Hari ini pernikahan Rania Wirasana dilangsungkan di kamar utama kediaman Matteo Balakosa. Di sana sudah ada sepasang mempelai, ibu Matteo, penghulu dan dua orang saksi yang tak lain adalah sopir pribadi dan pelayan senior rumah itu.
Ibu Matteo yang bernama Merry memang sengaja tidak mempublikasikan pernikahan anaknya kepada publik. Baginya Rania hanya wanita yang akan dia manfaatkan untuk merawat putranya. Tidak ada gunanya memberitahu publik akan hal ini. Toh, nantinya mereka berdua akan bercerai juga.
Lumayan kan, dia tidak perlu repot-repot mengeluarkan uang untuk membayar seorang perawat. Lagian tidak ada satu pun perawat yang betah mengurus Matteo yang memiliki tempramen buruk dan sangat emosional. Dalam dua bulan ini saja sudah ada sepuluh perawat yang angkat kaki dibuatnya.
Setelah acara sakral itu selesai dilangsungkan, semua orang meninggalkan kamar termasuk Merry. Namun sebelum keluar, dia masih sempat berbisik di telinga Rania dan meminta gadis itu melakukan tugasnya dengan baik. Rania hanya mengangguk tanpa bicara sepatah kata pun.
Setelah menutup pintu dan menguncinya, Rania menghampiri Matteo yang masih terbaring di atas ranjang dan menatapnya penuh rasa iba. Pria itu bisa melihat, mendengar dan berbicara, tapi sayang kakinya susah sekali digerakkan. Keduanya seakan mati rasa akibat kecelakaan malam itu.
FLASHBACK...
Tepat dua bulan yang lalu, sebuah Lamborghini melintas di jalanan yang cukup sepi. Dari arah berlawanan datang L300 yang tengah melaju sangat kencang. Mobil itu dikendarai oleh Arbi yang tak lain adalah kekasih Rania. Keduanya baru saja pulang dari pesta pernikahan sahabat mereka.
Arbi kala itu baru saja menenggak minuman beralkohol untuk merayakan pernikahan sahabatnya. Rania bahkan sudah melarangnya mengemudi tapi Arbi bersikukuh mengatakan bahwa dia baik-baik saja, dia tidak mabuk dan hanya minum sedikit saja. Begitulah menurutnya.
Sayang seribu kali sayang mala petaka itu datang hanya dalam sekejap mata. Matteo yang mengemudi sambil menelepon tak memperhatikan jalan dengan seksama. Karena jalanan sangat licin setelah diguyur hujan, dua mobil itu kehilangan keseimbangan hingga terjadilah adu banteng.
"Ciiiiit!"
"Bruuuk!"
Seketika mobil Matteo terbalik saking kagetnya karena tak sanggup menjaga keseimbangan. Sedangkan mobil Rania masih berdiri tegak dalam keadaan hancur bagaikan kaleng yang diinjak. Remuk tanpa bentuk.
Tubuh Rania terpental jauh di badan jalan, beruntung dia hanya mengalami luka ringan. Namun karena kepalanya membentur aspal, pandangan Rania mendadak gelap hingga akhirnya tak sadarkan diri. Sedangkan Arbi masih sempat melompat dari mobil dan hanya mengalami cedera lutut. Karena panik, Arbi melarikan diri tanpa mempedulikan Rania yang sudah tergeletak di jalanan.
Malang menimpa Matteo, dia justru terjebak di dalam mobil. Kedua kakinya terjepit dan mengalami luka yang cukup serius, dia sangat kesulitan membebaskan diri. Darah segar mengucur deras di dahi, kaki dan pergelangan tangannya.
Beruntung warga setempat masih mempunyai rasa simpati yang cukup tinggi, mereka berbondong-bondong membantu Matteo lepas dari siksaan menyakitkan itu.
Setelah tubuh Matteo berhasil diselamatkan, dia pun tak sadarkan diri menyusul Rania. Keduanya dibawa ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan.
FLASHBACK SELESAI...
