Sesosok wanita terlihat antara senang dan sedih, begitu mengetahui bahwa dirinya berhasil mendapatkan beasiswa di Korea dari Global Korea Scholarship untuk studi S2 nya. Dia Adiba Meysha sesosok wanita yang begitu teguh dan tegas terhadap keyakinannya.
Ibunya mengantar Meysha ke bandara Soekarno Hatta, jendela mobil yang Mereka tumpangi dibiarkan terbuka. Suhu kota Jakarta 25° C langit cerah, biru tanpa awan. Meysha mengenakan pakaian muslimah favoritnya. Baju syar'i lengan panjang berwarna hitam.
Di Seoul, sebuah kota bagian dari Korea Selatan yang terkenal akan dunia K-POP nya, berdiri di bawah langit yang terdiri dari empat musim. Di kota inilah, dan dari bayangannya yang kelam
dan kental, ibunya dan Meysha melarikan diri bersama. Ketika Meysha baru berusia beberapa bulan. Di kota inilah Meysha telah dipaksa menghabiskan satu bulan setiap musim panas, sampai Dia berusia empat belas tahun. Ketika itulah Meysha akhirnya mengambil keputusan tegas dan sebagai gantinya selama
tiga musim panas terakhir ini, Ayahnya untuk berlibur bersamanya di Jakarta selama dua minggu.
Ke kota Seoul-lah sekarang Meysha mengasingkan diri. Keputusan yang Dia ambil dengan ketakutan yang amat sangat. Dia benci Seoul. Meysha mencintai Jakarta. Dia mencintai musimnya. Dia mencintai kotanya yang mayoritas sesuai keyakinannya.
"Meysha," Ibunya berkata untuk terakhir kali dari ribuan kali Dia mengatakannya. Sebelum Meysha naik pesawat.
"Kau tidak perlu melakukan ini.” Ibunya mirip Meysha, kecuali hidung dan garis usia di
sekeliling bibir dan matanya. Meysha merasa sedikit panik saat menatap mata Ibunya. Bagaimana Dia bisa meninggalkan ibunya, yang penuh kasih sayang dan tulus ini sendirian? Tentu saja sekarang Dia bersama Pak Handoko. Jadi ada yang membayar tagihan-tagihannya, akan ada
makanan di kulkas, mobilnya takkan kehabisan bahan bakar. Serta ada orang yang bisa diteleponnya bila Dia tersesat. Tapi tetap saja, Meysha tidak ingin menjadi bebannya.
"Aku ingin pergi untuk beasiswa ini Ma." Meysha berbohong. Faktanya meneruskan S2 hanyalah sebuah alasan klise. Meysha tak pernah pandai berbohong. Tapi Dia telah mengatakan kebohongan itu begitu sering, hingga sekarang nyaris terdengar
meyakinkan.
"Sampaikan salamku buat Ayahmu." Pesan Ibunya.
"Akan kusampaikan." Sahut Meysha
"Sampai ketemu lagi," Ucap Ibunya.
"Kau bisa pulang kapan pun Kau mau. Dan Aku akan segera datang begitu Kau membutuhkan Mama." Jelas Ibunya.
Tapi di matanya bisa Meysha lihat pengorbanan di balik janji itu.
"Jangan khawatirkan Aku," Pinta Meysha.
"Semua akan baik-baik
saja. Aku sayang padamu, Ma." Tambah Meysha.
Ibunya memeluk erat-erat Meysha beberapa menit, kemudian Meysha naik ke pesawat, dan Dia pun pergi.
Makan waktu tujuh jam, lima belas menit untuk terbang dari Soekarno Hatta Jakarta ke Seoul Incheon Internasional.
Perjalanan udara tidak mengusik Meysha. Yang menjadi pikirannya apabila satu jam dalam
mobil bersama Ayahnya. Itu yang agak Dia khawatirkan.
Secara keseluruhan Ayahnya lumayan baik. Perasaan senangnya sepertinya tulus, ketika untuk pertama kali Meysha datang dan tinggal bersamanya entah selama berapa lama.
Dia sudah membantu Meysha
mendapatkan kendaraan pribadi.
Tapi tentu saja saat-saat bersama Ayahnya terasa canggung. Mereka sama-sama bukan tipe yang suka bicara. Dan Meysha juga tak tahu harus bilang apa. Meysha tahu, Ayahnya agak bingung karena keputusannya.Sebab seperti ibunya, Meysha juga tidak menyembunyikan ketidaksukaannya pada Seoul. Negara yang mayoritas berbeda keyakinan darinya.
