NovelToon NovelToon

Terpaksa Menikah Pria Beristri

Bab 1 Tak mau di jodohkan

"Pah, Sarla tidak mau dijodohkan dengan lelaki yang sudah beristri, papah tahukan Sarla ini, masih ingin menempuh kuliah dan ingin menjadi sarjana."

Sesekali wanita berhijab itu mengusap pelan air mata yang mengalir membasahi pipi. Hatinya rapuh, tak terima dengan perjodohan yang dilakukan sang papah

Palkkk … 

Tamparan mendarat pada pipi kiri Sarla dari sang papah.

"Dasar tidak tahu diri, beraninya membangkang. Papah melakukan semua ini demi masa depan kamu."

Dada lelaki tua itu naik turun, menahan kekesalan.

"Sudahlah, turuti apa perkataan Papah kamu Sarla. Toh ini juga demi kebaikan kamu dan adik adik kamu juga, " timpal wanita tua, duduk di sebelah sang papah.

"Tapi Sarla tidak mau. Mah, apa nanti kata orang tentang Sarla," ucap Sarla merengut, melihat bertapa menyedihkan dirinya saat ini.

"Ya ampun, kamu repot sekali jadi anak Sarla, tinggal kawin saja punya anak udah, gitu amat kok repot, " balas sang mama tiri membuat Sarla kesal. Setiap kali melawan perkataan papahnya, wanita tua itu selalu ikut campur.

"Sarla kasihan papah kamu sakit sakitan seperti ini, harusnya kamu jadi anak itu tanggung jawab. Turuti perkataan papah kamu, agar kamu hidup nyaman setelah menikah. Dan papah kamu tak perlu membiayai hidup kamu dan juga biaya kuliah kamu. Apalagi kamu tahu sendirikan adik adikmu itu masih kecil kecil, " jelas mama tiri, semakin membuat Sarla membencinya.

Apa harus Sarla yang menjadi tumbal keprihatinan keluarganya akan terpuruk ekonomi, bukanya masih banyak jalan lain, selain menikah dengan pria beristri.

Sarla menahan emosi, ia tak mau larut dalam amarah akan perkataan ibunya.

"Terserah mama, pokoknya Sarla tidak mau di jodohkan," bentak Sarlah pada sang mama.

Sarla berdiri, pergi berpamitan kepada kedua orang tuanya. Gadis bercadar itu tak mempedulikan ucapan dan teriakan papahnya sendiri. Ia pergi dengan luka pada hatinya.

"Sarla."

Teriak sang papah bergeming kembali pada telinganya, Sarla mencoba tetap tegar. Agar benteng pertahanannya tidak rapuh, bersikeras tak mau goyah akan rasa kasihan.

"Sarla, durhaka kamu nak," teriak lelaki tua dengan mengeluarkan nada batuknya, tangan yang sudah terlihat mengkerut kini memegag dada menahan rasa sesak.

Sarla menoleh sebentar dan pergi lagi. Kelopak matanya mempelihatkan bentuk kemarahan pada sang ayah.

"Anak itu."

Sambil memegang dada yang terasa sakit. Lelaki tua itu kini mendudukkan tubuhnya, mengatur napas agar setabil. Di bantu oleh sang istri.

"Sudahlah pah, biarkan anak itu pergi. Nanti juga dia balik lagi ke sini." ucap wanita yang sudah tiga tahun menjadi istrinya. Terlihat wajah licik tergambar.

"kenapa Sarla. Semakin besar susah diatur ya, mah?" pertanyaan lelaki tua hanya membuat Bu Dera melontarkan perkataan baik. "Namanya anak remaja plin plan. "

"uhuk uhuk. " Suara batuk terdengar kembali, dada bergetar menahan sakit, sudah satu tahun batuk lelaki tua tak kunjung sembuh.

"Sebaiknya Bapak Istirahat dulu Jangan sampai kondisi bapak malah  semakin memburuk." Perhatian sang istri tak luput membuat suaminya kagum dan senang.

Bu Dera langsung mengambil air minum untuk suaminya. Sedangkan Sarla berlari keluar rumah untuk menenangkan hatinya. 

"kenapa nasib Sarla seperti ini ya."

Sosok   seorang anak kecil  datang, menghampiri Sarla, anak kecil yang manis berlari dan tersenyum. Memanggil nama sang kakak.

" kak Sarla."

