NovelToon NovelToon

CINTA TAK BERTUAN

1. KESEPAKATAN PERNIKAHAN

Lembaran baru sudah kubuka dan mulai kutulis kisah pertamanya. Aku tidak tahu bagaimana jalan cerita ke depannya, karena kami masih butuh waktu untuk saling mengenal lebih jauh. Namun, sepertinya semua ini tidak akan mudah bagiku, karena di hari pertama pernikahan, aku dan dia justru bersepakat untuk pisah ranjang.

***

“Pernikahan ini bukan mauku juga bukan maumu. Jadi, sebaiknya kita berkompromi saja sebelum mulai menjalani hari-hari bersama dan tinggal dalam satu atap.”

Tidak pernah terbayangkan oleh Egidia jika dirinya akan menjadi istri dari Genio dengan cara perjodohan seperti ini. Perjodohan sejak keduanya masih berada di dalam kandungan ibu masing-masing, karena ayah mereka adalah teman karib sejak kecil.

Baru bertemu dan berkenalan satu tahun yang lalu, karena keluarga mereka tinggal terpisah di pulau yang berbeda, setelah sama-sama dilahirkan di tahun yang sama. Hanya berselang tiga bulan, di mana Genio yang lebih dulu menyapa dunia.

Mereka pun baru bertemu lima kali termasuk hari ini, hari pernikahan keduanya. Sebelumnya, pertemuan pertama terjadi saat keluarga Genio kembali ke kampung halaman untuk berlibur setelah dua puluh lima tahun tidak pernah menginjak tanah kelahiran.

Kedua orang tua Genio memang berencana untuk menikmati masa tua di sana, sementara putra tunggal mereka akan tetap tinggal di kota di mana selama ini sang ayah bekerja sebagai abdi negara hingga purnatugas.

Pertemuan kedua dan ketiga berlangsung saat kedua keluarga bersua dan mulai membicarakan perjodohan yang dulu pernah diikrarkan kedua orang tua. Pertemuan keempat dan kelima, terjadi saat acara lamaran minggu lalu dan prosesi pernikahan di akhir pekan ini.

“Iya. Terserah Mas Gen saja. Aku ikut apa kata suami.”

Genio tertegun mendengar wanita yang baru beberapa jam yang lalu dinikahi itu menyebutnya sebagai seorang suami. Bahkan dia sendiri belum terbiasa dengan status yang baru saja disandang, setelah bersanding di pelaminan dengan wanita berhijab sederhana yang sekarang sudah sah menjadi istrinya.

Lelaki itu berdehem sendiri untuk menetralkan kegugupannya. Meski tidak memiliki rasa cinta sedikit pun pada Egidia, tetap saja berduaan di dalam kamar pengantin seperti saat ini membuatnya merasa gerah dan salah tingkah. Apalagi mereka tengah duduk bersisian di tepi tempat tidur.

Jangankan rasa cinta, menyayangi pun belum terbiasa baginya mengingat mereka baru beberapa kali bertemu tanpa perbincangan panjang. Hanya mengikuti agenda yang diadakan para orang tua untuk mempersiapkan segala sesuatunya demi kelancaran rangkaian acara pernikahan kedua anak semata wayang tersebut.

“Egi ... apakah kamu keberatan jika untuk sementara waktu kita tidur terpisah dan membatasi sentuhan fisik yang berlebihan?”

Hati-hati Genio melontarkan pertanyaan yang sangat pribadi untuk keduanya. Dia merasa perlu untuk membahasnya sebelum membawa sang istri untuk hidup bersama dengannya, entah untuk berapa lama.

Jujur, lelaki itu masih belum bisa menerima sepenuhnya pernikahan mereka. Selain belum mengenal pasangannya secara personal, dia juga telah melabuhkan hatinya pada wanita lain yang selalu ada di dekatnya selama ini. Mungkin akan sulit baginya untuk mengalihkan perasaan itu kepada wanita yang sudah dinikahinya hari ini.