Ketika Meysha mendarat, di Seoul Salju sedang turun. Meysha tidak melihatnya sebagai pertanda. Hanya sesuatu yang tak terelakkan. Lagi pula Dia telah mengucapkan selamat tinggal pada cuaca tropis. Dan kini akan berusaha untuk beradaptasi di negara empat musim tersebut.
Ayahnya telah menunggu Meysha di mobilnya. Yang ini pun sudah Meysha duga. Ayahnya adalah salah satu orang kepercayaan Seorang Direktur. Dia adalah orang yang tepat waktu dan sangat disiplin. Bahkan mempunyai prinsip lebih baik menunggu daripada terlambat.
Ayahnya memeluk Meysha canggung. Dia memeluk dengan satu lengan ketika Meysha menuruni pesawat.
"Senang bisa ketemu denganmu, Mey," Ayahnya tersenyum ketika spontan menangkap dan menyeimbangkan tubuh Meysha.
"Kau tak banyak berubah.Bagaimana dengan Ibumu?" Tanya Ayahnya.
"Mama baik-baik saja. Aku juga senang ketemu denganmu Pa." Jawab Meysha
Meysha hanya membawa beberapa tas. Kebanyakan pakaian muslimahnya tidak cocok untuk dipakai di Seoul. Namun Ibunya telah mengumpulkan apa saja yang Mereka
miliki, untuk melengkapi pakaian musim dingin Meysha di Korea.
"Aku menemukan mobil yang bagus buatmu, benar-benar murah," Ujar Ayahnya ketika Mereka sudah berada di mobil.
"Mobil jenis apa?" Meysha penasaran.
"Sebenarnya mobil bekas anaknya atasan Ayah."
"Dulu Dia suka pergi memancing bersama Kita di musim panas, Apa Kau ingat?" Tanya Ayahnya menambahkan.
Pantas saja Meysha tidak ingat. Dia mahir menyingkirkan hal-hal tidak penting dan menyakitkan dari ingatannya. Dia benar-benar sama sekali tidak ingin mengingat masa kecilnya di negara empat musim ini.
"Sekarang Dia sudah terkenal." Ayahnya melanjutkan ketika Meysha diam saja.
Rasanya Meysha tidak begitu peduli.
"Keluaran tahun berapa?" Tanya Meysha.
“ Sepertinya sudah lama, namun mesinnya masih sangat baik. Umurnya baru beberapa tahun kok, sungguh."
"Kapan Dia membelinya?" Meysha masih penasaran.
"Rasanya tahun 2000."
Meysha membayangkan suatu mobil bergaya antik.
"Wow! Apa waktu dibeli masih baru?" Meysha benar-benar penasaran
"Papa kurang tahu. " Jawab Ayahnya.
"Pa, Aku tidak tahu apa-apa tentang mobil. Aku
tidak akan bisa memperbaikinya kalau ada yang rusak." Sahut Meysha.
"Sungguh, benda itu hebat. Model seperti itu tidak ada lagi sekarang." Jelas Ayahnya berharap Meysha menyukainya.
"Seberapa murah yang Papa maksud?" Bagaimanapun Meysha tidak bisa berkompromi soal yang satu ini.
"Aku sebenarnya sudah membelikannya
untukmu. Sebagai hadiah selamat datang." Ayahnya melirik Meysha dengan ekspresi penuh harap.
"Kau tak perlu melakukannya, Pa. Aku berencana membeli sendiri mobilku." Meysha terlihat tidak enak.
"Aku tidak keberatan kok. Aku ingin kau senang di sini."
Ayahnya memandang lurus ke jalan saat mengatakannya. Ayahnya merasa tak nyaman mengekspresikan emosinya. Meysha
mewarisi hal itu darinya. Jadi Meysha memandang lurus ke depan ketika menjawab.
"Asyik, Pa. Trims. Aku sangat menghargainya." Tak perlu Meysha tambahkan bahwa Dia tak mungkin bahagia di Korea.Ayahnya tidak perlu ikut menderita bersamanya.
"Well. sama-sama kalau begitu," Gumamnya, tersipu oleh ucapan terima kasih Meysha.