Sarla dengan terburu buru mengusap kasar air matanya, agar tak terlihat oleh sang adik.  Tak mau Lilia tahu akan kesedihanya.

Anak itu berdiri di sapa ramah oleh Sarla "Lilia sayang ada apa?"

Dengan menutupi kesedihan sarla menyuruh adiknya untuk duduk di dekatnya. 

"kak Sarla kenapa? Bertengkar lagi dengan papah?" tanya anak mungil bernama Lilia itu, ia mempelihatkan kedua pipi cambbynya.

Kedua mata Sarla terlihat sayu, hampir saja mempelihatkan kesedihan dan tekanan akan kedua orang tuanya, menampilkan senyuman lebar.

"Mm, nggak juga. Siapa yang bertengkar?" Sarla malah bertanya balik, berusaha menutupi masalah.

" Lilia tahu pasti Kak Sarla di suruh menikah dengan papah kan!" Anak kecil berumur 9 tahun itu seakan mengerti perasaan kakaknya. 

" Ini semua pasti gara-gara Lani." Hardik Lilia di depan sang kakak, menyalahkan anak dari mama tirinya.

"Huss de, kamu Jangan menyalahkan Lani semua ini tidak ada urusannya dengan dia, " Sarla mencoba menenangkan sang adik, agar tidak main menyalahkan orang takut jatuhnya fitnah.

" Lilia kesal sama Kakak bisa-bisanya Kakak masih membela Lani anak penyakitan itu." Pekik Lilia semakin berutal menyalahkan Lani atas masalah yang terjadi.

Lilia memajukan kedua bibirnya, tak suka akan pembelaan kakaknya itu.

"Loh, Lilia kok ngomongnya kayak gitu. " Jari lembut memegang bibir Lilia, Sarla mencoba mengusap pelan kepala adiknya dengan perlahan, memperlihatkan rasa kasih sayang pada Lilia

" Ya habisnya Kakak itu selalu berkorban untuk Lani anaknya Bu Dera, padahal apa untungnya sih mereka tinggal di sini, cuma numpang hidup saja. " Gerutu Lilia, menampilkan raut wajah memerah memperlihatkan dirinya sedang marah.

Sedangkan dengan Sarla dia hanya bisa diam, memang semenjak kedatangan ibu tiri, gadis bercadar itu seakan menjadi korban oleh Ibu tirinya yang sok berkuasa

******

Di tengah percakapan kedua adik kakak itu sosok anak kecil berumur 8 tahun menghampiri sarla dan juga Lilia. 

"kak Sarla. Lilia." senyum terlukis, membuat Lilia yang melihatnya menatap penuh kebencian.

Lilia turun dari tempat duduknya, berkacak pinggang di depan Lani." Ngapain kamu datang ke sini, mau menyuruh kakakku memenuhi keinginan kamu dan juga mama kamu."

Perkataan Lilia membuat Lani menundukkan pandangan, ia tak tahu masalah apa yang sedang menimpa di rumah.

"Lilia."

Sarla. Mencoba menenangkan adiknya

Lilia aku hanya ingin … "

Lilia menarik tangan kakaknya untuk menyingkir dari hadapan Lani, "Ayo Kak, sebaiknya kita pergi dari sini."

Menoleh sebentar ke arah Lani, Sarla mencoba berhenti," Tapi Lilia, Lani?"

"Ayo kak." Menarik tangan sang kakak, berusaha menyingkir. Dengan terpaksa Sarla mengikuti kemauan sang adik.

Terlihat raut wajah malaikat kecil bernama Lani merasa sedih melihat Lilia dan Sarah pergi.

"Ini semua pasti karena mama. "

Mengusap kasar air mata mencoba menghampiri sang mama. Lani terlihat murka pada sang mama karena kedua saudara tirinya menaruh rasa benci.

"Mam."

"Mamaaa."

Teriak Lani. Tak ada tanda Bu Dera datang menghampiri anak semata wayangnya itu, " Mama. "

Lani terus berteriak, berharap jika Bu Dera langsung datang dan menghampirinya.

"Ada apa sih sayang, pake acara teriak teriak segala. Mama juga dengar kok dari kejauhan, kamu kenapa?"

Raut wajah Lani nampak benci sekali melihat mamanya sendiri. "Apa yang sudah mama lakukan terhadap Kak Sarla dan Lilia, kenapa mereka membenciku, mam. Jawab." ucap anak mungil berumur delapan tahun itu.

