"Kak Ken, aku ikut Kakak jalan-jalan, ya?"
Ken menghela nafas berat, selalu saja seperti ini saat dia bertemu dengan Vana. Gadis itu bergelayut manja di lengan Ken, membuat Ken jengah dengan sikapnya yang selalu bersikap manja dan seenaknya.
Ken tidak menyukai Vana, tapi bukan berarti dia benci. Ken yang selama ini dididik mandiri, juga menyukai orang yang mandiri, pintar, enak diajak bicara dan tidak banyak tingkah.
"Van, kami ini mau belajar kelompok, bukan jalan-jalan," ucap Vara lembut.
Ken melihat Vara dan Vana, nama mereka mirip, tapi bukan berarti mereka kembar.
Vana berdecak kesal dengan perkataan Vara. Baginya, Vara itu adalah pengganggu, tanpa sadar bahwa bagi yang lain, Vana-lah yang pengganggu.
"Halah, alasan saja mau kerja kelompok, padahal kalian mau jalan-jalan, kan? Mau pacaran di belakang aku, kan?"
"Jangan bicara sembarangan Van, kami memang mau kerja kelompok kok. Coba kamu tanya ke Carlos dan Nio."
"Kenapa aku Haris tanya mereka? Mereka kan komplotan kalian, sudah pasti membela kalian. Enggak mau tahu, pokoknya aku ikut."
Tanpa meminta ijin lagi, Vana langsung masuk ke mobil Ken, duduk di sebelah Ken sementara Vara di suruh duduk di belakang.
Lagi-lagi Ken menghela nafas berat. Kenapa kakak beradik ini sangat berbeda sifatnya?
Selama mengenal mereka sejak kecil, Vara tidak pernah bersikap manja pada siapa pun, apalagi bersikap seenaknya. Bagi Ken, Vara gadis yang baik dan menyenangkan, tidak pernah membuat dirinya susah, termasuk kedua orang tua Vara.
Bisa Ken lihat, kalau Vana sering menggunakan baju baru, sepatu, tas, ponsel pun sering ganti. Sedangkan Vara, tidak banyak baju baru yang Ken lihat dia pernah memakainya. Gadis itu pintar memadukan baju dan warna, sehingga selalu terlihat berbeda.
Sesampainya di apartemen Nio, mereka langsung kerja kelompok, sedangkan Vana menyetel televisi.
Suara tawa dan kunyahan keripik yang tanpa henti membuat mereka terganggu.
"Bisa diam enggak sih, Van?"
"Aku diam kok dari tadi. Memangnya aku ada bicara?"
Kalau saja Vana ini bukan adik Vara dan bukan anak dari sahabat kedua orang tuanya, sudah pasti Ken akan menarik paksa Vana ke luar, agar pekerjaan mereka cepat selesai.
"Aku lapar, apa enggak ada makanan?"
Lagi-lagi kegiatan mereka terusik. Nio, Carlos dan Marissa saling lirik.
"Kamu mau makan apa? Biar aku pesankan," ucap Vara.
Vana lalu menyebutkan makanan apa saja yang dia mau.
Waktu berlalu, tugas kelompok itu akhirnya selesai juga tanpa ada lagi keributan yang Vana lakukan.
Ken kembali mengantar Vara dan adiknya.
"Kak Ken, besok antar aku ke sekolah, ya!"
Itu bukan pertanyaan atau permintaan, tapi paksaan.
"Enggak bisa, besok pagi aku ada kuliah."
"Ya enggak apa, Kak. Aku kan hanya minta antarin, bukan minta ditemani seharian."
"Enggak mau. Kamu pergi saja sama sopir, kalau enggak mau ya enggak usah sekolah."
Ken berkata dengan ketus. Bukannya jahat, tapi ini dia lakukan agar Vana tidak menggangunya terus. Ken tahu, kalau Vana menyukainya. Bukan hanya Ken, bahkan semua keluarga mereka sangat tahu itu.
"Aku enggak mau tahu, pokoknya besok kakak jemput aku pagi-pagi!"
Vana langsung masuk ke rumahnya, tanpa ingin mendengar penolakan dari Ken lagi.
"Maafin Vana ya, Ken."
"Kenapa kamu yang harus minta maaf?"
"Karena Vana adikku, dia juga tanggung jawab aku sebagai kakaknya."
"Bukan kamu yang salah. Masuk gih, sudah malam."
