“Kamu pikir, kamu bisa lari begitu saja!”
Sebuah seruan terdengar tidak jauh di belakang Clara. Perempuan itu berlari secepat mungkin, berusaha menghindari seseorang yang sedang mengejarnya. Aroma khas itu menguar. Sepanjang dia berhubungan dengan Jasper, dia tahu satu hal soal bagaimana Black Witcher memancing mangsa menggunakan ramuan berbau memabukkan itu.
Clara mendesis. Dia menahan rasa sakit yang teramat sangat di bagian bawah perutnya. Sesuatu terasa mendorong ke luar dari sana. “Sebentar, Nak. Tolong, bantu Ibu agar sampai pada ayahmu!” bisiknya.
Kilatan ungu itu menyambar, lalu berpendar mengangkasa. Seperti mengunci pergerakan Clara, sebuah pagar mulai terbentuk. Perempuan itu menabrak dinding transparan hingga tersungkur. Rasa sakit di perutnya menjalar hingga punggung dan bagian pinggulnya.
“Kumohon, jangan!”
Seorang bertudung tampak menghampiri Clara. Tongkat panjangnya terarah langsung pada perut buncit Clara yang tertutup oleh dress putih tersebut. Perempuan itu melihat ke arah perutnya dan mulai merasakan gejolak di sana.
“A-apa yang kamu lakukan! Jangan!”
Clara mulai mengerang. Sesuatu terasa mulai mengalir di bawah sana, sementara satu tangannya memegangi perut dan yang lain mencengkeram asal sesuatu di sekitarnya. Sosok bertudung itu tidak menghiraukan teriakan Clara. Dia terus mengarahkan tongkatnya hingga sebuah bola ungu menyelimuti perut besar tersebut dan membuat sesuatu di dalamnya menendang.
“Tidak! Kumohon, jangan!”
Rasa sakit itu tidak bisa ditahan. Clara mengerang kesakitan dengan sekujur tubuhnya seperti mati rasa. Tendangan bertubi-tubi diberikan dari dalam perutnya seolah bayinya juga ikut merasa kesakitan.
“Tidak! Tolong!”
Clara kembali berteriak. Suaranya menggema di kedalaman hutan hingga membuat burung-burung beterbangan
ke langit. Perempuan itu menggeliat, berusaha menahan kesakitan itu. Namun, percuma saja, bayinya mendorong untuk segera mengoyak bagian bawahnya dan menerobos keluar. Apalagi cairan bening bercampur darah dan lendir sudah mengalir membasahi kaki Clara sekarang.
“Tidak, Nak! Jangan! Hentikan!”
Tawa Black Witcher itu menggema, memenuhi langit hutan. Dia menatap perempuan di depannya dengan
matanya yang berkilat. “Matilah kalian!”
Mata Clara melebar. Dia menggeleng. “Tidak! Jasper! Jasper!!!”
***
Clara membuka mata dengan cepat. Dia buru-buru bangun dan menyibakkan selimut putihnya. Piyamanya masih
bersih, begitupula sprei tempat tidurnya. Perutnya masih terlihat membuncit. Tidak begitu besar karena Clara baru saja mendapatkan kabar kehamilannya sebulan yang lalu. Baru satu bulan, tetapi ukuran perutnya sudah seperti wanita yang hamil lima bulan.
Dia menghela napas sejenak, lalu meraih ponsel di nakas sebelah ranjangnya. Tangannya mengetik sesuatu sampai akhirnya sebuah panggilan membuatnya terkejut. Clara bergegas mengangkat telepon tersebut.
“Kamu bilang kita akan pergi hari ini, ‘kan?” Suara seorang pria, membuat Clara mengukir senyum.
Perempuan itu beranjak dari kasur dan mendekati jendela. Tangannya menyibakkan gorden putih yang menutupi
bilah segi empat tersebut dan mendapati seorang pria telah bersandar di mobil yang diparkir di depan rumah Clara. Pria itu melambaikan tangan.