Matteo tersenyum mengejek. "Kenapa melihatku seperti itu? Senang ya karena sudah berhasil menghancurkan hidupku? Sekarang aku cacat karena ulahmu. Untuk apa menerima pernikahan palsu ini? Kasihan? Tidak, tidak, ini pasti akal-akalan mu saja untuk menertawakan keadaanku!"
Berbagai macam pertanyaan dan sindiran melompat dari mulut Matteo, sudut bibirnya terangkat mengejek dirinya yang kini tidak berguna. Dia menerka, pasti saat ini Rania tengah menertawakan dirinya dalam hati.
"Ma-Maaf..."
Hanya satu kata itu yang terlontar dari mulut mungil Rania. Meski takut, dia harus berani menghadapi Matteo. Bagaimanapun sekarang mereka berdua sudah resmi menjadi suami istri.
Walaupun kesalahan itu bukan berasal dari Rania sepenuhnya, tapi dia cukup berani menanggung konsekuensi atas keteledoran yang dilakukan Arbi kekasihnya.
"Maaf...? Hahaha..."
Matteo tertawa mengulangi kata itu. "Jika kata maaf mu mampu membuatku berjalan kembali, maka aku akan memaafkan mu dengan senang hati. Tapi kenyataannya aku sekarang lumpuh, maaf mu tidak akan mampu mengembalikan kakiku seperti semula."
"Mas..."
"Jangan panggil aku dengan sebutan itu!" potong Mateo meninggikan suara.
Rahang Matteo mengerat kuat, tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. Tatapan matanya sangat tajam dan menyala. Jika saja dia bisa berdiri sedetik saja, dia ingin sekali mencekik leher Rania sampai mati.
"Tapi aku ini istri kamu, Mas. Aku berhak memanggilmu dengan sebutan itu." Rania tak mau kalah dan mencoba menjelaskan siapa dirinya. "Aku janji akan merawat kamu sampai sembuh, aku tidak akan lari dari tanggung jawabku!"
"Ck, sayang sekali aku tidak membutuhkan basa basimu." ketus Matteo, lalu membuang pandangannya ke arah lain.
"Tidak apa-apa, aku akan tetap merawat kamu sampai sembuh. Mas tidak perlu menganggap ku sebagai istri jika kamu tidak mau, anggap saja aku ini seorang perawat!" ucap Rania melembutkan suara.
"Berucap memang mudah, tapi kamu tidak akan pernah tau bagaimana rasanya menjadi aku. Kamu pikir enak tidur-tiduran seperti mayat hidup begini hah?" hardik Matteo.
"Jika aku bisa memilih, biarkan aku saja yang mengalami kelumpuhan itu. Tapi ini sudah takdir Mas, kamu harus bersabar!"
"Bersabar sampai kapan? Apa perlu aku mati dulu?"
"Tidak Mas, bukan begitu maksudku."
"Sudah, lebih baik kamu diam. Jangan membuatku semakin marah!"
"Dengar aku Mas, aku janji akan merawat kamu sampai sembuh. Mas bisa pegang ucapanku!"
"Baiklah, aku akan memberimu satu kesempatan." Matteo menatap Rania sambil mengacungkan jari telunjuk. "Satu bulan, waktumu hanya satu bulan. Jika dalam satu bulan aku belum juga bisa berjalan, maka jangan salahkan aku jika membuat hidupmu menderita. Ingat itu!"
"Iya Mas, aku mengerti." angguk Rania penuh keyakinan. "Kalau begitu aku ke kamar mandi sebentar ya, aku ganti baju dulu." imbuh Rania.
Rania segera berbalik dan mengambil pakaian yang ada di dalam koper, lalu melangkah menuju kamar mandi. Setelah membersihkan diri dan mengenakan pakaian bersih, Rania keluar dan kembali menghampiri Matteo.
"Maaf lama, apa Mas butuh sesuatu?" tanya Rania dengan suara lembut yang mampu meneduhkan hati, tapi tidak untuk Matteo yang menatapnya dengan penuh kebencian.
"Tidak, aku hanya ingin istirahat." Matteo memalingkan wajahnya. "Selama aku terlelap, jangan pernah meninggalkan aku sedetik pun! Aku ingin dilayani saat bangun nanti." tekan Matteo dengan tatapan mengintimidasi, lalu memejamkan mata perlahan.
