Akkadia : Gerbang Sungai Tigris
Prolog ~ Sejarah dan Legenda
Karya R.D. Villam
- - -
Lord of heaven and earth
The earth was not, you created it
The light of day was not, you created it
The morning light you had not [yet] made exist
~ Syair Penciptaan ~
Diterjemahkan dari catatan yang tertulis di lempengan tanah liat yang ditemukan di reruntuhan kota kuno Ebla, 55 km dari kota Aleppo, Suriah. Catatan ini dan 17.000 lempengan lainnya yang berhasil ditemukan di sana adalah penemuan arkeologi paling penting di abad ke-20.
---
Abad ke-24 Sebelum Masehi, di tepi Laut Mediterrania terdapat sebuah kota bernama Ebla. Terletak di wilayah yang kini dikenal sebagai Suriah, Ebla adalah pusat perdagangan yang menghubungkan negeri Anatolia di utara (kini Turki), Mesir di selatan, dan Mesopotamia di timur (kini Irak).
Di kota itu, dari utara keledai-keledai datang mengangkut emas, perak dan berbagai peralatan dan senjata yang terbuat dari perunggu. Dari selatan para pedagang membawa hewan-hewan eksotis seperti gajah, singa, jerapah, serta gading dan batu permata. Dari timur perahu-perahu berlayar menyusuri Sungai Efrat dengan membawa jelai, tekstil, minyak wijen dan timah yang berasal dari pegunungan di Asia Tengah.
Dari awalnya kaum pengelana yang hidup hanya dengan mengandalkan ternak dan berburu, Ebla tumbuh menjadi negeri yang makmur dan berkebudayaan tinggi. Istana kerajaan berdiri megah, dan ribuan orang tinggal di sekelilingnya.
Sebuah perpustakaan besar didirikan tak jauh dari istana. Di dalamnya berisi tak kurang dari 20.000 lempengan tanah liat berisi catatan sejarah, cerita para dewa dan ilmu pengetahuan yang dikumpulkan dari Sumer maupun Mesir. Bangsa Sumer adalah pencipta huruf paku—aksara pertama di dunia—tetapi justru di Ebla seluruh catatan sejarah mereka tersimpan dengan rapi.
Ebla memiliki kebudayaan, agama dan tradisi kuno yang berakar dari era pertama Indo-Eropa yang berasal dari padang rumput di utara, tetapi letaknya yang berada di persimpangan membuat berbagai kebudayaan asing dapat masuk dengan mudah dan berbaur hingga akhirnya membentuk kebudayaan baru.
Salah satu contoh budaya paling akhir yang membedakan Ebla dengan negeri-negeri lain di sekitarnya adalah kedudukan kaum perempuan yang setara dengan laki-laki. Di Ebla perempuan bisa bekerja dan menduduki posisi tinggi di pemerintahan, juga mendapatkan upah yang sama dengan laki-laki. Di masa itu seorang pemimpin militer mereka bahkan adalah perempuan.
Namun seperti halnya yang banyak terjadi dalam sejarah, kemakmuran seringkali tak hanya membuat kagum, tetapi juga takut dan dengki. Tak jauh di sebelah timur ada negeri bernama Mari, yang takut karena pengaruh Ebla yang semakin kuat, dan juga dengki dengan kekayaan yang dimiliki oleh negeri tetangganya itu.
Selama seratus tahun keduanya berperang tanpa henti. Mereka saling mengalahkan, tetapi Mari tak pernah mampu mendekati Ebla. Lalu pada pertempuran di Terqa, pasukan Ebla berhasil menaklukkan pasukan Mari yang dipimpin langsung oleh raja mereka, Isqi.
Dipenuhi dendam, Isqi menghubungi negara besar yang baru saja tumbuh di timur, Akkadia. Raja mereka, Sargon, telah menaklukkan seluruh Mesopotamia dan kini berkuasa di sepanjang lembah subur di antara Sungai Efrat dan Sungai Tigris. Sejauh ini Ebla dan Akkadia selalu menjadi rekan dagang yang baik, tetapi jika ditawari kesempatan emas seperti ini, bagaimana Sargon bisa menolak? Karena selain kaya, Ebla memiliki hutan di utara yang kayunya sangat dibutuhkan untuk membangun kapal dan bangunan-bangunan besar.
Mungkin ini salah satu contoh dari ungkapan ‘jika kau tidak bisa mendapatkan sesuatu dari berdagang, dapatkanlah dengan cara berperang.’
