"Jadi dia ikut terlibat dalam bisnis obat terlarang dua puluh tahun yang lalu."
Firo segera menutup buku bersampul merah di tangannya. Meletakkan kembali buku tersebut di meja. Mengambil secangkir kopi dan menyeruputnya pelan. Yah, buku itu adalah peninggalan ayahnya dulu sebelum dihukum mati.
Mata pria itu menatap tajam ke sembarang arah. Sambil menyesap, sesekali dia memejamkan mata sebentar lalu membukanya lagi. Terlihat jelas kalau Firo sedang memikirkan sesuatu.
"Tak mungkin ibuku memiliki anak yang lain. Ibuku tak pernah menceritakannya. Kalau iya, di mana dia sekarang?" Firo terus bergumam di dalam hati.
Dari ambang pintu, muncul seorang wanita berpakaian longgar mendatanginya. Dia adalah Meysa, istrinya yang sudah hampir dua puluh tahun dia nikahi.
"Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Meysa lalu ikut duduk di kursi sebelahnya.
Firo terdiam termangu melihat ke arah istrinya. Wajah teduh istrinya mengalihkan pikirannya. Walaupun sudah tak muda lagi seperti dulu, aura kecantikan Meysa masih terpancar jelas di wajahnya. Meysa tersenyum sambil mengusap bahu suaminya. "Tak usah dipikirkan. Aku pasti sembuh. Lagian aku sudah meminum antibiotiknya. Untuk sementara kita titipkan Drago kepada Niki dulu. Setelah pengobatan selesai barulah kita kembali ke Indonesia."
"Bukan itu yang ada dalam pikiranku. Kali ini aku benar-benar takut. Beberapa bulan lagi Sony akan keluar dari penjara," kata Firo menunduk lesu.
"Apa? Jadi dia akan dibebaskan sebentar lagi. Kalau begitu kita tak perlu menitipkan anak kita kepada Niki di Indonesia. Biarkan Drago bersama kita di sini. Lagipula dia sudah cukup dewasa dan bisa mengurus dirinya sendiri."
"Tidak apa Mey. Drago masih aman kalau kita titipkan beberapa bulan ini. Lagipula Sony masih di dalam penjara sampai kita pulang nanti."
"Baiklah, aku setuju. Aku sudah pesankan tiket pesawat untuk Drago berangkat sore ini."
"Tenang saja, kita akan menyusul secepatnya," kata Firo menenangkan istrinya.
Sekarang sudah sepuluh tahun lebih, semenjak mereka meninggalkan Indonesia, tempat kenangan manis sekaligus kenangan buruk bagi mereka. Keluarga Firo kini hidup tenang di Singapore. Walaupun Meysa didiagnosis tidak akan memiliki keturunan lagi, Firo masih sangat mencintainya.
Harta peninggalan Tuan Bram di Indonesia sudah habis, dan perusahaan mereka dinyatakan bangkrut setelah berita mencuatnya Tuan Bram yang dihukum mati tersebar ke media. Para instansi pemerintah mulai menyelidiki dari mana harta yang dimiliki Tuan Bram selama ini. Semua diambil dan disegel pemerintah. Hanya sisa sebuah rumah besar yang dulu Firo tempati, kini dibiarkan terbengkalai, tak terurus, dan tak berpenghuni.
Firo dan keluarganya memutuskan pindah tempat tinggal, mereka ingin hidup tenang tanpa adanya media yang mengganggu. Sematan keluarga pengedar ganja melekat pada diri Firo. Imbasnya, Drago pun kesulitan dalam bergaul. Rata-rata orang tua teman-temannya merentangkan jarak agar tidak berdekatan dengan Drago. Membuat Drago yang kala itu masih bersekolah di taman kanak-kanak tak memiliki teman sebaya. Sekarang Firo berubah pikiran dan memutuskan untuk kembali. Ada hal lain yang harus dia selesaikan.
"Apa kamu sudah menghubungi Niko? Bukankah dia juga bilang akan kembali ke Indonesia?" tanya Firo.
Meysa duduk santai sambil menghirup aroma teh di dalam cangkir yang dia pegang. Meysa mengingat lagi percakapan dirinya dengan Niko beberapa jam yang lalu di telepon, "Heum, kalau ngga salah, Niko akan pulang enam bulan lagi bersama anak dan istrinya. Aku tak sabar ingin pulang kampung dan berkumpul kembali dengan keluarga lainnya di Indonesia."