Egidia yang sudah menanggalkan kebaya pengantin berikut lilitan selendangnya dan berganti pakaian rumahan masih dengan hijab yang menutupi mahkota indahnya, menunduk dan akhirnya mengangguk begitu saja. Tidak ada niatan maupun keinginan spontan untuk membantah ucapan atau permintaan dari lelaki yang mulai hari ini harus dihormati dan dipatuhi sebagai imam hidupnya.

Sebagai seorang istri dan makmum yang baik, dia akan selalu mengikuti setiap keputusan dari sang suami, karena lelaki itulah yang akan bertanggung jawab penuh atas dirinya dan menjadi penuntun langkahnya menuju rida Ilahi yang lebih baik untuk mereka ke depan nanti.

“Maaf, aku bukan ingin mengingkari pernikahan kita atau menganggapnya main-main. Aku hanya merasa belum siap karena kita belum saling mengenal lebih dekat. Yang terutama, aku tidak ingin memberi harapan kepadamu, yang aku sendiri belum yakin apakah bisa menjadi suami yang baik dan seharusnya untukmu.”

“Aku tidak ingin dianggap semena-mena kepadamu dan hanya memanfaatkan status suami-istri ini untuk kepuasan aku sendiri. Sementara aku juga tidak tahu, apakah kamu bisa menerimaku sebagai suamimu atau sebaliknya, kamu menolak karena alasan yang kamu sembunyikan dariku dan dari keluarga kita.”

Egidia terus menyimak kalimat demi kalimat yang disampaikan dengan sangat hati-hati oleh suaminya. Wanita berpenampilan sahaja itu berusaha untuk mencerna satu per satu, tanpa ingin menanyakan apa pun kepada Genio. Dia ingin belajar memahami sang suami, termasuk kemauan dan keinginan atas dirinya dan hubungan mereka.

“Jika ada kata-kataku yang tidak berkenan bagimu, aku minta maaf dan tolong berterus-teranglah kepadaku. Kita bisa membicarakannya bersama untuk mencari jalan keluar dan keputusan bersama-sama.”

Lagi-lagi Egidia hanya mengangguk, membuat Genio merasa serba salah. Mereka memang belum pernah bicara berdua selama ini dan berada di ruangan pribadi seperti saat ini. Dia memaklumi jika wanita itu masih canggung, sama seperti dirinya yang merasa gugup untuk melakukan sesuatu layaknya kebiasaan sehari-hari.

Akhirnya, di malam pertama pengantin baru, pasangan itu hanya bersepakat untuk tidur terpisah meski berada dalam satu kamar, yakni kamar pribadi Egidia di rumah orang tuanya. Usai berjamaah Isya, wanita itu naik ke tempat tidur dengan membawa perangkat menulisnya.

Genio menolak saat dipersilakan tidur di kasur berukuran sedang tersebut dan memilih dirinya yang tidur di sofa sederhana yang letaknya berseberangan dengan tempat tidur. Egidia sudah memberikan bantal dan selimut untuk menyamankan istirahatnya. Karena lelah, lelaki itu langsung tertidur hingga mengeluarkan suara dengkuran.

Di atas tempat tidur, sang pemilik kamar masih duduk bersandar dengan perangkat yang sudah menyala terang di pangkuan. Dia masih harus menyelesaikan tulisannya untuk hari ini. Sebagai penulis lepas, dia dituntut untuk selalu menulis setiap hari demi para pembaca setia yang sudah menanti kelanjutan ceritanya. Selain itu, ada satu judul yang harus diselesaikan bulan ini karena pihak penerbit sudah meminangnya untuk diterbitkan menjadi buku cetak.

Daripada memikirkan pernikahannya yang entah akan seperti apa ke depannya, Egidia memusatkan konsentrasi pada pekerjaannya. Secepatnya menulis yang sempat tertunda karena dua hari sibuk mempersiapkan hari sakral di mana dirinya dipinang oleh seorang lelaki yang belum dikenal dengan baik.

Dua jam berkutat dengan rangkaian kata-kata yang dituangkan dalam tulisan, Egidia berhasil menyelesaikannya juga. Segera dia menyimpan semua dokumen lalu mematikan perangkat kerja. Dia memindahkan ke atas meja dan menyambungkan dengan pengisi daya, supaya esok hari saat akan digunakan lagi, baterainya sudah penuh.