Sargon membawa pasukannya ke barat. Ia menghancurkan Ebla, membunuh rakyatnya dan membakar habis kota-kotanya. Sebuah pemusnahan total yang kemudian diibaratkan telah membuat negeri yang dulunya menakjubkan itu kini hancur rata dengan tanah. Bahkan burung-burung pun tak mampu lagi menemukan dahan pohon untuk mereka hinggap.
Namun, tidak semuanya hancur. Tidak semuanya mati. Sekelompok orang Ebla berhasil lolos. Salah seorang dari mereka adalah putri raja Ebla. Mereka kabur ke utara, tetapi karena takut dengan ancaman orang-orang Mari, mereka lalu berbelok menyusuri kaki pegunungan, pergi ke arah timur. Suatu tindakan yang sebenarnya riskan karena mereka kini justru mendekati wilayah kekuasaan Raja Sargon dari Akkadia.
Kenapa mereka melakukannya, alasannya belum bisa dipahami. Mungkinkah mereka hendak membalas dendam kepada orang-orang Akkadia? Rasanya mustahil. Jadi, mungkin mereka hanya ingin mencari perlindungan, dari sebuah negeri besar lain yang ada di timur Sungai Tigris. Atau mungkin, bukan karena itu juga.
Apa pun alasannya, perjalanan mereka dimulai di sini.
Dalam sebuah kisah yang tak tercatat dalam sejarah maupun legenda.
---
Tidak jauh dari tepi Sungai Tigris
Teeza tak tahu perbukitan macam apa yang akan dilewatinya. Ia belum pernah ke tempat ini, dan karenanya tidak tahu ke mana harus pergi. Ia kini hanya mengandalkan nalurinya dan berusaha menarik pasukan Akkadia yang mengejarnya sejauh mungkin dari Putri Naia.
Diterangi sinar bulan purnama ia terus berlari menerabas rumput, melompati bebatuan, menuruni lereng. Mendaki, kemudian turun lagi, semakin jauh dari rombongannya semula. Hingga akhirnya ia tiba di ujung perjalanan, di mana ia tidak bisa lagi berlari.
Ia tiba di ujung tebing. Di hadapannya kini hanya ada kabut tebal yang menutupi kegelapan kosong di baliknya. Purnama yang tadi menemaninya kini tertutup awan gelap. Ia menajamkan indera penglihatan dan pendengarannya, mencoba menebak apa yang ada di balik kabut, di depan, atau di bawahnya itu. Gelap, dan sunyi menakutkan.
Teeza menggeram, begitu menyadari bahwa inilah akhir dari semua perjalanannya.
Ia berbalik, menghadapi gerombolan barion yang mulai bermunculan. Harimau-harimau hitam yang berasal dari tanah asing di seberang lautan. Pemangsa terganas di muka bumi, yang memiliki kulit sekeras baju perunggu, cakar sekeras martil dan taring setajam belat, dan kini sudah menjadi tunggangan para prajurit Akkadia.
Satu, dua, tiga, dan akhirnya sepuluh ekor, hewan-hewan itu berjajar tak jauh di depannya. Dan pastinya ada lebih banyak lagi di belakang mereka, di balik lereng bukit batu yang berkelok-kelok.
Teeza tak mampu lagi mengangkat busurnya walau ia masih bisa menggenggamnya. Tangan kirinya sudah kehilangan separuh kekuatan akibat luka besar di bahunya. Namun ia mencoba tetap tenang, mengeluarkan uap putih berirama dari dalam mulutnya setiap kali menghembuskan napas. Penampilan tegar mudah-mudahan akan membuat lawannya gentar, paling tidak untuk sementara waktu.
Di depannya, seekor barion maju dua langkah. Penunggangnya yang bertubuh besar mengacungkan tombak ke arah Teeza.
Suara orang itu berat. “Alnurin, kau tak bisa lari lagi.”
Bukan suara Rahzad. Bukan Rahzad.
Seaat Teeza lega, karena yang mendatanginya bukanlah musuh bebuyutannya itu, sang panglima Akkadia. Namun kemudian ia berubah cemas. Jika Rahzad tak berada di sini, di mana dia? Apakah dia tidak ikut terpancing kemari, dan memilih tetap mengejar Naia?
”Jatuhkan busurmu, perempuan! Menyerahlah!” orang Akkadia itu berteriak.
”Aku tidak pernah menyerah,” Teeza menjawab.
”Kalau begitu kami harus memaksamu. Panglima menginginkanmu,” sedikit nada kesal terdengar saat komandan itu melanjutkan ucapannya.