"Iya, aku tidak akan kemana-mana. Mas tidur saja!"
Setelah mengatakan itu, Rania meraih selimut dan menutupi sebagian tubuh pria yang kini sudah resmi menjadi suaminya itu. Meski pernikahan ini terjadi karena unsur pemaksaan, tapi Rania tidak akan pernah melalaikan tugasnya sebagai seorang istri.
Kemudian Rania mengitari tempat tidur dan naik ke atas kasur. Rania menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang, sesekali matanya menatap Mateo dengan lekat.
Sekilas ketampanan pria itu memancar meski dalam posisi tidur sekali pun. Kulitnya putih dan bersih, hidungnya mancung seperti paruh burung tukan toco, bibirnya merah dan sangat sensual.
Rahang Matteo terpahat indah dengan bulu halus yang menjalar hingga leher, kumis tipis samar-samar berbaris di atas bibirnya. Semakin perfect dengan dagu yang bulat dan menonjol.
"Tampan..." gumam Rania tanpa sadar. Meski pelan, tapi masih bisa didengar jelas oleh Matteo. Pria itu hanya pura-pura tidur karena ingin melihat reaksi Rania saat bersamanya.
"Pijat kepalaku!" titah Mateo tanpa membuka mata sedikit pun.
"I-Iya Mas," Rania dengan cepat memposisikan duduknya dengan benar.
Jari-jari mungil dan lentik Rania mulai bergerak memijat dahi Matteo. Pelan tapi pasti, Matteo sampai menguap hingga beberapa kali saking enaknya pijatan yang dilakukan Rania.
Selama kurang lebih satu jam memijat dahi Matteo, mata Rania mulai terasa berat.
Setelah memastikan bahwa Matteo sudah benar-benar tidur, Rania perlahan turun dari ranjang. Dia mengambil bantal dan mencari selimut di dalam lemari, lalu memilih tidur di atas lantai.
Rania tau posisinya hanya sebagai istri sementara untuk Matteo, hal itu sesuai perjanjian yang sudah dia sepakati dengan Merry.
Setelah Mateo sembuh nanti, semua akan berakhir dan kembali ke kodratnya masing-masing. Dia tidak ingin terjerumus dalam pernikahan ini. Lebih baik menjaga jarak agar nantinya tidak ada yang terluka.
Bersambung...
"Arghhh... Sakit sekali, sial!" rintih Matteo merutuki keadaannya yang sama sekali tidak berguna. Jangankan untuk berjalan, berdiri saja dia tidak mampu.
Suara rintihan itu sayup-sayup terdengar di telinga Rania. Gadis itu tersentak dari tidurnya dan membuka mata perlahan. "Mas Teo..."
Rania berhamburan mendekati Matteo saat kesadarannya sudah mulai kembali. "Mas, apa yang kamu lakukan? Kamu mau kemana?" tanya Rania sambil mencengkram pelan lengan Matteo yang tengah berusaha bangkit dari ranjang.
"Jangan pegang-pegang!" ketus Matteo sembari menepis tangan Rania, dia menajamkan tatapannya seperti seekor singa yang tengah kelaparan.
Marah, kesal, sedih, frustasi, begitulah gambaran kekecewaan di dalam hati Matteo saat ini. Ingin sekali dia mencekik Rania dan membenturkan kepalanya ke sisi ranjang agar gadis itu bisa merasakan sakit seperti yang dia rasakan, tapi Matteo bukan tipe pria pengecut yang tega menyakiti seorang wanita.
"Mas... Tolong jangan seperti ini! Jika kamu membutuhkan sesuatu, katakan saja padaku! Bukankah semalam kita berdua sudah sepakat, aku akan merawat kamu sampai sembuh." terang Rania, suaranya terdengar lembut dan merdu di telinga.
"Sekarang katakan padaku! Mas mau kemana?" imbuh Rania, dia kembali memberanikan diri menyentuh lengah Matteo dan mengusapnya dengan lembut.