Sebelum membaringkan tubuh lelahnya, wanita itu melepaskan hijab di kepalanya. Setelah menyimpannya di samping bantal supaya mudah diraih jika akan memakainya kembali, dia menoleh ke arah sofa dan memperhatikan wajah lelaki yang sudah resmi menjadi suaminya.

Senyumnya mengembang sempurna dengan hati berdebar-debar. Sejujurnya, dia sudah menambatkan hati pada sosok yang kini disebut suaminya tersebut. Sejak pertama kali bertemu untuk saling dikenalkan, hatinya sudah bergetar dan merasa jatuh cinta. Cinta pada pandangan pertama.

Sayang, perasaannya bertepuk sebelah tangan. Genio tidak menunjukkan hal yang sama, justru cenderung menolak dirinya meski tidak disampaikan secara langsung. Apa yang sudah dibicarakan malam ini adalah jawaban baginya, supaya tidak berharap banyak pada pernikahan mereka.

Aku berjanji akan menjadi istri yang terbaik bagimu, Mas. Bagaimanapun perasaanmu kepadaku, aku akan tetap mengabdikan hidupku hanya untukmu. Aku mencintaimu, Suamiku!

2. RUMAH KITA

Di sinilah kini aku berada. Di rumah yang disebutnya sebagai rumah kita, aku dan dia. Sayang, rumah ini hanya indah bentuknya saja, tapi tidak dengan isinya. Isi yang seharusnya membuat hatiku tenang dan merasa nyaman, karena ada cinta dan kasih sayang di dalamnya. Nyatanya, indah yang kuharapkan, tak pernah bisa kurasakan di sini.

***

Hari ketiga pernikahan, Egidia mengikuti Genio untuk kembali ke tempat tinggalnya selama ini. Setelah melalui perjalanan udara selama kurang lebih dua jam dengan satu kali transit, sampailah mereka di bandara kota tujuan. Sebuah taksi daring sudah dipesan sang suami untuk mengantarkan mereka ke rumahnya.

Bukan rumah yang selama ini ditinggali bersama kedua orang tua, melainkan rumah pribadi Genio yang dibeli dari hasil kerja sendiri. Letaknya masih satu kompleks dengan rumah mertua Egidia, karena meskipun sudah tinggal terpisah, setiap hari lelaki itu selalu diminta datang untuk sekadar sarapan bersama.

“Selamat datang di rumah kita. Maaf, jika rumah ini tidak terlalu luas dan kurang membuatmu puas.”

Entah apa maksud dari ucapan Genio, tapi Egidia merasa sang suami sedang menyindirnya. Mungkin dia menganggap istrinya menginginkan rumah yang lebih mewah dari miliknya. Padahal, Egidia sama sekali tidak mempermasalahkan di mana dirinya akan tinggal. Asalkan tetap bersama sang imam, itu sudah cukup baginya.

“Rumah ini indah, Mas. Terima kasih karena Mas Gen sudah berkenan untuk mengajakku tinggal di sini.”

Sambil memandu langkah Egidia menuju kamar, Genio menanggapi jawaban sang istri yang terkesan seolah dia belum menerima pernikahan mereka.

“Kamu adalah istriku. Sudah seharusnya kita tinggal bersama dan berbagi layaknya pasangan yang lain.”

Wanita itu mengangguk dan mengiyakan saja. Tidak ingin memperpanjang pembahasan tentang rumah tersebut. Dia memperhatikan lelaki bertubuh atletis yang sedang membuka pintu kamar yang terkunci, kemudian membuka lebar dan memintanya lebih dulu masuk.

“Ini kamarku dan sekarang menjadi kamar kita. Kamu bebas melakukan apa saja di sini sama halnya diriku. Jadi, nyamankan dirimu. Jika ada yang membuatmu tidak suka, kamu bisa mengatakannya dan kita akan mengubahnya dengan kesepakatan.”