“Aku baru bangun,” ucap Clara. “Tunggulah beberapa menit—”
“Berapa menit?”
“Sepuluh menit. Oke?”
Pria itu mengacungkan jempol, lalu mematikan panggilan.
Clara segera meletakkan ponselnya kembali ke nakas. Tangannya menyambar handuk di belakang pintu, lalu beralih masuk ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian, perempuan itu telah keluar dari rumah dengan dress floral dan sebuah tas tersampir di pundaknya. Dia menghampiri pria berkacamata yang sejak tadi bersandar di mobilnya.
“Apakah lama?” tanya Clara.
Pria itu berlutut, lalu mencium perut buncit Clara. “Aku bisa menunggu lebih lama kalau ini menyangkut
urusan anak kita,” katanya dengan senyum terukir di sudut bibirnya.
“Jasper!” Clara membungkuk, menyuruh prianya berdiri. “Tetangga pasti melihat!”
Jasper Owen, pria berambut hitam itu lantas melepas kacamatanya. “Memang kenapa? Toh, memang benar kamu
hamil anak kita,” ucapnya.
Clara berdecak sambil memutar bola mata. Dia segera mengajak Jasper masuk ke mobil. Kendaraan pribadi milik
pria itu melaju sekian detik selanjutnya.
“Apakah portal makin terbuka lebar?” tanya Clara.
“Kenapa kamu bertanya seperti itu?” balas Jasper. Sesekali dia menoleh ke arah perempuan di sampingnya. Satu
tangannya yang tidak memegang kemudi terulur dan mengelus lembut perut Clara.
“Aku bermimpi itu lagi,” ucap Clara lirih. Mata hazelnya memandang ke depan.
“Black Witcher?” Jasper memastikan. Dia melihat Clara mengangguk. “Apakah mimpi buruk adalah wajar bagi
wanita hamil?”
Clara mengendikkan bahu. “Aku tidak tahu,” jawabnya. “Mimpi itu terasa nyata dan … aku takut.” Dia memandangi
perut, lalu mengelusnya pelan.
Jasper terdiam. Dia melirik sekilas perempuan yang telah menjadi istrinya itu. “Apa kamu ingat pesan Lyra
pada saat ritual itu dilakukan?”
Pertanyaan Jasper membuat Clara lantas menoleh kepada pria tersebut. “Pada saat pernikahan kita?” Dia melihat pria itu mengangguk, lalu berpikir sejenak dan berdeham. “Aku ingat. Kenapa?”
“Setelah pernikahan itu, maka Black Witcher akan makin gencar mengincarmu,” ucap Jasper tanpa menoleh. Dia
fokus memperhatikan jalanan. “Apalagi kamu sedang mengandung anak kita.”
Clara terdiam. Dia ingat jika dirinya kembali ke dunia ini hanyalah sebagai manusia biasa dan tidak memiliki kemampuan apa pun, bahkan setelah kematiannya karena kecelakaan di dunia manusia dan membawanya kemari. Semua kehidupannya berubah drastis, termasuk makin eratnya hubungan antara dirinya dengan pria bernama Jasper Owen.
Jasper menghela napas. “Segel di lehermu,” katanya. “Jika itu menurun ke anak kita, maka akan menjadi
tanggung jawab yang besar bagi para Immortal untuk melindungi kalian.”
Clara lantas meraba sesuatu di belakang lehernya. Terkadang, sesuatu terasa berdenyut dan panas di sana. Dia tidak bisa melihatnya kecuali melalui cermin. Clara tahu jika pemilik segel berbentuk phoenix diincar oleh para Black Witcher.
Sementara itu, Black Witcher sendiri adalah sekumpulan manusia seperti Clara yang hidup berpindah dimensi. Mereka bisa mengunjungi dunia manusia dan dunia Immortal berkali-kali dengan kemampuan sihir hitamnya. Sebenarnya, Clara juga mengetahui soal White Witcher dengan sihir murni mereka, tetapi kelompok itu sulit sekali dilacak.
