Di sebuah taman sekitar perumahan komplek elit sore itu menjadi tempat pertemuan sosok dua sahabat yang sama-sama tak pernah mendengar kabar masing-masing.
Lillia Zeni duduk termenung dengan barang jualannya yang masih tersisa. Air matanya menggenang di pelupuk mata indah itu.
“Kemana aku harus mencari uang tambahan lagi? Biaya persalinan tidaklah murah. Ya Tuhan, kenapa harus aku yang mendapatkan ini?” Sungguh Lillia benar-benar mengutuk pria yang membuatnya hamil saat ini. Entah siapa pria bej*at itu.
Sedangkan dari sisi jalanan kecil di taman itu tampak sepasang suami istri yang sedang diam-diaman.
“Zan, ayo istirahat dulu. Ingat kau sedang program hamil. Harus jaga kesehatan.” Firhan yang sebenarnya tak tahu lagi harus membujuk istrinya bagaimana agar tidak mendiamkannya terus.
“Aku sudah lelah, Mas. Aku lelah sekali setiap hari mendapat telpon dari Mamah. Apa aku ini harus membeli rahim orang biar pertanyaan itu hilang dari hidupku.” ucapnya tanpa perduli dimana mereka berada.
Momen yang seharusnya mereka nikmati dengan tenang minggu sore itu, tiba-tiba rusak karena di tengah joging mereka Zaniah mendapat telepon dari sang mertua.
Bahkan ia setiap hari harus meminum berbagai macam ramuan yang sang mertua kirimkan ke rumah mereka.
Firhan tahu mood sang istri sangat buruk sore itu. Ia tak mau permasalahan mereka di ketahui orang luar apalagi keadaan sangatlah ramai. Yang harus ia lakukan saat ini adalah menjaga sang istri agar aman bersamanya.
Hingga langkah itu tiba-tiba terhenti kala manik mata Zaniah menangkap sosok yang menghilang dari kehidupannya semenjak reunian terakhir setahun lalu.
“Zen,” panggilan yang sangat akrab itu membuat sang empunya nama menoleh. Hanya satu orang yang biasa memanggilnya seperti itu.
Matanya bertemu pandang dengan wanita cantik berpakaian olahraga serta topi yang melindungi wajahnya dari cahaya matahari sore itu.
“Zan,” Lillia Zeni yang akrab di panggil Zeni hanya untuk Zaniah sang sahabat turut memanggil balik nama sang sahabat.
Mereka tersenyum sama-sama dan saling berpelukan.
“Akhirnya aku ketemu kamu juga. Kenapa susah sekali mencarimu, Zen? Aku ke rumah bahkan ponselmu sudah aku lacak dengan orang suamiku. Tapi ponselmu sudah tidak pernah aktif lagi.” Panjang lebar Zaniah mengeluh sembari melepaskan pelukan mereka.
Wajah sedih Zeni kembali tampil di wajahnya itu. Ia menunduk, Zaniah tahu jika sang sahabat sedang ada masalah. Bahkan wajah cantik wanita di depannya kini sedikit dekil.
“Sudah jangan sedih, aku akan ada bersamamu. Oh iya kenalkan ini Mas Firhan. Dia suamiku. Mas, kenalkan ini Zeni. Sahabat yang selalu temanin aku saat kamu masih di luar negeri. Kamu ingatkan?” Zaniah tiba-tiba saja tersenyum seolah beban yang baru saja membuatnya marah meluap-luap kini hilang entah kemana.
“Em,” Fihran mengangguk pada Lillia dan tersenyum hangat.
“Wah jadi ini suami yang buat sahabat aku selalu ingin cepat tahun berganti? Selamat yah Zan, akhirnya hubungan jarak jauh kalian sudah berakhir. Pasti kamu bahagia banget kan sekarang secara dari menikah kalian selalu ldr-an.” Lillia berusaha membuat pikirannya baik-baik saja.
Sungguh dalam hati yang terdalam membuatnya ingin sekali berteriak, pada pria yang membuat hidupnya hancur seperti ini.
Tanpa ia sadari ucapannya yang tulus itu membuat senyum di wajah Zaniah hilang seketika.
“Zen, ini tidak seperti yang kamu kira…” ucapan Zaniah terpotong kala Firhan menggenggam tangan sang istri.