Firo memegang tangan istrinya. Sepuluh tahun jauh dari keluarga lainnya membuat mereka sangat rindu. Khususnya kepada Niki dan anaknya, Elard. Kabarnya El sudah dewasa dan sangat tampan sama seperti Drago. Begitu pula dengan Agung dan istrinya. Setelah keluarga Firo bangkrut, Agung dan istrinya memutuskan untuk berwirausaha. Alhasil sekarang mereka hidup bahagia dengan tiga anak.
"Aku tak sabar ingin berkumpul lagi, terutama dengan Shaka. Dia sekarang sudah sukses menjadi pengusaha di Italia," kata Firo kagum.
"Ah, benar aku juga sangat rindu dengan Geya. Aku sering melihat postingan Geya bersama dengan teman sosialitanya. Tak ada perubahan di wajahnya dari dulu, masih terlihat muda dan cantik walaupun sudah memiliki anak tiga," kata Meysa berdecak kagum. Dia sering melihat postingan Geya saat berjalan-jalan di luar negeri. Menunjukkan beberapa tas branded, perhiasan mewah bahkan memposting momen di mana dia sedang berlibur ke media sosial.
Meysa, yang tidak ada apa-apanya merasa enggan menyapa atau membalas postingan Geya duluan. Meskipun begitu, Meysa turut bahagia apalagi mereka sudah memutuskan untuk berbesanan nanti. "Geya sudah punya brand kosmetik dan perusahaan sendiri. Sudah beberapa kali Geya mengundangku dan Drago liburan ke Italia bersama Calista. Tapi Drago selalu menolaknya, dengan alasan dia malu karena seluruh biayanya ditanggung oleh Shaka. Drago tidak ingin merepotkan calon mertuanya."
Firo mengerti apa yang ada dipikiran Drago. Sama seperti dirinya yang selalu menolak modal yang diberikan Shaka. Firo selalu ingin berusaha sendiri, walaupun berkali-kali usaha yang dibangunnya mengalami masalah. Sekarang saja terjadi insiden di usaha barang online miliknya, yang menyebabkan kerugian besar.
"Maaf, aku belum bisa membahagiakan kamu dan Drago. Aku belum bisa sesukses Shaka. Aku juga belum bisa mengajakmu liburan mewah ke luar negeri," kata Firo sambil memegang punggung tangan Meysa. Dia tahu di hati kecil istrinya pasti menginginkan hal yang sama seperti Geya.
"Tidak apa-apa, keluarga dan kesehatan lebih aku butuhkan dari pada uang sekarang. Meskipun harta kita tak sebanyak mereka, kita harus bersyukur masih bisa makan, banyak orang diluar sana yang kelaparan dan tidak memiliki tempat tinggal yang layak seperti kita," kata Meysa.
Setengah jam sudah mereka berbincang. Banyak obrolan ringan mau pun penting yang mereka bicarakan. Apa pun masalah yang sedang dialami keluarga mereka, Firo selalu menyempatkan diri berkomunikasi dengan Meysa.
"Aku tinggal sebentar. Kabarnya ada masalah di gudang, aku harus mengabari karyawanku dulu," kata Firo.
Meysa mengangguk. Melihat suaminya kini sibuk, Meysa beranjak ke kamar anaknya yang sedang mengemasi barang-barang.
"Apa kamu perlu bantuan ibu?" tanya Meysa saat membuka kamar anaknya yang tak terkunci.
Melihat ibunya masuk, remaja lelaki itu langsung menghentikan aktivitasnya. Ibunya langsung mendudukkan diri di ranjang. Melihat satu persatu barang-barang yang sudah dirapihkan Drago.
"Kamu sudah selesai merapihkan semuanya, Nak?"
"Iya, Ibu."
Namanya Orion Drago, beberapa hari yang lalu remaja lelaki itu telah genap berusia 18 tahun. Meskipun sudah menginjak remaja, Drago tak sungkan tidur di pangkuan ibunya.
"Ibu, apa aku jadi pindah sekolah di Indonesia? Apa tidak menunggu enam bulan lagi agar kita bisa pindah bersama-sama?" tanya Drago.
