NovelToon NovelToon

Precious Relationship

kasus Baru

Langkahnya terayun dengan irama yang cepat, ketukan heels berpadu dengan lantai menimbulkan bunyi yang cukup keras. Rachel yang baru saja keluar dari mobilnya itupun langsung berjalan dengan tergesa-gesa, memasuki restoran tempat dimana sahabatnya sudah menunggu lama.

Iya, lama. Pasalnya, sudah dua puluh menit berlalu sejak janji temunya dengan Mona— sahabat yang sudah sangat sahabat itu dan Rachel baru menginjakkan kakinya di tempat janjinya setelah membuat Mona bosan menunggu.

“Hay ... ” sapa Rachel begitu tiba di sebuah meja yang sudah ditempati oleh Mona.

Mona berdecak dan memutar kedua bola matanya lalu menatap Rachel dengan sinis, “Hay doang?” tanyanya dengan tatapan yang masih terlihat kesal.

“Iya, sorry, ya. Habis kerjaan gue lumayan numpuk dan lo tau sendiri kalau jakarta itu tempatnya macet,” ucap Rachel yang merasa bersalah.

Setelah duduk di hadapan Mona, tatapan Rachel beralih pada segelas kopi di atas meja yang sudah habis setengah. “Lo nggak pesen makan duluan?”

Mona berdecak lagi, “Ya enggak lah, kan tujuan gue kesini mau makan bareng lo, masa gue pesen duluan sementara lo belum keliatan wujudnya?”

Rachel merasa bersalah lagi, “Ya udah, sekarang kita pesen makan. Gue juga udah laper banget ini,” kata Rachel lalu melambaikan tangan untuk memanggil waitress.

“Apalagi gue yang udah jamuran karena nungguin lo?” celetuk Mona.

“Iya, ya ampun, gue minta maaf. Sebagai gantinya gue traktir deh, terserah lo mau makan apa aja. Bebas!”

Tiba-tiba Mona tersenyum cerah, “Nah gitu, dong. Lo, gue maafin.”

Setelah memesan makanan, Rachel menatap Mona cukup serius. “Ini kenapa tiba-tiba lo ngajak gue makan bareng? Pasti bukan karena gabut kan?”

Mona menyesap kopinya terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Rachel. “Nggak lah! Gue ngajak lo makan bareng karena gue mau bilang sesuatu—” belum selesai Mona bicara, Rachel sudah memotongnya.

“Sesuatu apa?”

“Gue mau tunangan,” ungkap Mona membuat Rachel melotot.

“Wah ... Lo—” Rachel tak melanjutkan ucapannya, karena tentu Mona sudah memotongnya sama seperti Rachel memotong ucapan Mona.

“Sorry, ya, meskipun kita bestie-an tapi kalau soal nikah kita nggak akan bareng,” ucap Mona membuat Rachel mendelik.

“Maksud gue tuh, kenapa lo baru bilang pas lo mau tunangan? Kenapa baru sekarang?” tanya Rachel.

“Gue lupa, hehe ... ”

***

Pesanan sudah tersaji di atas meja, kini Rachel dan Mona tengah menikmati makan siang mereka. Oh ya, ngomong-ngomong topik yang tadi masih di bahas oleh mereka. tentang Mona yang akan bertunangan dengan Daffa, lelaki yang sudah menjadi teman mereka berdua sejak SMP.

“Jadi, kapan kalian resmi tunangannya?” tanya Rachel.

“Rencananya sih malam minggu besok, gue ke sini juga karena mau ngundang lo buat acara nanti. Lo ... bisa kan?”

Rachel nampak berpikir sejenak, “berarti empat hari lagi ya? Kalau gitu gue harus liat dulu kerjaan gue masih banyak atau nggak. Tapi, walaupun banyak gue pasti dan harus dateng ke acara lo.” Mona mengangguk paham.

Kenapa Rachel bilang harus melihat pekerjaannya dulu? Sebab pekerjaan Rachel memang membuatnya sangat sibuk. Sejak menjadi detektif satu tahun yang lalu, Mona dan Rachel jarang bertemu— bukan dalam arti bertemu yang hanya satu bulan sekali, tapi biasanya mereka akan bertemu hampir setiap hari dan sekarang— semenjak Rachel bekerja menjadi seorang detektif (?) dalam seminggu mereka hanya bisa bertemu selama dua atau tiga kali.

Tak lama, ponsel milik Rachel yang ada di dalam tas bergetar. Menandakan ada telepon dari seseorang. Rachel menghentikan makannya sejenak lalu mengambil ponselnya.

“Siapa?” tanya Mona.

“Agha ... ” jawab Rachel. Ia menebak bahwa ada pekerjaan yang harus di tangani jika yang menelepon adalah Agha.

Mona hanya mengangguk dan Rachel langsung menekan tombol hijau, kemudian suara Agha terdengar dari sana.

[Ada kasus baru]

Rachel diam sesaat sambil melihat Mona sekilas, “harus ke sana sekarang?”

