“Apa aku boleh memanggilmu dengan sebutan, Bulan?'
“Kenapa gitu?"
“Karena aku menemukanmu di ujung malam, kamu bikin malam gelapku jadi lebih terang!"
“Aku sayang kamu, aku mau sama kamu, kamu beneran mau sama aku? Kita sama-sama sampai akhir, kan?”
“Bulan dan Bintang akan selalu sama-sama berdua lewatin malam!”
Rangkaian chat dari seseorang cinta virtual terus berkelana di kepala Meysa. Sudah setahun berlalu, tapi ia sama sekali belum sepenuhnya lupa akan kenangan yang diukir bersama laki-laki yang dipanggilnya dengan sebutan Bintang. Nama aslinya Kai'ulani, hanya saja dulu pria itu menyebutnya Bulan dengan alasan ia menemukannya pada pekatnya malam. Sedangkan Meysa pun turut memanggilnya dengan sebutan Bintang. Tentunya dengan alasan yang sama.
Kala itu Meysa berada pada titik terberat dalam hidupnya. Perpisahan kedua orang tua membuat Meysa begitu terpuruk hingga keisengannya membawa dia mencoba sebuah fitur chat random dengan seseorang di sebuah aplikasi dan mempertemukannya dengan sang Bintang.
Kenal dengan seseorang seperti Bintang membuat hari-hari Meysa jadi lebih berwarna, terlebih lagi mereka selalu bercerita banyak hal. Bahkan Bintang selalu bisa membuatnya tertarik dengan setiap sajak yang diberikan padanya. Meysa memang mempunyai keahlian dalam merangkai kata, bahkan ia juga terbilang sering menyalurkan bakat halunya di sebuah platform baca tulis novel online. Punya kesamaan suka merangkai diksi menjadi sajak indah membuat Meysa makin nyaman dengan pria pemilik nama Asli Kai'ulani itu.
Hanya berawal dari ketikan, mereka akhirnya saling jatuh cinta, setiap saat bertukar cerita melalui pesan. Bahkan setiap hari melakukan panggilan video, layaknya anak muda yang kasmaran pada umumnya. Hanya saja, beberapa bulan setelah itu Bintang yang pernah berjanji akan mengukir kisah bersama malah meninggalkan Meysa saat sedang sayang-sayangnya. Entahlah, ia sama sekali tak tahu apa alasannya. Tiba-tiba saja pria itu mendadak tak bisa dihubungi, membuat ia harus merasakan galau yang berkepanjangan pada saat itu. Padahal Meysa benar-benar sudah mantap ingin menjadikannya tujuan hidup dan bersiap menanti sampai nanti waktunya bertemu tiba. Namun, kini semua hanya tinggal kenangan. Meski begitu Meysa masih menyimpan semua foto dan obrolan dengan Kai yang sempat ia cadangkan dan arsipkan.
“Mey, Meysa!"
Suara seseorang yang berteriak memanggil namanya membuat ingatan tentang kenangan manis yang pernah ia ukir bersama sang Bintang harus buyar. Meysa yang duduk di meja kasir menoleh pada sosok Rena, sahabatnya yang mendekat sambil membawa dua mika bakso bakar dan sosis bakar.
“Makan Mey. Aku lapar, mumpung masih sepi dan yang lain belum kembali.”
“Makanlah, Ren, aku tidak berselera!” Meysa menjauhkan minuman Boba dan makanan yang Rena sodorkan di hadapannya barusan.
“Kenapa lagi? Galau?"
“Sok tau kau, Ren!"
“Siapa yang tidak tahu, Meysaroh? Kau ini Queen of galau everytime and everyday."
Bersahabat dengan Meysa sejak masih mengenakan seragam abu-abu, tentu membuat Rena hafal mati dengan setiap gerak-gerik sahabatnya itu. Bahkan bau kentutnya pun dia hafal. Bisa dibilang setiap napas yang Meysa hembuskanpun juga Rena hafal, mana yang hembusan napas kebahagiaan dan mana hembusan napas kesedihan. Benar-benar ikatan batin yang kuat, bukan?!
Ya, Meysa dan Rena berasal dari salah satu kota kabupaten di barat Sulawesi. Hanya saja kini keduanya sedang berada di ibu kota provinsi yang ada di bagian tengah Sulawesi. Meysa bekerja di toko florist milik Kakak Ipar yang merupakan asli sana.
