"Pagi, Vin," sapa Angel.
"Pagi, Ngel. Drian mana?" tanyaku.
"Nggak tau. Mungkin masih tidur."
"Emang ya, tu anak. Dia bilang jangan sampai telat, eh malah dianya yang telat."
Sebelum memulai cerita, ada baiknya aku memperkenalkan diri terlebih dahulu.
Namaku Alvin. Umurku 18 tahun. Aku lahir, tinggal, dan besar di desa kecil berpenduduk dua puluh kepala keluarga bernama Florida.
Kulitku berwana kuning langsat. Tinggiku sekitar 175 centimeter. Mata serta rambutku berwarna hitam.
Tampangku terbilang sangat tampan untuk seukuran orang desa.
Teman-temanku biasa memanggilku Vin, dan yang baru saja menyapaku adalah sahabatku, Angel.
Seperti namanya, Angel yang berarti malaikat, dia ini sangat cantik. Dia punya rambut hitam lurus sebahu. Matanya coklat ... atau mungkin cenderung hitam.
Umurnya sama sepertiku, 18 tahun. Tingginya sekitar 165 centimeter, tidak terlalu tinggi, tapi boleh lah.
Yang paling istimewa darinya adalah, dia punya kulit putih bersih dan wajah super duper manis.
Berkat kecantikannya itu, banyak pemuda desa yang mencoba mendekatinya, tapi tidak ada satu pun yang direspon, termasuk aku. Ya, aku.
Sekitar satu tahun yang lalu, aku pernah menyatakan perasaan padanya.
"Eh, Vin ... ka-kamu serius?" respon Angel kala itu.
"Iya, kamu mau nggak jadi pacarku?" ulangku.
Belum juga menjawab, dia tiba-tiba lari begitu saja.
Ok, lupakan soal itu.
...
Setelah satu jam menunggu, sahabatku yang paling tampan dan paling tepat waktu, siapa lagi kalau bukan si Drian, dia akhirnya datang.
"Woi, dari mana aja lu ...? Katanya kumpul jam tujuh? Ini udah jam delapan gila!" gerutuku.
"Maaf, Vin. Tadi Emak minta ditebangin pohon dulu. Jadinya agak lama. Eh, ngomong-ngomong, rapi amat lu," balas Drian.
"Yeee ... kita kan mau ke kota. Ya harus rapi lah," balasku sambil merapikan baju.
"Iya dah ... terserah lu aja. Ya udah, ayo berangkat," kata Drian.
Drian ini seumuran denganku. Dia punya wajah tampan, kulit kuning langsat, tinggi sekitar 174 centimeter, mata dan rambutnya berwarna hitam.
Kalau harus diadu, menurutku aku sedikit lebih tampan darinya, setidaknya itu pendapatku, tapi selera orang kan beda-beda.
...
Singkat cerita, aku, Angel, dan Drian memulai perjalanan menuju Kota Borneo yang berjarak kurang lebih lima jam dari desa kami, Desa Florida.
Kami berangkat dengan berjalan kaki melewati jalur hutan dan pegunungan, mengingat desa kami berada di wilayah yang sangat terpencil dan jauh dari peradaban.
Tujuan kami pergi ke kota yakni untuk mengambil lisensi prajurit bayaran, setelah sebelumnya kami mendapat kabar bahwa kami lolos seleksi yang kami ikuti beberapa minggu yang lalu.
Apa itu prajurit bayaran? Prajurit bayaran adalah semacam perkerja lepas yang direkrut oleh sebuah guild untuk menjalankan misi yang mereka terima dari orang-orang.
Guild sendiri adalah sebuah organisasi yang menerima atau menampung permintaan misi dari orang-orang dengan imbalan sejumlah uang.
Prajurit bayaran biasanya memiliki beberapa tingkatan ranking, mulai dari rank D sampai rank S+. Rank D adalah yang terendah, sedangkan rank S+ adalah yang tertinggi.
Semakin tinggi tingkatan ranknya, maka tingkatan misi yang bisa diambil akan semakin tinggi, dan semakin tinggi tingkatan misi yang diambil, maka bayaran yang didapat juga akan semakin besar.
Karena baru memulai, kami akan mengawalinya dari rank D, dan tentu saja misi yang akan kami terima nantinya hanyalah misi mudah dengan bayaran kecil.
Alasan kenapa kami memutuskan untuk menjadi prajurit bayaran karena kami ingin mengumpulkan uang sebanyak banyaknya.
Kami punya dua impian. Pertama, kami ingin mendirikan guild kami sendiri suatu saat nanti, dan yang kedua adalah kami ingin membangun desa kami untuk menyejahterakan semua orang di dalamnya.