Akankah Bu Dera menjawab apa yang sebenarnya terjadi.

Bab 2 Penjelasan.

"Apa maksud kamu, sayang? Mama nggak mengerti sama sekali?" tanya Bu Dera menatap sayu ke arah anaknya.

"Sudahlah, mama jangan bebohong. Lani tahu mama sudah membuat masalah di rumah ini kan, asal mama tahu aku jadi yang tersalahkan!" jawab Lani mempelihatkan isak tangis pada sang mama.

Seorang ibu mana yang tega melihat anak semata wayangnya menangis, Bu Dera perlahan mendekat dan mulai memeluk Lani.

"Sini sayang .... "

Lani yang duduk di kursi roda kini menghempaskan tangan sang mama dan berkata," menyingkir, jangan pernah mama peluk aku sebelum masalah Kak Sarla selesai, dan mereka tak menjauhi Lani lagi."

Bu Dera terdiam mendengar bentakan dari anaknya sendiri, ia hanya bisa menitihkan air mata dimana Lani pergi dengan kursi rodanya.

"Ini semua pasti gara gara Lilia dan Sarla, awas saja anak itu." Gerutu Bu Dera melangkahkan kaki ke kamar anak tirinya.

Setelah sampai di kamar Sarla, Bu Dera mendengar suara tawa di dalam kamar, ia kini mengetuk pintu sembari berteriak memanggil anak tirinya itu.

Tok .... Tok .... Tok ....

"Sarla, keluar kamu."

Pintu terbuka, Sarla keluar dari dalam kamarnya dan bertanya, " ada apa mah?"

Palkkkk .....

Satu tamparan melayang pada pipi kiri gadis bercadar itu, ia menatap perlahan ke arah sang ibu tiri. " Kenapa, mama tampar Sarla? Apa salah Sarla?

Telunjuk tangan wanita tua itu mengarah ke arah wajah Sarla dan berkata," kamu bilang kenapa? Hah, masih belum jelas tamparan tadi?"

"Maksud mama apa, Sarla benar benar tak mengerti!" jawab Sarla, membuat wanita tua itu kini mengungkapkan kekesalanya," gara gara kamu Lani anakku menangis."

Dada Bu Dera naik turun, memperlihatkan bertapa kesalnya dan bencinya ia pada Sarla. Lilia yang berada di sisi kiri Sarla kini mendorong tubuh ibu tirinya hingga tersungkur jatuh.

Brakk ....

Tubuh Bu Dera mengenai hiasan bunga, ia tersungkur jatuh, pinggang terasa sakit, saat itulah ia berkata." Kurang ajar kamu."

Lilia, menjulurkan lidah, membuat wanita tua itu murka, ia kini bangkit dari atas lantai." Dasar anak tidak tahu diri. Sini kamu."

Menarik tangan Lilia, mendorong tubuh mungil anak tirinya hingga tersungkur jatuh.

"Kalian ini pantas mendapatkan semua ini."

Sarla mulai membangunkan adiknya yang menangis.

"Mama, Lilia ini masih kecil. Tak pantas mama dorong seperti ini." Hardik Sarla, kesal akan kekejaman ibu tirinya.

"Anak kecil seperti Lilia, pantas mendapatkan hal seperti itu, karena ia lancang dan nakal. " Bu Dera yang sudah dikendalikan akan amarah tak segan segan melayangkan sebuah tamparan untuk Lilia.

"Stop, mah. "

Bu Dera tetap melayangkan aksinya, hingga Sarla menahan tangan kanan ibu tirinya. " Mama jangan seenaknya melukai anak kecil seperti Lilia."

Sarla berusaha melindungi adiknya.

"Kalian adik kakak, memang sama sama bodoh."

"Bodoh, dasar nenek lampir. Kamu ibu yang tak berguna. Melahirkan anak cacat seperti Lani dan berusaha mengorbankan Kakak Sarla untuk dijadikan ladang uangmu."

Perkataan anak berumur sembilan tahun itu, membuat Bu Dera semakin murka.

"Kamu."

Sarla mengeratkan tangannya pada Lilia, agar Bu Dera tak macam-macam. Namun tangan wanita tua itu begitu kuat, ia menarik Lilia dan mencekik anak berumur sebilan tahun itu.

"Ahk, sakit."

Sarla mecoba melepaskan tangan ibu tirinya," lepaskan Lilia, ma."