Sedangkan Rena adalah seorang guru di salah satu sekolah dasar, malas pulang kampung, Ia memilih honor disana. Biasanya kalau tidak sibuk, Rena sering turut membantu di toko.
Meysa sendiri tak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Selain karena pada saat itu hubungan kedua orang tuanya benar-benar memanas membuat ia tak bersemangat melakukan apapun. Bahkan selepas orang tuanya resmi berpisah beberapa bulan sebelum ujian akhir.
“Biar kutebak ....” Rena menelisik wajah Meysa dengan tatapan memicing, sudah seperti pakar ekspresi yang tengah mengamati raut wajah seseorang.
“Galau karena Bintang kecilmu itu lagi?”
Ya, tebakan Rena memang tak pernah meleset. Semenjak menjadi anak broken home, tak ada hal lain yang membua Meysa terlalu galau kecuali masalah keluarga, Uang dan Bintang kejora yang ternyata bisa hilang itu. Selebihnya ia sama sekali tak pernah ambil pusing.
Melihat Meysa tak protes atas jawabannya dan malah merebahkan kepala ke atas meja membuat Rena naik pitam. “Kenapa juga kamu masih ingat-ingat cowok itu, sudah nyata di depan mata ada yang suka tapi tetap saja mengharapkan yang semu, sadar Mey! Dia itu tidak nyata!"
“Move on, Mey, move on! Sudah setahun!”
“Jangan buang-buang waktu mengharapkan orang yang tidak menginginkanmu. Kamu bukan tujuannya!" ucap Rena dengan setengah ngegas. Salah sedikit sudah bisa ikut balap liar suara si Rena ini.
“Cowok itu sudah menghilang setelah berhasil baperin kamu lewat ketikan dan sajak-sajak bangsatnya itu! Jatuh cinta kok sama ketikan!" protes Rena tidak suka. Membuat Meysa yang masih setia menempelkan wajah di meja memutar bola matanya. Rena kalau sudah ngomel mengalahkan ibu-ibu galak.
“Cowok itu, cowok itu! Namanya Kai, Ren, Kai'ulani. Panggil saja Bintang!" sanggah Meysa. Gadis bodoh itu masih saja membela pria yang sudah hilang ditelan bumi. Sepertinya akal sehatnya sudah mati. Otaknya sudah dipenuhi cinta virtualnya itu. Sehingga sulit untuk menyaring omongan Rena yang mulutnya sudah berbusa karena harus memberinya siraman qalbu setiap saat.
“Masih saja dibela!" Rena memutar mata malas sambil menyentil kening sahabatnya yang begonya sudah stadium akhir.
“Auwwwh, sakit RenTenir!" pekik Meysa.
“Makanya sadar!"
“Tuh, kasihan anak orang sudah terlalu lama kamu gantung, kamu anggurin seperti jemuran!” tunjuk Rena pada sosok pria jakung yang selalu menyempatkan diri untuk menjemput Meysa setiap sore, sepulang kerja.
Meysa mengarahkan pandangan pada sosok Erza yang baru saja memarkirkan motor tepat di area parkir depan toko.
“Kasih kepastian padanya, Meysaroh! Jangan juga kau gantung dia terlalu lama. Jangan mentang-mentang si Bintang itu menyakitimu, lalu kamu juga balas menyakiti hati orang yang tak berdosa."
“Aih, Ren, kalau masih ingin ceramah, kamu ke mesjid lah, Ren!" Dengan santainya Meysa justru melangkah pergi saat melihat Erza muncul dari balik pintu kaca sambil menenteng sebuah kresek dengan senyum sumringah melangkah ke arah mereka.
“Aku ke toilet dulu."
Rasanya Rena ingin meruqiyah Meysa agar bisa keluar dari bayang-bayang pria itu, Rena tahu Meysa hanya sedang berusaha menghindari Erza. Sahabatnya itu memang selalu mendadak badmood tiap kali mengingat si Bintang. Padahal sudah banyak pria yang mendekatinya, tapi tak ada satupun yang Meysa beri kepastian. Ia selalu saja memberikan harapan-harapan palsu padahal ia sama sekali tak berniat menerima Salah satu diantara mereka. Hanya Erza saja yang masih sabar menanti dan berusaha meluluhkan hati Meysa yang sekeras batu itu.