Demi bisa mewujudkannya, kami perlu banyak sekali uang. Maka dari itu, kami berniat mengumpulkan uang sebanyak banyaknya dengan menjadi prajurit bayaran sebuah guild, sebelum akhirnya mewujudkan satu per satu mimpi besar kami.
...
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih lima jam, kami akhirnya sampai di kota tujuan; Kota Borneo.
Begitu sampai di sana, kami langsung menuju Guild Fairy cabang Borneo, guild tempat kami mendaftar sebagai prajurit bayaran.
Sebenarnya ada banyak guild yang tersebar di seluruh penjuru negeri, dan Guild Fairy adalah salah satunya.
Alasan kenapa kami memilih Guild Fairy karena guild tersebut adalah guild terbaik di seluruh negeri.
Saat pertama kali memasuki salah satu dari sekian banyak cabang Guild Fairy yang tersebar di berbagai macam penjuru negeri, aku cukup tercengang karena melihat begitu banyak lelaki kekar berotot yang berkumpul di sana.
"Wedeh ... itu gimana latihannya sampai punya otot kayak gitu?" gumamku takjub sekaligus heran.
"Mungkin mereka minum suplemen ...?" balas Angel.
"Udah sih. Biarin aja. Kepo amat lu," kata Drian.
"Woi, napa liat-liat ...?" Tiba-tiba salah seorang pria menegurku karena sedari tadi aku terus melihatnya.
"Oh, maaf. Aku cuma mengagumi otot kalian yang nampak sangat menawan indah dipandang," balasku dengan kata-kata puitis, dengan alasan agar pria tersebut tidak marah.
"Oh, kau punya mata yang bagus, Sobat," balasnya sambil tersipu malu.
Entah kenapa, aku agak geli sewaktu melihat pria kekar berotot itu tiba-tiba tersipu malu.
"Vin, ngapain malah diam di situ? Buruan sini!" teriak Drian yang tanpa kusadari sudah berada jauh dariku.
"Ok," balasku.
"Sampai jumpa, Pria Berotot."
"Woke," balasnya, si Pria Berotot.
Aku kemudian menghampiri Drian dan Angel yang sedang menunggu di depan meja resepsionis.
"Ngapain sih lu di sana?" tanya Drian.
"Nggak, cuma ngobrol bentaran aja," balasku.
"Ini lisensi kalian," kata mbak-mbak petugas guild sambil menyodorkan tiga kartu bergambar dan bertuliskan nama kami bertiga.
"Terima kasih, Mbak," balas Drian, sementara aku terus melihat gambarku di kartu tersebut.
"Kenapa, Vin?" tanya Angel.
"Nggak ... aku cuma nggak percaya aja ... kita bener-bener jadi prajurit bayaran sekarang," balasku, masih sambil melihat gambarku sendiri.
"Udah nggak usah lebay. Ayo ke papan misi," kata Drian sambil berjalan menjauh.
"Hoi, hargai orang dikit napa! Dasar nggak peka!" bentakku.
"Hehehehe ...." Angel cuma tertawa.
Setelah itu, kami mulai menghampiri papan misi yang terletak di salah satu sudut ruangan.
"Berburu rusa ... menebang pohon ... berburu ayam hutan ... apa-apaan misi ini? Apa nggak ada yang lebih keren?" Aku cukup kesal karena semua misi yang ada di papan misi rank D hanya berisi hal-hal semacam itu.
Sebelumnya aku memang sudah menduga kalau misi rank D pasti hanya berisi misi-misi receh dan mudah dengan bayaran kecil, tapi aku tidak menduga kalau akan sereceh ini.
"Kita kan masih rank D. Jadi, mau bagaimana lagi," kata Drian.
"Tapi bayarannya lumayan lo ... 50 gale, 100 gale, ada yang 500 gale juga," kata Angel.
"Iya sih, tapi kan ...."
Gale adalah mata uang yang digunakan di negara kami, Negara Tenes.
Sedikit informasi, satu gale sama dengan satu dolar Amerika di dunia nyata.
"Kita ambil yang ini aja. Memburu buaya lepas di danau pinggiran kota. Hadiahnya lumayan, 500 gale," kataku.
Drian tiba-tiba ... ah, apa ya namanya ... menangkap mungkin ... Drian tiba-tiba menangkapku.
"Woi, napa lu ...?" tanyaku.
"Udah ketangkep, nih," balas Drian.
"Eh ...?!" Aku kebingungan untuk sesaat, tapi saat berikutnya aku akhirnya sadar maksud Drian.
"Woi, lu pikir gua buaya ...?"
"Emangnya nggak?"
"Sialan!"
"Hehehehehehe ..." Angel cuma tertawa.
...