Teeza mendengus. ”Majulah, dan rasakan ujung panahku.”
Si komandan tertawa pendek. ”Kau tak bisa menyembunyikan busur yang bergetar di tanganmu itu. Di malam biasa, kau bisa membunuh kami dengan mudah, tetapi malam ini, tenagamu sudah habis, dan yang lebih penting, keberuntunganmu juga habis.”
”Ya sudah, coba saja,” balas Teeza tenang.
Musuhnya menggeram kesal. ”Maju!”
Empat ekor barion maju perlahan seperti harimau yang siap bertempur. Kepala mereka ditundukkan, lebih rendah daripada tengkuk, namun mata mereka memerah mendelik tajam. Mulut mereka terbuka, menunjukkan taring besar yang menggantung dari rahang atasnya. Keempat penunggangnya mengacungkan tombak ke depan.
Teeza menjatuhkan busur dan panahnya. Ia tak bermaksud menyerah. Kedua tangannya justru meraih belati kembar dari pinggangnya. Matanya menatap garang. ”Demi Tuhan! Aku sudah cukup hidup seratus tahun! Aku tidak takut mati!”
Ia melompat ke arah penunggang terdekat. Gadis itu berhasil menghindari sebuah tombak yang melesat di sampingnya dan melewati kepala seekor barion. Namun hanya sesaat setelah belatinya menebas leher penunggang hewan itu, sebuah tombak lain menghantam dada kirinya, membuatnya tubuhnya terpelanting ke belakang, jatuh di bibir tebing.
Prajurit yang melempar tombak itu berseru, ”Tuhan, kau bilang?! Kau masih tak mau mengakui keberadaan dewa-dewa kami? Perempuan Kaspia terkutuk!"
Susah payah Teeza berusaha bangkit. Amarah menggemuruh, memenuhi dadanya. Ia melempar sebuah belati, yang meluncur begitu cepatnya hingga menancap di wajah prajurit yang tadi memakinya, lalu berusaha mencabut tombak di dada kirinya. Belum sempat tercabut, sebuah tombak lain datang menghunjam perutnya, menamatkan perlawanannya.
”Tidak!” suara si komandan terdengar. ”Jangan bunuh dia!”
Terlambat. Tubuh Teeza sudah terdorong oleh hentakan tombak di perutnya, hingga akhirnya terlepas dari bibir tebing. Kakinya tak mampu lagi menjejak tanah.
Ia termangsa oleh kabut, jatuh ke dalam kegelapan yang tak berujung.
Saat melayang ia menangis. Bukan karena pada akhirnya ia akan menjumpai kematian, melainkan karena menyesal, tak bisa lagi melindungi Naia, junjungannya.
Akkadia : Gerbang Sungai Tigris
Bab 1 ~ Penjelajah Mimpi
Karya R.D. Villam
- - -
Gadis itu berdiri di atas tebing. Saat pertama kali sosoknya terlihat, pakaiannya yang berwarna putihlah yang paling menarik perhatian. Bajunya berlengan panjang, tebal, tetapi longgar. Demikian pula pakaian bagian bawahnya, yang panjang sampai ke mata kaki. Benar-benar pakaian yang aneh dan belum pernah Ramir lihat selama ini di tanah Sumeria.
Pada kepala gadis itu ada kain yang menutup seluruh bagian kepala kecuali wajahnya, panjang melingkar-lingkar hingga menutupi leher, serta melambai-lambai kala tertiup angin. Belati panjang bergagang emas tergantung di ikat pinggangnya yang berwarna merah gelap. Dia pastilah seorang bangsawan. Hanya mereka yang membawa belati panjang seindah itu.
Namun, jujur saja, bukan itu semua yang paling penting. Bagi Ramir, cukup dikatakan, dia adalah gadis tercantik yang pernah ia lihat sepanjang lima belas tahun hidupnya. Dari samping bisa terlihat bulu matanya yang lentik, dan hidung serta dagunya yang runcing. Lalu, ketika dia menoleh ke arah Ramir, terlihat bibir tipisnya yang merah memikat.
Tetapi, apakah dia bisa melihat Ramir? Atau merasakan keberadaannya?
Tentu saja tidak. Gadis itu hanya menoleh sesaat, tak mempedulikan kehadiran Ramir. Dia memang tidak bisa melihatnya. Ramir ingin menyapa, tetapi tahu itu tidak mungkin. Tidak apa-apa, pikirnya. Ramir sudah cukup senang dapat melihat wajah gadis itu.