Mereka masih bicara tentang cuaca yang dingin, dan itulah sebagian besar topik percakapan Mereka. Selebihnya
mereka memandang ke luar jendela dalam diam. Tentu saja pemandangannya indah. Meysha tak bisa menyangkalnya. Semua putih pepohonan dengan batang-batang
tertutup salju, kanopi di antara cabang-cabangnya,
tanahnya juga tertutup salju yang turun. Benar-benar berwarna putih semua. Hal ini jelas sangat berbeda dari kota Jakarta.
To be continued
Akhirnya Mereka tiba di rumah. Ayahnya masih tinggal di rumah kecil dengan dua kamar tidur, yang dibelinya bersama ibunya pada awal pernikahan Mereka. Hanya itu hari-hari
pernikahan yang mereka miliki. Masa-masa awal kehidupan Mereka di Korea. Di sana, terparkir di jalanan di depan rumah yang tak pernah berubah, tampak baru Meisya. Mobil baru bagi Meysha. Mobil itu berwarna silver. Yang membuat Meysha amat terkejut, Meysha
menyukainya. Namun Dia tak tahu apakah benda itu bisa jalan, tapi bisa Meysha bayangkan dirinya berada di dalamnya. Itu terlihat klasik dan unik baginya.
Ditambah lagi, kendaraan itu jenis sangat kokoh yang tidak bakal rusak. Jenis yang bakal ditemukan dibarang-barang antik.
"Wow Pa, Aku suka! Trims!"
"Aku senang kau menyukainya," Kata Pak Roni parau, merasa malu terhadap putrinya. Cuma butuh sekali angkut untuk membawa barang barang Meysha kekamarnya dilantai atas. Meysha mendapat kamar tidur di sebelah
barat yang menghadap ke halaman depan. Kamar itu sangat familier, itu kamar Meysha sejak Meysha dilahirkan. Lantai kayu,
dinding pink cerah, langit-langit lancip, tirai berenda putih yang membingkai jendela. Dan semua itu bagian masa kecil Meisya. Satu-satunya pembaharuan yang dibuat Ayahnya adalah mengganti tempat tidur bayi menjadi tempat tidur sungguhan dan menambahkan meja seiring pertumbuhan Meysha. Di meja itu sekarang ada komputer hingga colokan terdekat. Kursi goyang dari masa bayi Meysha, masih ada di sudut ruangan kamar.
Hanya ada satu kamar mandi di lantai bawah dan Meysha harus bergantian memakainya dengan Ayahnya. Meysha berusaha tidak
terlalu memikirkan keadaan itu.
Salah satu hal terbaik tentang Ayahnya adalah Dia tidak pernah membuntuti atau kepo dengan Meysha. Beliau meninggalkan Meysha sendirian untuk membongkar dan merapikan bawaannya, perilaku yang tak
mungkin Meysha dapatkan dari ibunya. Rasanya menyenangkan bisa sendirian, tidak harus tersenyum dan tampak gembira.
Lega bisa memandang murung ke luar jendela, memandangi salju yang turun dan membiarkan kesedihannya mengalir. Meysha tidak sedang mood untuk menangis habis-habisan. Meisya
akan menyimpannya sampai saat tidur nanti, ketika Meisya harus memikirkan esok pagi.
Seoul National University menjadi salah satu kampus terbaik dan populer di Korea Selatan.
Universitas ini memberikan beasiswa yang bertujuan untuk meningkatkan peringkat dna kualitas kampus di level global.
Beasiswa yang ditawarkan termasuk SNU Global Scholarship dan SNU Graduate Scholarship for Excellent Foreign Students.
SNU Global Scholarship tersedia untuk 60 mahasiswa pascasarjana asing untuk setiap semesternya. Dan Meysha termasuk salah satunya.
Meysha merasa akan jadi wanita baru dari negara asing di kampus barunya besok. Bahkan mungkin mengundang rasa penasaran.
Barangkali takkan begitu jadinya, bila Dia berpenampilan seperti layaknya wanita modern saat ini. Atau umumny wanita Korea. Tapi secara pakaian, Meysha tak ingin mengubahnya. Dia selalu berpakaian muslimah syar'i. Dan menyukai warna gelap. Serta sebuah alat dzikir digital yang selalu Dia sisipkan diantara jemari tangan kanannya. Dia tidak ingin kesibukan dunianya melalaikan kehidupan kekalnya kelak.