Singkat cerita, kami akhirnya sampai di danau yang terletak di pinggiran Kota Borneo untuk menjalankan misi memburu buaya lepas.
"Ini serius kita mau nyari buayanya di sini?" Aku agak syok sewaktu melihat danau besar yang terhampar di hadapanku.
"Iya, udah buruan ... ntar keburu malem," kata Drian sambil melepas bajunya.
Kami memulai perburuan itu sore hari.
"Angel, kamu di sini aja. Biar aku sama Alvin yang nyari," imbuh Drian.
Angel pun mengangguk.
Setelah bertelanjang dada, Drian langsung menceburkan diri ke dalam danau.
"Sial ... kayaknya aku salah ngambil misi." Aku agak menyesali keputusanku merekomendasikan misi tersebut.
Awalnya, kupikir danau yang dimaksud adalah danau kecil seperti danau-danau yang ada di sekitaran desaku. Jadi, kupikir itu tidak akan menjadi misi yang sulit, tapi ternyata danaunya sangat luas. Luasnya mungkin sekitar sepuluh kali lipat lapangan bola.
"Vin, hati-hati," kata Angel.
"Woke, siap, Beb." Aku sigap merespon.
Setelah bertelanjang dada, aku juga langsung menceburkan diri ke dalam danau.
Aku dan Drian pun berenang-renang dan menyelam di dasar danau untuk mencari keberadaan hewan buruan kami.
Satu jam mencari, kami tak kunjung menemukan tanda-tanda keberadaan hewan buruan kami.
Dua jam mencari, bahkan sampai menjelang malam, kami belum juga kunjung menemukan keberadaan buaya yang kami cari.
Karena tak kunjung menemukan keberadaan hewan buruan kami, aku dan Drian pun memutuskan kembali ke tepian danau.
"Gimana, Yan? Udah mau malem nih. Apa kita lanjut besok aja?"
Aku biasa memanggil Drian dengan panggilan Yan.
"Ya, mau gimana lagi. Nggak mungkin juga kita nyari malem-malem," balas Drian.
"Terus, hari ini kita mau tidur di mana? Apa kita pulang dulu aja?" tanya Angel.
"Eh, bener juga ...?!" Aku dan Drian baru sadar.
Karena sudah terbiasa tidur di hutan setiap kali menebang pohon, aku dan Drian jadi tidak terlalu memikirkan soal akan tidur di mana. Di mana pun jadi, asalkan bisa berbaring. Akan tetapi, karena kali ini Angel ikut bersama kami, kami jelas tidak mungkin tidur di sembarang tempat. Mau menginap di penginapan juga tidak mungkin karena kami tidak punya cukup uang.
"Ya udah, gini aja, hari ini kita pulang dulu, besok kita balik lagi ke sini, tapi Angel nggak usah ikut. Biar aku sama Alvin aja," kata Drian.
"Nggak mau. Kita kan satu kelompok. Jadi, aku juga musti ikut," kata Angel.
"Toh, kamu juga nggak ngapa-ngapain juga kan ...?" gumamku.
"Tega banget sih kamu, Vin ...." Angel agak ngambek.
"Becanda kok ...." Aku mencoba menghiburnya, tapi Angel masih saja cemberut.
Di saat kami sedang berunding ...
Splash!
Tiba-tiba ada suara percikan besar dari tengah-tengah danau.
Aku dan Drian pun langsung menoleh.
"Buruan, Vin!" teriak Drian.
"Ya!" balasku.
Tanpa pikir panjang, aku dan Drian langsung menceburkan diri ke dalam danau karena berpikir kalau percikan tersebut disebabkan oleh hewan buruan kami.
Sesampainya di tengah-tengah danau, kami berdua akhirnya menemukan penyebab dari percikan sebelumnya, tapi karena hari sudah hampir malam, kami jadi kesulitan melihat di dalam air.
Kami Pun mencoba semakin mendekat.
Di saat kami sudah bisa melihat lebih jelas, kami seketika mematung karena melihat ...
Saat kami sedang berunding ...
Splash!
Tiba-tiba ada suara percikan besar dari tengah tengah danau.
Aku dan Drian pun langsung menoleh.
"Buruan, Vin!" teriak Drian.
"Ya!" balasku.
Tanpa pikir panjang, aku dan Drian langsung menceburkan diri ke dalam danau karena berpikir kalau percikan tersebut disebabkan oleh hewan buruan kami.
Sesampainya di tengah-tengah danau, kami berdua akhirnya menemukan penyebab dari percikan sebelumnya, tapi karena hari sudah hampir malam, ditambah kami juga sedang menyelam di dalam air, kami jadi kesulitan melihat.