.....
Hai- hai, selamat datang di cerita sederhana tentang sebuah perjuangan dua orang yang pernah menjalin hubungan virtual dan masih mengharapkan satu sama lain.😁
Ini ada biodata + visual dari tokoh utama dalam cerita :
_MeysaRoh
_BangKai
Happy Reading all.. Semoga suka yah🤗
Cukup lama Meysa berdiam diri di toilet. Begitu keluar ia tak hanya mendapati Rena dan Erza disana, karyawan toko florist kakak yang sedari siang pergi mendekor kini sudah kembali ke toko. Bahkan sore pun perlahan memudar berganti gelap, bersamaan dengan suara azan yang mulai berkumandang dari beberapa mesjid terdekat di kawasan itu.
“Dari mana saja, Mey. Lama sekali, kamu habis bertapa di toilet, ya?” ucap Rena memberi komentar.
Meysa sama sekali tak berniat menjawab pertanyaan sahabatnya itu. Ia lebih memilih mengobrol dengan karyawan lain, berbasa-basi menanyakan kelancaran dekorasi untuk aqiqah dan acara lamaran siang tadi. Selain menjual berbagai macam buket florist, usaha milik kakak iparnya itu juga menyediakan jasa dekorasi untuk acara.
“Bemana tadi, kak?"
“Aman sekali Mey. Yang punya acara puas dengan hiasan dekornya kita, sesuai request kata!"
“Dia orang bilang lebih bagus daripada de pe gambar!”
“Wih, bagus sekali sudah kalau begitu kak!" ucap Meysa dengan aksen logat kota itu. Hanya saja ia jarang menggunakannya ketika berbicara dengan Rena.
“Eh, kamu orang te pulang? So maghrib ini?" Sahut salah seorang wanita dewasa yang baru muncul sambil membawa keranjang berisi beberapa bunga juga ada kresek berlogo mini market.
“Ini so mau pulang, kak. Cuma tadi Meysa lama bertapa di wc,” sindir Rena. Gadis itu langsung menunjuk Erza yang tengah asyik mengobrol dengan salah satu karyawan, sorot mata Rena seakan menegaskan jika Ia sedang memperingatkan Meysa agar tidak mengabaikan pria tersebut, apalagi dia sudah rela capek-capek menunggunya.
Wanita dewasa bernama Pida itu hanya mengangguk kemudian kembali berkata “Eh, Mey. Kalau pulang kau bawa ini bunga stau, sama ini."
Meysa menerima kresek berlogo salah satu mini market itu dari tangan Pida. Kresek yang berisi beberapa macam Snack. Membuat Meysa bisa menebak tugas apa yang akan diberikan padanya.
“Ada yang pesan snack buket, Mey. Dua! satu full silverqueen, satu di mix saja!"
“Ini uang untuk beli kain wrap.”
“Eh, Ndak usah kak, di rumah masih banyak kain wrapku." tolak Meysa, tangan kirinya langsung meraih keranjang kecil berisi bunga yang akan dijadikan hiasan tambahan untuk snack buketnya nanti. Ya, gadis ini memang kerap kali mendapat tugas tambahan membuat Snack buket.
Lenyap sudah niat akan menulis untuk update novelnya yang sudah di komen banyak pembaca yang menantikan kelajutan cerita Karangannya. Sudah dipastikan akan ada banyak notifikasi dan dm dari penggemarnya yang menagih karena sudah tiga hari tidak up.
Begitu selesai mengobrol, Meysa, Rena dan Erza segera keluar dari toko.
“Heh Meysaroh, sini itu motor!" Teriak Rena ketika Meysa sudah menyusun barang bawaannya di depan dan bersiap untuk naik, membuat keningnya mengkerut heran.
“Sana, kau sama Erza! Kasian anak orang kau abaikan, sudah rela-rela bajemput juga.”
Kalau urusan mengabaikan Erza, Rena memang kerap kali menjadi orang yang paling pertama memprotesnya.
“Ck, kau saja yang kesana!"
“Ih, bagaimana ceritanya Mey. Yang PDKT kamu orang, masa iya saya yang boncengan.” Penolakan Meysa membuat Rena makin ngegass. Membuat Erza yang sudah berada di motor tengah menunggu Meysa hanya tersenyum. Semoga saja pria malang itu tidak dengar! Rena membatin.
