Sore yang mendung, juga disertai hujan rintik-rintik itu terlewati dengan hubungan yang terlarang, wanita bertubuh kecil sedang sibuk merapikan kemejanya, juga rok selutut itu nampak berantakan.
Sedangkan pria itu tampak menyandar puas, memejamkan mata mengatur nafas dengan sesekali membuka dan melirik ke samping, tersenyum penuh kasih sayang. "Kau selalu membuat aku menginginkanmu Melati, kau cantik sekali."
"Mas, apa kau tidak merasa berdosa melakukan semua ini hampir setiap hari sedangkan kita belum menikah?" gadis usia belasan tahun itu bertanya dengan suara pelan, sungguh merdu di dengar Arka.
"Kita pasti akan menikah, tunggu setelah aku dapat pekerjaan. Aku ingin membahagiakanmu, hidup enak dan tanpa harus bersusah payah." ucap Arka pada gadis cantik itu.
"Aku hanya sering gelisah setiap malam aku di kejar dosa, tidakkah kau bisa mencari pekerjaan lainnya. Kau bilang orang tuamu memiliki banyak lahan dan juga sawah, kau bisa mengelola itu untuk menghidupi aku." ucap gadis itu lagi dengan lembut.
"Aku ingin mencari pekerjaan yang bagus untuk menghidupi kau dan anak-anak kita nanti." jawab Arka dengan wajah penuh semangat.
"Aku hanya butuh kau berusaha Mas, aku tidak memaksakan kau bekerja sebagai orang berdasi." ungkap Melati dengan wajah sedihnya.
"Ku harap kau sabar menunggu Mel, kita akan segera menikah setelah aku mendapat pekerjaan. Saat ini aku sedang memasukkan lamaran ke sebuah kantor besar." Arka tak putus asa meyakinkan kekasihnya yang sangat cantik.
Melati, gadis bunga desa itu terlihat kecewa dengan jawaban yang tak pernah berubah dari mulut Arka kekasihnya. Hubungan Asmara yang sudah bertahun-tahun tanpa kepastian itu ia jalani dengan penuh tekanan, juga dengan berbagai keanehan. Seperti ketika Arka datang ke rumahnya di beberapa waktu yang lalu, di tengah kegelapan wajah Arka terlihat menyeramkan, mata merah jelas terlihat dengan lingkar putih di bagian kornea juga kulitnya yang terlihat menghitam, namun sesaat kemudian Arka masuk dan tersenyum. 'Mungkin hanya salah lihat, atau karena pencahayaan di luar yang tak begitu terang." Begitu Melati berpikir saat kemudian ia memandang wajah Arka hingga berkali-kali.
Terkadang, Ingin rasanya Melati menghindar, bahkan memutuskan hubungan mereka. Namun bibir mungilnya tak pernah bisa mengatakan kata-kata putus, seakan terkunci ketika berhadapan dengan Arka.
"Mas pulang dulu ya Mel sayang." ucap Arka.
"Besok kau tak usah datang kesini, aku tidak enak dengan tetangga." Melati mengungkapkan sedikit kekhawatiran yang membuatnya gelisah setiap hari.
"Ya." jawab Arka tak suka, muka masamnya selalu terlihat jika ada hal kecil saja yang tidak berkenan di hatinya, tak sesuai keinginannya.
Melati bernafas lega, entah mengapa di setiap berdekatan dengan Arka ia seperti berada dalam ruangan gelap tanpa oksigen, bahkan hanya bisa menurut dan ikut apa maunya, padahal hatinya menolak dan menentang semua yang ia lakukan.
Beberapa jam setelahnya ibu pulang dari ladang dengan membawa beberapa ikat sayur dan juga ikan. Wanita tua itu berjalan pelan dengan wajah lelah seorang petani. Sedangkan ayah Melati sedang bekerja di rantau bersama saudara lainnya.
"Ibu sudah pulang?" tanya Melati halus, tangan kecilnya meraih sayur dan ikan yang akan ia masak untuk makan malam.
"Sudah masak nasi Mel?" tanya ibu Nur.
"Sudah Ibu." jawab Melati singkat.
Ibu langsung menuju kamar mandi, tak lama setelahnya ia keluar dengan sendal jepit segera melaksanakan sholat ashar yang sudah sedikit tertunda.
"Tidak sholat Mel?" tanya Ibu saat ia melepaskan mukenanya.
"Sudah Bu." bohong Melati.
'Jangankan sholat Bu, mengingat Tuhan saja aku malu' batin Melati.
Hari-hari Melati hanya di lewati dengan aktivitas di rumah saja, masak, membersihkan rumah dan mencuci pakaian layaknya seorang gadis desa. Pendidikan yang hanya sebatas sekolah menengah pertama, membuat ia tidak bisa melamar pekerjaan kemana-mana, lagi pula di desa tak memiliki banyak lowongan kerja.
Seusai makan malam, ibu dan anak itu duduk mengobrol di meja yang sederhana. Suasana tenang khas pedesaan, dengan beberapa suara motor lewat di depan rumah Melati.
"Mel, ibu ingin bicara denganmu Nak." Ibu memulai pembicaraan serius.
"Ada apa Bu?"