Menurut Jasper, sejak dulu pemilik segel phoenix telah menjadi incaran para Black Witcher. Darah dari pemilik segel itu akan membuat mereka yang meminumnya hidup dalam keabadian. Clara sendiri tidak tahu kenapa dirinya memiliki segel tersebut. Dia mendapatkannya sejak dirinya dilahirkan di dunia manusia.
“Apa kamu lapar?” tanya Jasper, mengurai lamunan Clara.
Clara bergumam. “Bagaimana jika kita makan setelah pemeriksaan?” timpalnya.
Jasper menoleh. Mata birunya tampak berkilat, sangat langka bagi dirinya yang merupakan ras Werewolf. Pria itu terdiam, menimbang sesuatu. “Baiklah kalau itu maumu,” jawabnya seraya tersenyum dengan tangan mengacak-acak rambut Clara dengan gemas.
Perempuan itu menyingkirkan tangan Jasper dengan kesal. Dia menatap wajah suaminya yang tampan itu. Rahang
yang tegas dengan sedikit rambut jenggot dan kumis yang dijaga sangat pendek. Hidung mancung serta sorot mata yang tajam. Benar-benar sempurna. Sampai sekarang, Clara tidak paham kenapa dia mencintai Jasper begitu dalamnya.
Tiba-tiba Jasper mengerem mobil. Membuat Clara hampir menabrak dashboard. Beruntung, tangan Jasper segera
terulur tepat di depan perempuan tersebut. Clara memelotot. Dia memandang Jasper.
“Ada apa?” tanyanya.
Jasper tidak menoleh. Dia mengarahkan dagu ke depan, membuat Clara melihat ke arah yang sama. Perempuan
itu meneguk liur.
Sebuah kecelakaan beruntun.
***
Clara mendesis dengan tangan memegangi perutnya. Jasper yang melihat ke depan, kini menoleh dengan raut cemas. Tangannya ikut menyentuh perut Clara.
“Kamu baik-baik saja?” tanyanya.
Perempuan itu mengangguk. “Hanya sedikit kencang,” jawabnya.
Dia melihat ke jalanan depan yang tengah ditutup dan dikerumuni oleh banyak orang termasuk polisi. Salah seorang polisi menghampiri mobil mereka dan menyapa Jasper. Pria itu segera membuka kaca jendela mobil dan membalasnya.
“Kami mohon maaf sebelumnya karena Anda tidak bisa melewati jalur ini sekarang,” ucap polisi itu. “Anda bisa lewat jalur alternatif yang sudah disediakan, Pak.”
Jasper mengangguk, lalu berterimakasih kepada polisi itu sebelum menutup kaca jendela mobil. Dia kembali menatap Clara dan mengusap lembut perut istrinya itu. Sebuah kecupan mendarat manis di sana.
“Kali ini, Papa akan berhati-hati,” ucapnya, lalu mendongak dan mendapati Clara tersenyum menatapnya.
***
Mobil mereka berhenti di sebuah parkiran rumah sakit. Jasper turun lebih dahulu, lalu membuka pintu mobil di samping Clara supaya istrinya itu bisa keluar. Mata Clara mengedarkan pandangan dan mendapati sebuah keramaian di salah satu sisi rumah sakit. Jasper ikut mengarahkan pandangan ke arah yang sama.
“Korban kecelakaan tadi mungkin,” ucapnya. Dia mengeratkan lengan di pinggang Clara dan membawa perempuan itu masuk ke rumah sakit.
Sebuah alat tampak berjalan dengan lembut di permukaan perut Clara yang tampak membesar hingga menampakkan sebuah gambar 3D. Clara dan Jasper mendapat antrean ke-5 setelah masuk ke rumah sakit di bagian dokter kandungan tadi dan tidak butuh waktu lama untuk antre. Sampai akhirnya, mereka bertemu dengan Hendrick, dokter kandungan yang menangani kehamilan Clara sekaligus teman dekat Jasper. Pria itu sedang menggerakkan alat pendeteksi di perut Clara sekarang. Matanya melihat ke arah monitor.