Lagi-lagi, kata sepakat menjadi senjata andalan Genio untuk mencari jalan tengah dengan sang istri. Bukan benar-benar jalan tengah, sebab bagi Egidia semua kesepakatan mereka selalu berat sebelah.

Memang salah dia juga yang selalu menerima dan tidak pernah sekali pun membantah dan berdebat, bila ada hal yang membuatnya merasa diabaikan haknya. Namun, wanita itu tidak ingin mempermasalahkannya karena dirinya sendiri yang memilih untuk patuh dan mengalah.

Baginya, semua itu adalah bagian dari pengabdian seorang istri kepada suaminya, sekaligus pengorbanan dalam mendampingi sang imam untuk selalu mendapatkan rida dari Yang Maha Kuasa. Dia selalu percaya, tidak ada pengabdian dan pengorbanan yang sia-sia. Kelak, dia pasti akan menuai buah manis dari kesabaran dan kesetiaannya saat ini dan seterusnya nanti.

Usai mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar, tatapan Egidia tertuju pada sebuah tempat tidur yang posisinya berada di sudut dalam sebelah kiri, dengan salah satu sisi merapat pada dinding. Sementara di sudut yang berlawanan terdapat satu set meja dan kursi kerja berikut rak sederhana yang berisi buku-buku bisnis dan beberapa buku bacaan ringan.

“Mulai malam ini kita akan berbagi tempat tidur. Aku ingin kita menyamankan diri satu sama lain dan tidak lagi merasa canggung dan gugup bila sedang berduaan seperti ini. Lagi pula, kita memang akan tinggal berdua di sini. Jadi sudah sewajarnya kita harus sama-sama terbiasa dengan keadaan ini.”

Ada setitik harapan terbit di hati Egidia, saat mengetahui bahwa mereka tidak akan tidur terpisah lagi seperti sebelumnya. Dia lantas memanjatkan doa dalam hati, semoga hubungan mereka akan semakin dekat dan tanpa sekat lagi. Dekat yang sesungguhnya, sebagai suami-istri yang tidak hanya saling menyayangi, tapi juga saling mencintai.

Apakah harapanku terlalu tinggi? Atau justru berlebihan, mengingat awal pernikahan kami tanpa didasari rasa yang sama? Melihat sikap dia yang sedikit lebih baik saja, sudah membuat hatiku bungah berbunga-bunga.

Hari sudah menjelang malam, hingga Genio meminta Egidia untuk membongkar koper dan barang bawaan mereka esok hari saja. Lebih baik segera membersihkan diri dan beristirahat setelah makan malam nanti. Demikian ucapan lelaki itu kepada sang istri.

Egidia patuh dan membantu suaminya menyimpan koper mereka berjejer di samping lemari. Dia hanya mengeluarkan perlengkapan mandi dan pakaian ganti untuk malam ini. Sementara Genio mengambil keperluannya dari dalam lemari pakaian, sembari menunjukkan di mana pakaian sang istri bisa ditata nantinya.

Untuk menyingkat waktu, lelaki itu pamit untuk membersihkan diri di kamar mandi luar dan meminta Egidia segera melakukan hal yang sama. Tanpa membuang waktu, wanita itu pun bergerak menuju ruangan yang ditunjuk oleh Genio, setelah melepas lilitan pasmina dan meletakkan di meja rias yang sepertinya masih sangat baru dan belum dipakai sama sekali.

Sengaja mempercepat mandinya, lima menit kemudian Egidia sudah keluar dengan rambut yang masih diikat ke atas. Dia bermaksud untuk membuat minuman di dapur dan membuat makanan jika masih ada bahan-bahan di kulkas.

Namun, saat melanjutkan langkah ke arah meja rias untuk merapikan rambut, pandangannya beralih ke meja kerja Genio yang dilewati. Ponsel lelaki itu menyala terang dan bergetar tanpa nada dering. Sepertinya memang sengaja dimatikan karena sejak mereka menikah, Egidia belum pernah mendengar ponsel itu berbunyi nyaring meskipun pemiliknya terlihat sibuk berbalas pesan atau sesekali menerima panggilan telepon.