Kami mencoba semakin mendekat, dan saat kami bisa melihat lebih jelas, kami seketika mematung karena melihat sesosok mahluk raksasa mirip ular yang sedang melilit tubuh buaya besar.
Drian lalu memberiku aba-aba kembali ke daratan dengan tangannya, sementara aku langsung mengangguk, tanda mengerti.
Kami berenang kembali ke tepian danau dengan sekuat tenaga, namun juga setenang mungkin agar tidak menarik perhatian mahluk tersebut.
"Huanjir ... itu tadi apaan woi ...!" Aku cukup histeris sesampainya di tepian danau.
"Baru kali ini gua ngelihat yang kayak begitu." Drian juga cukup histeris.
"Kenapa?" tanya Angel yang menghampiri kami dengan raut bingung.
Splash!
Tiba-tiba mahluk yang kami lihat sebelumnya muncul ke permukaan danau.
"Huanjir!" Aku semakin histeris setelah melihat wujud mahluk tersebut.
Sebelumnya, aku hanya bisa melihat wujudnya samar-samar karena kurangnya cahaya, tapi sekarang aku bisa melihat wujudnya dengan jelas.
Mahluk tersebut mirip ular, tapi punya kepala mirip singa dan punya tanduk mirip banteng. Tubuhnya bersisik hitam legam.
Ukurannya sangat panjang dan besar, cukup panjang untuk melilit seekor buaya besar.
Mahluk tersebut melihat ke arah kami dari kejauhan.
"Ayo, buruan pergi!" kata Drian.
"Ya!"
Kami berniat bergegas meninggalkan danau tersebut. Akan tetapi, baru beberapa langkah, aku langsung berhenti karena suatu alasan, sedangkan Drian dan Angel tetap berlari menjauh.
"Manusia ... tidak perlu takut. Aku tidak akan melukai kalian." Aku berhenti karena mendengar suara monster tersebut terasa seperti masuk ke dalam otakku.
"Apa kau baru saja mengatakan tidak akan melukai kami?" tanyaku pada monster tersebut.
"Apa kau bisa mendengar suaraku?" Suara monster itu terdengar seperti terkejut dan tidak percaya.
"Ya, aku bisa mendengarmu," balasku.
"Vin, cepat lari! Kenapa malah diam di sana?" teriak Drian.
Karena Drian dan Angel kelihatan sangat panik, aku jadi berasumsi kalau mereka tidak mendengar apa yang baru saja monster itu katakan.
"Yan, Ngel, nggak perlu lari. Katanya dia nggak bakal ngelukai kita," kataku.
"Haaaa?! Ngomong apa sih lu ...? Monster itu kan mahluk buas! Mana mungkin dia cuma sekadar lewat!" teriak Drian.
"Sepertinya, kalian para manusia salah paham dengan kami. Kami, para monster sebenarnya tidak suka bertarung dan melukai manusia. Kami hanya akan bertarung saat benar-benar terpaksa." Lagi-lagi, ucapan mahluk tersebut terasa langsung masuk ke dalam otakku.
Aku cukup tersentak mendengar kalimat yang baru saja diucapkan monster tersebut.
Seperti yang Drian katakan, monster di dunia ini dikenal cukup beringas dan suka melukai manusia, tapi entah kenapa, monster yang ada di hadapanku saat ini malah mengatakan yang sebaliknya.
Aku tidak tau mana yang bisa dipercaya, tapi menurut penilaianku, sepertinya benar apa yang dikatakan monster di hadapanku ini.
Setelah mengatakan itu, monster tersebut langsung menyelam kembali ke dalam danau.
Aku cukup lega karena monster tersebut hanya sekadar lewat.
Bukannya apa-apa, kalau harus bertarung sekalipun, aku yakin satu juta persen aku pasti menang. Yang jadi permasalahannya adalah, aku ini orangnya gelian dengan binatang melata. Maka dari itu, aku sangat lega karena tidak perlu bertarung dengan monster tersebut.
Namun, karena pertemuan tersebut, aku jadi penasaran akan kalimat yang monster itu katakan, tentang monster yang tidak suka melukai manusia.
"Kenapa, Vin?" tanya Angel.
"Lu baik-baik aja kan?" tanya Drian.
"Nggak, tadi ...."
Aku ingin menjelaskan soal yang sebelumnya, soal kalimat yang monster itu katakan, tapi entah kenapa, aku malah mengurungkannya.
"Nggak ... bukan apa-apa kok."
Tidak lama berselang setelah monster tersebut menyelam kembali ke dalam danau, hewan buruan yang kami cari tiba-tiba terlempar ke tepian danau, seperti sengaja dilempar dari dalam danau.
Kami benar-benar keheranan akan peristiwa aneh yang baru saja kami alami.