Ketika Meysha selesai memasukkan pakaian ke lemari tua dari kayu cemara, Meysha mengambil tas keperluan mandinya
dan menuju kamar mandi untuk membersihkan dir, setelah perjalanan. Meysha memandang wajahnya di cermin sambil menyisir rambutnya yang lembab dan kusut. Barangkali tipuan cahaya, tapi Meysha terlihat pucat, tidak
sehat. Kulitnya bisa saja cantik, bening nyaris transparan,tapi semua itu tergantung warna. Di Korea Dia seperti tidak memilik warna.
Memandang pantulan wajah pucatnya sendiri di cermin, Meysha terpaksa mengakui sedang membohongi diri sendiri. Bukan
secara fisik saja Dia merasa tak pernah cocok.
Bahkan hubungannya dengan orang-orang sebayanya tidak bagus.Barangkali sebenarnya hubungannya dengan orang-orang tak
pernah bagus, titik. Bahkan ibunya orang terdekat dengannya dibandingkan siapa pun di dunia ini, tak pernah selaras
dengannya, tak pernah benar-benar sepaham. Kadang-kadang Meysha membayangkan apakah Dia melihat hal yang sama seperti yang dilihat orang lain di dunia ini. Mungkin
ada masalah dengan otaknya. Meysha tidak pandai berkomunikasi. Walaupun dalam sebuah forum atau organisasi Dia pandai bicara dan berdebat. Namun untuk sosialisasi atau komunikasi Dia nol. Dia lebih menyukai kesendiriannya yang berkutat dengan buku maupun hobinya. Jadi sahabat pun rasanya tidak ada yang benar-benar dekat. Bisa dihitung sahabatnya dengan jari jemari tangan saja. Tapi penyebabnya tidak penting. Yang penting adalah akibatnya. Dan esok baru permulaannya.
Tidur Meysha gelisah malam itu, bahkan setelah Meysha selesai membaca Kitab sucinya. Salju terus menderu dan angin yang menyapu atap tak lenyap juga dari kesadaran Meysha. Meysha menarik selimut tua itu menutupi kepala, kemudian menambahkan
bantal-bantal.Tapi lepas tengah malam barulah Meysha tertidur, ketika Salju mulai reda.
Paginya hanya kabut tebal yang bisa Meysha lihat dari jendelakamarnya, dan bisa Meysha rasakan klaustrofobia merayapi tubuhnya.
Sarapan bersama Ayahnya berlangsung hening. Ayahnya mendoakan supaya Meysha berhasil di kuliah. Meysha berterima kasih padanya, meski tahu doanya sia-sia. Keberuntungan
selalu menjauhi Meysha. Ayahnya berangkat duluan, menuju kantor perusahaan tempatnya bekerja yang menjadi istri dan keluarganya. Setelah Ayahnya pergi, Meysha duduk di meja kayu persegi tua itu, di salah satu dari tiga kursi yang tak serasi, mengamati dapur kecilnya, dengan dinding panelnya yang gelap, rak-rak
kuning terang serta lantai linoleumnya yang putih. Tak ada yang berubah. Dua puluh dua tahun yang lalu ibunya mengecat rak-rak itu dengan harapan bisa membawa sedikit
kecerahan di rumah. Di atas perapian bersebelahan dengan ruang keluarga yang mungil, tampak berderet foto-foto.
Yang pertama foto pernikahan Ayahnya dan ibunya, kemudian foto Mereka di rumah sakit setelah Meysha lahir yang diambil oleh seorang perawat, diikuti rangkaian foto
semasa sekolah hingga tahun lalu. Meysha malu melihatnya. Meysha merasa harus mencari cara supaya Ayahnya mau
memindahkannya ke tempat lain. Setidaknya selama Meysha tinggal di Korea.
Rasanya mustahil berada di rumah dan tidak
menyadari bahwa Ayahnya belum bisa melupakan ibunya. Itu membuat Meysha tidak nyaman.Meysha tak mau terburu-buru ke kampus, tapi Meysha tak bisa tinggal di rumah lebih lama lagi. Meysha mengenakan jaket mantelnya. Yang rasanya seperti pakaian antiradiasi dan menerobos salju yang masih turun.
Meysha tak bisa berhenti dan mengagumi mobil antiknya. Seperti yang Dia inginkan. Meysha sedang terburu-buru keluar dari salju yang jatuh bertebaran di kepalanya dan
hinggap di balik tudung jaket dan mantelnya.