[Iya, dan kalau emang kamu lagi ada urusan, boleh selesaikan dulu tapi jangan terlalu lama.]

“Oh, oke. Aku lagi makan, jadi mungkin agak telat sampai kantor.”

Setelah sambungan telepon mati, Mona langsung buka suara, “Kasus baru lagi?” tanyanya sedikit meledek.

Rachel hanya mengangguk dan menghela napas. “Gue nggak bisa lama-lama di sini,” ucapnya.

“It's okay, lagi pula gue cuma ngajak lo makan siang karena mau ngomong sesuatu ... yang nggak terlalu penting banget sih. Soalnya kalau masalah undangan gitu kan bisa lewat telepon.” Mona meringis setelahnya, baru sadar bahwa ia sedikit ... konyol?

“Kalau lo ngomong lewat telepon doang, malah gue yang sakit hati, Mon. And, thanks, lo udah ngajak gue makan disini. Kalau enggak, gue pasti cuma bisa delivery di kantor dan yang pasti ngebosenin banget.”

Mereka diam sebentar kemudian tertawa secara bersamaan.

Setelah menyelesaikan makan siangnya, Rachel bergegas kembali ke kantornya. Dan langsung menuju ruangan tempat dimana mereka biasanya mendiskusikan sesuatu tentang kasus penting yang akan di tangani dan tentunya tak akan bisa di dengar oleh orang lain.

“Maaf, telat. Tadi di jalan lumayan macet,” ucap Rachel begitu masuk ke dalam ruangan yang sudah ada Agha dan beberapa orang lainnya.

“Baik, semuanya sudah datang termasuk si cantik Rachel yang memang keseringan telat ... ”

Rachel meringis mendengar ucapan Agha. Ia pun duduk di kursi yang biasa ia tempati itu.

“Kali ini ada kasus apa?” tanya Rachel.

Agha menyodorkan beberapa lembar kertas yang berisi data diri dan beberapa hasil penyelidikan polisi ke hadapan Rachel.

“Namanya Cleona. Kamu pasti kenal kan?”

Rachel mengangguk ragu, siapa yang tidak kenal dengan Cleona? Seorang selebritis yang akhir-akhir ini sedang naik daun. Dan kini sudah meninggal? Bahkan Rachel yang akan menangani kasusnya yang entah apa.

“Iya, terus kok bisa meninggal? Kayaknya aku baru liat dia dua hari yang lalu ada di acara tv.”

“Dan dia meninggal sekitar kemarin malam dan baru ditemukan kemarin siang sewaktu manajernya nyari-nyari dia dari pagi.”

Rachel mengangguk mengerti. “Terus kenapa sampai dibawa ke kepolisian?”

“Karena kematiannya nggak wajar—” Rachel mengernyit, Agha melanjutkan, “Kata manajernya, begitu dia masuk apartemen, Cleo udah nggak bernyawa dan ada bekas luka tusukan di dada bagian kiri. Yang pasti kena jantungnya. Kedua, ada bekas tamparan di pipi sebelah kiri sampai sudut bibirnya berdarah ... ”

“Astaga ... ” Rachel bergidik mendengarnya.

“Ketiga, ada bekas cekikan di leher yang buat Cleo kesulitan bernapas. Dan Manajernya bilang dia lihat Cleo nggak pakai baju. Ada beberapa luka bekas tali atau sabuk? Yang buat badan Cleo lebam. Dan satu bukti yang ditemukan polisi tadi pagi adalah alat pengaman yang belum di pakai. Itu artinya, Cleona sempat di perkosa tapi pelakunya memakai pengaman jadi nggak meninggalkan bukti.” Agha menghentikan penjelasannya sambil menatap reaksi Rachel yang sudah pasti sedikit shock.

“Separah dan se-mengerikan itu?” Agha mengangguk.

Rachel mengambil kertas-kertas itu untuk ia baca kembali. Cleona, perempuan cantik yang setahu Rachel bersih dari skandal dan kini ditemukan tewas dengan kondisi yang mengenaskan. Rachel sampai merinding sendiri.

“Sekarang jenazahnya ada dimana?” Rachel mengangkat kepalanya dan Agha menoleh ke arah salah satu polisi yang ada di sana.

“Jenazah sedang di otopsi, dan besok baru akan keluar hasilnya,” jawab polisi itu meski Agha tak bertanya.

“Dan ... keluarganya?”

“Mereka langsung dikabari kemarin sore, mungkin hari ini sedang ada di rumah sakit.”

“Kita ke sana sekarang!” ucap Rachel langsung berdiri.

Agha dan yang lain mengangguk dan mengikuti Rachel yang sudah berjalan lebih dulu. Sepanjang perjalanan, Rachel terus memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang mendasari pembunuhan itu. Tapi apa? Rachel tahunya Cleo itu perempuan baik-baik, ah, tapi itu di depan layar.

Entah di belakang layar memang baik atau tidak, yang membuat Rachel melamun bahkan ketika sudah sampai ia tak akan tersadar bila Agha tak menepuk pundaknya.