"Bantu aku ke kamar mandi!" titah Matteo dengan nada kesal, lalu memalingkan wajahnya. Sebenarnya dia malas sekali menatap wajah Rania, tapi dia sendiri tidak bisa berbuat apa-apa.
"Pakai kursi roda ya, tunggu sebentar aku ambilkan dulu!" Rania berlari kecil menuju sudut kamar dan mendorong kursi roda ke sisi ranjang.
Dengan sangat hati-hati, Rania menguatkan diri mengangkat tubuh Matteo dan mendudukkannya di atas kursi roda.
"Arghhh..." rintih Matteo saat melipat lutut, sakitnya menjalar hingga ubun-ubun. Hampir saja air mata Matteo menetes menahan rasa sakit yang begitu menyiksa.
"Pelan-pelan Mas, jangan dipaksakan!" Rania berjongkok di kaki Matteo, lalu menyetel pijakan kursi roda dan meluruskan kaki Matteo.
Setelah kaki Matteo lurus, Rania mendongakkan kepala. "Masih sakit?"
"Tidak, sudah agak berkurang." jawab Matteo acuh tak acuh.
"Syukurlah, sekarang aku dorong ya." Rania berdiri dari jongkoknya dan berpindah ke belakang Matteo, lalu mendorong kursi roda yang diduduki Matteo ke kamar mandi.
Sesampainya di dalam sana, Rania menahan langkahnya di dekat bathtub.
"Mas mau mandi kan? Sini, aku bantuin buka bajunya!" Rania bahkan tidak memikirkan rasa malu sedikit pun, dia benar-benar menganggap dirinya sebagai seorang perawat yang harus melayani semua kebutuhan pasien.
"Keluarlah, biarkan aku sendiri!" usir Matteo yang merasa tidak membutuhkan Rania lagi.
"Tidak apa-apa, aku di sini saja bantuin Mas. Tidak usah malu, anggap saja aku ini sebuah patung yang tak bernyawa."
Setelah mengatakan itu, Rania berpindah ke hadapan Matteo dan tanpa ragu mengangkat baju suaminya hingga terlepas. Sesaat mata Rania melebar menyaksikan dada bidang Matteo yang berbulu, perutnya membentuk kotak seperti roti sobek. Kulitnya putih dan bersih, beruntung sekali wanita yang bisa bersandar di dada itu.
"Kenapa bengong? Katanya mau membantuku," bentak Matteo yang membuat Rania tersadar dari lamunannya.
"Ti-Tidak, siapa yang bengong?" Rania mengerjap dan memutus kontak mata dari badan Matteo.
"Ya sudah, kenapa masih diam? Cepat, buka celanaku!" titah Matteo dengan ekspresi datar seperti papan tulis.
"Aku?" Rania membulatkan mata dengan sempurna.
"Iya kamu, siapa lagi? Bukankah tadi kamu sendiri yang menawarkan bantuan padaku, tunggu apa lagi?"
Matteo tersenyum licik setelah mengatakan itu. Sekarang tanggung sendiri akibatnya, siapa suruh sok jadi pahlawan kesiangan tanpa memikirkan konsekuensinya.
"I-Iya, tapi bukan bagian itu juga kali Mas. Malu tau," keluh Rania dengan bibir mengerucut.
"Malu saja sendiri, aku tidak! Ayo cepat, aku sudah kedinginan ini!" desak Matteo yang sudah sedari tadi bertelanjang dada.
"I-Iya, tunggu sebentar ya Mas!" Rania berbalik dan memutar otak memikirkan cara melepas celana Matteo tanpa melihat isi di dalamnya. Saat pikirannya mulai kusut...
"Ting!"
Sepertinya dewi fortuna tengah memihak padanya. Mata Rania menangkap sebuah handuk yang tergantung di belakang pintu. Segera Rania mengambilnya dan kembali menghampiri Matteo.
Rania melingkarkan handuk itu di pinggang Matteo, kemudian berjongkok dan menarik celana pendek yang melekat di pinggang Matteo sambil memicingkan mata.