“Kalian lihat, ketampanannya sudah terlihat sejak berada di kandungan,” candanya, membuat Jasper dan Clara
tertawa kecil. “Semuanya terlihat sehat, tidak kurang suatu apa pun.”
Clara melihat ke arah monitor di mana sebuah wajah bayi terlihat begitu jelas di sana. Kadang bergerak dan kadang diam, membuat Clara gemas dan ingin segera menimangnya. Dia melihat Jasper sangat antusias. Sejak tadi, matanya tidak lepas dari layar monitor di depan sana.
“Jasper,” panggil Hendrick sampai pria itu—dan Clara—menoleh. “Apa kalian benar-benar melakukan ritual itu?” tanyanya.
Jasper menatap Clara sejenak, lalu mengangguk. “Ritual ini bukan sekadar pernyatuan darah dan jiwa, tetapi juga menjaga stabilitasi kekuatan kami,” ucap pria tersebut.
Hendrick mengangguk, lalu menyelesaikan pemeriksaannya. Dia tahu jika Jasper dan Clara melakukan ritual yang memang terdengar agak aneh menurutnya. Dia tahu jika keluarga Jasper adalah yang terkuat dari para Werewolf dan memungkinkan mereka untuk melestarikan keturunan dan menjaga kekuatan rasnya, tetapi dia tidak yakin jika
Clara bisa menanggung semuanya sendirian. Clara hanyalah jiwa manusia yang pindah dimensi karena sebuah kecelakaan dan Hendrick ragu jika perempuan itu bisa melakukan ritualnya, sementara dia tidak tahu bagaimana kondisi tubuh fisiknya di dunia manusia.
Hendrick menghela napas dan kembali menatap lurus kepada Jasper. “Kehamilan antara Werewolf dan manusia
biasanya berkisar 2-3 bulan saja. Sangat cepat,” ucapnya, ditimpali anggukan oleh suami-istri itu. “Butuh energi yang besar selama masa kehamilan dan mungkin kamu akan sering kelelahan, Clara.”
Clara mengangguk. Dia begitu antusias dengan kehamilannya dan menyimak penjelasan Hendrick sejak tadi.
“Aku ingin kamu berada di sisi Clara hingga hari kelahiran tiba,” ucap Hendrick. “Jangan sekali pun pergi meski itu adalah hal tidak penting sekali pun.”
Jasper meneguk liur. “Kenapa?” selisiknya.
“Aku tahu soal Black Witcher. Pergerakan mereka makin membabi buta sampai hari ini. Pagi tadi, aku melihat berita soal kecelakaan beruntun di tol yang menuju kemari,” ujar dokter tersebut.
Jasper mengerutkan kening. Dia membenahi posisi duduknya dan menatap Hendrick dengan seksama. Tidak berbeda dengannya, Clara yang masih terbaring di brankar ikut menatap Hendrick. Keduanya teringat dengan kecelakaan yang mereka lihat saat menuju rumah sakit tadi.
“Apa kecelakaan itu karena ulah mereka?” tanya Jasper.
Hendrick mengangguk. “Dugaan sementara seperti itu,” jawabnya. “Tapi, polisi belum punya cukup bukti untuk
menyakinkan masyarakat. CCTV yang dipasang di sana mendadak hilang begitu saja.”
“Apa?” Jasper dan Clara menyahut serentak. Mereka saling berpandangan.
“Aku hanya mengingatkan kalian,” ucap Hendrick. “Bisa jadi, Black Witcher tengah mencari kalian saat ini.”
Jasper meneguk liur. Dia mengangguk. “Aku mengerti,” katanya.
“Pastikan untuk selalu memeriksakan kehamilanmu kemari atau ….” Hendrick menggantungkan ucapannya. “Jika situasi tidak memungkinkan, hubungi aku agar aku ke rumah kalian.”
Jasper dan Clara saling bersitatap, lalu tersenyum dan mengangguk kepada dokter tersebut. “Terima kasih, Hendrick,” ucap Jasper.