Wanita tua itu seperti kesurupan, ia semakin erat mencekik Lilia, tak mau melepaskannya begitu saja.

"Kamu pantas mati, yang pantas hidup itu anakku Lani."

Sarla tanpa berpikir panjang, melihat sapu di dalam kamarnya, berulang kali memukul hingga wanita tua itu jatuh pingsan.

"Ayo, Lilia kita pergi dari sini. " Memegang tangan Lilia, berlari keluar dari dalam rumah.

Bu Dera terkulai lemah di atas lantai. Ia berusaha bangun, hanya saja rasa sakit pada punggungnya membuat ia tak mampu berdiri.

"Aw, sialan anak anak itu, aku harus beri mereka pelajaran, awas saja, bisa bisanya mereka membuat punggungku sakit seperti ini." Gerutu Bu Dera berusaha berdiri, memaksakan tubuh agar bisa berjalan, mengadu pada suaminya.

"Sarla, Lilia." Berjalan ke luar kamar, berharap kedua anak tirinya mendengar.

"Ke mana mereka?"

Pak Gunawan mendengar teriakan sang istri merasa terganggu, lelaki tua itu kini menghampirinya.

"Kenapa teriak teriak segala?"

Pertanyaan lelaki tua itu malah membuat Bu Dera kesal, ia melipatkan kedua tanganya, membuang wajah.

"Kenapa?"

"Aku lagi mencari kedua anak anakmu, Sarla dan Lilia!"

"Memangnya kenapa dengan mereka?"

Bu Dera mulai mempelihatkan punggung memarnya pada sang suami, menunjuk bekas pukulan Sarla dan berkata." Kamu lihat ini, mereka sudah menyakitiku. "

Melihat semua itu, malah membuat Pak Gunawan murka, " bisa bisanya mereka melakukan hal tidak baik. "

Berteriak, memanggil kedua anak anaknya." Sarla, Lilia." Urat leher terlihat menonjol saat memanggil kedua anak gadisnya.

"Sarla, Lilia."

Kedua anak gadisnya ternyata tengah menonton acara tv kesayangan mereka, membuat Pak Gunawan datang dan mematikkan acara tv itu.

"Loh pah, kenapa malah dimatiin siaran tvnya, kan jadi nggak seru."

Melempar remot pada Sarla, membuat Lilia, berucap." Jangan gitu dong, pah. Kita berdua ini anak papah, ada apa sih dengan papah?"

"Diam."

Mendengar bentakan sang papah, kedua anak itu berdiri. Dimana Lilia hanya bisa bersembunyi di balik punggung sang kakak.

Wanita tua yang menjadi ibu tiri mereka datang, dengan wajah liciknya." Ternyata kalian di sini."

"Ada apa pah?" tanya Sarla, berusaha besikap sopan pada sang papah. Kepala menunduk hingga Pak Gunawan memarahi mereka berdua." Apa yang sudah kalian lakukan terhadap Mama kalian sediri? Punggungnya sampai bengkak seperti itu?"

Sarla sebenarnya malas berdebat akan masalah barusaha bersama mama tirinya, hingga dimana Lilia memberanikan diri dengan berkata," Ini semua ulah nenek sihir itu, dia mencekik Lilia, coba saja kalau Kak Sarla nggak pukul tuh nenek sihir. Mungkin Lilia sudah mati."

"Jaga ucapan kamu. Anak nakal," bentak sang mama tiri pada Lilia.

Pak Gunawan berusaha menguasai perdebatan antara ibu dan anak." Sudah jangan berdebat, papah tanya sekali lagi sama kamu, Sarla?"

"Apa yang dikatakan Lilia, benar kok pah!" jawab Sarla, tetap pada pendirianya tak mau kalah dengan mama tirinya.

Pak Gunawan beralih menatap ke arah istrinya," kamu dengan itu Dera, apa semua ulah kamu?"

Bu Dera berusaha membela diri, ia tak mau tersalahkan akan masalah kecil ini, " Mereka hanya mengada ngada pah."

Bagaimana bisa Bu Dera berkata seperti itu," kami tidak mengada ngada, memang pada kenyataanya. Kalau saja Sarla tidak memukul punggung Bu Dera dengan sapu, kemungkinan besar Lilia akan mati di cekik wanita itu."

"Heh, kamu jangan memfitnah saya ya."

Bu Dera semakin kesal dan tak ingin mengalah.

Apakah Sarla mampu membuat sang mama tiri kalah?