“Zaniah, seharusnya kita pulang. Hari sudah semakin gelas.” ucap Firhan segera. Namun, Zaniah menahan langkahnya yang di tarik sang suami.
“Zen, berikan aku ponselmu.” pintah Zaniah yang buru-buru.
Segera Lillia memberi ponsel pada sahabatnya itu.
“Oke, jangan ganti ponsel atau nomor lagi. Ingat ada aku,” Zaniah segera pergi tanpa sempat keduanya saling bertukar kesedihan.
Di perjalanan menuju rumah, Firhan memperingati istrinya.
“Zaniah, Mas peringatkan sama kamu baik-baik, Sayang. Kita sudah menikah, jangan menampakkan masalah rumah tanggamu atau pun menceritakan pada orang lain. Meski pun sahabatmu sendiri.” Mood Zaniah yang mulai membaik sontak buruk lagi.
Ia tak suka jika ada yang membuat garis di dalam persahabatannya dengan Zeni.
“Mas, aku tahu batasan dalam bergaul. Tapi aku tetap butuh teman berbagi, Mas. Zeni satu-satunya orang yang dari dulu selalu ada buat aku. Sekalipun saat kamu tidak ada.” tutur Zaniah kekeh.
Sejak kepulangan dari joging sore tadi hingga kini jam menunjuk angka setengah delapan malam, yang berarti saatnya makan malam. Firhan masih melihat sang istri sesekali menampakkan wajah kagetnya dan sedih serta tiba-tiba tertawa bahagia.
Ponsel yang ia genggam pun tak pernah lepas dari tangannya, dan itu sangat Firhan tak sukai. Ia merasa waktunya yang tersisa malam ini libur bekerja harus terbuang sia-sia dengan sang istri yang sibuk sendiri.
"Zaniah, ayo makan dulu. Taruh ponselmu, Sayang." ucap Firhan lemah lembut meski dalam hatinya ia sungguh ingin menegur sang istri yang tak sadar sudah mengabaikan suaminya itu.
Sejenak Zaniah pun menangguk dan meletakkan ponselnya hingga ia pun beranjak mengambilkan makan sang suami di meja makan dan meletakkan di sana. Firhan turut melangkah menuju meja makan. Makan malam berlangsung dengan hening.
Kehangatan yang biasa mereka dapatkan saat di meja makan penuh canda tawa kini sudah tak ada sejak permasalahan soal anak membuat Zaniah benar-benar sedih.
Dimana pikiran wanita itu terus saja mengingat waktu yang terus berjalan namun setiap bulan ia mengecek kandungannya hasilnya masih negatif. Belum lagi sang mertua yang kerap datang ke rumah itu saat Firhan tak ada. Sungguh Zaniah merasa terguncang. Meski dalam perkataan sang mertua, mereka hanya bertanya tanpa mengatakan apa-apa pada Zaniah.
Tetap saja bagi Zaniah itu sungguh tidak mengenakkan.
Usai makan dan membersihkan gigi dan wajah, keduanya kini berada di atas tempat tidur. Sesuatu yang masih berjalan hingga saat ini. Minggu malam adalah waktu mereka di atas tempat tidur sekedar menikmati acara televisi atau berbagi selimut tebal.
Di tengah-tengah keheningan, Zaniah bersuara. "Mas Firhan, boleh aku besok
menjenguk Zeni?" tanyanya pelan-pelan.
Firhan menoleh sejenak dan akhirnya ia pun balik bertanya. "Apa kau berjanji tidak akan menceritakan perihal masalah rumah tangga kita?" tanya Firhan yang sama sekali tak mau orang luar mengetahui pernikahan mereka di dalamnya.
Baginya orang luar cukup mengetahui tentang bahagianya mereka saja.
Zaniah pun mengangguk ia yakin tak akan membicarakan pernikahan mereka, sebab ia datang menemui Zeni hanya ingin menjadi pendengar sang sahabat yang sepertinya punya masalah. Yah, Zaniah sangat penasaran dengan ucapan Lillia Zeni yang mengatakan ada sesuatu yang terjadi padanya hingga menyebabkan ia hamil tanpa status dan tanpa seorang pria.