Di dalam mobil nyaman dan kering. Ayahnya pasti telah membersihkannya, tapi dari jok berlapis kulit cokelat itu samar-samar Meysha masih mencium bau peppermint. Mesinnya langsung menyala. Meysha lega dibuatnya, tapi derunya keras sekali. Mobil antik dan setua itu pasti memiliki kekurangan.Namun radio antiknya masih berfungsi, nilai tambah yang tak terduga bagi Meysha. Untuk menemukan letak kampus tidaklah sulit bagi Meysha, meskipun Meysha belum pernah ke sana. Namun Seoul National University merupakan kampus no.1 di Korea. Jadi sangat mudah bagi Meysa untuk menemukannya. Seperti kebanyakan bangunan lainnya, letaknya tak jauh dari jalan raya. Gapura bertuliskan besar namanya, yang menyatakan bangunan itu sebagai kampus Seoul National University. Hal itu membuat Meysha berhenti. Bangunannya seperti universitas-universitas pada umumnya. Gedung tinggi bertingkat dan luas. Sehingga Meysha tak bisa mengira-ngira berapa luasnya. Apalagi Seoul National University termasuk salah satu tiga kanal institusi yang terkenal dan ketat penerimaannya di Korea Selatan.
Bahkan ketatnya persaingan untuk masuk ke institusi ini.Hingga ada ungkapan di Korea Selatan yang menyebut, “Jika kamu tidur tiga jam sehari, Kamu berpeluang masuk ke universitas SKY. Jika kamu tidur empat jam sehari, Kamu bisa masuk universitas lain dan jika kamu tidur lima jam atau lebih sehari, khususnya di tahun terakhir SMA, lupakan ide untuk masuk universitas manapun.”
Bahkan Forbes dalam salah satu artikelnya menobatkan Seoul National University sebagai “Asian Ivy League”, Alias salah satu universitas paling prestisius di Asia.
Seoul National University (SNU), berlokasi di Gwanak-gu, Seoul, Korea Selatan. Terdapat 16 fakultas dengan lebih dari 80 pilihan program sarjana, yaitu fakultas humaniora, ilmu alam, ilmu sosial, administrasi bisnis, teknik, ekologi, musik, farmasi, agrikultur, pendidikan, seni murni, hukum, kedokteran, keperawatan, dan kedokteran hewan. Jurusan-jurusan terbaik di SNU meliputi kimia, teknik kimia, farmasi, dan sastra modern. Selain itu, kewirausahaan di SNU juga sangat populer, baik bagi calon mahasiswa Korea Selatan maupun mahasiswa internasional. Semua jurusan di atas menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Uniknya lagi, SNU memiliki program interdisiplin, yaitu kamu bisa mengambil perpaduan beberapa mata kuliah dari jurusan yang berbeda.
Dimana kantor tata usahanya? Meysha membayangkan sambil bernostalgia dengan kampusnya di Jakarta. Meysha menuju parkir di depan bangunan pertama.
Tak ada yang parkir yang kosong di sana, sehingga Meysha yakin ada tempat
parkir khusus lainnya. Meysha memutuskan parkir sementara dan akan bertanya di
dalam, daripada berputar-putar di bawah guyuran salju seperti orang tolol. Dengan enggan Meysha melangkah keluar
dari mobilnya yang nyaman dan hangat, menyusuri jalan yang begitu luas dikampus tersebut.
To be Continued
Sebelum membuka pintu kantor tata usaha di kampus tersebut, Meysha menghirup napas dalam-dalam.Di dalam keadaan cukup terang dan lebih hangat dari yang Meysha harapkan. Kantornya luas, ruang tunggunya dilengkapi
kursi lipat,lantai yang bersih,pemberitahuan dan penghargaan bergantungan di dinding
sebuah jam dinding besar berdetak keras. Lukisan sebuah peta besar juga tergantung disebuah dinding tersebut. Ruangan
itu dibagi dua oleh konter panjang . Ada tiga meja dibalik konter, salah satunya dihuni wanita bertubuh ramping berambut hitam yang mengenakan kacamata. Dia mengenakan kemeja biru, yang membuat Meysha merasa
pakaiannya berlebihan.
" Excuse me." Sapa Meysha.
Wanita berambut hitam itu mendongak.
"Owh, Hello, Good morning. Can I help you?"
“I am Adiba Meysha from Indonesian scholarship." Jawab Meysha. Dia melihat matanya berkilat terkejut.