“Mikirnya nanti, sekarang kita fokus dulu,” katanya.

Rachel tersenyum dan ia pun keluar dari dalam mobil. Polisi yang datang bersama mereka pun tidak menggunakan seragam. Hanya kaos dan ada yang memakai jaket agar tak terlalu mencolok.

Sesampainya di depan ruangan tempat Cleo sedang di lakukan pemeriksaan, ternyata ada orang tuanya yang sedang menangis sambil berpelukan.

Ah, Rachel menduga bahwa mereka sedang terpukul atas kepergian Cleo yang tiba-tiba ini. Bahkan dengan kondisi yang tak bisa di bilang baik.

“Apa aku bisa masuk?” tanya Rachel pada Agha.

“Selain yang tidak diperbolehkan,” Agha menarik sudut bibirnya.

Rachel pun membuka pintu, ada dokter ahli forensik di sana yang sedang menulis sesuatu yang entah apa isinya.

“Halo, Dokter,” sapa Rachel, di susul Agha di belakangnya.

Dokter wanita itu pun menoleh. “Oh, halo ... Rachel ya?”

“Iya, Dok.”

Rachel mendekati dokter itu, lalu matanya beralih pada tubuh Cleo yang ternyata ... se-mengenaskan itu dimatanya.

“Selain luka tusukan, cekik, lebam, apa ada luka lain?”

“Ehm ... ada. Bekas pelecehan di tubuh bawahnya yang bengkak dan merah,” jawab dokter yang Rachel tahu nama panggilannya adalah Ika.

“Hasilnya keluar besok, dan kalau Mbak Rachel mau lihat silakan. Saya nggak akan menghalangi pemeriksaan, tapi jenazah besok juga sudah harus dikebumikan.”

Rachel mengangguk paham, yang paling penting jenazah sudah di otopsi dan ia hanya tinggal menunggu hasilnya. Namun, ketika melihat Cleo, Rachel sedikit heran. Karena ini seperti bukan kasus pembunuhan biasa.

Kalau kasus pembunuhan biasa, mungkin hanya di tusuk saja. Tapi Cleo bahkan sampai di lecehkan lebih dulu dan bahkan sepertinya di siksa habis-habisan. Terlihat dari luka lebam yang tak hanya ada satu, bahkan cukup banyak. Dan juga, bekas cupan*?

Eh, Rachel tak salah lihat kan? Bahkan pelakunya juga sepertinya sangat menikmati tubuh indah milik Cleo sebelum membunuhnya hingga meninggalkan bekas cup*ng di beberapa bagian tubuh Cleo.

“Saya akan kembali besok untuk mengambil hasilnya, dan Agha juga akan melihat proses pemakaman jenazah Cleo sampai selesai.”

Begitu namanya di sebut, Agha menolehkan kepalanya. “Aku?”

“Iya, karena habis ngambil hasil aku harus langsung ke lokasi,” Rachel tersenyum geli ketika mendapati raut penolakan Agha.

“Oh ya, Dok. Apa pelaku tidak meninggalkan bukti selain bekas pukulan ini? Ehm ... misalnya saja bekas cairan sperm*?”

Dokter Ika menggeleng lemah. “Sayangnya tidak, hanya ada bekas kemerahan saja dan memangnya di tempat kejadian tidak ada bekas pengaman yang di buang?”

Dia MantanKu

Rachel berharap bahwa pelaku akan ceroboh dengan meninggalkan bekas pengaman yang berisi cairan itu agar mempermudah dirinya dalam penyelidikan. Karena sepanjang penjelasan Agha tadi siang, pelaku sama sekali tak meninggalkan bukti fisik maupun non fisik, misalnya sidik jari.

Jadi, besok Rachel akan langsung ke TKP dan juga memeriksa CCTV yang belum sempat dilihat oleh petugas kepolisian. Untuk sekarang Rachel hanya ingin beristirahat karena hari sudah malam dan tubuhnya terasa sedikit pegal.

Begitu sampai di rumah, Rachel langsung masuk kamar bahkan tak menyapa kedua orang tuanya dulu. Rachel membersihkan tubuhnya dengan air hangat dan mengenakan piyama yang cukup tebal.

“Kak!” panggil Kalingga.

Kalingga adalah papi kesayangan Rachel, bahkan Kalingga juga lebih menyayangi Rachel dari pada anak keduanya— adik laki-laki Rachel yang namanya Arghian Bagaskara.

“Iya, Pi, kenapa?” Rachel menghampiri Kalingga yang sedang menonton televisi bersama sang istri alias mami Rachel yang namanya Frida Kartika.

“Kamu udah makan?” tanya Kalingga.

“Udah kok, Pi. Tadi bareng sama Agha,” jawab Rachel. Dan ya, Rachel tak bohong bahwa sebelum pulang, ia makan malam dulu dengan Agha di tempat biasa mereka makan.

“Kok sama Agha terus sih, Kak?” kini mami Frida yang bertanya.