Akhirnya setelah didesak, Meysa mau berboncengan dengan Erza. Gebetan yang digantungnya sejak zaman prasejarah, saking lamanya tidak diberi kepastian! Erza sudah hampir menyerupai peninggalan sejarah yang harus diabadikan di museum. Untung Erza tak mudah rapuh dan berkarat. Kalau tidak, mungkin sudah lama dia patah hati dan menyerah karena Meysa tak kunjung membuka hati untuknya.
“Kita temenan saja lah, Za! Kalau pacaran terus putus nanti tidak seru lagi.” Begitu kata Meysa setiap kali menolaknya.
“Aku ini mau jadi jomblo abadi yang hidup tenang tanpa pacaran sampai bertemu jodoh. Aku tidak ingin tambah dosa untuk orang tua kalau harus pacaran, Za!”
Kadang juga Meysa mendadak jadi alim dan menjadi mama Dedeh demi untuk menyampaikan siraman rohani bahwa dia tidak ingin pacaran hanya karena takut jadi beban Bapak dan beban dunia. Itu tidak bagus untuk masa depannya di akhirat kelak.
“Dosa anak perempuan itu ditanggung Ayahnya, kalau aku pacaran berarti aku jadi donatur dosa untuk bapakku. Cukup jadi beban dunia, aku tidak mau jadi beban untuk Bapak!"
Padahal dia sendiri kadang buka tutup aurat seenaknya. Bukankah itu juga termasuk mendonasikan dosa ke Ayah? Hmmnt dasar Meysaroh!
Motor yang mereka kendarai berhenti tepat di lampu merah persimpangan jalur dua dari arah toko. Disusul dengan Rena yang juga berhenti tepat di samping mereka. Tidak cukup 10 menit, mereka akan segera sampai di kompleks perumahan tempat tinggal ketiganya. Kebetulan Erza juga tinggal di perumahan yang sama, begitupun dengan Rena yang memutuskan ngekos di kostan milik keluarga kakak Ipar Meysa.
“Ke hutan kota yuk,” celetuk Rena. Wajah yang biasa galak itu kini kelihatan sumringah.
“Yok!”
“Pergi saja sendiri!"
Sahut Meysa dan Erza secara bersamaan, membuat Rena langsung mengerucutkan bibir ketika mendengar jawaban Meysa.
“Aku kan mau bikin buket, Rena!”
“Oh iya, lupa.” Rena cengengesan sambil tepuk helm yang melindungi jidatnya. Anggap saja sedang tepuk jidat.
”Lagi pula Erza pasti capek dari pulang kerja, Iya toh, Za?" Meysa mencolek punggung Erza.
“Kalau saya sembarang, oke oke saja!”
Obrolan itu harus berakhir ketika lampu lalu lintas berubah jadi hijau dan semua kendaraan mulai melaju, berganti dengan lampu merah yang membuat kendaraan dari dua arah berlawanan di depan berhenti.
Tiba di depan rumah, Meysa langsung turun. Ia tersenyum sambil mengucapkan terimakasih pada Erza. Kalau Meysa sudah bisa tersenyum, itu artinya dia sudah tak lagi mengingat sang Bintang.
“Mey!"
“Ya?"
“Kenapa chatku dari kemarin tidak kau balas?" tanya Erza.
“Hah?”
“Kamu nanya? kamu bertanya-tanya?” celetuk Meysa yang malah menirukan kata-kata yang sedang viral. Membuat Erza menyerngit heran.
“Mau diruqiyah kamu, Mey?!" Erza yang tahu kalau mood Meysa sudah kembali baik pun ikut dibuat terkekeh mendengar celetukan gadis yang memang memiliki tingkah agak nyeleneh.
“Kena virus cepmek, ya!” Keduanya lalu tertawa bersama.
“Maaf ya Za, aku belum sempat upgrade WA, sudah kadaluarsa!"
Mendengar jawaban Meysa, Erza lalu mengangguk. “Diupdgrade lah Mey, siapa tau juga perasaanmu padaku bisa terperbaharui!” canda Erza yang membuat keduanya kembali tertawa.