Sungguh jiwa penasaran Zaniah begitu besar, andai saja waktu bisa di percepat ingin sekali rasanya ia pergi malam ini juga.
"Iya, Mas. Aku tidak mungkin membicarakan rumah tangga kita. Bagaimana pun perihal rumah tangga kita adalah rahasia kita berdua. Aku tidak ingin orang tau apa yang kita hadapi." Senyuman cantik Zaniah mengembang di wajahnya. Dan itu
membuat Firhan ikut tersenyum juga dan membawa sang istri ke dalam pelukannya.
Keduanya menikmati waktu yang tersisa, dan besok Firhan sudah akan harus bekerja lagi.
Ruangan kamar yang dingin dan luas sungguh sangat di sayangkan terasa sunyi. Andai saja ada suara tangis bayi tentu ruangan itu sangat menyenangkan. Itulah pikiran Zaniah saat ini kala menatap ruangannya dengan tatapan yang kosong meski ia saat ini sedang berada dalam pelukan hangat sang suami.
Tanpa terasa malam itu mereka lewati dengan cepat, dan kini pagi sudah datang kembali menyapa.
Dengan tubuh segar dan semangat yang membara, Zaniah dan Firhan bangun bersamaan.
Keduanya tampak saling mengeratkan pelukan sebelum mereka beranjak dari tempat tidur.
"Selamat pagi istriku," Senyuman di wajah Zaniah membuat Firhan gemas untuk mencium bibir merah muda itu.
Dengan tawa bahagia terdengar Zaniah turut membalasnya. "Selamat pagi juga, suamiku." jawabnya mencium bibir Firhan penuh cinta.
Yah begitulah pernikahan mereka sejak tiga tahun ini, meski sering bertengkar mereka tetap menjadi pasangan yang romantis di kala pagi menjelang. Karena bagi mereka masalah kemari harus selesai dan di lupakan malam hari. Hari berikutnya tak ada lagi masalah itu berlanjut.
Meski yang terjadi sesungguhnya adalah satu masalah yang bertahun-tahun terus berlanjut di tiap waktu. Karena kehadiran bayi yang tak kunjung mereka dapat selalu menjadi
celah untuk Zaniah merasa tidak percaya diri.
Sarapan Zaniah siapkan sudah habis di santap Firhan sebelum pria itu berangkat bekerja. Mereka berpisah di depan halaman rumah yang berhias bunga-bunga adenium dengan bentuk
yang unik-unik. Yah Zaniah sangat menyukai bunga jenis itu. Hingga Firhan pun tak protes jika di rumahnya di penuhi jenis bunga adenium berwarna warni bahkan dengan akarnya yang banyak modelnya.
"Hati-hati yah, Mas." ucap Zaniah melambaikan tangan dan di balas bunyi klakson mobil dari Firhan.
Sesuai agenda hari ini, Zaniah akan pergi ke rumah milik sang sahabat yang sudah ia dapatkan alamatnya semalam.
Tak butuh waktu lama, Zaniah mengendarai mobilnya. Kini ia pun tiba di rumah sederhana milik Lillia Zeni.
"Zan," seru Lillia Zeni yang sudah menanti kedatangan sang sahabat.
"Zen," serunya bergegas lari memeluk sahabatnya.
Keduanya memanglah sangat dekat hingga mereka terlihat seperti adik kakak yang berbeda bulan lahir saja jika orang melihatnya.
"Ayo masuk, aku sudah buatkan cemilan dan es buatmu. Yah meskipun pagi tapi kamu masih Zaniah yang dulu kan?" gurau Lillia Zeni yang masih ingat kebiasaan mereka saat sekolah dulu.
Sekali pun pagi, jika mereka sudah berada di kantin sekolah. Keduanya akan menikmati minuman berperasa manis dan dingin itu.
Nyatanya pertemuan itu tak membuat Zaniah ingin membuang waktu lebih lama. Ia sudah tidak sabar untuk bertanya dengan sang sahabat.
