian kamu juga aneh. Punya pacar tapi tidak minta bantuan apa-apa. Kalau Justin nggak berguna, ngapain kalian masih pacaran?" gerutu Fika.
"Jangan bilang begitu, Fika. Ini mauku sendiri, bukan salahnya, juga bukan urusannya."
"Terserah kamu saja, lah! Toh kamu yang bakalan merasa kesusahan sendiri. Ngapain juga aku ikut pusing!" Fika manyun.
"Makasih kepeduliannya, ya! Aku senang punya teman sepertimu. Nanti kalau aku butuh bantuan, pasti aku akan bilang padamu," kata Jessy.
Fika menyandarkan kepalanya di meja. Ia kesal dengan prinsip Jessy yang seakan baik-baik saja padahal hidupnya penuh masalah.
"Fik, aku pergi duluan, ya. Ada sedikit urusan. Sampai ketemu besok," pamit Jessy meninggalkan Fika yang masih ngambek di kantin.
Jessy berjalan cepat menuju ruangan tata usaha untuk bertemu dengan bagian yang mengurusi tentang pembayaran uang kuliah.
"Kamu pastinya sudah tahu kan, Jessy, kenapa saya panggil kamu kemari?" tanya Ibu Yuli.
"Iya, Bu. Saya tahu." Jessy sedikit menunduk di hadapan Ibu Yuli.
"Kamu sudah menunggak biaya kuliah dua semester. Katanya mau membayarkannya bulan ini, kan?"
Jessy mengangguk. Seharusnya uang simpanannya memang ia gunakan untuk melunasi biaya kuliahnya. Namun, ada-ada saja kebutuhannya.
Semester lalu uang yang seharusnya ia gunakan untuk membayar uang kuliah ia berikan kepada Pak Dasiran, mantan tukang kebun di rumahnya yang harus merawat anak semata wayangnya yang tengah dirawat karena gagal ginjal.
Baru kemarin juga ia gunakan uangnya tiga juta untuk membayar kos-kosan selama 6 bulan, karena ibu kos tidak mau pembayaran sistem bulanan. Minimal enam bulan atau satu tahun langsung.
"Saya belum ada uang, Bu." Hanya itu jawaban yang bisa Jessy lontarkan.
Ibu Yuli menghela napas. "Saya memberi kamu keringanan karena kamu mahasiswa yang rajin dan pintar. Seharusnya tidak boleh seperti ini, Jessy."
"Saya tahu. Nanti saya usahakan dapatkan uangnya, Bu."
"Ibu beri waktu sampai minggu depan ya, Jess. Tolong jangan anggap saya kejam. Ini memang sudah peraturan dari kampus."
"Iya, Bu. Saya mengerti," kata Jessy.
"Ya sudah, kamu boleh keluar sekarang."
"Terima kasih, Bu."
Jessy keluar dari ruangan Ibu Yuli dengan lemas. Uang 20 juta yang harus ia sediakan tidak kecil. Ia bisa saja meminjam kepad Fika, namun gengsinya terlalu tinggi.
"Loh, Jessy?"
Langkah Jessy terhenti saat melewati depan ruang dosen. Ia bertemu dengan Ibu Magda, salah satu dosennya sekaligus ibu dari Justin, pacarnya.
"Ah, Bu Magda." Jessy mengembangkan senyuman.
"Kamu dari mana?" tanya Bu Magda.
"Dari ruang tata usaha, Bu," jawabnya.
"Bisa ikut saya sebentar ke dalam?" ajak Bu Magda.
"Bisa, Bu."
Jessy sudah berpikiran macam-macam saja. Ia baru selesai menemui Bu Yuli, sekarang harus kembali masuk ke ruangan Bu Magda.
Setiap dosen di kampus memiliki ruang kerjanya masing-masing. Ruangan milik Bu Magda termasuk yang paling luas karena beliau merupakan dosen utama dan kebanggaan universitas. Usianya masih tergolong muda, di akhir usia tiga puluhan.
Banyak yang tidak percaya jika Bu Magda yang masih kelihatan muda sudah memiliki anak sebesar Justin. Katanya, Bu Magda telah menikah muda selepas lulus SMA.
"Ada perlu apa Ibu memanggil saya kemari?" tanya Jessy. Ia sampai tidak berani duduk karena takut akan dimarahi.
"Duduk dulu, santai saja. Saya tidak akan memarahimu, kok," kata Bu Magda.
Jessy menurut. Ia duduk di sofa empuk yang ada di sana.
"Ibu hanya ingin bertanya sesuatu sama kamu, Jessy. Sebenarnya bukan hal penting juga. Tapi, rasanya tetap harus ditanyakan dari pada mengganggu pikiran," kata Bu Magda.
"Tentang apa, Bu?" Jessy masih belum bisa menebak apa yang hendak Ibu Magda sampaikan.
"Kamu tidak sedang pacaran dengan Justin, kan?"
Jessy seketika terdiam mendengar pertanyaan yang baru saja Bu Magda sampaikan. Entah dari mana berita itu sampai tersebar. Ia sangat hati-hati menjaga jarak dengan Justin di tempat umum. Seharusnya tidak ada yang tahu hubungan mereka selain Fika.
"Ibu kok sempat mendengar kabar seperti itu, katanya ada yang pernah lihat kamu jalan bareng Justin di mall."
"Tapi, kalau jalan bareng belum tentu pacaran kan? Kalian tidak pacaran kan, Jessy?"
Dari pertanyaan Bu Magda, Jessy sudah bisa menangkap bahwa beliau memang tidak mau tahu kalau ia berhubungan dengan Justin.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!