***
Beberapa saat kemudian, Jasper dan Clara menuju kantin rumah sakit untuk makan di sana. Clara sudah mengeluh
lapar sejak mereka keluar dari ruangan Hendrick tadi. Padahal, Jasper ingin mengajaknya pulang karena cemas dengan kondisi saat ini. Jika memang yang dikatakan Hendrick benar, maka keberadaan Clara dan bayinya akan sangat berbahaya. Jasper harus mulai overprotektif menjaga dan melindungi keluarga kecilnya itu.
Clara melahap steak di depannya, lalu menatap sang suami. Jasper sejak tadi memandang ke arah lain di mana orang berlalu-lalang di luar kantin. Perempuan itu meletakkan pisau, lalu menepuk lengan Jasper hingga pria itu menoleh padanya.
“Kamu tidak lapar?” tanyanya.
Jasper meneguk liur, lalu mengangguk. Dia mulai memotong steak di depannya dan melahapnya sejenak. Sesekali pandangannya mengedar, mengawasi sekitar.
“Mereka sangat berbahaya, huh?” tanya Clara.
Pria itu mengangguk. “Sebenarnya, mereka berbahaya bagi Immortal. Kamu tahu kalau sejak dulu manusia selalu berambisi untuk menguasai apa pun yang bisa mereka raih,” ujarnya sesekali menyuap potongan steak ke mulut. “Jika mereka sudah bisa menembus batas dimensi dengan portal dari sihir yang mereka buat, itu akan sangat
berbahaya bagi Immortal. Keberadaan Immortal akan terancam oleh eksploitasi dan—”
“Tapi, aku juga manusia, Jasper,” sela Clara.
“Aku tahu, tapi kamu berbeda dengan mereka, Clara,” balas Jasper. Satu tangannya menyentuh tangan istrinya itu dan mengusapnya pelan. “Kita bertemu dan saling mengenal sebelum akhirnya kamu pindah kemari. Kepindahanmu mendadak dan itu adalah sebuah keajaiban. Tidak seperti mereka yang memang berpindah karena ambisi dan ulah mereka.”
Clara terdiam, lalu mengangguk. Dia menatap Jasper. “Apa kamu tidak akan pergi lagi setelah ini?”
Jasper menggeleng. “Aku berjanji akan selalu di sampingmu. Jika itu penting, maka aku akan membawamu ke manapun aku pergi,” ucapnya yakin.
Perempuan di depan Jasper tertawa kecil. “Kamu jadi makin overportektif, ya?”
Jasper tersenyum menimpali. “Tentu saja. Kepada siapa lagi aku begini selain padamu?”
Clara menggeleng. Dia tertawa geli melihat tingkah Jasper sekarang. Sesekali dia melihat pria itu menghabisi
potongan steak, menyadari jika pernikahan mereka sudah berjalan sekitar lima bulan.
Keduanya melakukan pernikahan itu dua hari ketika jiwa Clara berpindah karena kecelakaan tersebut. Clara
tercenung. Sampai sekarang, dia tidak tahu bagaimana kondisi tubuh fisiknya. Apakah benar-benar meninggal atau masih hidup. Jika dirinya sudah meninggal, tidak mungkin dia berada di sini sekarang, kan?
***
Clara membuka mata perlahan. Suara berisik dari luar rumah terdengar ramai. Dia bangun dan mendapati Jasper
masih terlelap di sisinya. Pria itu seperti tidak mendengar bising di luar sana.
Perempuan itu berdiri dan menghampiri jendela. Dia menyibakkan tirai dan menengok ke luar rumah. Gelap dan hanya remang cahaya lampu jalan. Tidak ada siapa pun di sana.
Clara mengerutkan kening. Dia terdiam seraya berpikir. Sebuah suara tiba-tiba saja mengurai fokus. Clara berjalan ke luar kamar, tidak lupa menutup pintu kamar pelan-pelan agar Jasper tidak terbangun. Dia melangkah menuruni anak tangga dan mendapati bayangan seseorang dari arah dapur.