"Tahan handuknya ya Mas!" pinta Rania tanpa melihat sedikit pun, mendadak ritme detak jantungnya berdegup semakin cepat seperti tengah dihadapkan dengan situasi berbahaya. Bahkan film perang sekali pun kalah menegangkan dengan situasi yang tengah dia hadapi.
Rania menggigit bibir untuk menetralisir ketegangan di hatinya, pipinya memerah bak tomat. Dia sama sekali tak menyangka akan berhadapan dengan situasi rumit seperti ini.
Saat celana Matteo sudah melorot sampai mata kaki, Rania menghela nafas dalam-dalam dan membuangnya dengan kasar. Matanya perlahan terbuka dan bertemu dengan mata Matteo yang sedari tadi tak lepas memandanginya.
"Huftt..."
"Kenapa?" Matteo mengulum senyum.
"Tidak apa-apa," Rania membuang pandangannya dan mengeluarkan celana itu dari kaki Matteo.
Saat Rania ingin pergi, suara bariton Matteo seketika menahan langkahnya. "Tetap di sini!"
"Hah?" Rania memelototi Matteo dengan mulut sedikit menganga.
"Ayo, mandikan sekalian!" titah Matteo dengan santai. Ekspresinya terlihat datar seperti jalan tol.
"Loh, bukankah Mas bisa mandi sendiri?" Rania menautkan alis.
"Tidak bisa, tanganku juga sakit." ucap Matteo.
"Mas..."
"Jangan membantah, ayo cepat! Kamu sengaja mau membunuhku secara perlahan? Ini dingin tau," keluh Matteo. Dia tidak berbohong, dia memang kedinginan bahkan sekujur tubuhnya mulai menggigil.
Melihat bibir Matteo yang bergetar, mau tidak mau Rania terpaksa menurutinya. Dengan tenaga yang dia miliki, Rania berusaha keras memindahkan Matteo ke kursi lalu memutar kran dan menyalakan air panas.
Setelah mengguyur tubuh Matteo dengan air, Rania menuang shampoo di rambutnya dan meratakannya dengan tangan lalu menyabuni tubuh Matteo sampai bawah kecuali bagian tengah yang menjadi aset pribadi yang tidak boleh disentuh. Bagian itu Matteo sendiri yang menyabuninya.
Matteo memicingkan mata meresapi sentuhan tangan Rania yang menempel di kulitnya. Rasanya sangat lembut dan mampu membuat dada Matteo berdenyut ngilu. Perasaan aneh yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.
Setelah semua bagian tubuh Matteo disabuni, Rania kembali memutar kran dan membilas tubuh Matteo. Lalu mengambil gosok gigi dan menaruhnya di tangan Matteo.
"Mas bisa kan gosok gigi sendiri? Aku keluar sebentar mengambil handuk."
Setelah mengatakan itu, Rania mengayunkan kaki meninggalkan kamar mandi dan berjalan menuju lemari.
Rania mengambil dua handuk sekaligus untuk mengeringkan tubuh dan rambut Matteo.
Usai melingkarkan handuk itu di pinggang suaminya, Rania mengeringkan tubuh dan rambut Matteo lalu membantunya pindah ke kursi roda dan mendorongnya ke luar. Lanjut memakaikan pakaian dan menyisir rambut pria lumpuh itu.
Bersambung...
"Mas mau sarapan di kamar atau turun ke bawah?" tanya Rania setelah suaminya terlihat rapi dan tampan.
"Di kamar saja," jawab Matteo dingin.
"Baiklah, Mas tunggu di sini dulu ya. Aku ke bawah sebentar mengambilkan makanan," balas Rania, lalu meninggalkan kamar dan turun menuju meja makan.
Baru saja kaki Rania menginjak lantai ruang makan, tatapan sinis dari mata Merry sudah mengarah pada dirinya. Rania terlihat gugup tapi tetap memberanikan diri menyapa mertuanya.
"Pagi Ma, Rania izin mengambil makanan untuk Mas Teo ya Ma." ucap Rania sambil membungkukkan punggung.