“Lho, emang kenapa, Mi? Kan aku emang udah biasa makan bareng Agha.”

“Ya sekali-kali makan bareng pacar, Kak. Jangan sama Agha terus, atau minimal jadian lah sama Agha. Kan kalian sering bareng tuh.” Frida menampilkan senyum yang cukup menyebalkan dimata Rachel.

“Ih, Mami. Kan aku lagi fokus kerja, banyak kasus yang harus aku pegang. Mana sempet mikirin soal pacar apalagi nikah,” sungut Rachel.

Frida tertawa, mungkin senang karena telah meledek sang anak. Padahal Rachel sudah berulang-kali bilang begitu, tapi seolah Frida sengaja karena memang ingin cepat-cepat melihat anaknya menikah.

“Eh, Kak, tau nggak—”

“Nggak tau, Mi,” potong Rachel tiba-tiba dan Frida langsung memukul lengan Rachel dengan pelan.

“Makanya dengerin dulu orang ngomong. Jangan langsung di potong.” Rachel tertawa tentu saja, seolah ia berhasil balas dendam karena Frida telah meledeknya tadi.

“Iya iya, Mi. Emang ada apa?”

“Mami tadi lihat berita katanya Cleona meninggal yah? Kakak udah tau belum?”

Rachel langsung menoleh pada sang Mami. secepat itu ternyata beritanya sudah menyebar bahkan sampai di televisi walaupun belum pasti penyebabnya apa. Dan siapa pelakunya.

“Udah kok, Mi. Soalnya Kakak yang nanganin kasusnya Cleona,” ucap Rachel, yang sekarang sedang makan cemilan yang ada di atas meja.

“Lho? Kok bisa?”

Mengalir lah cerita dari awal sampai akhir yang Rachel tahu untuk memenuhi rasa penasaran sang mami. Bahkan tentang bekas ****** yang ditinggalkan oleh si pelaku.

“Tapi jangan di sebarin, Mi. Jangan punya mulut 'ember', kalau Mami sebarin bisa nambah ruwet jalan aku buat selesain kasusnya.”

“Ya enggak lah, kan Mami cuma nanya. Lagian Pelakunya juga sama kayak menyelam sambil minum air. Misalnya ya, kalau ada dendam bisa dapat untung zina. Zina kan enak, ya, Pi?” Tiba-tiba Frida menoleh pada Kalingga.

“Ya mana Papi tau,” Kalingga angkat bahu acuh.

***

Pagi harinya, Rachel sudah di jemput Agha di depan rumahnya. Kali ini Rachel tak akan bawa mobil, karena ketika akan pergi ke TKP, Rachel akan ikut dengan mobil polisi yang tentu saja terlihat seperti mobil biasa supaya tak ada yang tahu apa tujuan mereka datang ke gedung itu.

Sementara ketika pemakaman Cleo sudah selesai, Rachel akan pulang di antar oleh Agha. Biarlah pindah-pindah mobil asal ia tak merasa lelah (senyum devil).

“Cleo nggak jadi dimakamin hari ini.”

Lah?

“Eh, kok nggak jadi?”

“Dokter Ika bilang otopsi nya belum selesai, dan kemungkinan besok pagi. Jadi rencana kita berubah, hari ini kita fokus nyari bukti di TKP.”

Rachel hanya mengangguk, ia ikut saja, toh sudah dapat tumpangan gratis jadi tak usah protes.

“Oh iya, aku kapan bisa lihat rekaman CCTV-nya?” tanya Rachel.

Mobil mulai berhenti setelah tadi jalan dengan lancar, alasannya sudah pasti karena macet. Agha pun punya kesempatan untuk menoleh pada Rachel.

“Katanya CCTV dari rusak dan lagi di benerin. Semoga hari ini sudah bisa atau besok?”

“Dan soal yang dokter Ika bilang, kita akan coba cari di setiap sudut apartemen itu. Aku harap sih beneran pelakunya ceroboh dan ninggalin itu sebagai barang bukti kedua.”

Rachel pun berharap begitu, karena setibanya di tempat kejadian, mereka belum menemukan apapun. Di tempat sampah, toilet dan dimana pun yang kira-kira tempat yang cocok untuk menaruh benda seperti itu.

“Astaga ... ini pelakunya yang kelewat pinter apa kita yang kurang pinter sih? Masa satu jejak pun nggak dia tinggalin. Kayaknya ini kasus pertama aku yang bakal lama selesainya. Selain balon yang belum di pakai, nggak ada lagi gitu? Baju? Celana?” gerutu Rachel yang belum apa-apa sudah mulai kesal.

Agha menggeleng sembari tertawa. Memang, ia pun mengakui bahwa pelaku untuk kasus ini lebih pintar dari yang ia duga. Biasanya pelaku akan meninggalkan sebuah 'bukti' yang tak sengaja pelaku tinggalkan. Tapi untuk kasus ini tidak tidak. Bahkan sidik jari pun tidak ada.

“Mungkin pelakunya pakai sarung tangan sewaktu ngelecehin Cleo dan nyiksa Cleo.” Rachel menggeleng begitu sadar apa yang ia ucapkan.