Setelah Erza pergi, Meysa langsung mendorong pagar besi dengan tinggi sepinggang orang dewasa itu. Beruntung Meysa cukup tinggi, jadi bisa dikatakan setinggi pinggangnya. Ya, walau sebenarnya ia tak terlalu tinggi, tapi ideal untuk ukuran tinggi wanita Indonesia.
“Sana tidur!" cebik Meysa saat menoleh ke kanan, malah mendapati Rena tangah senyum-senyum sendiri dengan posisi masih di atas motor.
“Atau mau bantu bikin buket?"
Rena menggeleng dengan senyum yang masih mengembang seperti adonan donat.
“Seperti tadi kan adem, Mey. Kamu terlihat seperti orang normal yang mau membuka hati."
Meysa hanya bisa memutar mata malas mendengar ocehan unfaedah sahabatnya itu. Rena memang selalu menganggapnya orang tak berperasaan setiap kali mengabaikan laki-laki yang mendekatinya, terutama Erza. Bahkan si Ren-tenir itu selalu menghardiknya seolah dirinya sudah tidak normal karena tidak tertarik pada laki-laki.
“Dasar suporter setan!" Panggilan itu memang sengaja Meysa sematkan sebab Rena selalu mendukungnya melakukan dosa, salah satunya mendorongnya untuk terus pacaran dengan Erza.
“Pendukung garis keras segala jenis dosa!”
“Eh, enak saja kamu, Mey!" teriak Rena tak terima. Sedangkan Meysa lebih memilih mengacuhkannya dan masuk ke dalam rumah yang berada tepat di samping kosnya.
𝑵𝒂𝒎𝒖𝒏, 𝒑𝒂𝒅𝒂 𝒂𝒌𝒉𝒊𝒓𝒏𝒚𝒂 𝑨𝒌𝒖 𝒎𝒖𝒍𝒂𝒊 𝒎𝒆𝒏𝒄𝒐𝒃𝒂 𝒕𝒆𝒓𝒃𝒊𝒂𝒔𝒂 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒂𝒅𝒂𝒂𝒏
𝑴𝒆𝒏𝒄𝒐𝒃𝒂 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒌𝒖𝒂𝒕 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒔𝒊𝒔𝒂 𝒍𝒖𝒌𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒌𝒊𝒏𝒊 𝒎𝒂𝒔𝒊𝒉 𝒌𝒖𝒓𝒂𝒔𝒂𝒌𝒂𝒏
𝑴𝒆𝒔𝒌𝒊𝒑𝒖𝒏 𝒕𝒆𝒓𝒌𝒂𝒅𝒂𝒏𝒈 𝒂𝒌𝒖 𝒎𝒂𝒔𝒊𝒉 𝒕𝒆𝒓𝒖𝒔 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒂𝒚𝒂𝒏𝒈𝒌𝒂𝒏
𝑺𝒆𝒃𝒖𝒂𝒉 𝒄𝒆𝒓𝒊𝒕𝒂 𝒌𝒍𝒂𝒔𝒊𝒌 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒆𝒍𝒂𝒍𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒂𝒓𝒊 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒊𝒏𝒈𝒂𝒕𝒂𝒏
𝑾𝒂𝒍𝒂𝒖 𝒌𝒖𝒕𝒂𝒉𝒖 𝒊𝒕𝒖 𝒉𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒔𝒆𝒃𝒖𝒂𝒉 𝒌𝒆𝒏𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒂𝒔𝒊𝒉 𝒔𝒖𝒍𝒊𝒕 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒌𝒖𝒍𝒖𝒑𝒂𝒌𝒂𝒏
𝑻𝒆𝒓𝒊𝒎𝒂𝒌𝒂𝒔𝒊𝒉 𝒚𝒂 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒌𝒆𝒏𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒆𝒓𝒖𝒋𝒖𝒏𝒈 𝒑𝒂𝒅𝒂 𝒔𝒆𝒃𝒖𝒂𝒉 𝒑𝒆𝒓𝒑𝒊𝒔𝒂𝒉𝒂𝒏
______________________________________________
Jam baru menunjukkan pukul 7.30, tapi suasana sepi sudah menyambut kedatangan Meysa ketika baru saja menginjakkan kaki di ruang tengah. Biasanya kakak iparnya masih mengayun sang anak sambil menonton tv disana. Namun kini rumah kelihatan begitu sepi, sepertinya Kakak dan keluarga kecilnya pergi ke rumah mertua, batin Meysa.