Gadis itu menatap dataran luas di bawah tebing. Lembah hijau yang membentang indah sampai ke kaki langit, dibatasi sungai biru jernih yang mengalir tenang di tengah padang. Kuda dan domba berkeliaran bebas di padang rumput. Bocah-bocah penggembala berlari-lari riang. Rumah-rumah sederhana beratap jerami berjajar di kaki bukit, dan para penduduknya berbincang santai di kursi-kursi mereka. Dan juga, suara apa itu, yang mengalun merdu seiring tiupan angin?
Itu ... adalah burung-burung yang berkicau di atas pepohonan dan atap rumah.
Kemudian gadis itu menoleh ke belakang. Gurat kekhawatiran dan ketakutan muncul di wajahnya. Ramir ikut merasakan ketakutannya, begitu melihat sosok gelap yang muncul dan berjalan mendekati sang gadis.
Seorang laki-laki. Tubuhnya tinggi besar, tertutup jubah warna hitam. Helm bertanduk kembar menutupi kepalanya. Wajahnya yang gelap tidak tampak jelas. Sebuah senjata yang jauh lebih besar dan panjang dibanding belati sang gadis tergenggam di tangan kanannya. Laki-laki itu menghentikan langkah, berdiri tegak tak jauh dari sang gadis, dan menunjuk dengan tangan kirinya, kedua berkata dengan suara beratnya.
”Raja telah memberiku perintah untuk memusnahkan negerimu, sedemikian rupa hingga burung-burung takkan mampu lagi menemukan tempat untuk bertengger di sini.”
”Tidaaak!” Gadis itu memalingkan wajahnya ke arah lembah.
Ramir terkesiap. Pemandangan yang tadi begitu indah kini berganti dengan kehancuran dan kebinasaan. Api di mana-mana. Asap tebal membubung tinggi. Jerit kematian penduduk sahut-menyahut. Tak ada lagi kicauan burung, mereka semua telah pergi jauh. Hijau pepohonan dan kuningnya padang rumput berganti menjadi merah api dan hitam setiap benda dan makhluk yang habis terbakar. Biru jernih air sungai berubah menjadi merah darah. Gadis itu menangis meraung-raung di atas tebing, dan si lelaki gelap tertawa dingin di belakangnya.
Hancur. Binasa. Musnah.
Ramir menggigil, dan akhirnya memutuskan untuk memejamkan matanya. Ia tak berani lagi melihat, tak tahan lagi mendengar tangis pilu sang gadis. Ia memutuskan untuk pergi. Tak ada yang bisa ia lakukan di sini. Lagipula, sesuatu yang lain mengundangnya.
Ramir berjalan menyeberangi padang rumput, mendaki bukit berbatu, lalu menuruni lerengnya, menerobos hutan tebal, hingga akhirnya sampai di lembah dingin di mana angin yang turun dari atas pegunungan menusuk jauh sampai ke tulang-tulangnya.
Dataran rendah terbentang luas di hadapannya. Seperti danau, tetapi anehnya tidak berwarna biru, tidak pula beriak, melainkan putih, berkilat tak bergerak.
Es! Ramir menyadari. Seluruh permukaan danau itu rupanya telah membeku menjadi es.
Angin bertiup kencang menyambar wajah Ramir.
”Hyaaa!” Suara tawa riang memecah keheningan.
Di atas permukaan es enam orang remaja—seusia Ramir—duduk meluncur di atas papan kayu masing-masing. Jika dilihat dari panjang rambut mereka yang berkibar-kibar, mereka terdiri dari tiga orang lelaki dan tiga orang perempuan. Ramir terpana. Seumur hidupnya ia tak pernah melihat orang-orang dengan wajah seasing mereka. Keenam remaja itu seluruhnya berkulit putih. Sebagian berambut warna emas, dan sebagian lagi berwarna perak.
Pandangan Ramir tertuju pada gadis berambut sepunggung warna perak, yang jangkung, berhidung mancung, dan bermata hijau. Ramir tahu, gadis itulah yang mengundangnya datang ke tempat ini. Dialah yang paling menarik dibanding yang lain. Senyum dan tawanya lebar, seakan menunjukkan semangat dan energi luar biasa. Ramir tak bisa melepaskan pandangannya dari wajah gadis itu. Dia mungkin tidak sejelita gadis berbaju putih yang tadi berdiri di atas tebing, tetapi jelas gadis berambut perak ini tidak kalah menawan.