Meysa membelai rambut putranya dengan lembut. "Yah, kata ayahmu lebih baik sekarang karena bulan ini adalah tahun ajaran baru. Kamu bisa lebih fokus belajar dari awal semester pertama," kata Meysa memberi pengertian kepada Drago.
Drago sebenarnya sangat ingin kembali ke Indonesia, dia bisa bertemu sepupunya dan yang paling utama dia bisa bertemu dengan Calista, tunangannya. Meskipun Uncle Shaka ada di luar negeri, tetapi tidak dengan Calista. Dari kecil, Calista sudah diasuh oleh nenek dan kakeknya yang seorang pengusaha sekaligus pemilik sekolah yang akan menjadi tempat menempuh pendidikan Drago nanti di Indonesia.
Samuel, kakek Calista sudah memasukkan Drago di sekolah miliknya. Karena dia adalah calon suami untuk cucunya, Drago dibebaskan dari semua iuran uang sekolah.
"Kenapa kamu diam saja Drago? Bukankah ini adalah impianmu bisa lebih dekat lagi dengan Cali. Kamu bisa sering bertemu dengan Cali."
Drago masih diam termenung, bukan dia tak senang. Hanya saja Drago merasa enggan jauh dari ibunya. Drago bahkan tidak terlalu memikirkan Calista, karena walaupun mereka sudah bertunangan, mereka tak terlalu dekat hanya bertemu beberapa kali dalam setahun. Calista terlalu sibuk dengan profesi dirinya yang menjadi seorang model remaja terkenal.
"Ibu, aku gerah. Aku ingin mandi dulu. Nanti aku bicarakan lagi nanti dengan ibu masalah ini," kata Drago.
Meysa mengangguk. Setelah dia pastikan tak ada barang-barang penting yang ditinggal anaknya nanti. Meysa keluar dari kamar.
"Siapa yang membungkus paket itu? Kenapa bisa ada barang lain yang ada di dalamnya?" ucap Firo di telepon.
"Segera berikan siapa saja karyawan yang bertugas hari itu. Aku yakin ini pasti disengaja! Aku tak pernah mengirimkan barang haram itu, apalagi menjualnya," kata Firo lagi.
Pria itu terlihat kalut berbicara di telepon. Berkali-kali dia menggelengkan kepala sambil memegang keningnya. Dari nada bicaranya di telepon, sudah jelas usahanya sedang mengalami masalah.
Meysa tak berani bertanya, dia masih mendengarkan suaminya berbicara di telepon. Tiba-tiba saja bel rumahnya berbunyi. Meysa langsung beranjak ke depan, hendak membuka pintu.
Baru membuka pintu, jantung Meysa langsung berdetak keras melihat siapa yang berdiri di depan. Perasaannya mendadak tidak enak, dia berpikir pasti ada sesuatu kenapa kedua petugas itu mendatangi rumahnya sepagi ini.
Seorang berpakaian polisi berdiri di depan pintu bertanya kepada Meysa, "Selamat pagi, Nyonya. Apa benar ini rumah Saudara Firo?"
"Iya, benar. Saya istrinya," jawab Meysa dengan tangan gemetar.
"Maaf, Nyonya kami ingin bertemu dengan saudara Firo sekarang," kata polisi tersebut lagi.
"A-ada urusan apa dengan suamiku?" tanya Meysa.
Mendengar ada orang lain di luar, Firo yang baru saja selesai menelepon menghampiri Meysa. Baru beberapa langkah memasuki ruang tamu, Firo dibuat tercengang oleh kedatangan dua polisi di rumahnya.
"Kami menemukan paket ekstasi di paket yang dikirimkan dari toko Anda. Untuk kejelasannya, kami meminta saudara Firo ikut dengan kami ke kantor polisi."
"Ibu, aku sudah siap semua," kata Drago sambil menenteng tas dan koper di depan ibunya.
Meysa buru-buru mengusap air mata di pipinya. Dia tak mau Drago melihat dia bersedih. Beberapa menit yang lalu polisi menggiring Firo sudah membawanya ke kantor polisi.
Saat itu Drago tak melihat karena sibuk di kamar, membersihkan diri dan melakukan persiapan lainnya. Drago tak tahu kalau ayahnya tak ada di rumah.