"Ayo lupakan kejadian ini. Anggap aja kejadian ini nggak pernah ada," kata Drian.
"Ya." Aku dan Angel menyetujuinya.
...
Malam itu juga, kami langsung membawa hewan buruan kami ke Guild Fairy untuk ditukar dengan imbalan yang sudah dijanjikan.
"Ini imbalan kalian, 500 gale."
"Terima kasih banyak," balasku.
Setelah itu, kami langsung pergi meninggalkan guild dan berkeliling kota untuk mencari makan.
"Mau makan apa kita malam ini?" tanya Drian yang berjalan di sampingku.
"Gimana kalau sate? Kayaknya enak," jawabku sambil menunjuk warung sate di pinggir jalan.
"Aku pingin makan kebab," kata Angel.
"Wah ... boleh tu. Kebab kayaknya enak," kata Drian.
"Sate, woi ... sate ... gua nggak doyan kebab," gerutuku.
"Ya udah dah, sate. Nggak papa kan, Ngel ...?" tanya Drian.
"Iya, nggak masalah kok."
Singkat cerita, malam ini kami memutuskan makan sate di warung pinggir jalan.
Sambil menunggu pesanan datang, kami mulai membicarakan tentang kejadian di danau tadi.
"Vin, tadi lu kenapa ...?" tanya Drian.
"Aku juga penasaran," imbuh Angel.
"Oh, soal itu ...."
Awalnya aku agak ragu untuk menjelaskan, tapi karena mereka adalah sahabat dan orang yang paling bisa kupercayai, aku pun menjelaskan.
"Tadi tu ... gua ngerasa kalau suara monster itu masuk langsung ke otak gua. Kayak semacam telepati gitu lah. Dia bilang kalau para monster sebenernya nggak suka ngelukai manusia."
Drian dan Angel kelihatan cukup syok dan terkejut setelah mendengar penjelasanku.
"Kok gua nggak denger ya?" tanya Drian.
"Ya, gua juga nggak tau. Makanya itu, gua bingung," balasku.
"Vin, jangan-jangan ...."
"Jangan-jangan ...?" Aku cukup penasaran akan apa yang ingin Drian katakan.
"Apa jangan-jangan ... lu ini ...."
"Ngomong yang bener, woi! Jangan bikin penasaran!" bentakku.
"Vin, mungkin lu itu sebangsa ama mereka. Makanya lu bisa denger suara mereka," kata Drian.
"Ngaco lu ...."
"Iya, mana mungkin Alvin sebangsa ama mereka," kata Angel.
"Yeeee ... kan gua bilang juga mungkin," kata Drian.
Saat kami sedang sibuk berbincang, tiba-tiba ...
"Hei, Manis, mau nemenin Abang nggak malam ini?"
Tiba-tiba ada segerombolan orang tidak jelas yang mencoba menggoda Angel.
"Hoi, Karung Beras, siapa lu ...? Dateng-dateng ngegodain bini gua!" Sarkastik adalah jalan ninjaku.
"Ka-Karung Beras ...?" Si Karung Beras kelihatan kesal.
"Kenapa ...? Nggak terima? Ngaca sono ngaca!"
Ucapanku mungkin kasar, tapi aku juga tidak akan sampai mengatakan hal semacam itu kalau orang ini, iya, si Karung Beras, dia tidak sampai mencari gara-gara lebih dulu.
"Udah, Vin, udah. Nggak perlu diladenin," kata Angel, sedangkan Drian hanya bersantai sambil meminum segelas teh panasnya, seolah-olah dia ingin menyuruhku meladeni si Karung Beras dengan cara sopan.
"Hoi ... ikut gua," kata si Karung Beras sambil memberi kode mengajakku keluar dari warung tersebut.
Sebagai pria jantan yang tak gentar membela yang benar, aku pun meladeni kemauannya.
Kami kemudian keluar dari warung tersebut.
"Lu tadi bilang gua Karung Beras, kan?"
"Kenapa ...? Masih nggak terima?" balasku.
"Gua habisin lu di sini," kata si Karung Beras.
"Oh ... gitu ... ok."
Aku kemudian membuka baju.
"Kenapa lu malah buka baju?" tanya si Karung Beras.
"Gua nggak mau aja baju gua kotor kena darah lu," balasku.
"Yan, pegangin bentar, Yan." Aku memberikan bajuku pada Drian.
"Buruan. Maju sini. Perut gua udah laper ni," kataku.
Setelah aku membuka bajuku, si Karung Beras tiba-tiba diam seribu bahasa.
"Kenapa ...? Katanya mau nyikat gua ...?"
"Bang, maaf, Bang. Tadi gua hilaf."
