NovelToon NovelToon

Penyesalan Balas Dendam

Pembukaan Bab 1

"Apa kamu sudah melakukan apa yang aku perintahkan?" tanya Erlan kepada Aldo.

"Tuan, bukan saya tidak mau menuruti perintah Anda tapi saya takut Tuan Kenzo akan tahu, dan jika itu sampai terjadi maka saya pasti diusir dari sisi Anda." Aldo menunduk sedu setelah menjawab Erlan.

"Daddy tidak akan tahu Aldo!" bentak Erlan. "Jika kamu tidak memberitahunya," sambungnya.

"Tapi Tuan, bukankah Anda sudah tahu." Aldo menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya pelan melalui hidungnya. "Kalau Tuan Kenzo akan selalu saja tahu tentang apa yang akan kita lakukan."

"Aldo, Daddy belakangan ini sangat sibuk mana sempat dia memantau gerak-gerik kita." Suara Erlan mulai sedikit merendah. "Lakukan tugasmu atau aku sendiri yang akan turun tangan." Erlan menaikkan kedua kakinya ke atas meja. "Waktu terus berjalan Aldo, berpikirlah dengan ce—"

"Baik Tuan, saya akan melakukan tugas yang telah Anda perintahkan untuk saya," potong Aldo cepat. "Tapi, saya harus mulai dari mana?"

Erlan mengambil sebatang rokok, tak lupa juga ia mengambil botol minuman yang memiliki kadar alkohol yang begitu tinggi. Meletakkannya di atas meja sebelah kakinya. "Apa kamu mau minum ini Aldo, supaya ingatan pada otak mu yang kecil itu pulih?"

Aldo tercengang melihatnya, karena ia tahu Erlan yang dulu anti namanya rokok serta minuman yang mengandung alkohol tapi kini ia melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau Erlan akan merokok sekaligus meminum minuman yang beralkohol itu. "Tu-tuan, sejak kapan Anda menyukai rokok dan minuman ker—"

"Kenapa kamu bertanya begitu? Dan pertanyaanku yang tadi kenapa malah kamu abaikan?" Erlan kemudian melempar pemetik ke Aldo. "Nyalakan untukku Aldo!"

Aldo dengan sigap menangkap pemetik itu, tangannya langsung saja bergetar hebat saat menyalakan pemantik sesuai yang Erlan minta. "Apa Anda yakin Tuan?"

Erlan yang kesal merebut pemetik itu lagi dari tangan Aldo dengan cepat. "Kelamaan, sini aku tidak pernah ragu dalam hal apapun Aldo." Erlan menyalakan pemetik itu sambil menghisap sebatang rokok. "Nikmat mana lagi yang aku dustakan." Erlan lalu menghembuskan kepulan asap putih itu ke arah Aldo. "Bawa wanita itu ke hadapanku sekarang!"

Aldo lupa memberitahu Erlan kalau Alena tidak masuk bekerja. "Maaf Tuan, hari ini Nona Alena tidak masuk bekerja karena Ibunya mengalami kecelakaan saat akan membeli obat untuk Tuan Mor—"

"Jangan bicara panjang lebar Aldo, dan jangan pernah menyebut nama laki-laki brengsek itu!" Entah mengapa Erlan sangat marah saat mendengar nama Morgan di sebut. "Sekarang, lakukan tugasmu!"

Aldo membungkuk sebagai tanda hormatnya kepada Erlan sebelum ia keluar dari ruangan itu. Ia merasa takut Erlan akan semakin marah jika saja ia berdiam diri di sana. "Kalau begitu saya permisi Tuan."

"Jika kerjamu tidak becus, maka aku sendiri yang akan menendangmu dari sisiku Aldo!" seru Erlan.

*

*

Di tempat lain.

Alena terdiam setelah mendengar ucapan Morgan. Ia tidak menyangka kalau keadaan Alisa akan separah ini.

"Bagaimana ini Pa, uang Vanno dan juga uang kak Alena belum cukup buat biaya operasi Mama," kata Vanno yang duduk di sebelah Morgan.

"Tenangkan diri kamu Vanno, kita pasti memiliki jalan keluar," balas Morgan menepuk-nepuk pundak putranya. "Lebih baik kamu istirahat saja. Giliran Alena dan Papa yang akan menjaga Mama." Morgan tidak bisa melakukan apa-apa ia merasa semakin tidak berguna di depan anak-anaknya. "Papa akan mencari jalan keluar secepatnya, kalian berdua tidak perlu khawatir."