Meysa langsung menyalakan lampu begitu masuk kamar. Tak langsung menuju kamar mandi, sejenak ia merebahkan diri di ranjang berlapis seprei gambar keroppi. Saking sukanya dengan keroppi, hampir seisi kamar itu bernuansa hijau keroppi, persis kamarnya di kampung. Mulai dari wallpaper dinding, gorden, bahkan sampai seluruh perintilan yang ada menggunakan motif kodok bermata besar itu, kecuali lemari pakaiannya.
Selesai mandi, Ia mulai membuat orderan Snack buket setelah mempersiapkan seluruh bahan dan peralatan. Dengan lantunan musik yang menemani, tangan Meysa terlihat begitu telaten dan lihai merangkai setiap bahan membentuk sebuah buket yang indah.
Meysa nampak puas melihat hasil karyanya. Sambil tersenyum ia lalu memotret asal dua buket tersebut secara bergantian. Tak perlu mengedit hasil potretan Meysa sudah sangat memuaskan. Ia kemudian mengunggah gambar buket tersebut di Ig dan WA.
“Alhamdulillah done untuk orderan besok! Thanks God!" Tulis Meysa pada caption, tak lupa menandai akun resmi toko florist tempatnya bekerja.
Usai membereskan semua, Meysa langsung membasuh wajah untuk menghilangkan rasa ngantuk. Malam belum begitu larut, ia berniat menulis beberapa bagian untuk ceritanya. Namun, saat sedang menghapus sisa lelehan air di wajahnya. Meysa yang tengah berdiri di depan cermin seketika terpaku ketika mendengar penggalan lirik dari salah satu lagu.
🎶
Hei, masihkah kau memikirkanku?
Terkadang kumenangis bila mengingatmu
Dulu penuh bahagia, kukira kau terakhir
Dan kuberikan segalanya
Dan waktu pun berjalan
Aku merindukanmu berkali-kali
Tapi kau tak mendengar
Malah inginkan aku untuk berhenti
Aku tak mendengar kabarmu lagi
Kutakut tak mampu tak memikirkanmu
Lagu yang mewakilkan perasaannya pada Bintang. Sial, laki-laki itu lagi! Perasaannya kembali diluluh lantahkan. Ingatan pada kisah sederhana dengan Bintang kembali membuatnya sedih. Ia benar-benar tersiksa berada pada situasi ini. Dengan air mata yang hampir menetes, Meysa menjatuhkan dirinya di tempat tidur.
“Kenapa aku belum bisa menghapus namamu dari hati dan pikiranku?” Meysa mulai bermonolog sambil menatap sosok dalam foto tengah tersenyum sambil memangku gitar. Dulu pria itu memang selalu meberitahukan setiap kegiatan yang dilakukan, kalau bukan melalui video call, terkadang juga hanya sebuah foto.
“Aku jug tersiksa kalau harus begini terus!” lirih Meysa. Jarinya terus tergerak membaca setiap rangkaian pesan yang pernah Pria itu kirim. Semuanya masih lengkap, tak ada satupun yang dihapusnya.
__________
Bintang :
Di ujung khatulistiwa aku menunggu, menunggumu yang jauh di tengah nusantara, meski jarak terasa begitu jauh, tapi aku percaya, lewat rumah kita yang sederhana ini, lewat ruang virtual kita yang kecil ini, aku bisa merasakan keberadaanmu di dekatku, begitu nyata. Tetap baik-baik saja ya di seberang sana!😊
Dari jantungnya andalas aku titip kan sepenggal rasa rindu melalui angin malam, untukmu yang jauh di tanah celebes sana.
________
“Kenapa menghilang!” Meysa tak lagi bisa membendung air matanya. Ia ingat betul bagaimana dulu hatinya berdebar saat membaca pesan itu.
“Kamu jahat, Kai!" ucap Meysa menyebutkan Bintang dengan nama aslinya.
“Kalau aku bukan tujuan seharusnya dulu kamu gak bikin aku berharap sampai sejauh ini!"
Setelah menghapus air matanya, ia kembali menunduk. Kini jemarinya sampai di sebuah bait sajak yang lagi-lagi mampu memporak-porandakan rasanya. Dia memang begitu mengenaskan kalau sedang sendirian, apalagi jika mengingat tentang pria itu! Hubungan sederhana tanpa pernah bertemu langsung tapi mampu membuat hatinya sejatuh ini.