Si Karung Beras yang awalnya sok keras, tiba-tiba lembek seperti kertas.
"Ayo, cabut." Si Karung Beras dan kelompoknya tiba-tiba pergi begitu saja.
"Dasar aneh. Tadi katanya mau ngajak ribut," gumamku keheranan.
"Mana berani dia liat tubuh lu," kata Drian.
"Emang kenapa ama tubuh gua?" tanyaku.
"Liat noh," kata Drian sambil memberikan kode untuk melihat sekitar.
Aku pun melihat ke sekitar dan mendapati banyak orang sedang melihat ke arahku.
Aku memiliki tubuh ramping, tapi kekar berotot dipenuhi begitu banyak luka sayatan yang masih membekas.
Semua luka itu kudapat dari latihanku selama ini bersama Drian dan juga luka-luka dari sayatan cakar hewan buas seperti singa hingga serigala yang sering kujadikan bahan latihan.
Baru setelah itu, aku akhirnya menyadari kalau orang-orang mungkin takut setelah melihat tubuhku.
Aku pun kembali memakai bajuku, lalu kembali ke dalam warung sate.
Keesokan harinya, aku, Drian, dan Angel pergi ke guild untuk mengambil misi.
"Masih belum ada misi baru, kah?" Aku agak kecewa saat melihat daftar misi yang ada.
"Sementara ayo ambil misi yang ada dulu," kata Drian.
Karena misi yang tersedia hanyalah misi-misi receh dan mudah, kami memutuskan untuk membagi kelompok menjadi dua agar bisa mengambil dan menyelesaikan lebih banyak misi dalam waktu singkat.
Aku akan menjalankan misi bersama Angel, sedangkan Drian sendirian.
Kamim mulai mengambil banyak misi, mulai dari misi pengawalan hingga misi perburuan, kami ambil semuanya.
Hanya dalam kurun waktu tiga hari, kami berhasil menyelesaikan banyak misi dan mendapatkan total penghasilan sebesar kurang lebih sepuluh ribu gale.
Kami hanya mengambil misi yang memiliki hadiah di atas seratus gale dan mengabaikan misi receh. Alasannya karena kami tidak mau membuang banyak waktu hanya untuk menjalankan misi receh seperti mencari kucing hilang, mencari herbal, ataupun berburu ayam hutan. Misi-misi semacam itu hanya akan menguras banyak waktu dengan imbalan tak sepadan.
Selain mendapat banyak uang, kami juga berhasil mendapat cukup banyak pencapaian.
Total, kami berhasil mengumpulkan 670 poin pencapaian. Butuh 330 poin lagi untuk bisa naik ke rank C, mengingat untuk bisa naik ke rank C setidaknya membutuhkan total 1.000 poin pencapaian.
...
"Masih belum ada misi baru kah?" Lagi-lagi, aku kecewa karena misi yang ada hanya itu-itu saja.
"Apa lebih baik kita pulang dulu ke desa sambil menunggu misi baru?" tanya Angel.
"Ya, kita pulang saja dulu ke desa. Tetap tinggal di kota cuma akan menguras lebih banyak uang," kata Drian.
"Kalian ini kelompok yang sudah menyapu banyak misi rank D, kan?" Tiba-tiba ada pria tampan nan rupawan yang menegur kami dari belakang.
Perkiraanku, umurnya mungkin sekitar tiga puluhan tahun.
"Siapa lu?" tanyaku.
"Sopan dikit napa woi!" Drian menegurku.
"Hahaha ... tidak masalah. Maaf karena tiba-tiba menegur kalian. Namaku Luis Amstrong."
"Namaku Drian, ini sahabatku, Alvin, dan yang ini Angel." Drian memperkenalkan kami pada pria bernama Luis Amstrong itu.
"Kalau boleh tau, ada perlu apa Anda menemui kami?" tanya Drian.
"Aku sudah mendengar beberapa hal tentang kalian. Aku ingin memberi kalian misi ekslusif, itupun kalau kalian bersedia."
"Berapa imbalannya?" tanyaku.
"Seratus ribu gale."
"Se-Seratus ribu gale ...?!" Aku, Drian, dan Angel syok mendengarnya.
"Kenapa Anda memberikan misi semahal itu pada kami? Bukannya misi semahal itu seharusnya diberikan pada rank B atau bahkan rank A?" tanya Drian.
"Kudengar, kalian adalah kelompok paling efisien dalam menyelesaikan misi. Kalian juga berhasil mendapat hasil tes tertinggi. Jadi, aku ingin memberikan misi ini pada kalian secara langsung, tapi kalau kalian tidak bersedia, aku juga tidak akan memaksa."
"Tunggu ... apa misinya?" tanyaku.