Alena melirik Morgan. "Pa, jangan keras kepala biarkan saja Alena yang mencari uang," sergah Alena cepat. "Keadaan Papa juga begini bagaimana bisa per—"

"Kak Alena, cukup!" Vanno tidak mau membuat kesehatan Morgan menurun. Maka dari itu ia memotong ucapan Alena. "Lagi pula tujuan Papa baik, ingin membantu mencari biaya operasi Mama."

"Jangan aneh-aneh Vanno, apa kamu lupa Mama sudah terbaring lemah tidak berdaya di rumah sakit sekarang kamu malah mau mendukung Papa untuk mencari biaya berobat Mama." Alena membuang nafas kasar. "Kamu tidak ingat sedikitpun kejadian beberapa tahun yang lalu saat Papa mencoba mencari nafkah buat kita, Papa malah mengalami kecelakaan dan membuat kedua kakinya menjadi lumpuh permanen." Alena terpaksa mengatakan itu supaya Morgan mengurungkan niatnya.

"Kak, siapa tahu Papa mau mencari pinjaman ke teman-teman dekatnya yang dulu." Vanno menimpali.

"Vanno, apa yang dikatakan kakakmu benar." Morgan memilih jadi penengah supaya anak-anaknya tidak berdebat. "Alena kita pergi saja sekarang ke rumah sakit, biarkan Vanno istirahat," ajak Morgan.

"Sebentar, Alena mau ambil tas dulu kedalam kamar. Papa bisa tunggu di depan," ujar Alena yang masuk kedalam kamarnya.

*

*

"Jika tidak melakukan operasi secepatnya, maka nyawa Nyonya Alisa dalam bahaya. Karena bekas benturan pada bagian kepalanya cukup parah dan beberapa saraf otaknya juga mulai tidak berfungsi lagi," kata-kata dokter itu terngiang-ngiang di kepala Morgan.

"Kemana aku harus mencari biaya operasi Alisa, apakah ini balasan Tuhan atas apa yang telah aku lakukan dulu?" Morgan bertanya-tanya di dalam benaknya. Saat memandangi wajah Alisa yang begitu pucat terbaring diatas bad.

Sedangkan Alena yang melihat Morgan dari balik kaca beberapa kali mengusap air matanya. "Mama, Alena akan berusaha mencari uang bagaimanapun caranya. Dan untuk Papa bersabarlah badai ini pasti berlalu." Alena berkata begitu supaya dirinya tidak ikut down mengingat ialah anak satu-satunya yang diharapkan oleh Morgan. Karena mengharapkan Vanno itu terdengar mustahil dikarenakan sebentar lagi Vanno akan melakukan semester akhir. Maka dari itu Alena tidak ingin membuat Vanno berpikir terlalu keras karena yang kutakutkan pikiran sang adik menjadi kacau di saat keinginan Vanno dari dulu untuk menyelesaikan kuliahnya sudah ada di depan mata.

"Alena, apa kamu mau masuk?" tanya Morgan yang tiba-tiba saja sudah ada di belakang Alena.

Alena yang mendengar suara Morgan dengan cepat mengusap air matanya. Ia berharap Morgan tidak mengetahui kalau dirinya sedang menangis. "Papa, sejak kapan ada di sini?" tanya Alena yang langsung berbalik setelah merasa lelehan air matanya sudah tidak ada lagi.

"Baru saja, Papa mau ke toilet sebentar. Kamu tolong temenin Mama di dalam dulu," pinta Morgan.

"Papa jangan lama-lama karena Alena mau kekantor, soalnya ada beberapa berkas yang ketinggalan di sana," kata Alena berbohong.

Morgan mengiyakan Alena dengan cara menagngguk sambil menjauh.

Beberapa detik kemudain saat Morgan akan berbelok dan sudah cukup jauh dari ruangan Alisa tiba-tiba saja ada yang menabraknya dari arah samping sehingga ia langsung oleng dan terjaruh dari kursi rodanya. Membuatnya meringgis karena kursi roda itu tepat berada di atas tubuhnya.