Ramir bersandar di pohon besar di tepi danau, mengamati keenam remaja yang meluncur dan terus berputar-putar di atas danau tanpa henti seolah tak mengenal lelah. Mereka tampaknya takkan bosan bermain sepanjang hari, tak pernah khawatir dibatasi waktu.
Ramir memejam lagi.
Waktu? Itukah yang membuat tempat ini terasa aneh?
Ia membuka matanya.
Kini waktu berjalan begitu cepat. Langit gelap, terang, kemudian gelap lagi.
Anak-anak itu sekarang duduk berjajar di tepi danau. Hanya tiga dari mereka: dua remaja lelaki dan seorang gadis, yang berambut perak tadi. Di depan mereka duduk pula seorang pria bertubuh besar, membelakangi mereka. Keempatnya duduk tenang, dengan kaki terlipat, tangan diletakkan di atas paha, dan pandangan mata tertuju ke tanah di depan mereka.
Di akhir, mereka membuka kedua telapak tangannya ke atas. Dari mulut mereka terdengar serentetan kata yang tak dimengerti oleh Ramir.
Apa yang mereka lakukan? Apakah mereka sedang menyembah sesuatu?
Ramir memperhatikan ke sekelilingnya. Kepada siapa mereka menyembah? Kepada langit? Bumi? Matahari? Bulan? Angin? Atau danau?
Seperti yang dilakukan orang-orang Sumer atau Akkadia?
Sepertinya mereka berbeda. Ada yang berbeda, Ramir merasakannya. Ia belum bisa menjelaskan apa, namun suatu rasa damai menyelimutinya. Matanya terpejam.
Sesaat. Hanya sekejap, tetapi sudah cukup untuk mengubah seluruh pemandangan yang tadinya terlihat tenteram menjadi lebih dingin. Kini tidak ada seorang pun di tepi danau.
Suara kecil terbawa oleh angin. ”Arante ..."
Ramir tersentak. Suara gadis berambut perak itu?
”Arante rei ..."
Ramir bangkit. Jantungnya berdetak lebih kencang. Tatapan matanya menyapu seluruh permukaan danau yang memutih. Masih datar tak bergerak, kecuali di satu titik. Riak kecil di sebelah kiri. Awalnya ia ragu, lalu yakin bahwa suara gadis itu berasal dari sana, dari bawah permukaan danau yang tidak tertutup oleh es.
Ramir berlari kencang sambil bertanya-tanya dalam hati. Apakah gadis itu meminta tolong padanya? Bagaimana bisa? Apakah berarti dia bisa merasakan kehadiran Ramir di tempat ini? Bagaimana pula dia bisa bersuara jika berada di dalam air?
Di tepi danau Ramir merebahkan tubuhnya dan mengintip ke bawah. Gadis berambut perak itu ada di sana, di dalam air. Matanya yang hijau menunjukkan rasa sedih dan takut yang luar biasa. Tangan kanannya terangkat, menggapai-gapai ke arah Ramir.
“Arante rei ... kui tanara ..."
Serentetan kata-kata aneh sampai di telinga Ramir, namun hanya bagian awalnya itu yang terdengar jelas. Tapi ... benarkah dari dalam air?
Ramir menyingkirkan seluruh rasa ragu dan bingungnya. Ia segera menjulurkan kedua tangannya ke dalam air. Air itu dingin menusuk, tetapi Ramir berhasil menyentuh jemari gadis itu. Digenggamnya jemari itu, lalu tangannya erat, kemudian sekuat tenaga ditariknya ke atas. Ramir menangkap tubuh sang gadis yang basah kuyup.
Gadis itu menggigil, dan Ramir tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan selain memeluknya, berharap agar tubuhnya sendiri dapat menghangatkan tubuh gadis itu.
Gadis itu terbaring di pangkuan Ramir. Ramir tak mampu menemukan satu kata pun, sekadar untuk menyapa, atau menanyakan keadaan gadis itu. Ia hanya bisa memandangi mata sang gadis yang menatapnya tanpa berkedip. Yang hijau, seperti mata seekor kalyx, si kucing hutan.
Namun betapapun aneh dan asing, dia tetaplah seorang gadis yang cantik. Ada sesuatu yang menggelitik hati Ramir, yang belum pernah ia rasakan seumur hidupnya. Kalau bisa, selamanya ia ingin memeluk gadis itu. Ramir tahu itu tak mungkin. Ia akan pergi sebentar lagi. Begitu ia nanti memejamkan matanya sekali lagi.