"Mengantar kotak sebuah ke Wali Kota Lisbon."
"Cuma itu?" tanyaku.
"Ya, cuma itu ... tapi kalian tidak boleh sampai menghilangkan ataupun membuka isi kotaknya ... apa pun yang terjadi." Pria itu sedikit memberi penekanan pada ucapannya.
"Apa yang terjadi kalau kami sampai gagal?" tanya Drian.
Pria itu tersenyum, lalu menjawab, "Kepala kalian yang akan menjadi bayarannya!"
Glup! Aku dan Drian seketika menelan ludah.
Drian tiba-tiba merangkulku dan Angel.
"Kayaknya misi ini aneh banget deh," bisik Drian.
"Aku juga berpikir begitu," bisik Angel.
"Tapi hadiahnya lumayan lo," bisikku.
"Jadi kita ambil nggak?" tanya Drian.
"Ambil aja udah," bisikku.
"Ngikut aja dah," bisik Angel.
Kami mengakhiri perundingan kami setelah bersepakat.
"Jadi bagaimana?" tanya si pria bernama Luis.
"Baiklah, setelah melakukan perdebatan dan perundingan panjang, kami memutuskan untuk mengambil misi dari Anda," jawab Drian.
"Kalau begitu, aku akan mendaftarkan misinya lebih dulu. Kalian bisa tunggu di sini sebentar."
"Baik," balas Drian.
Alasan kenapa misi harus didaftarkan agar prajurit bayaran yang mengambil misi tersebut mendapat pencapaian.
Tanpa peningkatan pencapaian, seorang atau sekelompok prajurit bayaran tidak akan bisa naik ke rank yang lebih tinggi.
Setelah menunggu cukup lama, si pria bernama Luis itu akhirnya kembali sambil membawa kotak kecil di tangannya, cukup kecil untuk digenggam dengan satu tangan.
"Antarkan kotak ini pada Wali Kota Lisbon. Dengan begitu, misi kalian selesai."
"Cuma itu ...?" tanyaku yang masih belum percaya kalau misi semudah itu punya imbalan semahal itu. Seratus ribu gale, itu bukan jumlah yang sedikit.
"Ya, cuma itu," jawabnya sambil tersenyum.
Entah kenapa, perasaanku langsung tidak enak saat melihat senyum pria bernama Luis itu.
...
Singkat cerita, kami memulai perjalanan menuju Kota Lisbon yang berjarak kurang lebih sekitar sepuluh jam perjalanan dari Kota Borneo.
"Apa sih yang ada di dalam sini? Kok harganya bisa sampai semahal itu?" gumamku sambil melihat setiap sisi kotak yang kupegang.
"Mungkin isinya berlian atau semacamnya ...?" sahut Angel.
"Atau mungkin juga surat penting ...?" imbuh Drian.
"Kalau cuma itu, kenapa nggak dibawa sendiri aja? Emang mereka nggak takut benda ini kita bawa kabur apa?" tanyaku.
"Mungkin karena rute menuju Lisbon agak seram. Dari tadi aja kita cuma ngelewatin hutan belantara," kata Drian.
Sesuai yang Drian katakan, rute dari Kota Borneo menuju Kota Lisbon memang cukup seram karena rute ini melewati hutan belantara dan pegunungan.
Maklum saja, Kota Borneo ini terletak cukup terpencil jika dibandingkan dengan kota-kota yang lain. Maka dari itu, rutenya juga susah dilewati.
Selain itu, rute ini juga cukup terkenal menakutkan karena biasa digunakan para bandit untuk mencari mangsa.
...
Setelah menempuh lima jam perjalanan, kami akhirnya sampai di sebuah perkampungan.
Kampung tersebut tidak terlalu besar. Hanya ada beberapa rumah yang terlihat berjejer satu sama lain. Gaya bangunannya juga agak kuno. Mungkin karena rumah-rumah di sana terbuat dari kayu.
"Istirahat bentaran yuk ... gua capek banget nih," kata Drian.
"Iya, gua juga," balasku.
Berhubung hari sudah menjelang malam, ditambah kami juga cukup kelelahan, kami memutuskan untuk singgah sebentar di perkampungan tersebut.
"Kampung ini kok rasanya aneh banget, ya ...?" kata Angel sambil celingak-celinguk ke sekitar waktu pertama kali memasuki perkampungan tersebut.
"Aneh gimana?" tanyaku.
"Liat aja ... muka orang-orang di sini kayak pucat semua," jawab Angel.
Waktu kuperhatikan lebih teliti, aku baru menyadari maksud ucapan Angel. Benar saja, wajah para penduduk kampung ini terlihat pucat dan tanpa ekspresi.