“Oh ya, HP Cleo apa nggak ada? Harusnya dari sana kita bisa cari tau siapa aja yang pernah Cleo hubungi.”

Rachel sudah sangat berharap, namun nyatanya gelengan kepala dari Agha membuatnya ingin menjedukkan kepalanya sendiri.

“Begitu manajer Cleo dateng, HP itu memang udah nggak ada. Bersih banget.”

Para anggota polisi yang lain bilang mereka hanya menemukan pengaman yang belum di pakai dan itu tercecer di lantai. Itu berarti, Pelaku sempat memakai satu lalu setelah puas menyiksa Cleo, Pelaku itu membuangnya ketempat yang entah dimana tepatnya.

Hari semakin siang namun belum ada yang mereka temukan satu pun. Sepertinya, proses penyelidikan kali ini akan benar-benar memakan waktu yang lama. Mengingat bukti yang hanya berupa sisa alat pengaman itupun belum di pakai.

Akhirnya Agha mengajak Rachel untuk beristirahat dan makan siang di lantai bawah. Sementara tempat ini akan tetap ada yang menjaga. Dua orang polisi yang memakai pakaian biasa.

Di dalam lift, rupanya tak hanya ada mereka berdua. Namun ada satu orang lagi yang seketika membuat Rachel terpaku selama beberapa saat.

“Devan?”

Namun lidahnya terasa kelu hanya untuk mengatakan satu kata itu. Ketika netranya hanya terfokus pada sosok lelaki yang juga sedang menatap kearahnya dengan tatapan yang terlihat ... terkejut?

“Ra?”

Dan ... fokus itu buyar ketika Agha menyentuh bahunya. Membuat Rachel berjengit karena terkejut.

“Kenapa malah ngelamun? Ayo masuk, nanti lift nya keburu ketutup.” Agha menarik pergelangan tangan Rachel yang tiba-tiba terasa tremor dan berkeringat dingin.

“Kamu nggak papa?” tanya Agha khawatir.

“Ah, i-iya, aku nggak papa kok.”

Rachel berdiri dengan canggung karena di apit oleh Agha dan lelaki di sebelahnya.

Devan, cinta pertamanya dan belum ada penggantinya. Mantan kekasih yang dulu tiba-tiba menghilang bak dibawa arus sungai yang begitu derasnya bahkan sampai membuat Rachel banjir air mata. Oh, itu dulu, lima tahun yang lalu namun sekarang Rachel sudah move on. Hanya tinggal sakit hatinya saja yang mungkin tak bisa hilang.

Rachel melirik ke arah Devan yang diam saja setelah melihatnya. Apa Devan tak merasa bersalah sedikitpun? Mengingat bertahun-tahun Devan tak sekalipun menemuinya, Rachel merasa Devan memang tak pernah merasa bersalah.

Rachel mencengkram tali tasnya dengan kuat hingga buku-buku tangannya memutih. Jika saja lift tak berbunyi dan pintunya terbuka, maka Rachel sepertinya akan kesulitan bernapas karena sesak yang tiba-tiba datang.

Rachel melihat Devan pergi lebih dulu, menjauh dan semakin menjauh hingga tak terlihat. Bahkan Rachel tak mendengarkan setiap ocehan yang keluar dari mulut Agha.

“Rachel ... ” panggil Agha.

“Ah, iya, Gha? Kenapa?”

“Kamu lagi mikirin apa? Kok kayaknya nggak fokus gitu? Bahkan waktu aku ngomong pun kamu nggak ngerespon apa-apa.”

“Oh, iyakah? Maaf, aku emang kurang fokus siang ini. Mungkin karena laper ya?” Rachel terkekeh dengan hambar.

“Kalau gitu, kita makan yang banyak. Jangan terlalu banyak pikiran, takutnya kamu sakit,” dan Rachel merasa lebih baik setelahnya.

Mereka memesan makanan yang mungkin bisa mengenyangkan perut. Sambil menunggu pesanan tiba, Rachel bertanya pada Agha.

“Laki-laki yang tadi ... ”

Ingin menyebut nama Devan tapi tidak bisa, mau bertanya pun bingung karena takut Agha tak tahu siapa Devan. Tapi, ternyata Agha cukup tahu ...

“Namanya Devan, dia tinggal di gedung ini bahkan deket banget sama unit Cleo. Cuma berjarak beberapa langkah. Emangnya kenapa? Kamu kenal?”

“Enggak, tapi dulu pernah kenal. Dia ... mantanku,” ungkap Rachel dengan suara yang lirih dan kepala menunduk.

“Uhuk!” Agha melotot, “Beneran? Kok aku baru tau kalau ternyata kamu punya mantan? Putus kapan?”

Rachel mendelik sinis ketika sadar Agha mulai kepo. Rachel tak menjawab pertanyaan Agha, ia mengalihkan fokusnya pada ponsel di tangan, namun percayalah fokus utamanya itu ada pada Devan.