Tanpa bermaksud penasaran atau sengaja mengintip, terlihat olehnya pesan beruntun yang masuk dan terbaca dari pemberitahuan di bagian atas layar. Jantungnya berdegup kencang hingga napasnya tertahan seketika, tatkala membaca awal kalimat yang masih tampak jelas di sana, dengan nama pengirim seorang wanita. Monita.

“Hai, Gen! Kamu sudah pulang? "

"Apakah aku boleh datang ke ...."

"Ada hal penting yang harus kita ...."

Bunga-bunga yang sebelumnya sempat bermekaran di dalam hatinya mendadak layu dan berguguran begitu saja. Tubuhnya bahkan turut melemas dan tiada daya lagi. Padahal, hanya penggalan pesan yang belum pasti maksud dari keseluruhan isinya. Namun, sudah sukses membuatnya patah hati saat melihat emoji wajah dengan bibir mengerucut ke depan yang biasa diartikan sebagai simbol ciuman jarak jauh.

Siapa dia? Apakah dia adalah wanita yang dicintai selama ini? Jika benar demikian, mengapa dia tidak berjuang untuk memilikinya dan memilih untuk tetap mengikuti perjodohan kami?

Saat hatinya masih terasa tak karuan, tiba-tiba pintu terbuka bersamaan dengan masuknya sang suami yang sudah selesai mandi dengan penampilan paling disukai oleh Egidia. Segar dan beraroma wangi maskulin.

Wanita itu berusaha tetap tenang dan kembali melangkah. Genio memperhatikan dengan tatapan yang tertuju pada bagian leher, yang baru kali ini terlihat jelas dan menggoda hasratnya. Sayang, beberapa detik kemudian Egidia sudah melepaskan ikatan rambutnya sehingga mahkota hitam sepanjang bahu itu langsung menutupi bagian jenjang nan indah yang membuat suaminya sempat kesusahan untuk menelan ludah.

Mengapa aku berhasrat hanya dengan melihatnya seperti itu? Apakah aku ...? Ah, tidak! Ini hanya reaksi normal seorang pria jika menemukan pemandangan yang memancing gairah hingga tiba-tiba bergejolak.

Lelaki itu menunduk lalu memejamkan mata untuk mengendalikan perasaan dan menenangkan diri, sebelum menggerakkan kaki menuju meja kerja. Tujuannya tentu saja untuk memeriksa gawai yang layarnya sudah kembali berwarna gelap.

Diam-diam, Egidia memperhatikan pergerakan Genio dari cermin riasnya. Termasuk raut wajah yang berubah penuh senyuman setelah mengutak-atik ponsel di tangannya. Sudah pasti dia sedang membuka pesan yang baru saja masuk, dari wanita yang selama ini dicintai dengan teramat sangat.

Karena hatinya terasa semakin sakit hingga matanya mulai berkaca-kaca, wanita itu segera merapikan rambut lalu berdiri dan berpamitan tanpa melihat ke arah suaminya.

“Aku ke dapur dulu, Mas.”

Tanpa menunggu balasan dari Genio, Egidia melangkah cepat dan berhenti di balik pintu yang ditutup tapi tak rapat. Ternyata, lelaki itu memang hanya mengangguk karena perhatiannya lebih tertuju pada nama sang pengirim pesan.

Sempat menoleh ke arah pintu untuk memastikan istrinya sudah tidak ada di sekitar sana, Genio langsung melakukan panggilan ke nomor istimewa tersebut. Tanpa diketahui olehnya, ternyata Egidia masih berdiri tegang di balik pintu dengan mata yang memerah dan terasa pedih.

“Halo, Nit! Di mana kamu?”

“....”

“Mulai sekarang jangan datang ke rumahku lagi! Aku akan menemuimu di tempat lain.”

“....”

“Aku akan menjelaskan semuanya nanti. Tunggu dulu di sana, aku akan datang secepatnya.”

3. MALAM PERTAMA

Aku tidak tahu, sepenting apa aku baginya sekarang? Atau memang tidak lebih penting dari masa lalunya sebelum bertemu denganku? Malam ini, dia meninggalkan aku demi wanita lain yang entah ada hubungan apa dengan dirinya. Aku istrinya, tapi dia membiarkan aku sendiri dan kesepian, sementara dia memilih pergi dan meluangkan waktu untuk wanita itu.