"Kayaknya kita lanjut aja deh. Perasaan gua nggak enak banget," usul Drian.
"Tapi ini udah hampir malem lo," kataku.
"Aku setuju sama Drian. Kayaknya kita mesti lanjut aja deh," imbuh Angel.
"Kalian ini kenapa sih ...?"
"Vin ... kayaknya ...."
Belum selesai Drian berbicara, tiba-tiba ada yang menegur kami dari belakang.
"Nak, kalian bukan orang sini, ya ...?"
Yang menegur kami adalah seorang kakek-kakek berambut dan berjanggut putih. Kakek itu juga menggunakan baju bergaya lama.
"Oh, iya, Kek. Niatnya kami pingin istirahat sebentar di sini," jawabku.
"Kalau mau, kalian bisa istirahat di rumah Kakek."
"Emang boleh, Kek?" tanyaku.
"Boleh," jawab si Kakek.
"Vin ..." Drian tiba-tiba menarik ujung bajuku sambil menggelengkan kepala, seolah-olah memintaku untuk menolak tawaran si Kakek.
Angel juga melakukan hal yang sama.
"Maaf, Kek. Kayaknya kami nggak jadi istirahat. Temen-temen saya ngajak lanjut." Dengan berat hati, aku menolak tawaran si Kakek.
Baru saja aku berkata seperti itu, tiba-tiba turun hujan lebat disertai angin kencang. Sungguh sebuah kebetulan yang sangat aneh.
"Hujan lo, Nak ... kalian yakin mau tetap lanjut?" tanya si Kakek.
Karena keadaan memaksa, aku, Drian, dan Angel pun akhirnya menerima tawaran si Kakek.
Kami kemudian diajak ke rumah si Kakek.
"Silakan duduk, Nak! Sebentar saya buatkan minum," kata si Kakek, lalu masuk ke bagian dalam rumahnya, sedangkan kami hanya duduk di kursi kayu. Mungkin itu adalah ruang tamunya.
Rumah si Kakek ini terbuat dari kayu, mirip dengan rumah-rumah tempo dulu.
Sambil menunggu si Kakek membuatkan minum, kami hanya santai-santai sambil meluruskan kaki.
Gubrak!
"Huanjir! Apaan tuh ...?" Drian tiba-tiba berteriak keras.
"Itu jendela belakang lu ketiup angin, belom ditutup noh," kataku.
"Etdah ... kirain apaan."
Sewaktu berteduh di rumah si Kakek, entah apa yang mereka pikirkan, Drian dan Angel terlihat sangat gelisah.
"Lu kenapa sih, Yan?" tanyaku.
"Kayaknya kita mesti buruan pergi deh, Vin. Perasaan gua nggak enak banget," jawab Drian.
"Iya, aku juga sama," imbuh Angel.
"Tapi ini masih hujan lo," kataku.
"Mending ujan-ujanan dah daripada di sini," kata Drian, sedangkan Angel hanya mengangguk.
"Kalian ini kenapa sih ...? Ya udah dah. Kalo gitu ayo pamit dulu ama si Kakek," kataku.
Kami pun masuk ke bagian dalam rumah untuk mencari si Kakek, tapi anehnya ... tidak ada siapa pun di sana. Di sana hanya ada ruangan gelap dan kosong.
"Kok gelap banget, ya ...? Si Kakek mana?" tanyaku.
"Vin, buruan, Vin! Ada yang nggak beres ini!" Drian tiba-tiba menarik ujung bajuku, begitu pula dengan Angel.
Mereka seperti ingin mengajakku buru-buru keluar dari rumah si Kakek.
Aku pun menurut dan kami buru-buru keluar dari rumah si Kakek.
Tau apa yang terjadi saat kami baru saja keluar dari rumah si Kakek? Tiba-tiba perkampungan yang kami lihat sebelumnya menghilang. Yang ada hanya hutan belantara. Rumah si Kakek juga ikut hilang entah ke mana.
"Bener kan perasaan gua ... ini si Kakek pasti bukan manusia!" kata Drian.
"Gimana ini?" Angel kelihatan panik.
Pada saat itu, aku hanya mematung tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
"Vin ... woi, lu kenapa?" tanya Drian sambil menepuk-nepuk pipiku.
"Vin ..." Sementara Angel kelihatan panik.
"Yan, Ngel ... jadi ... ini tu ... ini tu kampung hantu, ya ...?" tanyaku dengan ekspresi tertegun.
Drian dan Angel diam sejenak, lalu ...
"Hiaaaaaaaaa ...!"
Mereka terkejut karena melihatku tiba-tiba lari sambil berteriak lantang.
"Tunggu gua, Vin!"
"Vin, tunggu!"
Mereka kemudian mengejarku dari belakang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!