Baru ketemu sekilas saja sudah jadi beban pikiran buat Rachel. Sekarang harapannya hanya satu, semoga ia tak akan bertemu Devan lagi.

***

Rachel pulang setelah benar-benar tak menemukan apapun di sana. Bukan pulang ke rumah mami dan papi, tapi Rachel pulang ke rumah Mona yang jaraknya tak terlalu jauh dari lokasi tempat terjadinya pembunuhan itu.

Setelah Agha pergi karena harus mengantar Rachel dulu. Rachel langsung masuk ke rumah Mona yang memiliki dua lantai itu sambil mengucap salam. Rupanya, rumah Mona cukup ramai. Mungkin karena lusa Mona akan bertunangan?

“Tante ... Mona-nya ada?” tanya Rachel pada ibunya Mona yang sedang menonton televisi.

“Dikamar dianya, masuk aja, Ra.”

Rachel mengangguk sembari tersenyum. Setelah itu Rachel langsung pergi ke kamar Mona yang ada di lantai dua, tanpa mengetuk pintu Rachel langsung masuk karena pintunya tak di kunci. Rupanya, Mona sedang tertidur pulas sambil memeluk guling.

“Mon, gue juga numpang tidur, ya,” ucap Rachel pada Mona yang tentu saja tidak akan di dengar.

Rachel menaruh tasnya di atas meja kecil, lalu naik ke ranjang dan ikut memeluk guling yang sedang dipeluk oleh Mona. Meskipun kedua mata Rachel tertutup, namun pikirannya sedang berkelana.

Lima tahun sudah berlalu dan pertemuan tadi adalah pertemuan pertama mereka setelah Devan yang tiba-tiba menghilang. Dan kalian tahu apa yang Rachel sedang rasakan sekarang?

Sesak yang sangat sesak. Bahkan sampai membuat Rachel sedikit kesulitan bernapas. Bukankah ia sudah Move on? Tapi kenapa rasanya masih sesakit ini?

Rachel tak tahu kapan pastinya ia mengalihkan pikirannya yang dipenuhi oleh nama Devan. Karena tentu saja Rachel sudah tertidur setelahnya.

CCTV Yang Memperlihatkan ...

“Gue habis ketemu Devan.”

Mona langsung mengangkat kepalanya mendengar perkataan Rachel yang membuatnya sedikit ... terkejut.

Setelah Mona terbangun, Rachel juga ikut terbangun. Karena hari sudah mau malam, Rachel akhirnya numpang mandi di rumah Mona dan sekaligus meminjam pakaian Mona. Sebut saja Rachel adalah beban, tapi Mona cukup sabar karena tahu kalau sahabat yang ia punya hanya Rachel.

“Kok bisa?” pertanyaan itu yang malah keluar dari mulut Mona.

“Ya mana gue tau.” Rachel mengembuskan napasnya yang terasa berat.

“Lha iya, ya. Lo mana tau kalau bakal ketemu sama Devan tiba-tiba,” kelakar Mona.

Bukannya tertawa, Rachel malah mendelik kesal. Tangannya mengambil handuk yang barusan melingkari kepalanya itu lalu ia lemparkan ke arah Mona yang sedang tertawa. Padahal tidak ada yang lucu.

“Gue serius!”

“Ya gue juga serius nanya. Kok bisa lo tiba-tiba ketemu Devan setelah selama itu nggak ketemu? Dan emangnya ketemu dimana?”

“Di apartemen tempat gue nanganin kasus. Dan lo tau? Waktu dia ngeliat gue, Harusnya kan bilang maaf atau apa kek. Tapi, dia cuma pasang muka 'wah' kayak orang kaget gitu. Kesel tau nggak, sih?”

Sekarang Mona tertawa lagi. “Ya terus Devan harus bereaksi gimana?”

“Tiba-tiba dia bersimpuh ... di bawah lo dan bilang 'Rachel, maafin aku ya karena udah ninggalin kamu?' gitu?”

Mona merasa geli sendiri dengan apa yang baru saja ia ucapkan, karena terdengar ... lebay.

Rachel terdiam. Benar juga. Memang dia mengharapkan apa setelah pertemuan yang tiba-tiba itu?

Devan meminta maaf? Kedengarannya terlalu aneh. Apalagi tadi ada Agha yang bersamanya dan kalau tiba-tiba Devan bilang, 'hai Rachel, apa kabar?' bukankah itu lebih aneh lagi?

“Katanya udah move on, kalau lo kayak gini terus fix gue jadi ragu sama kata move on yang keluar dari mulut lo.”

***

Hari ini Rachel akan pergi ke rumah sakit untuk mengambil hasil otopsi. Kata Agha, Rachel bisa langsung ke rumah sakit dan tidak perlu ke kantor dulu.

Sesampainya di rumah sakit, rupanya Agha dan dokter Ika sudah menunggunya di depan ruangan yang dua hari lalu ia datangi. Setelah menyapa untuk sekedar basa-basi, Rachel langsung menyampaikan niatnya.