"Di mana ayah, Ibu? Kenapa aku tak melihatnya?" Drago mulai celingukan ke kanan ke kiri. Dia pikir Firo masih ada di dalam.
"Ayahmu sudah kembali lagi ke Toko."
Drago kaget mendengar ucapan ibunya. Dia melihat lekat wajahnya. Meskipun Meysa sudah mengusap dengan tisu, matanya masih terlihat sembab. Drago melihat semakin dekat lalu mengelus pipi wanita itu, "Ada apa, Bu? Ibu sepertinya habis menangis?"
Untuk menahan tangisnya lagi, Meysa hanya perlu menarik napas dan mengembuskan pelan, melakukan berulang kali sampai air mata tak jadi menetes. Hal itu sering dia lakukan setiap kali menahan tangis.
"Tadi mata ibu terkena debu," kata Meysa berkelit sambil mengusap matanya, "oh, iya. Tadi di toko banyak sekali pesanan. Karyawan kualahan sampai-sampai meminta ayahmu agar membantunya. Lumayan pesanannya cukup banyak bisa untuk menambah uang jajan dan kebutuhanmu nanti di Indonesia," tambahnya terus berbohong.
Terlihat kekecewaan di mata Drago. Untuk kesekian kalinya ayahnya tak dapat mengantarkannya. Firo terlalu sibuk di toko, kebersamaannya mulai renggang semenjak salah satu toko online mereka mengalami skandal.
Drago merasa ibunya berbohong, tapi dia tak mau mengatakannya. Dengan sangat malas Drago meraih ransel dan menggendongnya ke belakang. "Jadi ayah tak mengantarkan aku ke bandara? Apa pekerjaan jauh lebih penting dari mengantarkan anak yang sebentar lagi berpisah beberapa bulan?"
Meysa tidak suka dengan perkataan Drago tentang ayahnya. Itu tidak benar, Meysa tidak mau berkata jujur. Karena kalau sampai tahu ayahnya dibawa ke kantor polisi, Drago akan khawatir dan menunda keberangkatannya.
"Drago, jangan bicara seperti itu tentang ayahmu. Ayahmu bekerja banting tulang siang malam hanya untuk kita. Banyak karyawan di tempatnya bekerja yang menggantungkan hidup, mencari nafkah untuk keluarganya. Lagipula ada ibu yang akan mengantarmu," kata Meysa menenangkan putranya.
Drago menunduk tak bisa berkata lagi kalau ibunya sudah menasehati. Dibandingkan dengan ayahnya, Drago lebih tunduk dengan kata-kata Meysa.
Dua jam berlalu Drago sudah sampai bandara. Sebelum pergi Drago mencium punggung tangan ibunya, dia sangat menyayangi Meysa. Bagi Drago ibunya itu adalah panutannya, "Maafkan Drago tadi bersalah. Drago akan menghubungi Ibu nanti kalau sudah sampai di Indonesia. Jaga diri Ibu baik-baik. Jangan lupa makan dan minum obatnya. Drago pasti akan merindukan Ibu dan Ayah nanti."
Meysa tersenyum penuh ironi. Setelah mengecup kening Drago, keduanya pun berpisah. Drago sudah harus melakukan boarding time. Meysa pun mau tak mau melepaskan anaknya pergi sendirian.
"Jaga diri baik-baik. Jangan khawatirkan ibu," teriak Meysa sambil melambaikan tangan ke arah anaknya.
Meysa terus memandangi punggung anaknya yang semakin berjalan menjauh. Sebenarnya dia sedang sangat sedih dan ingin menangis detik itu juga. Hari ini dua lelaki miliknya berpisah satu persatu. Setelah ini dia harus ke kantor polisi untuk menemui suaminya.
Aku wanita kuat, aku tidak boleh menangis, batin Meysa sambil mengusap kasar air mata yang hampir menetes. Apa pun yang terjadi dia harus terlihat kuat di depan anak dan suaminya.
***
Pesawat sudah landing. Sekarang Drago sudah sampai di Indonesia. Sebelum datang, Calista berjanji akan menjemputnya di bandara. Drago pun turut senang, dia pikir gadis itu sudah menunggunya.
Drago berjalan seorang diri, sambil mendorong koper, matanya melirik ke kanan dan ke kiri mencari Calista di deretan orang-orang yang sedang menunggu keluarganya.