"Zen, katakan padaku? Kemana saja kau selama ini? Bukankah kau bilang ingin melanjutkan kuliahmu? Mengapa di kampus aku bahkan tidak menemukanmu juga? Mengapa kau tidak mencariku, Zen? Lalu dimana pria yang menghamilimu? Apa benar kau tidak menikah dan sedang hamil? Kau tidak bercanda kan, Zen? Apa kau tak menganggapku sahabatmu? Lalu apa kau masih tinggal bersama ibu tirimu
itu?" pertanyaan Zaniah membuat Lillia Zeni hanya tersenyum tanpa berniat
menjawab.
Bukan tak berniat menjawab, melainkan ia lupa dan hanya mengingat satu pertanyaan terakhir sang sahabat. "Ibu tiriku sudah pergi bersama prianya, Zan. Yang kau katakan benar, dia hanya menunggu rumah itu laku dan meninggalkanku." Lillia Zeni tertunduk mengingat itu adalah rumah peninggalan sang almarhumah ayahnya.
Sebuah kamar
hotel mewah menjadi saksi bisu pergumulan panas seorang wanita paruh baya
dengan seorang pria yang tampak jauh lebih muda darinya. Keringat yang mengucur
deras serta erangan panjang menjadi aksi terakhir keduanya siang itu.
Senyuman
puas dari wanita di bawahnya tampak terbit dengan lebar. "Honey,
terimakasih. Kamu memang selalu terbaik. Tidak rugi aku menjadikan kamu
priaku." ucap wanita itu mengusap rahang berbulu halus milik pria di
atasnya itu.
"Tentu
saja, memang kau pikir aku ini suamimu yang sudah di di kubur itu?" ledek
pria berusia 28 tahun yang bernama Panji.
"Hon,
sudahlah. Jangan membahas pria itu. Aku muak mendengarnya. Aku ingin kau
memuaskan ku sebelum aku berpikir untuk membuka usahaku." wanita yang tak
lain adalah mantan ibu tiri Lillia Zeni itu kini sedang menikmati rasanya
memiliki uang banyak dan mendapat kepuasan dari pria berondngnya.
Windi
Sulastri, wanita berusia 40 tahun yang tengah gila dengan uang yang ia dapatkan
secara tidak adil dari anak tirinya.
"Bicara
tentang usaha, jangan lupa bagianku setiap bulannya. Ingat Win, aku sudah
berperan penting melancarkan aksimu itu. Bahkan jika tidak ada aku, kau pasti
akan selamanya hidup susah dengan si anak tirimu itu." hasut Panji yang
ingin memberi pikiran buruk pada Windi.
"Iya,
ia. Tenang saja. Terimakasih yah, kau sudah membuat Lillia memberikan semua
hartanya padaku. Yah meski sedikit uang itu kau suruh berikan padanya."
Windi kesal mengingat Panji memberikan sekitar lima juta pada Lillia sebelum
mereka pergi dari rumah.
Senyuman di
wajah Panji hanya terlintas sekilas tanpa Windi tahu. Namun, Windi tampak acuh
dan memilih memejamkan matanya dengan tubuh yang lelah. Sejenak Panji menatap
sinis wanita tua di depannya ini.
"Cih,
kalau tidak mengingat pendapatan jangka panjang dari wanita ini. Aku tidak akan
sudi menyentuhnya. Dasar bau tanah." umpat Panji dalam hati sembari
melangkah menuju kamar mandi. Ia ingin segera membersihkan tubuhnya.
Di saat
mandi dengan air di dalam bathup merendam tubuh pria itu, Panji teringat
bagaimana cantiknya wajah Lillia Zeni. Wanita yang sering kali menghinggapi
pikirannya akhir-akhir ini. Senyuman Panji terukir membayangkan bagaimana
Lillia tersenyum-senyum saat bersapa dengannya sangat sopan.
Sebelum
kejadian di mana Windi pergi dari rumah, Panji sering kali berpapasan dengan
Lillia di sekitar jalan rumah Lillia. Lillia yang memang memiliki sikap ramah terlebih
dengan orang sekitar rumahnya tak perduli penduduk asli atau pun orang ngontrak
mau pun kos.
"Honey!
Panji!" Teriakan Windi membuat Panji tersadar dari lamunannya. Segera ia
mencebik kesal.
"Huh
nenek tua mau apa lagi sih? Kirain sudah tepar!" umpat Panji segera
beranjak dari bathup.