“Siapa itu?” desisnya.
Perempuan itu terus berjalan pelan. Hampir tidak membuat suara sedikit pun pada langkahnya. Sampai akhirnya, dia berhenti ketika mendapati dapur yang kosong. Lagi-lagi tidak ada siapa pun.
Clara lantas memegangi perut. Rasa nyeri kembali menyerang bagian bawahnya dan Clara tahu harus segera kembali ke kamar untuk merebahkan diri. Namun, sesuatu membuat perempuan itu terhuyung. Kakinya terpeleset air di lantai dan membuat tubuh Clara jatuh seketika.
“Argh … sakit,” desisnya sambil memegangi perutnya yang makin terasa berdenyut. “Jasper!!!”
***
Mata biru itu terbuka sekejap. Pria itu terbangun seraya menyibakkan rambut blonde yang menutupi wajahnya. Dia
menatap seorang wanita yang tengah tertidur dengan peralatan medis menjerat tubuhnya. Sebuah perban terlihat melilit bagian atas kepalanya. Pria itu mendesah, sampai akhirnya tangan seseorang mengurai kesadarannya.
“Clara akan baik-baik saja,” ucap seorang wanita paruh baya.
Pria itu mengangguk. Dia kembali menatap perempuan di ranjang di depannya.
“Kamu sudah makan, Brandon?” tanya wanita tadi.
Brandon Hover, pria berambut blonde tersebut menggeleng. “Aku tidak lapar, Bu,” ucapnya. “Aku hanya ingin menjaga Clara di sini saja.”
Wanita itu menghela napas. “Biar Ibu yang menjaganya. Clara juga menantu Ibu.”
Brandon menunduk. Dia kembali menatap wajah istrinya yang masih terpejam itu. Tangan wanita tadi kembali
mengusap tengkuk, mengalirkan energi positif padanya. Brandon berdiri dari kursi, tidak lupa menyambar ponsel di nakas.
“Aku ke kantin dulu, Bu,” lirihnya.
Sang ibu mengangguk, lantas melihat langkah gontai putranya keluar dari kamar rawat. Dia kembali menatap perempuan yang terlelap di ranjang. Helaan napas lolos dari hidungnya.
Sudah lima bulan ini, Clara dinyatakan koma setelah kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya. Menurut
penuturan Brandon, dia dan istrinya itu sempat berkelahi sebelum akhirnya Clara meninggalkan rumah dengan membawa mobil. Beberapa menit kemudian, polisi tiba-tiba saja menghubungi nomor telepon rumah dan mengabarkan kejadian menyakitkan itu.
Sampai sekarang, Brandon diliputi rasa bersalah. Dia selalu menunggu Clara dan berharap jika istrinya itu cepat terbangun. Sang ibu tahu jika putranya sangat mencintai Clara meski dia tahu bagaimana masa lalu perempuan itu terlihat amat kotor menurut orang-orang di sekitarnya.
Brandon tampak memainkan sendok di mangkuk buburnya. Dia benar-benar tidak nafsu makan sekarang dan hanya memikirkan tentang Clara. Ingatannya tentang pertengkaran terakhirnya dengan sang istri menguar. Dia mendesah, memejamkan mata sejenak. Namun, saat matanya terbuka, Brandon tersentak ketika seorang ber-hoodie berdiri di dekat mejanya.
“Maaf, apa aku boleh makan di sini?” Suara seorang perempuan dengan nampan di tangannya.
Brandon mengangguk, mempersilakan perempuan itu duduk di seberangnya. Dia kembali melamun, sementara mata merah di balik hoodie itu memandangnya.
“Sesuatu yang sudah pergi mungkin tidak akan bisa kembali lagi.” Tiba-tiba perempuan itu berucap dan menarik atensi pria di depannya. “Apa kamu sedang memikirkan sesuatu yang telah pergi dari hidupmu?”