Lalu, di saat-saat terakhir seulas senyum terbentuk di bibir sang gadis.
Gadis itu memang tetap tidak berbicara, tetapi bagi Ramir itu sudah cukup. Ia tidak mengharapkan lebih. Ini toh hanya mimpi.
Tetapi ... andai saja ini bukan mimpi.
Ramir memejamkan mata.
Dan kali ini ia terbangun dari tidurnya.
Akkadia : Gerbang Sungai Tigris
Bab 2 ~ Kucing Ajaib
Karya R.D. Villam
- - -
Benda kecil lembut membasahi hidung Ramir, kemudian pipi serta telinganya. Rambut panjang kaku menggelitik hidungnya. Ramir memicing, memperhatikan makhluk yang bergerak di sekeliling wajahnya. Seekor kucing kecil berbulu hitam bergaris-garis cokelat gelap, dengan mata besar berwarna kuning, dan bertelinga panjang.
“Toulip!” Ramir berseru. “Kau mengganggu mimpi indahku!”
Kucing itu berhenti menjilat. “Mimpi indahmu?” Ia duduk di atas dada Ramir dengan gaya sok tahu dan menatap anak itu lekat-lekat. “Itu mimpi indah manusia lain, bukan mimpimu! Mimpi siapa yang kaumasuki sekarang?”
”Tidak tahu.” Ramir melirik ke luar jendela. Dari celah tirai ia melihat langit yang masih memerah. ”Kalau aku bisa masuk dan keluar semauku, betapa senangnya. Ah, tetapi tidak juga. Kalau aku ikut masuk ke dalam mimpi buruk, malah menyebalkan. Seperti tadi.”
”Jadi mimpi tadi indah atau buruk?”
”Hmm ... aku lupa. Kurasa tadi ada seorang gadis, berbaju putih, sayangnya aku lupa wajahnya. Padahal sepertinya aku pernah melihatnya.”
”Di mana?”
”Di mimpi juga. Di malam ini juga.”
“Maksudmu, kau mimpi dua kali malam ini?”
”Seingatku, saat tengah malam, kurasa, aku sempat terbangun karena mimpi buruk,” jawab Ramir ragu. ”Ada kobaran api, sesuatu terbakar. Setelah itu aku tertidur lagi, tak tahu berapa lama, lalu bermimpi kembali, mimpi buruk yang sama.”
”Itu mimpi buruk manusia lain, bukan mimpi burukmu.”
”Tetap saja jadi mimpi burukku juga!”
”Baik, jadi itu buruk. Lalu di mana indahnya?”
”Kurasa, aku bertemu seorang gadis lainnya.”
”Meooww!” Toulip mengeong keras, dengan cara aneh yang dulu selalu membuat Ramir tertawa. ”Seusiamu, Ramir, seharusnya kau memang mulai berdekatan dengan perempuan. Lebih banyak pergi ke desa, berkenalan. Jangan hanya berkeliaran di hutan.”
”Sayang sekali, aku tidak bisa mengingat wajahnya. Tetapi rasanya ada yang aneh dengan gadis ini. Mungkin rambutnya, wajahnya, atau pakaiannya. Dan air. Ya, ada air! Atau es. Dingin, mestinya, tetapi rasanya tadi menyenangkan. Aku nyaman di sana.”
Toulip terkekeh. ”Mungkin kau berpelukan dengannya, Ramir.”
”Kelihatannya begitu.”
”Kau menciumnya?” Toulip menggoda. ”Atau mungkin ...”
Ramir menggeleng cepat. ”Tidak. Rasanya tidak.”
”Manusia seusiamu wajar bermimpi seperti itu.”
”Kucing banyak omong! Tahu apa kau?”
Kucing itu menguap seolah bosan. ”Toulip memang kucing yang banyak omong, karena Toulip kucing banyak tahu. Toulip bisa bicara dengan burung, kuda, kerbau, ular, semut, kutu, cicak, dan banyak binatang lainnya. Percayalah, mereka paling suka berbicara mengenai manusia. Mereka tahu tentang manusia, yang justru manusia sendiri tidak tahu.”
”Kucing sombong antah berantah. Dengan manusia, untungnya kau hanya bisa bicara denganku. Kalau tidak, kau akan menyebarkan banyak masalah.”
”Bukan. Untungnya kau pendiam, Ramir, jika harus bicara dengan manusia lain. Jadi kau tidak akan banyak menyebarkan masalah.” Si kucing membuat cengiran lebar. ”Selain itu, Toulip bisa bicara denganmu, karena kau bisa bicara dengan Toulip."