“Hasilnya sudah boleh saya bawa, Dok?”

Dokter Ika mengangguk, ia menyodorkan sebuah dokumen yang isinya cukup penting bagi kasus yang Rachel tangani saat ini.

“Selain luka yang kita bahas kemarin, tidak ada luka lain lagi. Dan semoga kasusnya bisa cepat selesai,” ucap dokter Ika.

Rachel mengangguk dengan gumaman kecil. Lalu ia menoleh pada Agha.

“Korban kapan di makamkan?” tanya Rachel.

“Pagi ini. Jenazahnya udah di bawa tadi malam. Jadi, aku harus pergi ke rumah duka sekarang. Nggak bisa bareng kamu ke lokasi. Tapi kamu nggak usah takut, karena ada beberapa polisi yang udah standby di sana.” Tentunya bukan memakai seragam, tapi itu tidak perlu di bahas karena Rachel pasti sudah tahu.

“Ya nggak mungkin aku takut. Aku udah biasa sama yang beginian,” Rachel tertawa kecil mendengar ucapan Agha yang seperti mengkhawatirkannya ... mungkin.

“Ya sudah, Dok, kalau begitu saya permisi dulu. Terima kasih atas bantuannya,” ucap Rachel kemudian ia dan dokter Ika bersalaman, begitu juga dengan Agha.

“Sudah tugas saya, Mbak Rachel.”

***

“Habis dari makam, aku langsung nyusul ke sana. Jadi jangan pulang duluan karena kalau kamu pulang dan aku sampai sana pasti nyari-nyari kamu dulu.”

Mereka sedang berjalan menuju parkiran, Rachel hanya mengangguk setelah Agha berkata demikian. Lagian, proses pemakaman juga tidak akan terlalu lama kan? Jadi, kalau Agha ke lokasi agak kesiangan pun sudah pasti Rachel masih ada di sana.

Rachel langsung pergi dengan mobilnya setelah terpisah dengan Agha di parkiran. Tak butuh waktu lama, Rachel sampai di gedung apartemen yang sekarang tak terlalu ramai itu.

Agha bilang, polisi yang ikut penyelidikan hari ini masih berjaga di depan pintu apartemen dan ada sebagian yang sudah ada di dalam. Dan pekerjaan Rachel hari ini adalah melihat CCTV.

Rachel mendapat kabar kalau CCTV yang kemarin diperbaiki sudah jadi dan Rachel bisa melihat rekamannya.

“Pak Dito, kita bisa langsung ke ruangan CCTV? Saya harus segera melihat rekamannya,” pinta Rachel pada Dito, polisi yang sudah Rachel kenal sejak lama.

“Bisa, Mbak, saya juga sudah nunggu Mbak Rachel buat lihat rekaman CCTV nya,” ujar pak Dito.

Rachel mengangguk dengan cukup antusias. Sebab, dari rekaman ini ia bisa melihat gerak-gerik korban dan mungkin pelakunya juga? Karena jika CCTV ini tidak membantu, Rachel akan kebingungan mencari bukti apa lagi untuk mengungkapkan kasus pembunuhan Cleona.

Setibanya di ruang CCTV, Rachel dan Pak Dito bertemu dengan penjaga CCTV dan mempersilakan kedua petugas itu melihat rekaman yang menayangkan kejadian sebelum korban terbunuh.

Malam tiga hari yang lalu, seperti apartemen biasanya yang ditempati oleh orang-orang. Tak ada gerak-gerik mencurigakan ketika tiba-tiba Cleona pulang dengan langkah yang tergesa-gesa, seperti di kejar sesuatu.

Saat itu, seingat Rachel sepertinya Cleona baru pulang bekerja dari sebuah acara televisi. Karena Rachel sempat menonton bersama Frida malam itu.

“Apa dia di kejar seseorang, Pak?” tanya Rachel pada penjaga CCTV itu.

“Sepertinya tidak, Bu. karena rekaman di parkiran pun cuma Cleona sendiri yang kelihatan baru pulang, di jam sepuluh malam. Dan nggak ada yang ngikutin.”

Rachel berdecak. Tapi kenapa Cleo kelihatan di buru sesuatu, dan Rachel menangkap raut wajah Cleo yang sedikit panik.

Dan setelah Cleo masuk ke apartemen, tepat di jam 22.30, CCTV tiba-tiba gelap dan terlihat seperti ... mati?

Tunggu!

“Ada apa ini?” tanya Rachel heran.

“Setelah diperbaiki, CCTV ini sepertinya memang sudah rusak, Bu. Mungkin memang karena CCTV-nya sudah lama.”

Rachel menggeleng tegas. Jelas ini rusak bukan karena CCTV yang sudah lama. Tapi rusak karena di sengaja. Tidak mungkin kan CCTV tiba-tiba rusak, padahal sebelum ini pun gambarnya masih terlihat jernih.

“Nggak mungkin, Pak. Kalau rusak pasti sudah ada tanda-tanda sejak kemarin-kemarin. Dan ini pasti rusak karena di sengaja. Apa keamanan di gedung ini kurang sampai CCTV bisa di retas?”