Bab 2 Alena Terpaksa Melakukannya

"Maaf Pak, saya tidak sengaja." Pemuda itu segera membantu Morgan. "Apa ada yang sakit?" tanyanya lagi. Sambil menyingkirkan kursi roda itu dari tubuh Morgan ia juga membantunya untuk duduk diatas kursi rodanya lagi.

"Tidak apa-apa anak muda, kamu boleh pergi. Tapi lain kali kamu harus hati-hati." Morgan tersenyum ramah. Namun, mimik wajahnya yang sendu tidak bisa disembunyikannya. "Saya duluan anak muda." Morgan berpamitan dengan sangat sopan.

"Tunggu Pak, Anda menjatuhkan kertas ini." Pemuda itu membuat Morgan tidak jadi pergi. "Maaf, saya tadi lancang karena sempat membacanya." Pemuda itu menyerahkan kertas tersebut sambil berkata, "Apa Anda sedang membutuhkan biaya operasi?" Pemuda itu bertanya lagi. "Maaf sekali lagi jika pertanyaan saya ini juga terdengar begitu lancang."

"Tidak lancang, saya memang sedang membutuhkan biaya operasi untuk istri saya." Entah mengapa Morgan merasa pemuda di dekatnya saat ini adalah pemuda baik-baik. "Istri saya sedang berjuang di dalam sana, dan sampai sekarang saya juga belum bisa mendapatkan uang untuk biaya operasinya." Morgan mulai bercerita panjang lebar tanpa rasa malu padahal dirinya baru saja mengenal pemuda tersebut.

"Tenang Pak, saya sangat mengerti perasaan Bapak saat ini." Pemuda itu merasa iba. Ia lalu memperlihatkan Morgan sebuah kartu tanda pengenal. "Ini kartu nama, serta alamat lengkap saya. Jika Bapak benar-benar membutuhkan uang datang saja."

Morgan merasa pemuda ini dikirimkan Tuhan untuk membantu dirinya. Maka dari itu ia tanpa ragu mengambil kartu nama tersebut.

"Saya tidak bisa berlama-lama disini karena saya masih ada urusan." Seperti biasa pemuda itu berpamitan dengan cara membungkuk 180°. "Sampai bertemu di alamat yang saya berikan Pak," sambungnya.

Morgan terus saja melihat pemuda itu sampai pemuda itu menghilang dari balik tembok. Ia sekarang merasa ada sedikit harapan untuk mendapat uang meskipun dengan cara meminjam.

*

*

"Semua teman-temanku tidak ada yang mau meminjamkan uang untukku." ucap Alena yang berjalan di trotoar. "Kemana lagi kaki ini harus melangkah mencari uang." Pikiran Alena menerawang jauh ke depan, wajah pucat Alisa kini meri-nari di pelupuk matanya. "Mama bersabarlah, Alena akan melakukan apa saja demi kesembuhan Mama."

Ting, suara notif pesan masuk ke ponsel Alena.

"Gimana? Apa kamu mau menerima tawaranku?"

"Mumpung ada yang mau membayar, sesuai dengan apa yang kamu minta tadi."

Setelah membaca dua pesan itu, Alena langsung saja menghubungi nomor temannya yang bernama Ambar itu. Ia tidak perlu menunggu lama karena Ambar langsung saja mengangkat panggilannya.

"Halo Alena, apa kamu sudah membaca pesan singkatku?" tanya Ambar di seberang telpon.

"Sudah, aku akan segera kesana. Kamu kirim saja alamatnya," jawab Alena. Ia kemudian memutuskan panggilan telepon sebelum mendengar jawaban Ambar. "Hanya dengan cara begini aku akan mendapat uang," gumam Alena pelan.

Saat ia akan memesan taksi Online terlihat satu notif pesan masuk lagi ke ponselnya.

"Kak Alena dimana? Keadaan Mama saat ini semakin kritis."

Alena dengan cepat mengetik pesan balasan untuk Vanno. "Kakak ada di suatu tempat, akan segera kembali membawa uang buat biaya operasi Mama." Setelah pesan itu terkirim Alana memadam ponselnya supaya tidak ada yang menghubunginya lagi. Karena ada suatu hal yang harus ia lakukan supaya bisa mendapatkan uang.

*

*

"Hanya demi Mama," ucap Alena yang sedang berdiri di depan cermin memperhatikan pantulan dirinya. Ia saat ini menggunakan baju yang begitu seksi sehingga belahan d*danya terlihat begitu jelas. P*y**ranya juga yang padat serta berisi hampir saja menyembul keluar. "Pa, Ma. Maafkan aku Untuk kali ini saja biarkan aku berkorban," lirih Alena.