____________
Bintang :
Malam ini rintikan hujan kembali membasahi daratan...
Perlahan namun mampu membentuk genangan kerinduan...
Tiap rintikannya memang bukanlah mampu membasahkan
Namun cukup untuk kembali mengingat semua angan yang masih menari dalam ingatan...
Tatkala semua lampu jalanan padam
Aku terkurung sendirian dalam kegelepan.
Bertemankan kesunyian dan suara sayup rintikan hujan...
Dari balik ruang kecil ini, aku kembali berimajinasi akan mimpi dan semua ekspektasi...
Seakan berhalusinasi berbalutkan kata mimpi...
Aku berharap semua akan terjadi...
Puisi ini kelak akan jadi bukti, betapa aku merasakan rindu dalam sunyi...
Rindu akan dirimu yang jauh di sisi..
Rindu akan semua hal yang ingin kita lalui...
Sebait puisi sederhana kurangkai spesial untukmu di tengah kesyahduan malam dan merdunya rintikan hujan...
Baik-baik di sana ya, sayang! I love you😘
___________
Meysa kembali menelungkupkan kepala di atas bantal untuk meredam suara tangisnya. Perasaannya pada pria itu memang sudah sedalam ini, dia dibuat seperti orang gila tak berakal. Sudah setahun tapi rasa itu masih abadi hingga kini. Padahal dia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk lupa, tapi tetap sia-sia. Untuk menerima orang baru saja rasanya begitu sulit.
Masih dalam posisi tengkurap, Meysa menolehkan kepalanya ketika mendengar suara pintu dibuka. Membuat party kesedihannya harus hancur, dia harus segera memakai topeng untuk menutupi wajah mengenaskan karena cintanya.
“Kau kenapa?" sosok pria dengan garis wajah mirip dengannya mendadak heran tatkala menatap wajah sembab itu. Namanya Faza, dia adalah kakak Meysa satu-satunya. Sudah menikah dan memiliki dua anak.
“Menangis kenapa kau Mey?”
Sial! Meysa lupa, sepandai-pandainya ia berganti mimik wajah dalam sepersekian detik, itu jelas tak bisa menutupi wajah sembab akibat menangis. Ia masih berusaha cengengesan di bawah mata bengkak itu.
“Hehe, ini tadi habis nonton drakor, kak." Bohong Meysa pada sang kakak.
Seharusnya tadi ia mengunci pintu, jadi acara galaunya itu tidak harus terganggu begini. Hmmmnt!
“Sampai menangis begini?"
“Ya, mau bagaimana lagi, kan sedih!”
Faza, Kakak Meysa itu bergeming. Ia menarik sebuah kursi dekat lemari kemudian duduk disana.
“Bukannya Kakak sedang di rumah Tante Ida?" Meysa mencoba mengalihkan pembicaraan.
Faza menyerngit mendengar pertanyaan sang adik, “Yang bilang kesana siapa?" ucap Faza yang justru balik bertanya.
“Tebak sendiri!"
“Tidak, tadi Kami makan di luar. Kamu ditunggu tapi ndak pulang-pulang!”
Meysa yang tadinya sempat mengira Faza sekeluarga pergi ke rumah mertua hanya manggut-manggut mendengar penuturan sang kakak.
“Kau sudah makan?” tanya Faza yang hanya dijawab gelengan oleh Meysa.
Ya, kalau diingat-ingat gadis dengan rambut dikuncir asal itu memang belum makan sejak siang. Tadi Erza memang sempat membawakan makanan untuknya, tapi tak ada satupun yang ia cicipi.
“Makan dulu sana, habis itu kita bicara sebentar!”
“Nantilah kak, belum lapar.” Meysa yang tadi masih rebahan langsung memperbaiki posisi ketika tahu Faza ingin mengatakan sesuatu.
Kalau sudah seperti ini, pasti ada hal penting yang ingin kakaknya katakan. Biasanya tentang dirinya yang selalu menjadi topik utama dalam gibahan para ibu-ibu kompleks hanya karena ibu Erza yang tidak suka lihat anaknya mendekati Meysa. Ya, ibu dari pria yang menyukainya itu tak rela melihat anaknya dekat-dekat dengan Meysa. Alasannya hanya karena meysa tak berpendidikan juga tak memiliki pekerjaan yang setara dengan Erza yang merupakan PNS muda. Hal ini pula yang menjadi salah satu alasan Meysa enggan memberikan kepastian pada pria tersebut.