Penjaga CCTV itu menggeleng ragu, karena ia hanya seorang penjaga, yang tugasnya menjaga saja supaya jika ada maling, penculik atau apapun bisa ia lihat dengan mudah.

“Coba lihat rekaman waktu pagi hari. Kalau bisa waktu subuh,” pinta Rachel yang di angguki oleh penjaga laki-laki itu.

Pukul 05.00, itu masih terhitung subuh. Tak ada gerakan berarti sampai tiba-tiba CCTV menangkap sesuatu yang membuat Rachel terpaku.

“Laki-laki itu, Pak ... ” gumam Rachel tertahan.

“Oh, seingat saya namanya Devan. Dia baru sewa apartemen itu seminggu yang lalu kayaknya,” ujar penjaga CCTV.

Rachel terus mengamati rekaman dengan tatapan yang ... entahlah. Karena di dalam rekaman itu, Devan mengetuk pintu kamar Cleo dengan gerakan yang terkesan tidak sabar.

Lalu Cleo keluar, dan ... mereka terlibat percakapan yang tak bisa Rachel dengar. Tentu saja karena CCTV itu tak bisa menangkap suara yang ada di sekitarnya.

Devan dan Cleo juga terlihat seperti akan bertengkar, lalu Cleo masuk dan Devan juga masuk ke unitnya lagi. Setelah itu, tak ada siapa yang lewat sampai pukul 06.45, Devan keluar dari unitnya dan lima belas menit setelahnya, seorang perempuan datang dan masuk ke unit Cleo tanpa mengetuk pintu.

“Dia manajer Cleo yang menemukan mayat Cleo besok siangnya,” kata Dito, menyadari raut wajah Rachel yang sedikit kebingungan.

Rachel mengangguk dan kembali mengamati rekaman itu. Karena tak lama dari itu, Cleo dan manajernya keluar dari sana. Setelahnya, adalah rekaman Cleo yang pulang larut malam, kemudian besoknya di temukan meninggal dunia dengan keadaan yang cukup ... mengenaskan.

Tahu apa yang Rachel pikirkan saat ini?

Devan. Orang pertama yang Rachel curigai ada kaitannya dengan kasus kematian Cleo— atau bisa saja Devan pelakunya?

Semua itu masih abu-abu untuk sekarang, dan Rachel sudah sakit kepala dengan memikirkannya saja. Bahkan ketika ia dan Dito kembali ke unit apartemen Cleo, pusing di kepalanya tak juga hilang.

Rachel membaca sekilas dokumen yang isinya lembaran hasil otopsi. Luka tusukan memang satu, namun itu tepat mengenai jantung korban. Dan benda yang di gunakan ada ...

“Pak Dito, apa pisau yang di gunakan untuk menusuk korban juga tidak ada?” tanya Rachel.

Dito menggeleng, dan Rachel hanya bisa menghela napas berat. Ini rumit, sang rumit bagi Rachel yang masih termasuk junior untuk kasus seperti ini.

Ketika sedang memejamkan mata untuk menghilangkan pusing di kepalanya, Rachel merasa tas yang ia bawa bergetar. Ada telepon masuk. Nama yang tertera adalah, “Darren?”

Rachel menekan tombol hijau. Suara di seberang sana lantas langsung terdengar.

[Halo, Rachel.]

“Halo, Ren. Kok udah nelepon? Misinya udah selesai, ya?”

[Sayangnya belum.] Darren berdehem.

Rachel terkekeh. Darren adalah salah satu teman yang sudah Rachel kenal semenjak masih kuliah. Dan sekarang Darren sudah menjadi anggota polisi yang sedang menyelesaikan sebuah misi.

Terkadang Darren akan meneleponnya seperti saat ini kalau sedang ada waktu senggang, atau ketika jaringan sedang bagus? Karena tempat Darren menyelesaikan misi terkadang adalah daerah terpencil.

“Ehem! sudah ya, semangat nyelesain misinya.” Darren mengiyakan.

Pembicaraan berakhir padahal belum ada dua menit atau mungkin satu menit pun belum sampai. Rachel memutuskan untuk pergi ke bawah dan makan siang.

Setelah berpamitan dengan orang-orang yang ada di sana, Rachel pergi dengan harapan kalau setelah minum kafein atau makan siang, sakit di kepalanya bisa berkurang. Namun, semesta seolah tak mau membuat Rachel merasakan ketenangan yang singkat itu.

Karena, begitu Rachel membuka pintu. Pintu di seberang juga ikut terbuka, membuat Rachel terdiam kaku di tempatnya. Devan juga mematung selama beberapa saat, kemudian melanjutkan mengunci pintu.

Dan Rachel? ingin bergerak saja seperti ada lem di heels-nya. Begitu Devan mengayunkan tangan untuk menyuruh Rachel melangkah duluan, barulah Rachel tersadar dan segera pergi dengan perasaan aneh yang menyerangnya lagi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!