"Di mana Cali?" gumam Drago sambil membaca satu persatu tulisan.
Dari dulu Drago tak suka keramaian, kepalanya mendadak pusing melihat orang yang lewat di depannya. Drago berdiri terpaku, memegangi kepalanya yang sedikit pusing. Ditambah lagi dia sedang tidak enak badan dan belum makan dari sebelum berangkat. Karena memikirkan Firo, Meysa sampai lupa mempersiapkan makan anaknya.
Drago membiarkan lalu lalang orang yang melewatinya di depan. Dia merasa kepalanya sudah mulai berkunang-kunang.
Di seberang sana, di tempat lain tidak jauh dari Drago berdiri. Seorang gadis penjual minuman sedang mengumpat kesal kepada seorang anak kecil. "Bing, tunggu jangan kabur! Kamu belum membayar minumanku," teriak gadis itu.
Anak kecil yang dipanggil Bing tetap berlari kencang, dia tak peduli gadis itu berteriak sambil mengejarnya. Bukan tanpa alasan kenapa dia sampai mengejar bocah kecil itu di tengah keramaian. Bing sudah berulang kali mengambil minuman dan tak mau membayarnya.
"Jangan lari, Bing," teriak Freya, nama gadis itu, "lihat saja aku akan menangkapmu sekarang. Kamu tidak akan bisa kabur lagi, Bing."
Freya berlari mengejar Bing, melewati beberapa orang yang berlalu lalang di bandara. Dia bekerja sambilan sebagai penjaga kedai di bandara, kalau dia tak mendapatkan anak kecil itu, bos pemilik kedai akan memecatnya hari ini juga. Karena Freya dinilai ceroboh tak bisa menjaga kedai minuman dengan benar.
"Dasar pencuri kecil, jangan lari. Aku akan membawamu ke kantor polisi," teriak Freya lagi.
Saking ramainya orang, dia sampai kehilangan jejak Bing. Freya mempertajam penglihatannya ke arah bawah, mencari Bing. Tubuh anak kecil itu sangat gesit, dia bisa kabur sambil menyusup di sela-sela kaki orang.
"Di mana Bing? Dia sangat cepat sekali kabur?"
Karena dari tadi menunduk, Freya tak sadar ada lelaki yang dari tadi terpaku memegangi keningnya. Yah, Drago bergeming di tempat sambil memejamkan matanya karena pusing.
"Kyaaaa, awasss!" teriak Freya.
Terlalu bersemangat, Freya tak sengaja menabrak tubuh Drago. Keduanya pun tanpa disadari ambruk ke lantai dalam kondisi saling berpelukan bersama. Drago masih memejamkan matanya. Saat sama-sama terjatuh tak sadar bibir mereka sudah bersentuhan. Yah, itu adalah ciuman pertama mereka berdua.
"Arghht!"
Bibirku! Kenapa aku sangat ceroboh sampai menabrak cowok ini!
Freya sempat melihat sekilas wajah Drago. Yah, wajah Drago dengan matanya yang terpejam. Sebelum lelaki itu sadar, Freya buru-buru bangun dan bersembunyi di balik lalu lalang orang yang sedang berjalan kaki.
Ini semua gara-gara kamu, Bing! Gerutu Freya sambil memegangi bibirnya. Ciuman pertamanya sudah hilang, dan Drago lah pemiliknya. Freya sangat malu, ditinggalkannya Drago sesegara mungkin sebelum dia melihat wajahnya yang malu.
Ini sangat memalukan, bisa-bisanya aku mencium cowok yang tidak aku kenal. Aku harus cepat pergi. Aku harus cepat mendapatkan Bing sebelum bos mengetahui minumannya telah hilang, kata Freya lagi dalam hatinya.
Bos pemilik kedai sangat teliti dan pelit. Dia selalu mengecek stok minuman dan uang yang didapat dari hasil jualan. Freya harus mendapatkan anak kecil tadi, sebelum bosnya sadar karena minumannya telah hilang dan memecatnya.
Sementara di tempat Drago terjatuh. Karena sedang sibuk masing-masing, orang-orang tidak terlalu memperhatikan Drago saat terjatuh tadi. Drago merasa seseorang ada di atas tubuhnya. Namun saat dia bangun, orang itu sudah menghilang. Hanya menyisakan jepit rambut yang tertinggal di atas tubuhnya.