“Tentu saja," Jawabnya begitu tahu Meysha dari Indonesia. Dia mengaduk-aduk tumpukan
dokumen di mejanya hingga menemukan yang dicarinya.
" Can you speak Indonesian language?"
Tanya Meysha.
" Tentu Nona. Saya mempelajari semua bahasa." Sahutnya membuat Meysha merasa bodoh atas pertanyaannya.
“Ini jadwal mata kuliahmu, dan ini peta kampus." Dia membawa beberapa lembar ke meja konter dan memperlihatkannya pada Meysha.Kemudian Dia menjelaskan kelas-kelas yang harus Meysha ambil, menerangkan rute terbaik menuju masing-masing kelas pada peta, dan menyerahkan lembaran kertas yang
harus ditandatangani masing-masing dosen Pada akhir jam pelajaran nanti Meysha harus menyerahkannya kembali. Dia tersenyum dan berharap, seperti Ayahnya, Meysha kini merasa senang berada di sini di Seoul. Sepertinya tidak seperti yang Dia bayangkan sebelumnya. Meysha balas tersenyum meyakinkan sebisanya. Ketika Meysha keluar lagi menuju mobilnya, mahasiswa mahasiswi lain berdatangan. Dia mengemudi menuju parkiran yang sesuai,mengikuti barisan mobil-mobil. Meysha senang mobil-mobil lainnya tidak ada yang sama tua seperti mobilnya, semuanya model keluaran terbaru. Melihat mobilnya, Meysha merasa itu menguntungkan. Setidaknya Dia tidak akan begitu pusing saat mencarinya nanti.
Meysha mematikan mesin begitu
mendapatkan tempat parkir, sehingga suaranya yang keras tidak menarik perhatian sekitar. Namun Meysha terlihat masa bodoh.
Meysha mempelajari petanya di dalam mobilnya, berusaha mengingatnya, berharap Dia tak perlu berjalan sambil terus memeganginya seharian. Meysha memasukkan semua ke tas dan menyandangkan talinya di bahu. Lalu menarik napas panjang.
'Aku bisa melakukannya,' Batin Meysha setengah membohongi dirinya.
'Tak ada yang bakal menggigitku.' Batinnya masih berlanjut.
Akhirnya Meysha mengembuskan napas dan melangkah keluar dari mobilnya.
Dia membiarkan wajahnya tersamarkan tudung jaket ketika berjalan melintasi trotoar yang dipenuhi mahasiswa dan mahasiswi lainnya. Jaket hitam polosnya tidak mencolok, Dia menyadarinya dengan perasaan lega. Namun tidak dengan gamis syar'i nya. Itu membuat sebagian ada yang memperhatikan, Namun ada juga yang tidak terlalu peduli dengan perbedaan itu.
Begitu sampai di gedung yang Dia maksud,dengan mudah Meysha menemukan kelasnya yaitu bahasa Inggris.Meysha mendapati napasnya pelan-pelan berubah terengah-engah begitu mendekati pintu. Dia berusaha menahan napas ketika mengikuti dua orang yang mengenakan mantel coklat melewati pintu keruangan tersebut.Mereka dua orang gadis, yang satu berambut pirang yang lain juga berkulit pucat, rambutnya cokelat muda.Setidaknya warna kulit Meysha tidak bakal mencolok di sini.
Meysha menyerahkan lembaran tadi pada seorang dosen,Laki-laki tinggi berkacamata. Dia melongo menatap Meysha ketika
melihat namanya, bukan respons yang membangun dan tentu saja wajah Meysha memerah seperti tomat. Tapi setidaknya
Beliau langsung menyuruh Meysha duduk di meja kosong di belakang, tanpa memperkenalkan pada teman-teman sekelas seperti anak SMA. Sulit bagi teman-teman barunya untuk menatap Meysha di belakang tapi entah bagaimana mereka bisa melakukannya. Entah karena penasaran, Atau karena terlihat berbeda penampilan. Meysha terus menunduk, memandangi foto copy materi yang telah diberikan dosen.
Meysha sudah pernah membacanya.Membuat Meysha merasa antara menyenangkan dan membosankan. Ketika bel berbunyi, suaranya berupa gumaman sengau
Seorang cowok dengan kulit albino, hidung mancung dan rambut pirang, Dia bersandar di lorong dan berbicara pada Meysha.
"Your name is Adiba Meysha, From Indonesian scholarship?" Dia kelihatan seperti orang yang kelewat suka menolong.