Pintu kamar
mandi terbuka, nampaklah Windi mengerucutkan bibirnya manja. Sungguh wanita tua
itu tidak sadar dengan usia. Bukan menggemaskan yang Panji lihat dengan sikap
manja wanita itu. Yang ia lihat hanyalah wajah penuh keriput dan pori-pori yang
bertebaran di mana.
"Ada
apa?" tanya Panji singkat.
Tanpa
berkata apa-apa, Windi memeluk tubuh kekar dan bersih milik Panji. Ia
bergelayut manja di sana dan sesekali mengecup dada bidang milik Panji.
"Kau
pergi meninggalkan ku? Aku terbangun, Honey. Aku ingin mandi bersama mu
saja." Windi tanpa tahu malunya menuntun tubuh Panji masuk ke dalam bath
up.
Sebagai pria
yang di bayar, Panji hanya bisa pasrah dan menurut saja. Meski sebenarnya ia
sangat malas sekali.
Sedangkan di
sisi yang berbeda tampak Lillia sudah terisak di hadapan sang sahabat kala ia
menceritakan semua yang terjadi padanya. Bahkan Zeni sampai terbelalak tak
percaya mendengar Zeni sahabatnya di hamili oleh pria yang tidak ia tahu siapa.
"Zen,
apa kau sungguh tidak tahu pria itu?" tanya Zaniah sangat terkejut.
Lillia hanya
bisa mengangguk sembari menahan suara tangisnya. Segera Zaniah memeluk tubuh
sang sahabat, air matanya turut berjatuhan kala itu.
"Ya
Tuhan Zen, aku benar-benar tak menyangka jika hidupmu sesakit ini. Aku sangat
sedih mendengarnya. Bahkan aku berpikir selama ini hidupkulah yang paling
menderita." Zaniah baru merasakan ia tidak begitu menderita perihal sang
mertua dan anak yang belum ia dapatkan.
Melihat
konsidi Zeni yang menyedihkan hamil tanpa sosok suami, sungguh Zaniah masih
harus bersyukur akan apa yang ia dapat dari sang kuasa.
Setidaknya
masih ada Firhan yang begitu mencintainya sebagai sang suami.
Hingga waktu
yang mereka butuhkan bersama akhirnya terputus kala Zeni menerima sebuah
panggilan dari ponselnya. "Sebentar yah, Zen." ucapnya dan menjauh
kala melihat siapa nama pemanggil di ponsel miliknya.
Zaniah tahu
betul apa tujuan dari sang mertua menelponnya di siang hari ini.
"Iya,
Mah? Ada apa? Zaniah lagi di luar ini." ucapnya masih tetap hormat pada
sang mertua.
Di seberang
sana, tampak wanita paruh baya bernama Wuri Indah yang tak lain adalah mertua
Zaniah memutarkan bola matanya malas.
"Zaniah,
kamu ini lagi program hamil kok jalan tidak jelas sih? Pulang sekarang. Mamah
di depan rumah." tuturnya melihat pintu rumah sang menantu sudah terbuka
oleh asisten rumah tangga.
Segera
Zaniah pun menjauhkan ponsel dari telinganya kala sang mertua mematikan
panggilan telepon usai memarahinya singkat.
Zaniah
berbalik dan melihat Zeni menatapnya sendu. Zaniah tersenyum. "Zen,
maafyah. Aku harus pulang. Mertuaku di rumah ternyata. Besok-besok kita bicara
lagi. Sudah kamu jangan nangis. Kita cari jalan keluar bersama yah?"
Senyuman Zaniah dan pelukan itu seakan menjadi penguat untuk Lillia kala ia
benar merasakan hancur dalam hidupnya dan kesepian di saat yang bersamaan.
***
Mobil milik
Zaniah pun akhirnya terparkir di halaman rumah miliknya. Keningnya sedikit
mengernyit.
"Mamah
pakai mobil siapa yah? Ini mobil mahal dan mewah, lagi pula tidak mungkin Mamah
pakai mobil beginian. Ini kan anak muda banget?" batin Zaniah
menerka-nerka kala melihat mobil mewah berwarna merah menyala terparkir di
halaman rumahnya.
"Nyona,
mari saya bawakan tasnya. Di dalam ada Nyonya besar sama wanita muda,
Nyonya." sang pelayan tampak mengadu pada Zaniah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!