Bab 3 Kata setuju yang dipaksakan.

"kami tidak memfitnah mama, memang pada dasarnya mama salah," ucap Sarla begitu berani, sang ibu tiri. Menggenggam erat kedua tangan, mengepalkan dan ingin sekali menampar Sarla.

"Sarla, jangan asal bicara kamu ya," hardik Bu Dera memperlihatkan wajah sinisnya.

"Loh, jangan asal tuduh bagaimana, memang kenyataanya, " pekik Sarla, semakin ke sini mereka semakin tak mau mengalah.

"Dasar anak tidak tahu diri, " balas Bu Dera. Pertarungan itu semakin kuat, membuat keduanya tak mau kalah berdebat.

"Mama yang tidak tahu diri, berani dengan anak kecil."

"kurang ajar kamu."

"CUKUP." Pak Gunawan pada akhirnya buka suara, dimana ia menghentikan perdebatan kedua wanita dihadapannya. Napas lelaki tua itu seakan sesak, rasa kesal mengebu pada hati sang kepala rumah tangga.

Sarla mendekat ada bulir bening jatuh mengenai pipi," pah, percaya pada Sarla dan Lilia."

Menatap tajam pada anak pertamanya, Pak Gunawan menjawab dengan nada berat." Bagaimana papah percaya pada kamu, jika kamu selalu membangkang dan tak mau menurut pada papah."

Sarla merasa tak terima dengan perkataan sang ayah," Jadi papah salahkan kami?"

"IYA." tegasnya Pak Gunawan.

"Papah TEGA. Hanya karena menolak perjodohan itu, papah tak adil pada kami berdua. Papah lebih membela istri papah itu."

Sarla membela diri dan adiknya.

"Papah bukan tega sama kamu, ini demi kebaikan kamu Sarla. Hanya ini jalan satu satunya agar perusahaan papah terselamatkan." ucap sang papah, berharap jika anaknya mau mengerti.

"Tapi pah, tidak dengan cara menjodohkan Sarla pada lelaki beristri, " balas Sarla menentang pernikahannya.

"Bagaimana lagi Sarla, hanya dengan pernikahan ini, kamu bisa menyelamatkan keluarga kita," ucap sang papah, seakan meminta belas kasih pada anaknya.

"Sarla tidak mau," tolak Sarla.

"Sarla, apa kamu tidak kasihan terhadap adik kamu, dia masih membutuhkan biaya banyak, hanya kamu jalan satu satunya, untuk masalah peekonomian keluarga kita," pinta sang papah, berulang ulang.

"Tapi pah, itu rasanya menyakitkan sekali. Menikah dengan lelaki yang beristri," ucap Sarla, air matanya semakin banyak keluar. Walau ia berusaha tegas tetap saja hatinya lemah.

"Ayolah sayang ini hanya pernikahan sementara, setelah kamu dan CEO Daniel mempunya anak, kamu bisa hidup bebas, dia hanya membutuhkan kamu untuk mengandung dan melahirkan seorang anak untul garis keturunan sang CEO," ucap sang papah, dengan begitunya mempermainkan sebuah pernikahan, di pungut saat dibutuhkan dan dibuang ketika sudah tak berguna.

Pak Gunawan menyimpan begitu banyak harapan pada anak semata wayangnya itu, rela mengorbankan sang anak gadis demi kepentingan dunia. Agar lelaki tua itu tak jatuh miskin.

"Pah, memangnya Sarla ini barang apa, papah. Benar benar tidak punya hati nurani, mengorbankan Sarla hanya demi .... "

Belum perkataan Sarla terlontar semuanya, sang papah kini berbicara," Sarla, ini semua demi adik kamu juga Lani. kamu lihat keadaanya sekarang seperti apa?"

Lilia sudah geram dengan tak adilnya Pak Gunawan pada anak kandungnya sendiri, rela mengorbakan demi Lani yang jelas hanya anak tirinya sendiri.

Maju ke hadapan mereka dan berkata," Lani lagi, Lani lagi. Ngapain sih papah masih ngurusin anak nenek sihir ini, hah. Mereka itu hanya menyusahkan kita saja, semejak ada mereka papah tak pernah adil dan selalu mementingkan Lani anak cacat itu."

"Lancang kamu Lilia, tahu apa kamu masalah orang dewasa," bentak sang papah.

"Papah memang papah yang jahat," teriak Lilia, melawan lelaki tua dihadapanya.