"Meysha. Yes, I am from Indonesian" Meysha meralatnya. Semua orang dalam jarak tiga
kursi berbalik menghadapku.
"Habis ini kau masuk mata kuliah apa?" tanyanya. Ternyata Dia bisa bahasa Indonesia. Fix, Kampus ini banyak kejutan bagi Meysha. Akhirnya Meysha harus memeriksa dulu di dalam tasnya sebelum menjawab.
"Mmm Kebudayaan, dengan Mr.Anderson."
Meysha tak bisa melihat ke mana pun tanpa beradu pandang dengan mata-mata penasaran.
"Aku akan ke gedung sama juga, hanya beda ruangan, Aku bisa menunjukkannya
padamu..." Jelas tipe kelewat suka menolong.
Meysha merasa canggung, Dia tidak pernah seakrab ini dengan teman lawan jenis saat di Indonesia. Ini benar-benar situasi baru yang Meysha hadapi.
"Kenalkan, Aku Alex." Tambahnya.
" Meysha."
Meysha tersenyum hati-hati.
Mereka mengambil jaket dan menerobos salju, yang sudah reda. Meysha berani bersumpah beberapa orang dibelakang Mereka berjalan cukup dekat supaya bisa menguping.
“Jadi, ini sangat berbeda dengan Indonesia?"
tanyanya.
"Sangat." Jawab Meysha.
"Di sana tidak sering ada salju, kan?"
"Tidak sama sekali."
“Wow, seperti apa rasanya?" Alex membayangkan.
"Cerah,"Ujar Meysha.
"Kulitmu tidak terlalu cokelat."
Meysha hanya tersenyum
Dia mengamati wajah Meysha dengan waswas. Kelihatannya selera humornya tidak selaras. Beberapa bulan saja di tempat ini, Meysha pasti
sudah lupa bagaimana caranya bersikap sinis.
Mereka berjalan lagi menelusuri lorong ruangan menuju kelas mata kuliah yang dimaksud. Alex mengantar Meysha
sampai ke pintu, meskipun papan tandanya jelas.
"Semoga berhasil," Katanya ketika Meysha meraih gagang
pintu.
"Barangkali Kita akan bertemu di kelas lain." Alex
terdengar berharap.
Meysha tersenyum samar dan masuk.
Sisa pagi itu berlalu kurang lebih sama. Dosen
Statistika Mr. John, yang bakal Meysha benci. Karena mata pelajaran yang diajarkn. Dan menyuruh Meysha memperkenalkan diri didepan. Meysha tergagap, wajahnya merah padam dan tersandung saat mau menuju kursi yang kosong.
Setelah dua mata kuliah, Meysha mulai mengenali beberapa wajah di masing-masing kelas mata kuliah, yang Meysha ambil.
Selalu ada yang lebih berani dari yang lain. Beberapa sahabat baik cewek maupun cowok memperkenalkan diri. Dan bertanya mengapa Meysha memilih Korea dalam pendidikannya.
Meysha mencoba berdiplomasi, tapi secara keseluruhan Meysh hanya berbohong, karena faktanya Dia mengungsikan diri ke Seoul demi Ibunya.
Namun setidaknya, Meysha jadi tidak membutuhkan peta lagi, untuk mencari ruang kelas mata kuliah dikampus yang besar tersebut. Lalu seorang gadis duduk disebelah Meysha di kelas Statistika. Dia orang asli Korea. Dia berjalan menemani Meysha menuju kafetaria saat makan siang. Tubuhnya mungil, lebih pendek daripada Meysha yang 160 cm. Tapi rambut gelapnya yang ikal berhasil menyamarkan perbedaan tinggi Mereka.
Meysha masih lupa dengan namanya, jadi Meysha tersenyum dan mengangguk. Ketika Dia mengoceh tentang dosen-dosen dan
mata kuliahnya. Meysha berusaha memerhatikannya.Mereka duduk di ujung meja yang dipenuhi beberapa temannya. Dia memperkenalkan Meysha pada Mereka.
Meysha langsung lupa nama-nama Mereka begitu mulai mengobrol dengan Mereka. Malasahnya namanya sangat kompleks
Cowok dadi kelas bahasa Inggris, Alex melambai pada Meysha dari seberang meja.
Meysha hanya balik senyum. Meysha masih tidak menyangka, Walaupun Dia berpenampilan berbeda namun masih diterima dengan keramahan dilingkungan barunya.
To Be continued
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!