Ken mengusap lembut rambut Vara, membuat gadis cantik itu merasa gugup. Ken tersenyum melihat wajah Vara yang memerah. Di balik jendela, Vana mengepalkan tangannya.
Sial, aku tidak akan pernah membiarkan kalian bersama!
Vana sudah rapih dengan seragam sekolahnya. Vana saat ini masih kelas tiga, selisih dua tahun dengan Vara dan Ken.
Di kamar sebelahnya, Vara juga sudah siap untuk pergi kuliah. Penampilannya sederhana, tapi selalu terlihat cantik.
Kedua orang tua mereka adalah pengusaha, meskipun begitu, Vara tidak pernah bersikap sombong dan memanfaatkan kekayaan keluarganya. Itulah sebabnya dia disukai banyak orang, dan sangat disayang oleh papa mamanya.
Vara dan Vana sama-sama keluar dari kamar mereka. Vana mendengkus saat melihat Vara yang tersenyum padanya.
"Pagi, Vana."
"Enggak usah sok ramah, deh. Di sini enggak ada kak Ken."
Vara menghela nafas. Selama ini adiknya itu selalu menganggap kalau dia selalu mencari muka di hadapan Ken dengan bersikap baik padanya. Padahal, Vara memanglah gadis yang baik. Dia juga sangat menyayangi Vana.
Tapi, dia juga tidak bisa membohongi diri sendiri kalau dia juga menyukai Ken, bahkan sejak mereka masih kecil. Haruskah dia mengalah demi adik satu-satunya itu?
Ken memang tampan, juga berasal dari keluarga terpandang. Banyak perempuan di kampus mereka yang menyukai Ken.
Tidak, bukan hanya di kampus, tapi sejak mereka sekolah, hampir semua gadis menyukai Ken. Ken tidak pernah menanggapi gadis-gadis itu. Hanya satu-satunya perempuan saja yang bisa dekat dengan Ken, yaitu Vara.
Vara tidak pernah memaafkan kedekatan kedua orang tua mereka agar bisa dekat dengan Ken. Semua mengalir begitu saja. Juga tidak pernah bersikap angkuh meski hanya dia yang bisa dekat dengan Ken, membuat gadis lainnya merasa iri. Tidak seperti gadis lainnya, jika bisa dekat dengan pria most wanted, langsung bersikap sombong.
Vana duduk di kursi makan, sesekali melirik jam tangannya, menunggu sang pujaan hati datang menjemput.
"Vana, kamu belum ke sekolah?"
"Lagi tunggu kak Ken, Pa."
"Ayo Van, kakak antar. Mungkin Ken tidak bisa menjemput kamu."
"Enggak mau, pokoknya aku mau pergi ke sekolah sama kak Ken. Kalau kak Ken tidak datang, ya aku enggak sekolah."
Papa dan mamanya menghembuskan nafas berat. Selalu seperti ini. Entah dari mana sikap keras kepala dan egoisnya ini berasal.
Apa yang dia mau, harus dia dapatkan. Untung saja Vara tidak seperti itu, bisa-bisa kedua orang tua mereka darah tinggi.
"Jangan seperti itu, Van. Tidak semua hal yang kamu mau, bisa kamu dapatkan."
"Ya harus dong, Ma. Mama sama papa kenapa sih, selalu enggak suka kalau aku dekat dengan kak Ken. Giliran Vara yang dekat, kalian malah senang. Pilih kasih!"
"Jaga bicara kamu, Vana. Tidak ada yang pilih kasih. Coba deh, kamu contoh kakak kamu itu. Kuliah dapat beasiswa, tidak pernah boros, dan mandiri."
"Tuh kan, banding-bandingin saja terus aku sama anak itu. Seharusnya dia sebagai kakak tuh ngalah sama aku. Sudah tahu aku suka sama kak Ken, dia malah main serobot aja. Kaya enggak ada cowok lain saja!"
"Van, sejak kecil Vara dan Ken memang sudah bersama, bahkan sebelum kamu lahir."
"Ya kan bukan salah aku kalau aku yang lahirnya belakangan. Pokoknya aku mau papa dan mama menjodohkan aku dengan kak Ken, titik!"
Vana lalu kembali ke kamarnya, sudah dipastikan Ken tidak datang untuk menjemputnya ke sekolah.