"Lila, ambilkan makanan untuk Tuan Matteo! Aku tidak mau meja makanku tersentuh olehnya,"
Bukannya menyahut, Merry malah acuh tak acuh pada Rania. Dia bahkan meminta pelayan untuk mengambilkan makanan karena tak sudi meja makannya disentuh oleh Rania. Sampai di sini Rania mulai paham dan memilih diam sambil menunggu Lila selesai menyiapkan makanan.
"Ini Nona," Lila memberikan nampan yang sudah berisi makanan dan minuman ke tangan Rania.
"Terima kasih, kalau begitu aku permisi dulu." Setelah mengambil alih nampan itu, Rania segera berbalik dan meninggalkan ruang makan dengan perasaan sedikit lega.
Lama-lama berada di sana sepertinya tidak baik untuk jantung Rania, tatapan Merry seakan membawa penyakit untuk dirinya.
Sesampainya di kamar, Rania menutup pintu dan berjalan menuju meja sofa. Setelah meletakkan nampan itu di sana, Rania menghampiri Matteo dan mendorong kursi roda yang didudukinya.
"Mas mau disuapi apa makan sendiri?" tawar Rania setelah memposisikan kursi roda Matteo di dekat sofa.
"Suapi," jawab Matteo singkat dan sedingin salju.
Rania hanya tersenyum, lalu duduk di sisi sofa dan menarik kursi roda Matteo semakin dekat. Setelah itu Rania mengambil piring yang ada di atas nampan dan mulai menyendok makanan.
"Buka mulutnya!" pinta Rania sembari menyodorkan sendok berisi makanan ke mulut Matteo.
Sesuai permintaan Rania, Matteo pun membuka mulut dan mengunyah makanan dengan pelan. Sampai suapan terakhir, Rania tak henti tersenyum meskipun ada beban yang menjepit jantungnya.
"Lagi ya Mas, nanggung." ucap Rania.
"Cukup, aku sudah kenyang." tolak Matteo.
"Ya sudah, sekarang minum dulu ya Mas." Rania menaruh piring itu di atas nampan dan mengambil gelas berisi air putih, tak lupa pula Rania mengambilkan obat Matteo yang ada di atas nakas dan meletakkan lima biji pil di tangan Matteo.
Setelah Matteo menelan obat dan meminum air putih, Rania merapikan kembali nampan itu dan menyeka bibir Matteo dengan tisu.
"Aku ke bawah sebentar ya Mas, mau menaruh nampan ini dulu." ucap Rania.
"Nanti saja, bawa aku ke balkon dulu!" pinta Matteo.
"Iya," angguk Rania, lalu berdiri dan mendorong kursi roda Matteo ke balkon.
Setelah memposisikan kursi roda Matteo di bawah sinar matahari pagi, Rania berbalik dan meninggalkannya sendirian. Sebelum turun, Rania duduk sebentar di sofa. Tanpa pikir dia langsung melahap sisa makanan yang ada di piring.
"Hmm... Enak," lirik Rania dengan mata berkaca.
Akhirnya Rania menitikkan air mata saat tak seorang pun ada bersamanya. Dia memang berusaha tegar di hadapan semua orang, dia harus kuat dan tidak boleh lemah agar orang-orang tidak semena-mena padanya. Tapi di belakang, hati Rania benar-benar rapuh tanpa tau kemana harus mengadu.
Sejak lahir, Rania sudah kehilangan ayahnya tanpa sempat bertemu dengan dirinya. Dari penjelasan sang ibu, ayah Rania meninggal saat dia masih berada di dalam kandungan, beberapa minggu sebelum Rania lahir ke dunia akibat insiden kecelakaan yang terjadi di pabrik tempatnya bekerja. Tapi sampai detik ini Rania tidak pernah melihat kuburannya. Sedangkan ibu Rania meninggal satu tahun yang lalu saat gadis itu baru lulus dari SMA.
Harapan satu satunya Rania adalah Arbi. Tapi ternyata pria itulah yang menjerumuskannya ke dalam pernikahan semu ini. Pernikahan yang hanya dijadikan simbol agar Rania terikat untuk merawat Matteo hingga sembuh.
Sebenarnya tanpa menikah pun Rania akan tetap bersedia merawat Matteo, tapi Merry sama sekali tidak percaya hingga akhirnya terjadilah kesepakatan diantara mereka berdua.