"Jika kamu tidak siap. Tidak apa-apa biar aku mencari penggantimu," kata Ambar yang sempat mendengar ucapan Alena.

Ambar ternyata teman Alena yang bekerja sebagai kupu-kupu malam di club itu sudah sejak lama.

"Tidak Ambar, aku sudah siap. Katakan saja apa saja yang harus aku lakukan." Alena menyemprot parfum ke leher dan pergelangan tangannya. "Bisa antar aku sekarang?"

"Kamu cukup mengikuti apa saja perintahnya," ujar Ambar. Ia sebenarnya tidak mau membuat Alena menjadi seperti dirinya. Namun, apa boleh buat? Ia tidak memiliki banyak uang untuk memberi Alena pinjaman maka dari itu ia hanya bisa membantu Alena dengan cara begini. "Sekali lagi maaf Alena, hanya dengan cara ini aku membantumu. Karena aku tidak memiliki uang sebanyak itu," kata Ambar yang langsung memeluk Alena.

"Ambar, bukan waktunya untuk bersedih," balas Alena. "Tunjukkan saja dimana kamar tempat laki-laki itu." Alena melepas pelukan Ambar.

"Beberapa Bodyguard ada di luar, mereka yang akan membawamu ke tempat laki-laki itu." Tak lupa Ambar memberikan Alena pil. "Minum ini dulu sebelum kamu pergi, ini hanya untuk berjaga-jaga saja."

Alena mengangguk dan langsung saja menelan pil yang diberikan Ambar itu. Ia lalu tersenyum manis. "Aku pergi dulu," pamitnya.

••••

"Silahkan masuk Nona, tapi sebelum itu tutup dulu mata Anda," kata Bodyguard yang membawa Alena ke sebuah hotel. "Ini perintah dari Tuan," sambungnya lagi.

"Apa Bos kalian masih muda atau sudah Om-Om?" tanya Alena yang penasaran.

"Maaf, saya tidak bisa menjawab pertanyaan Anda. Lebih baik Anda tutup mata menggunakan sapu tangan ini kemudian masuklah karena Tuan sudah menunggu Anda dari tadi."

"Jika saja bukan demi Mama, aku tidak akan melakukan hal yang sangat menjijikan ini," batin Alena.

"Nona, Jangan membuat Tuan menunggu terlalu la—"

"Aku masuk," potong Alena yang sudah menutup matanya. Dan berdiri di depan kamar hotel menunggu pintu kamar itu di buka. "Suruh Bosmu membuka pintunya, aku tidak punya banyak waktu!" ketus Alena yang tiba-tiba saja merasa kesal.

Tidak lama, terdengar suara pintu kamar hotel itu terbuka. "Nona, Anda bisa masuk sekarang." Bodyguard itu lalu menunduk hormat saat melihat seseorang yang sedang berdiri di balik pintu.

Detik itu juga pergelangan tangan Alena ditarik masuk ke dalam bersamaan dengan pintu hotel itu tertutup lagi. Hening … hanya ada suara hembusan nafas Alena yang naik turun sepertinya ia sedang berusaha menahan rasa gugupnya karena baru kali ini ia berada di kamar hotel berduaan dengan laki-laki yang sama sekali tidak ia kenal.

"Jika kau hanya diam di sana, buat apa aku harus membayar mahal-mahal." Suara bariton itu semakin membuat jantung Alena berdetak lebih kencang. "Kemarilah, dan buktikan kalau kau masih benar-benar Virgin, supaya aku tidak rugi telah mengeluarkan uang sebanyak itu."

"Suara itu? Sepertinya aku pernah mendengarnya tapi dimana?" Alena bertanya-tanya di dalam benaknya. Entah mengapa ia merasa suara itu tidaklah asing di indra pendengarannya.

"Aku tidak suka menunggu terlalu lama!" geram laki-laki itu yang melempar sesuatu ke bawah kaki Alena.

Apakah ada yang tahu siapa laki-laki yang saat ini sedang bersama Alena? Tolong di jawab di kolom komentar ya😊

Bab 3 Laki-laki Itu Ternyata Erlan

"Tuan apa yang Anda lempar ke bawah kaki saya?" tanya Alena sambil mundur beberapa langkah.