"kamu .... "

Tangan kanan mulai dilayangkan oleh sang papah pada Lilia, hingga Sarla menepis dan melindungi adiknya.

"Lilia masih anak kecil, papah malah mau tampar dia," ungkap Sarla, membulatkan kedua bola matanya.

"karena dia lancang, Sarla," balas Pak Gunawan.

Bu Dera mulai ikut campur," Makannya kamu harus menurut."

Sarla semakin kesal dan membenci mama tiri, yang sudah mencuci otak papahnya. " Ayolah Sarla jika kamu tidak berkorban demi keluarga kita dan Lani, apa kamu tega membuat kita semua menderita di sini."

Sarla menitihkan air mata, ia menatap ke arah Lani yang baru saja datang. Wajah anak kecil itu begitu polos, Lani duduk pada kursi roda dalam keadaan tubuh lemas karena penyakit yang di deritanya.

"Kak Sarla, jangan dengarkan apa kata .... "

Bu Dera membekam mulut anaknya, membisikan perkataan." Kamu jangan ikut campur. Anak baikku."

Pada akhirnya air mata itu jatuh mengenai pipi, Sarla merasa tak tega melihat Lani, anak kecil dengan keterbatasan yang kurang.

Menarik napas, Lilia berusaha menghentikan kata setuju pada mulut kakaknya, berharap jika sang kakak tidak terkecoh akan rasa kasihan yang dilihatnya.

"Jangan kak."

Pak Gunawan dengan penuh harapan, memohon terus menerus, apalagi keadaanya yang sekarang terlihat begitu menyedihkan. Karena memikirkan perusahaan sudah di ambang kebangkrutan.

"Baiklah." Perkataan Sarla sangatlah mengejutkan bagi Lilia, apalagi Lani. Meresa tak menyangkan seorang kakak tiri rela berkorban dengannya.

Kedua raut wajah sedih berubah drastis, menjadi ceria, Karena Sarla menyetujui keinginan kedua orang tuanya. Bu Dara dan Pak Gunawan tertawa senang.

"Nah, gitu dong. Coba dari kemarin, kan nggak bakalan begini jadinya," ucap Bu Dara, Pak Gunawan kini memeluk tubuh anaknya dan berkata," terima kasih sayang."

Sarla terlihat nampak murung, ia hanya bisa menghelap napas beberapa kali dan mencoba tetap tenang. Menerima semuanya, walau hati terasa kecewa.

Pak Gunawan melepaskan pelukan anaknya," Ya sudah, papah mau menghubungi dulu Daniel, CEO yang akan menikahimu."

Hanya kepasrahan ia terima dalam kebahagian kedua orang tuanya, dimana Bu Dara pergi dengan berlenggak lenggok memperlihatkan betapa bahagianya dia tak jatuh miskin.

Tubuh wanita bercadar itu merasa lemas, ia berjalan pergi ke kamarnya.

"Kak Sarla."

Teriakan Lilia di abaikan sang kakak, Sarla terus berjalan menuju kamar tidur, dengan penuh rasa sakit dalam hatinya.

Lilia memegang tangan sang kakak dan berkata," kakak Sarla."

Sarla berusaha bersikap tenang tak mengeluarkan emosi, agar Lilia tak ia marahi.

"Kak Sarla, kenapa kakak menyetujui keinginan mama dan papa."

Membahas hal itu, Sarla kini berucap," sudah jangan bahas lagi, kakak ingin sendiri dulu."

Melepaskan tangan Lilia, Sarla pergi melangkahkan kakinya lagi, ada luka dalam hati Lilia, ia merasakan apa yang dirasakan sang kakak, mengepalkan kedua tangan dengan begitu erat.

"Semua ini pasti gara gara si Lani, anak cacat itu," gerutu hati Lilia, melihat kepergian Sarla yang sudah semakin jauh.

Sarla masuk ke dalam kamar, ia duduk di ranjang tempat tidur, menggerutu kesal. Dalam hati.

"Bagaiman nasibku nanti, jika aku menikah dengan pria beristri. Apa orang orang tak akan mentertawakanku, apalagi setelah mempunyai anak, CEO itu akan meninggalkanku. "

Mengurung diri di dalam kamar, Sarla hanya bisa menangis dan meluapkan kesedihannya sendiri.

Hidupnya benar benar di kendalikan oleh kedua orang tuanya.

"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!