Kejadian saat jatuh tadi begitu cepat. Drago melihat wajah gadis itu samar-samar tak terlalu jelas. Aroma napas dan bau parfum tubuh gadis itu masih tertinggal, membuat Drago sempat tertegun dan menikmatinya beberapa detik. Yah, napas dengan bibir yang sangat lembut.
Drago bangun dan langsung melihat ke sekeliling mencari gadis itu. "Barusan aku jatuh dan sepertinya aku sudah menciumnya. Di mana gadis itu?"
Drago memegangi bibirnya sambil melihat jepit rambut berwarna pink di tangannya. Entah siapa gadis itu? Melihat dari jepit rambutnya, dia yakin gadis yang sudah menciumnya masih berusia muda.
Dari jauh seorang lelaki memegang papan nama menghampiri Drago. Dia berjalan sangat tenang sambil tersenyum menepuk bahu Drago dari belakang. "Orion," panggil lelaki itu pelan.
Drago menoleh ke arahnya, "El! Aku pikir tak ada yang akan menjemputku di sini," ucap Drago sambil memeluk sebentar lelaki yang memanggilnya tersebut.
"Dari tadi aku sudah mencarimu, dan aku malah menemukanmu di sini," jawab El, "bagaimana kabarmu? Maaf sudah membuatmu menunggu, Rion."
"Kabarku baik? Di mana Cali? Apa kamu melihatnya?" tanya Drago.
Elard Avanz, panggilannya El. Dia adalah sepupu Drago. Usia mereka tak beda jauh hanya berjarak beberapa bulan. Wajah El sama tampannya dengan Drago, bahkan tinggi badan mereka pun hampir sama. El lebih pendek dua cm dari Drago yang tingginya 185 cm.
"Kamu tidak bertanya kabarku? Sepertinya aku tak terlalu penting." El malah balik bertanya menyindir Drago.
"Aku lupa. Jangan marah, tentu saja kamu juga penting. Bagaimana kabarmu? Aku bertanya, karena tadi saat aku di Singapore Cali, berjanji ingin menjemputku di sini," kata Drago.
El tertawa pelan. "Aku bercanda, tidak ada yang salah kalau kamu menanyakan Cali duluan. Kerena Cali adalah tunanganmu. Dia juga bilang sudah tak sabar ingin bertemu denganmu. Sayangnya barusan dia memberiku kabar, minta maaf karena tak bisa menjemputmu. Dia sangat sibuk karena tiba-tiba ada pemotretan dadakan."
Ekspresi wajah Drago langsung berubah seketika. Yah, dia tahu Calista merupakan model terkenal yang sedang naik daun. Pasti di sangat sibuk dan tak ada waktu menjemputnya di bandara. "Tidak papa, aku senang karena ada kamu yang menjemputku, El. Aku lapar, ayo temani aku makan dulu."
"Kamu ingin mentraktirku?"
"Tentu saja, mana mungkin aku tega hanya makan sendirian," jawab Drago sambil merangkul El.
Keduanya berjalan menuju kafe bandara. Sambil berjalan mereka melakukan obrolan ringan. Menanyakan tentang sekolah, menanyakan orang tua mereka dan kesibukan masing-masing.
Meskipun masih sekolah, mereka berdua sudah mempunyai pekerjaan sampingan. Drago tidak suka keramaian, dia lebih sering menghabiskan waktu di depan laptop, menjadi seorang konten creator. Selain itu, masih ada pekerjaan Drago lainnya yang masih dia sembunyikan kepada siapa pun, termasuk pada orang tuanya sendiri.
Sementara Elard adalah seorang fotografer panggilan setiap dia libur sekolah. El jarang menerima job kecuali dia sendiri yang menginginkannya. Selain itu, Elard adalah bintang basket di sekolahnya. Karena wajah tampannya, El menjadi idola cewek-cewek di sekolahnya. Banyak yang ingin menjadi pacarnya, tetapi El selalu menolak dengan alasan kerena dia sudah mempunyai cewek yang dia sukai. Drago akan menjadi pesaing barunya di sekolah.
***
Di tempat lain di kantor polisi. Meysa sedang menunggu di luar, menunggu suaminya telah selesai di interogasi. Meysa yakin, paket itu bukan dari toko milik suaminya, melainkan milik orang lain yang tertukar.