Rania menyapu jejak air mata di pipinya dan segera menghabiskan makanan sisa Matteo sampai tandas, lalu meneguk minuman sisa Matteo juga sampai habis. Setelah itu Rania berdiri dan meninggalkan kamar sembari membawa nampan piring kotor itu ke dapur.
Tanpa Rania sadari, ternyata Matteo melihat semua itu dan bergeming di kursi roda yang dia duduki. Matteo tak habis pikir, kenapa Rania malah memakan makanan sisa padahal di rumah itu tidak pernah kekurangan makanan, malah seringkali berlebih dan terbuang sia-sia.
Di bawah sana, Rania segera mencuci nampan dan piring kotor yang dia bawa. Setelah menaruhnya di rak, Rania kembali ke kamar untuk melanjutkan tugasnya merawat Matteo.
"Ceklek!"
Matteo segera melajukan kursi roda saat menyadari ada yang membuka pintu dari luar dan kembali ke posisinya.
"Mas, aku mandi sebentar ya. Mas tidak apa-apa kan aku tinggal?" seru Rania dari pintu balkon.
"Iya, mandilah!" jawab Matteo dingin.
Karena sudah mendapatkan izin, Rania langsung mengambil pakaiannya yang ada di dalam koper. Rania sengaja tidak memasukkannya ke dalam lemari karena merasa tidak pantas berbagi lemari mahal itu dengan Matteo.
Lalu Rania memasuki kamar mandi dan segera membersihkan diri.
Seperempat jam kemudian, Rania keluar dan merapikan pakaiannya di depan cermin. Setelah menyisir rambut, Rania langsung menyusul Matteo ke balkon.
"Sudah ya Mas berjemurnya, matahari mulai terik." ucap Rania, lalu mendorong kursi roda Matteo ke dalam kamar.
Setelah merapatkan kursi roda Matteo ke sisi ranjang, Rania kemudian memindahkannya ke kasur. Berat memang tapi Rania harus kuat seperti baja, dia tidak boleh lemah dan menyerah. Jika Matteo sembuh, maka semua tanggung jawabnya akan berakhir saat itu juga.
"Kamu tidak sarapan?" tanya Matteo dingin.
"Sudah tadi," jawab Rania santai.
"Kapan?" Matteo mengerutkan kening.
"Tadi di bawah." jawab Rania berbohong. "Tidak usah dipikirkan, sekarang Mas istirahat dulu ya biar cepat sembuh." imbuh Rania, lalu menarik selimut dan menutupi kaki Matteo.
"Apa kamu terpaksa menjadi istriku dan merawat ku?" Matteo lagi-lagi mengerutkan kening.
"Tidak sama sekali. Mana mungkin aku mau dipaksa? Aku bukan wanita pengecut, aku ikhlas melakukan ini. Mas tidak usah mikir aneh-aneh, fokus saja sama kesembuhan Mas. Aku yakin sebentar lagi Mas bisa jalan seperti semula, pokoknya Mas harus semangat untuk sembuh, tidak boleh pesimis!"
Rania tersenyum dan memperagakan kepalan tangannya yang menekan otot lengan. Persis seperti Agung Hercules saat memperlihatkan otot lengannya.
"Kamu juga tidurlah di sini!" ucap Matteo.
"Tidak usah, aku di sofa saja. Aku tidak ingin mengganggu tidur Mas. Soalnya aku tidak bisa tenang kalau tidur, aku bisa saja menendang Mas sampai jatuh, hehe..." Rania tertawa kecil hingga memperlihatkan barisan giginya yang sangat rapi. Dada Matteo tiba-tiba berdenyut menyaksikan keindahan yang ada di depan matanya itu.
"Ya sudah, selamat tidur. Semoga mimpi indah,"
Rania kemudian mendorong kursi roda kosong itu dan menaruhnya di sudut kamar, lalu duduk di sofa sambil menatap lama ke arah ranjang. Tatapannya terlihat kosong dan penuh misteri. Matteo yang melihatnya tidak bisa menerka-nerka, sulit ditebak dan diungkapkan dengan kata-kata.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!