”Ya. Kita berdua bisa membuat banyak masalah, jika semua orang tahu soal ini.”
”Termasuk kemampuan menjelajah mimpimu? Kakekmu tahu.”
”Cuma dia,” Ramir menukas. ”Justru dia yang menyuruhku menyembunyikannya dari semua orang. Katanya, kemampuan ini tidak baik buat orang lain.”
Toulip mengangguk. ”Toulip mengerti maksud kakekmu. Memasuki mimpi manusia lain sama saja dengan memasuki wilayah pribadi manusia itu. Tapi, itu tetap berkah yang khusus diberikan padamu. Bukan hanya kau, Ramir, manusia yang diberkahi kemampuan aneh. Dan kalian manusia, betapapun berakalnya, tetap belum bisa tahu sepenuhnya, apalagi langsung menilai, apakah itu baik atau tidak.”
”Kau sendiri, kemampuan bicaramu itu baik atau tidak baik?”
Kucing itu mendesah. ”Soal ini, tidak seharusnya Toulip bicara terlalu banyak denganmu. Manusia berbeda dengan makhluk lain. Tidak boleh langsung percaya pada apa pun. Kalian harus belajar, menggunakan otak atau perasaan kalian, dan mengalaminya sendiri.”
Ramir tertawa. ”Terima kasih atas pelajarannya, Guru. Sayangnya aku belum mengerti."
”Miaawr!” Toulip melompat ke jendela, bertengger di bingkainya. ”Gara-gara obrolan ini, Toulip lupa kenapa Toulip membangunkanmu. Kita ada urusan penting!”
”Sepagi ini?” Ramir kembali melirik langit di balik tubuh Toulip.
Toulip mengangguk. ”Seekor kalyx memberitahu fajar tadi, katanya ia menemukan satu sosok tubuh manusia di tepi sungai.”
Ramir tercengang. ”Mati?”
”Toulip tidak akan menganggapnya penting kalau dia sudah mati.”
”Begitu ya?”
”Ya!”
”Memangnya apa yang bisa kulakukan?” Ramir bangkit dengan enggan.
”Tentu saja menyelamatkan dia! Manusia ini sekarat, terbawa arus dan terdampar di sana. Itu kata si kalyx. Dan dia sudah meminta teman-temannya untuk menjaga manusia ini, dari ancaman binatang buas lain.”
”Menjaganya?” Ramir berdiri kemudian mengelap mukanya dengan kain basah. ”Kenapa kalyx sampai mau melakukan itu?”
Toulip tidak menjawab dan melompat ke atas bahu kanan Ramir. Mereka berdua keluar dari kamar, sampai ke ruangan yang lebih besar. Sinar matahari masuk melalui lubang angin di atas dinding-dinding gubuk yang terbuat dari lumpur sungai. Ramir melirik kamar di sebelahnya, yang sudah kosong. Sepertinya kakeknya pun sudah bangun, tetapi kini pergi entah ke mana.
Ramir berjalan cepat menuju sungai di utara. Ia menerobos hutan, naik turun bukit, dan akhirnya mendengar deru arus sungai dari balik rimbunan. Mereka menerobosnya dan tak lama tiba di tepi sungai. Namun tak terlihat sosok manusia yang dikabarkan tadi.
Ramir memandang berkeliling. ”Kau yakin di sini tempatnya?”
”Kalau ternyata salah, salahkan si kalyx, yang tidak becus memberikan informasi!”
”Mrraawwrr! Mrraawwrr!”
Suara kalyx! Terdengar sekitar sepuluh tombak di utara. Ramir menoleh. Di atas sebuah batu besar di tepi sungai berdiri seekor kucing berbulu kelabu. Matanya yang hijau menatap tajam. Untuk beberapa saat Ramir terdiam, tiba-tiba ia merasa tegang.
”Ia memanggil kita,” Toulip berbisik. ”Dia yang tadi bicara pada Toulip.”
Ramir berjalan mendekat. Begitu sampai di tepi batu besar, ia berjalan mengitarinya. Di balik batu itu, enam ekor kalyx sedang duduk. Mereka semua menatapnya tajam. Di belakang mereka terbaring seseorang yang tak sadarkan diri.
Dua buah luka besar tampak di dada dan perut orang itu. Bajunya yang berwarna hijau terkoyak, menampakkan pelindung dada yang tebal tetapi sudah terkoyak pula. Tidak tampak banyak darah, bisa terjadi karena dua hal: sudah banyak terbuang di sungai, atau lukanya sudah ditutup dan dibersihkan oleh kalyx dengan lidahnya. Seekor kalyx mengeong, seperti tahu apa yang ada di dalam benak Ramir.