Bukannya menjawab laki-laki itu malah mengeluarkan sebilah pisau kemudian mendekati Alena kini tatapan matanya menjadi begitu tajam. "Lihatlah brengsek, apa yang akan aku lakukan pada anak gadismu," batinnya.

Alena yang merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan satu tarikan membuka penutup matanya. Seketika ia semakin mundur di saat melihat laki-laki di depannya saat ini bertelanjang dada dan menggunakan topeng joker. "Tu-tuan, apa yang akan Anda lakukan? Tolong menjauh dari saya." Alena menyentuh ujung baju seksinya dengan jari yang bergetar.

Laki-laki itu tersenyum puas di balik topengnya kala melihat keringat mulai membanjiri dahi Alena. "Bukankah kau datang kesini untuk melayaniku, lalu kenapa kau malah terlihat ketakutan?"

Alena menggelang kuat. "Tuan, saya memang akan melayani Anda. Tapi melihat Anda memegang pisau saya menjadi sedikit takut," jawab Alena jujur.

"Aku hanya ingin mengambil sedikit darahmu, karena saat ini aku sangat haus," ucap laki-laki itu yang ternyata adalah Erlan. Ya, dibalik topeng itu ada wajah Erlan yang merah padam seperti kepiting rebus. "Sedikit saja, aku haus darah wanita yang masih virgin seperti kau!" Sebenarnya dari tadi Erlan berusaha menahan dirinya supaya tidak membunuh Alena saat ini juga.

Karena selama ini ia sudah menyusun sebuah rencana supaya misinya balas dendam tidak terlalu sia-sia dan ini juga salah satu termasuk rencananya.

"Jangan gila Tuan!" pekik Alena. "Saya akan melayani Anda, setelah itu saya akan pergi dan anggap saja ini sebagai pertemuan pertama sekaligus pertemuan terakhir bagi kita!" Suara Alena begitu lantang, ia membuang rasa takut yang tadi di saat mengingat wajah Alisa.

"Siapa kau yang berani berbicara lantang di depanku?" Erlan menggertakan giginya. Tangannya mengangkat dagu Alena. "Kau wanita murahan, tidak pantas bicara tidak sopan padaku!"

Alena memegang tangan Erlan. "Singkirkan tangan Anda dari dagu saya Tuan." Alena menurunkan tangan Erlan. "Saya mengakui bahwa saya memang wanita murahan jadi, Anda tidak perlu mengatakan itu lagi," sambung Alena.

"Baiklah. Jadi, aku bisa melakukan apapun kepadamu bukan?" Erlan membuang pisau di tangan kirinya ia lalu membanting tubuh Alena di atas kasur dengan kasar.

Bayangan Aurora yang di per*sa oleh Morgan beberapa tahun silam membuat dirinya kehilangan kendali. Pikirannya saat ini ia harus melakukan hal yang sama seperti apa yang telah Morgan lakukan dulu kepada Aurora.

Sedangkan Alena memejamkan matanya ia terlihat begitu pasrah saat tangan Erlan tanpa aba-aba merobek baju kekurangan bahan yang ia kenakan. Kini tubuh atas Alena terbuka bebas sehingga Erlan dapat melihat dengan jelas penampakan pemandangan yang membuat hastranya sebagai laki-laki normal melonjak naik.

Air mata Alena menetes, ia menangis tanpa mengeluarkan suara saat mendengar suara resleting celana Erlan di buka. Ia juga pasrah saat Erlan mulai memainkan jari-jarinya di bawah sana hingga beberapa detik. Air mata Alena semakin mengalir deras ketika ia merasa ada sesuatu dibawah sana yang memaksa masuk. Kedalam goa yang paling berharga yang selama ini ia jaga hanya demi suaminya kelak namun semua itu telah di renggut oleh laki-laki yang tidak ia kenal saat ini.

Alena yang memang masih virgin merasa sangat kesakitan. Padahal sampai sekarang Erlan belum berhasil menembus benteng pertahanannya. Akan tetapi, Erlan tetap berusaha keras supaya bisa memasuki gua yang begitu sempit milik Alena.

"****! Dia memang masih virgin," umpat Erlan di dalam benaknya.