Satu jam berlalu, Firo telah selesai di interogasi tahap pertama. Firo segera menemui istrinya dulu, dia yakin Meysa pasti sangat khawatir.
"Mey, apa kamu sudah mengantarkan Drago ke bandara? Drago tak tahu kan aku berada di sini? Kamu tak memberitahukannya, kan?" Baru menunjukkan muka, Firo sudah melontarkan banyak pertanyaan.
Meysa menghela napas berat, dia menyuruh suaminya agar duduk dulu dengan tenang. Kecemasan Firo tak ada apa-apanya dibandingkan dirinya.
"Jangan khawatir, Drago sudah aku antar ke bandara. Aku juga sudah menyuruh El menjemputnya di bandara nanti," ucap Meysa sambil menatap lekat mata Firo. Dia sedang membaca situasi dari ekspresi wajahnya, "bagaimana dengan paket itu? Apa polisi percaya kalau paket itu bukan dari toko kita?"
Wajah Firo mendadak murung, sebelum menjawab dia tampak berpikir sejenak lalu menghembuskan napas pelan, "Jangan khawatir. Polisi masih menyelidikinya. Kita tak perlu takut karena kita tak bersalah," kata Firo menenangkan.
"Jadi maksudmu?"
"Tidak papa, jangan takut!"
Mata Meysa mulai berkaca-kaca. Bukan itu jawaban yang diinginkannya. Meysa takut kejadian beberapa tahun yang lalu terulang lagi. Yah, kejadian saat di Indonesia dulu setelah Tuan Bram meninggal. Polisi sempat menangkap dan menyelidiki Firo. Saat itu polisi masih mengusut kasus Tuan Bram, menahan Firo beberapa hari untuk diperiksa karena diduga ikut terlibat.
"Sepertinya Drago sudah sampai sekarang. Cepat periksa ponselmu, Mey. Takut Drago menghubungimu," ucap Firo mencoba mengalihkan pembicaraan.
Tangan Meysa masih gemetar saat mengambil ponsel di dalam tasnya. Pikirannya masih berkecamuk dan masih belum tenang. Benar apa yang dikatakan Firo kalau anaknya sudah sampai di Indonesia dan sedang meneleponnya sekarang.
"Angkat saja teleponnya di luar. Drago jangan sampai tahu kita sedang ada di kantor polisi agar dia tak khawatir," kata Firo.
Meysa mengangguk, keduanya pun beranjak mengangkat telepon di luar.
Akan tetapi sebelum keduanya keluar, di depan pintu seorang petugas menahan langkah Firo. Petugas itu menyuruh Firo agar kembali.
"Maaf, Anda masih dalam penyelidikan. Polisi melarang Anda keluar," kata petugas itu sambil menahan tubuh Firo.
"Ta-pi, Pak. Suamiku hanya ingin mengangkat telepon dari anak kami. Izinkan kami keluar sebentar saja," kata Meysa meminta izin.
Petugas kembali menggeleng dan melarang Firo keluar, kecuali untuk Meysa. Walaupun mereka hanya mengatakan sebentar saja.
"Tidak bisa. Saudara Firo harus tetap berada di sini sampai pemeriksaan selesai. Bahkan untuk sementara ini, saudara Firo belum dibolehkan pulang. Kalau Anda mau angkat telepon, angkat saja di dalam," kata petugas itu lagi.
"Paket ekstasi itu bukan milik suamiku! Izinkan kami pulang sekarang!"
"Maaf, Nyonya. Anda harus mematuhi hukum."
Polisi tetap melarang mereka keluar selama pemeriksaan belum selesai. Firo tak bersalah, tapi dia harus patuh dan menghormati hukum. "Tidak apa-apa, Mey. Aku pasti akan pulang. Sekarang angkat telepon Drago dulu di luar. Bilang pada Drago, kalau kita akan menyusulnya cepat," kata Firo.
Dengan berat hati, Meysa terpaksa menuruti Firo dan mengangkat telepon anaknya diluar. Hari ini dia bisa mengatakan kalau ayahnya sedang sibuk di toko, tapi tidak untuk hari selanjutnya. Meysa tak mungkin mengatakan kepada Drago, kalau ayahnya sedang berada di kantor polisi karena kasus obat terlarang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!