***

Sebelum Genio menutup pembicaraan dengan wanita bernama Monita tersebut, Egidia yang sudah tidak bisa menahan perasaan langsung berjalan cepat menuju dapur. Dia tidak mau sampai ketahuan oleh suaminya jika dia masih berada di balik pintu. Dia ingin membiarkan Genio bicara sendiri dan bercerita kepadanya. Itu pun jika lelaki itu berniat untuk memberi tahu dirinya.

Beradaptasi dengan suasana di rumah baru, wanita itu mengambil cerek untuk memasak air. Sambil menunggu sampai mendidih, dia memeriksa isi kitchen set yang dipasang menempel pada dinding. Di salah satu laci terdapat susunan toples gula, teh, kopi dan cokelat bubuk yang masih terisi penuh semuanya. Dia mengambil toples gula dan teh untuk disiapkan di atas meja.

Dia beralih ke laci bagian bawah, di mana terdapat panci besar yang digunakan sebagai wadah beras. Terlihat juga beberapa peralatan masak sederhana yang disimpan rapi di sana. Sepertinya Genio jarang menggunakan karena tinggal sendirian. Sebelumnya, lelaki itu juga sempat bercerita jika dia lebih sering membeli makanan di luar atau memesannya melalui aplikasi.

Kemudian Egidia membuka kulkas untuk melihat apakah ada bahan makanan yang bisa diolah malam ini. Sayang, hanya terdapat beberapa butir telur, susu kemasan dan botol-botol yang berisi persediaan air dingin. Benar-benar memperlihatkan jika rumah itu hanya dihuni seorang diri oleh Genio.

Cerek sudah berbunyi nyaring menandakan air sudah matang sempurna. Dia mematikan kompor lalu mengambil dua buah cangkir yang disimpan di rak sederhana di samping kulkas.

Saat baru menuangkan gula dan teh celup ke dalam cangkir, Genio menyusul dan duduk di kursi makan yang berada di samping pintu dapur. Penampilannya sudah kembali rapi dengan mengenakan celana panjang dan kemeja lengan pendek. Tangan kanannya menggenggam gawai yang masih menyala layarnya dan menampilkan nota pesanan berikut peta lokasi dalam sebuah aplikasi pesan-antar.

“Egi, kita memesan makan malam lewat aplikasi saja. Besok pagi, aku akan mengantarmu berbelanja kebutuhan rumah tangga untuk persediaan kita.”

“Iya, Mas. Ini aku hanya membuat teh manis saja.”

Genio mengangguk sambil memperhatikan istrinya yang masih sibuk menyeduh teh dan mengaduk gulanya supaya larut sempurna. Raut mukanya datar tanpa ekspresi sama sekali. Hanya sekali terlihat senyuman tipis di bibirnya, tapi sesaat kemudian sudah pudar dan berganti dengan wajah gelisah.

“Ada apa, Mas? Apakah ada masalah?”

Egidia yang melihat kegelisahan itu bertanya sambil terus menyelesaikan minuman buatannya. Sebelum suaminya menjawab, dia sudah membawa dua cangkir teh manis yang uapnya masih mengudara itu ke meja makan. Satu diletakkan di depan sang suami dan yang satu lagi di sebelahnya. Baru kemudian di duduk di samping Genio.

“Tidak apa-apa. Hanya ada pekerjaan yang tiba-tiba harus aku selesaikan malam ini.”

Wanita itu berusaha untuk tetap bersikap tenang dan pura-pura tidak tahu tentang panggilan telepon yang dilakukan suaminya.

“Mas Gen mau pergi?” tanya Egidia. Dia menyiapkan hati atas jawaban Genio, padahal sesaat sebelumnya lelaki itu mengatakan akan memesan makan malam untuk mereka.

“Iya. Apakah kamu keberatan jika aku tinggal sebentar? Mungkin sekitar satu jam. Aku akan menyelesaikan secepatnya supaya bisa lekas pulang.”