Saat Erlan akan berhasil memasukkan adik kecilnya. Tiba-tiba saja penglihatannya menjadi berubah dimana wajah Alena ia lihat sebagai Aurora yang menangis memintanya untuk menghentikan kegiatan gilanya. Saat itu juga Erlan turun dari atas tubuh Alena.

"Aurora," panggil Erlan lirih.

Membuat Alena langsung saja membuka matanya, ia juga sepertinya pernah mendengar nama Aurora. "Tuan, saya Alena bukan Auro—" kalimat Alena terputus di saat melihat Erlan mengambil senjata api dari bawah bantal dan mengarahkannya ke kepalanya.

"Diam kau!" teriak Erlan. "Ambil cek itu, dan segera pergi dari sini! Sebelum peluru ini bersarang di ulu hatimu!" Urat-urat di tangan Erlan terlihat menonjol.

*

*

Sedangkan di rumah sakit.

"Papa dari mana saja?" tanya Vanno saat melihat Morgan. "Keadaan Mama semakin kritis, bagaimana ini." Vanno terlihat begitu panik. "Pa, Vanno tidak mau sesuatu hal yang tidak kita inginkan terjadi kepada Mama." Vanno menatap Morgan yang terlihat tidak panik sama sekali, setelah ia memberitahunya kalau keadaan Alisa semakin memburuk.

"Vanno, tenang dulu. Mama akan segera dioperasi malam ini juga," kata Morgan yang membuat Vanno mendekat ke arahnya. "Kamu jangan terlalu memikirkan hal yang bukan-bukan, kamu cukup fokus belajar saja mengerjakan deskripsimu." Ternyata Morgan benar-benar sudah berubah seperti kata Zizi, ia sekarang menjadi pribadi yang jauh lebih baik lagi tidak seperti dulu. Terlihat dari caranya dan juga tutur bahasanya yang lemah lembut.

"Apa kak Alena berhasil mendapatkan uang yang tadi dia maksud?" tanya Vanno yang ternyata mengira bahwa Alena lah yang telah membayar semua biaya administrasi Alisa. "Dapat dari mana kira-kira kak Alena meminjam uang sebanyak itu, Pa?"

Morgan tidak tahu apakah saat ini ia harus berkata jujur atau malah sebaliknya berbohong. Namun, siapa sangka setelah Morgan lama berpikir akhirnya ia terpaksa memutuskan untuk berbohong. "Iya, Alena berhasil mendapatkan uang itu dan untuk pertanyaan kamu yang kedua. Alena mendapat uang pinjaman dari perusahaan tempatnya bekerja." Morgan berusaha meyakinkan Vanno supaya anak itu tidak bertanya panjang lebar lagi karena saat ini pikiran Morgan sedang kacau balau.

Vanno yang mendengar ucapan Morgan langsung saja bisa bernafas lega seolah-olah beban yang ada dalam pikirannya yang menumpuk seperti butiran debu detik ini juga langsung saja terasa di sapu bersih oleh rasa lega karena mendengar penjelasan Morgan. "Kak Alena memang bisa diandalkan, terus dimana dia sekarang?"

Morgan sedang memutar otak lagi supaya jawabannya tidak membuat Vanno curiga. "Dia sedang ada urusan, makanya tadi dia hanya memberikan Papa uang ini setelah itu dia langsung pergi lagi." Morgan lagi-lagi membuat Vanno percaya.

"Kalau begitu kita tunggu saja kak Ale—"

"Papa, Vanno … ." Terdengar suara Alena yang memanggil mereka membuat kalimat Vanno terputus.

"Nah, itu kak Alena," kata Vanno. Wajahnya yang beberapa hari ini sendu kini berubah menjadi kembali ceria lagi hanya dengan melihat Alena. Meskipun jauh di dalam lubuk hatinya yang paling dalam ia masih merasa sedikit cemas. "Kak Alena, Berkat Kakak Mama bisa dioperasi." Vanno tanpa ragu memeluk Alena. Meskipun ia sudah dewasa namun sampai sekarang ia masih saja melakukan itu kepada Alena jika ia merasa senang.

Begitupun Alena ia sama sekali tidak merasa risih di saat Vanno memeluknya seperti saat ini. Karena di matanya Vanno masih seperti anak kecil yang masih membutuhkan kasih sayangnya sebagai seorang kakak.

"Alena, ada satu hal yang ingin Papa bicarakan," ucapan Morgan membuat Alena melepaskan pelukan Vanno.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!