"Kenapa anak itu keras kepala sekali. Selama ini dia selalu saja menempel pada Ken."
"Pi, gimana kalau kita menjodohkan Ken dengan anaknya Vanya?" tanya Dania pada suaminya, Hendrick.
"Aku juga maunya begitu. Nanti aku akan bicara dengan Bryan.
Dania tersenyum. Sejak dulu dia memang ingin menjalin hubungan keluarga dengan sahabatnya, Vanya. Vanya adalah ibu dari Vara dan Vana.
Di kampus, Ken terus saja menghela nafas. Sejak tadi ponselnya terus saja berbunyi, pesan bertubi-tubi dari Vana. Ingin sekali dia memblokir nomor itu, tapi setelah itu Vana akan datang ke tempatnya, merengek atau marah-marah yang ujung-ujungnya Ken Haris mengajak Vana jalan ke mana sama gadis itu mau.
"Kamu kenapa?" tanya Vara.
"Enggak apa."
"Vana, ya? Tadi dia tidak sekolah karena kamu enggak jemput."
"Maaf ya, Var. Meskipun Vana itu adik kamu, dan anak dari om dan tante, tapi aku suka kesal dengan dia."
"Enggak perlu minta maaf. Justru kami yang seharusnya minta maaf kalau Vana selama ini sudah sering bikin kamu kesal."
"Aku tuh anggap dia adik, kamu ngerti kan maksud aku?"
"Iya, aku paham. Nanti juga lama-lama Vana bakalan ngerti."
Vara lalu terdiam. Dalam pikirannya, apakah Ken juga menganggap dia adik? Gadis itu menghela nafas pelan. Kenapa dia dan adiknya harus menyukai pria yang sama?
Ken dengan terang-terangan mengatakan kalau hanya menganggap Vana adiknya, itu pasti akan membuat Vana bersedih. Tapi yang namanya perasaan juga tidak bisa dipaksakan, kan?
"Ngomong-ngomong, dari sekian banyak gadis di kampus ini, apa tidak ada yang membuat kamu tertarik?"
"Ada."
"Hah, ada?"
"Iya. Dia baik, cantik dan pintar. Aku ingin sekali menikahinya, tapi takut ditolak."
"Serius?"
"Iya."
"Bagus deh kalau begitu. Ternyata ada juga perempuan yang bisa meluluhkan hati sahabat terbaikku ini."
Vara dan Ken tersenyum, sibuk dengan urusan masing-masing. Tidak jauh dari sana, Vana mengepalkan tangannya. Dia tidak suka melihat kedekatan Vara dan Ken.
Dasar,.dia pasti sudah Ngin menggoda kak Ken. Tidak akan aku biarkan.
"Kak Ken, kenapa Kak Ken tidak membalas satu pesan pun dariku? Kamu juga Kak Vara, kenapa malah dekat-dekat dengan pacar aku."
"Vana, aku itu bukan pacar kamu, enggak usah ngaku-ngaku, deh."
"Apaan sih Kak, Kakak itu pacar aku sejak kita masih kecil."
Namanya Vana tidak mau mendengar penolakan. Dia merangkul lengan Ken dengan mesra dan mendelik kesal pada kakak perempuannya itu.
"Jangan menjadi pihak ketiga di antara hubungan aku dengan Kak Ken!"
Orang-orang yang ada di sana langsung melihat ke arah mereka. Vara jadi merasa malu, mendengar orang-orang yang berbisik dan menatapnya dengan tatapan aneh.
"Jangan asal tuduh, Vana. Aku sama kamu itu enggak ada hubungan apa-apa."
"Ada. Sebentar lagi orang tua kita akan mengadakan pesta pertunangan kita."
"Jangan mimpi!"
"Siapa yang mimpi? Tadi aku dengar sendiri kok, papa Kak Ken menelepon papa aku dan membicarakan perjodohan kita. Kalau tidak percaya, coba saja telp!"
"Apa?"
Ken dan Vara sama-sama terkejut. Baru saja Ken mengatakan kalau hanya menganggap Vana itu adiknya, dan menyukai gadis lain. Vara menahan sedihnya. Rasanya dia tidak rela kalau pria yang diam-dia cintai itu, akan menjadi adik iparnya.
"Kan aku sudah bilang, apa pun yang aku mau, pasti akan aku dapatkan. Kita itu memang jodoh sejak kecil, Kak."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!