Gosip yang beredar itu biasanya sampai di telinga Eka, kakak iparnya. Namun, istri Faza itu enggan menyampaikan langsung padanya karena pernah berselisih hanya karena Meysa mengabaikan semua dan sama sekali tak mau ambil pusing.
“Kak Eka dengar cerita apa lagi?" tebak Meysa. Sebenarnya sikap Eka yang terkadang cuek membuatnya tak betah. Namun gadis yang sudah menanamkan kebiasaan untuk tak ambil pusing dan memilih tak tahu diri untuk tetap bertahan disana. Toh ini juga rumah kakaknya. Begitu Meysa berpikir.
Faza menggeleng. “Bukan soal itu, Mey!"
“Lalu?" Kening Meysa mengkerut penasaran.
“Tadi Mamak menelepon, katanya kau ndak pernah angkat teleponnya?" tatap Faza dengan penuh selidik. Membuat Meysa membuag pandangan ke sembarang arah.
“Dek!” Faza mendekati Meysa, begitu duduk di samping adiknya. Sulung dari dua bersaudara itu langsung merangkul Meysa. Ia tahu betul apa yang membuat Meysa enggan menjawab telepon dari Ibu mereka.
“Sesekali angkatlah, Mey. Kasihan mamak, dia juga mau tahu keadaanmu!" bujuk Faza. Meski kadang galak dan tegas tapi ia tetap tahu situasi. Jika Meysa dalam mode seperti ini, seketika Faza memperlakukannya dengan begitu lembut. Itulah yang membuat ia begitu mengagumi kakak satu-satunya ini, di balik ketegasannnya Faza masih menyimpan kelembutan seperti ini.
“Coba besok kau telepon mamak, tanya kabarnya! Biar bagaimanapun dia tetap ibu kita, Mey!"
Semenjak orang tuanya resmi berpisah, Meysa yang kecewa pada kedua orang tuanya menunjukkan aksi protesnya dengan cara seperti ini. Berubah jadi cuek.
“Kalau tidak mau, kau kupulangkan ke kampung. Tinggal di rumah biar ada yang urus bapak!"
“Isss!" Meysa melepas diri dari rengkuhan Faza. Ia menyerah, setiap kali mencoba membangkang, Faza selalu saja mengancam akan memulangkannya. Sebenarnya jika ingat sang Ayah yang tinggal sendiri Meysa selalu merasa kasihan, tapi ia pun tak bisa mengenyampingkan egonya. Tak mendapat keharmonisan seperti dulu dimana kedua orang tuanya masih bersatu membuat Meysa tak betah berada di rumah.
“Mau telepon mamak atau tidak?" tanya Faza sekali lagi.
“Aih, kak!" rengek Meysa yang mencoba menolak.
“Ya sudah besok langsung kuantar ke kampung!"
Melihat Faza sudah mengambil keputusan dan bersiap beranjak membuat Meysa harus menyetujui keinginan sang kakak.
“Ck, iya iya, besok kutelpon!”
“Nah, ini baru adekku! Kalau tidak mendengar nanti kau kuusir!" Faza terkekeh sambil mengacak-acak rambut Meysa.
“Salah satu contoh kakak zolim ya begini, adek sendiri mau diusir!"
Faza makin terkekeh mendengar celetukannya. “Adek model begini memang pantas dizolimi!"
Bisa bercanda seperti ini membuat Meysa sejenak bisa melupakan kesedihannya.
“Tidur Mey, tidur! Besok Eka ada penyuluhan kesehatan di Doda, jadi kau harus siapkan tenaga untuk jaga Gia!” ucap Faza sambil menyebut nama anak keduanya yang baru berusia enam bulan.
Meysa hanya bisa menerima nasibnya mendengar ucapan Faza. Ia memang selalu jadi baby sitter dadakan setiap kali kakak iparnya melakukan perjalanan dinas. Di rumah maupun di toko florist Meysa memang selalu mendapat tugas tambahan! Meski begitu dia tetap menerima dengan lapang dada, toh jaga bayi atau bikin buket merupakan sesuatu yang menyenangkan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!