Brandon terdiam. Dia menatap mata merah yang sedikit tertutup oleh hoodie itu. “Apa maksudmu?” tanyanya.
Perempuan itu menyeringai. Dia menyibakkan sedikit tudung jaketnya, menampakkan mata merah dan rambut putihnya yang amat kontras. Wajahnya sangat cantik, bahkan lebih cantik daripada Clara. “Mata tidak pernah bisa berbohong, Tuan,” ucapnya.
Sorot mata Brandon amat sendu. Pria itu kembali tertunduk dan enggan memakan buburnya. Dia terdiam, mengunci atmosfer pada areanya sendiri.
Satu tangan perempuan itu menyentuh tangan Brandon. “Jangan terlalu dipendam,” ucapnya. “Kamu bisa bercerita padaku.”
“Bagaimana aku bisa memercayaimu?”
Perempuan itu tersenyum. “Annelise. Itu namaku,” ucapnya. “Aku kemari karena ada temanku yang sedang dirawat di rumah sakit ini. Karena aku lapar, jadi aku ke sini.”
Brandon mengangguk. Dia kembali mengutak-atik sendok di buburnya.
“Dan kamu?” Anne bertanya, membuat pria di depannya kembali mendongak.
“Brandon Hover,” jawab pria tersebut. “Istriku sedang dirawat di sini karena kecelakaan.”
Anne mengangguk. “Kecelakaan, ya?” gumamnya. “Sudah berapa lama?”
“Sekitar lima bulan,” jawab Brandon. Sebenarnya, dia enggan berkenalan dengan orang asing, apalagi itu wanita. Pria itu sepertinya benar-benar menjaga jarak kepada orang lain kecuali untuk istrinya sendiri.
“Apakah istrimu koma? Kenapa lama sekali!”
Brandon mengangguk, mengukir senyum tipis. Keduanya dikuasai hening selama beberapa saat. Anne kembali
melahap makan siangnya, sementara matanya memandangi Brandon. Pria itu mulai mengisi perut dengan satu atau dua suapan. Anne tersenyum, lalu minum sejenak.
“Aku pernah mendengar kisah tentang jiwa dari manusia yang sedang koma itu berkelana ke dunia lain,” ucap Anne, menarik perhatian Brandon. “Apa kamu tidak berpikir jika jiwa istrimu tengah berjalan-jalan di suatu tempat?”
Brandon menghentikan makannya. Dia menatap Anne. “Apa maksudmu?”
Anne membenahi posisinya. Kedua tangannya saling berlipat di atas meja. “Mungkin saja istrimu tidak benar-benar koma,” ucapnya. “Dia hanya meninggalkan tubuh fisiknya dan pergi ke dimensi lain dunia ini.”
Helaan napas lolos dari hidung dan mulut Brandon. Pria itu bersandar dengan kedua lengan berlipat di depan dada. “Aku juga pernah mendengarnya,” katanya. “Tapi aku tidak memercayainya.”
Perempuan berambut putih itu memutar bola mata. “Cukup aneh memang. Tapi, bagaimana jika kamu sendiri yang
membuktikan hal itu?” selisiknya dengan sebelah alisnya yang mengendik.
Tatapan Brandon amat lurus terarah pada Anne. Dia berusaha menebak isi pikiran wanita itu, tetapi nyatanya itu sulit dilakukan. Dia menghela napas. “Beritahu aku jika kamu tahu caranya,” ucapnya kemudian.
Seringai terukir sempurna di sudut bibir Anne, menampakkan taringnya yang tajam dan indah. Perempuan itu mengedipkan mata dan mengangguk. Dia mengulurkan tangan hingga Brandon meletakkan tangannya di atas tangan perempuan tersebut. Anne membuat kode transparan yang membuat mata biru Brandon terbelalak. Pria itu hampir beranjak dari kursi, tetapi urung saat Anne memberinya kode agar tetap duduk.
“Mari kita bertukar nomor. Malam ini, temui aku di lokasi yang kubagikan ke nomormu.”
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!