Ramir berkata hati-hati, ”Kalian yang merawatnya?”
”Mestinya demikian.” Toulip yang menjawab. ”Air liur kalyx dapat membersihkan luka. Tetapi hanya untuk sementara saja. Sekarang giliranmu, Ramir.”
Ramir berjongkok, memperhatikan orang yang pingsan itu. Dia melihat rambut panjang di belakang kepalanya. Ada sebuah luka di sana. Saat itulah, tiba-tiba rambut itu seolahberkilau begitu tertimpa cahaya matahari. Ramir tertegun. Rambut perak!
Perlahan Ramir memegang dagu orang itu dan menolehkan kepalanya. Ia kini melihat wajahnya. Hidungnya yang mancung, bibirnya yang halus. Seorang perempuan? Wajahnya seperti ... dia! Jantung Ramir berdetak kencang. Tangannya bergetar.
“Kau kenal dia?” Toulip berbisik lagi.
Ramir termangu. ”Aku ... tidak yakin.”
“Ini manusia perempuan itu? Yang kaulihat dalam mimpi? Yang membuatmu bermimpi indah? Toulip bisa menebak dengan mudah, kawan, begitu melihat raut aneh di wajahmu!”
”Sepertinya berbeda."
”Tadi kaubilang ada yang aneh dengan manusia perempuan di mimpimu. Sudah jelas, kan? Wajahnya yang asing dan rambutnya yang perak. Tidak mungkin ada yang lebih aneh.”
”Tetapi, wajah yang kulihat dalam mimpi sangat muda. Masih remaja, sama sepertiku. Sementara ini, kelihatannya sepuluh tahun lebih tua dariku. Ia tampak begitu ... dewasa.”
”Hei! Ini manusia asing berambut perak yang berada paling dekat dengan kita. Tak mungkin ada manusia lain seperti dia di dekat sini. Sudah pasti dia manusia yang kaumasuki mimpinya! Ingat, manusia tidak hanya bermimpi tentang masa kini, tetapi juga tentang masa lalu. Yang kau lihat dalam mimpimu adalah masa lalu manusia perempuan ini.”
”Ya, mungkin begitu.”
”Ah, ah. Apa yang Toulip rasakan kini?” Kucing itu menyeringai. ”Oho, kau kecewa rupanya? Kau kecewa karena manusia perempuan ini tidak seperti bayanganmu? Kau kecewa karena dia jauh-jauh-jauh lebih tua daripada kau?”
”Aku tidak kecewa!”
”Lalu kenapa masih berdiam diri? Dia butuh pertolonganmu. Kau seorang penyembuh!”
Ramir tersentak. Tiba-tiba ia teringat, dalam mimpinya gadis itu meminta pertolongan pada Ramir. Seolah gadis itu bisa merasakan kehadiran Ramir dalam mimpinya! Kalau benar, apakah mungkin dia bisa mengenalinya, jika nanti sudah sadar dari pingsannya?
Namun pikiran lain membuatnya ragu. "Aku baru belajar jadi penyembuh. Mana bisa kusembuhkan luka-luka sebesar ini dengan cepat? Hanya kakekku yang bisa."
”Ya sudah, bawa dia! Supaya bisa disembuhkan oleh kakekmu nanti!”
Ramir kini mengangguk. Ia membungkuk, Sekuat tenaga ia berusaha mengangkat tubuh gadis itu, menaikkan ke atas bahunya, lalu berdiri dengan susah payah.
”Hati-hati! Kau tidak sedang mengangkat karung gandum!” seru Toulip.
”Kau kira gampang?” seru Ramir kesal. ”Tubuhnya lebih besar daripada aku!”
”Awas, jangan sampai membuat luka di perutnya terbuka lagi!”
”Jika tidak membantu, jangan bicara, Toulip! Lebih baik cari kakekku.”
Toulip menggoyang kepalanya. ”Kalau itu maumu.”
”Tunggu! Jangan pergi dulu!” Ramir berdiri sambil mengatur napasnya. ”Sebelum pergi, barangkali kau bisa bertanya pada para kalyx, mengapa mereka menjaga gadis ini.”
”Baru saja, Ramir.”
”Apa kata mereka?”
”Mereka menjaganya, karena dia adalah Sang Penjaga Ilmu.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!