Wanita itu hanya mengangguk sambil memutar-mutar cangkir di atas alasnya. Dia belum meminumnya, menunggu supaya sedikit lebih dingin dulu.

“Baiklah. Aku sudah memesan makanan untukmu. Tunggulah di ruang tamu, kurirnya pasti akan segera datang karena warung makannya tidak terlalu jauh dari sini.”

“Mas Gen tidak makan dulu?” Ada gurat kecewa di wajah Egidia yang tertangkap oleh pandangan suaminya.

Lelaki itu menggeleng lalu menyesap minumannya sedikit demi sedikit hingga berkurang setengahnya. Kemudian dia berdiri diikuti sang istri setelah meletakkan cangkir tehnya.

“Aku akan makan di sana saja supaya bisa mempersingkat waktu.”

Tanpa berpamitan lagi, Genio berjalan ke arah depan dan membuka pintu. Egidia menyusul setelah cepat-cepat berbelok ke kamar dulu untuk mengambil penutup kepala langsung pakai dan mengenakannya sambil terus melangkah. Dia segera memanggil karena suaminya sudah membuka pintu garasi dan hendak masuk ke mobil.

“Mas!”

Setengah berlari wanita itu menghampiri hanya untuk mencium punggung tangan suaminya dengan takzim. Genio tertegun dan terdiam sejenak dalam bimbang. Namun akhirnya dia membalasnya juga, mencium kening Egidia seperti yang dilakukan selepas akad nikah.

“Hati-hati di jalan, Mas. Aku menunggumu pulang.”

Mencoba bersikap biasa saja walau di dalam hati mulai terasa sakit, dirinya tetap melepas kepergian sang suami dengan senyuman manis. Ada rasa bersalah di hati Genio, tapi dia harus segera bertemu dengan Monita dan menjelaskan semuanya. Untuk Egidia, dia akan menceritakan esok hari dan mengatakan yang sejujurnya.

Lelaki itu masuk dan duduk di belakang kemudi. Dia mengeluarkan mobil hingga melewati pagar dan berhenti di bahu jalan. Turun kembali untuk menutup pintu garasi juga pagar depan. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Genio kembali ke dalam mobil dan melajukan dengan kecepatan tinggi.

Setitik air mata menetes di pipi Egidia, tapi buru-buru dia menghapus dan menyudahi kesedihannya. Menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan berulang kali, hingga hatinya merasa lebih lega.

Bersamaan dengan itu, kurir pengantar datang dengan suara klakson yang sengaja dibunyikan sebagai penanda kehadirannya. Wanita itu berjalan menuju pagar dan menerima kantong makanan yang diserahkan tanpa perlu membuka pagar lagi.

Setelah mengucapkan terima kasih dan menunggu sang kurir pergi, dia kembali ke dalam rumah dan mengunci pintu depan. Walaupun Genio mengatakan bahwa lingkungan perumahan tersebut aman dan diawasi oleh petugas keamanan kompleks, dirinya harus tetap waspada, apalagi di saat sendirian seperti sekarang.

Malam pertama di rumah sang suami, Egidia sudah ditinggalkan seorang diri begitu saja. Entah apakah alasan kepergian Genio benar atau hanya sebuah kebohongan supaya bisa menemui wanita yang sebelumnya sudah mengirimkan pesan kepadanya, dia pasrah pada akhirnya.

Egidia berusaha untuk menikmati makan malamnya dalam kesendirian. Hanya berteman cangkir minuman yang sebelumnya sudah dihabiskan setengah isinya oleh sang suami. Sesekali dia tersenyum getir sembari menyeka air mata yang kembali mengalir di sela dia menelan makanan pilihan Genio pelan-pelan.

Apakah wanita itu jauh lebih penting daripada aku yang sudah menjadi istrimu, Mas? Aku bahkan baru beberapa jam tiba di sini, tapi kamu sudah mengabaikan aku dan mengutamakan dia. Mengapa kamu melarangnya datang kemari? Apakah sebelumnya kalian memang sering menghabiskan waktu berdua di rumah ini?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!