"Ini soal Arka, kalian sudah dekat selama tiga tahun, dan itu setiap hari dia datang menemuimu. Ibu takut kalian khilaf dan melewati batasan, ibu takut malu Nak, lagi pula semua orang juga tetangga pada heboh ngomongin kalian sudah terlalu dekat. Apa tidak sebaiknya kalian menikah saja." saran Bu Nur dengan wajah tuanya.
"Aku belum siap menikah Ibu." bohong Melati, ia tak mau jika ibu sampai tahu bahwa sebenarnya Arka-lah yang belum siap menikahi dirinya.
"Kalau belum siap mbok ya di batasi hubunganmu itu, jangan terlalu dekat, jangan terlalu sering datang kemari. Apalagi omongan tetangga itu terkadang membuat ibu sakit hati. Misalkan benar ibunya Arka tidak setuju dengan hubunganmu, lebih baik putuskan saja."
"Itu sudah ku tanyakan dengan Mas Arka Bu, dia mengatakan jika itu bohong, dan ibunya bilang tidak usah mendengarkan apa kata orang." Melati hanya mengatakan apa yang ia dengar dari Arka.
"Tapi Mel, tak akan ada asap jika tak ada api. Tidak akan ada gosip juga berita-berita jika tidak ada asal usulnya." jawab ibu menegaskan firasatnya.
Di tangah perbincangan serius itu, terdengar suara motor berhenti di depan rumah Melati.
"Kenapa suara motor itu seperti punya Mas Arka?" tanya Melati.
"Mungkin saja, dia memang sering datang kesini." jawab Bu Nur, dia lelah mendengar suara motor itu selalu datang tapi tak kunjung melamar.
Suara pintu di ketuk, persis seperti ketukan tangan Arka. Hingga membuat Melati berdiri dan membuka pintu.
"Mas Arka!"
Melati terkejut melihat pria itu sudah berdiri di depan pintu, kembali wajah hitam dan mata merah itu sekilas terlihat, dan itu berulang disaksikannya ketika malam hari. Jantung Melati seakan ingin melompat saking terkejutnya.
Tapi sejenak kemudian Arka tersenyum memperlihatkan gigi putihnya dengan tangan laki-laki itu mencolek wajah Melati.
"Huh!" Melati membuang nafas, dan kembali berpikir jika hanya salah lihat. Ya, salah lihat.
"Masuk mas." ajak Melati begitu menghargai juga takut Arka tersinggung jika Melati menyuruhnya pulang.
Ibu melihat sebentar di balik gorden pintu, benar ternyata Arka yang datang dan ia kembali masuk ke kamar, sholat dan langsung tidur setelahnya. Wanita tua yang tak henti bekerja di perkebunan sayur miliknya itu tentu lelah dan ingin istirahat di malam hari.
"Mau ngopi Mas?" tawar Melati, padahal terkadang tak ada gula di dapur ibunya, Arka seakan tidak peka dengan kehidupan yang serba kekurangan di rumah Melati, ia tak merasa malu minum kopi setiap hari padahal gula pun sulit di beli.
"Boleh." jawab pria itu.
Melati pergi ke dapur dan membuat segelas kopi untuk kekasihnya, dengan satu sendok gula pasir yang mungkin sudah cukup manis untuk gelas yang tidak terlalu penuh. Tangan yang asyik mengaduk kopi itu sesekali berhenti memikirkan wajah Arka yang berubah-ubah? 'Ah sudahlah.'
"Silahkan di minum Mas Arka." meletakkan minuman di atas meja.
"Terimakasih Mel Sayang." tatapan nakalnya membuat Mel ikut tersenyum.
"Bukankah tadi sudah ku katakan jika jangan datang dulu kemari." Melati mengungkapkan rasa tidak nyamannya setiap hari di kunjungi Arka.
"Aku merindukanmu Mel." jawab Arka meraih bahu Melati dan memeluknya, Arka selalu seperti itu.
Pelukan itu tidak membuat Melati nyaman, apalagi saat ini ada Ibu di kamarnya, bisa saja ibu keluar dan melihat Arka sedang memeluk dirinya.
Malam hari di Desa tempat tinggal Melati sangatlah sepi, hanya saja Arka sering nekat berkunjung dan pulang setelah jam Sepuluh malam. Pria itu seperti orang gila mencintai Melati dan ingin selalu melihatnya di setiap hari.
Hari itu Paman Melati datang berkunjung, ia menawarkan pekerjaan di sebuah Dealer sepeda motor yang baru saja buka di kecamatan tempat tinggal mereka. Tentu saja Melati senang sekali mendengar tawaran kerja dari teman sekaligus pamannya. Mereka hampir seumuran sehingga mereka cukup dekat.
"Kapan aku mulai bekerja Paman?" tanya Melati pada pamannya.
"Jika kau sudah siap besok kau sudah bisa masuk bekerja, tapi jika kau belum siap maka lusa-pun tak apa-apa." jelas Paman Adi.
"Kalau begitu lusa saja, besok aku akan bersiap membeli beberapa kemeja untuk bekerja." jawab Melati dengan binar bahagia, ia seperti menemukan jalan untuk keluar dari kegelapan yang selalu membayanginya, menanti kepastian seorang Arka, malah Arka seakan tak mengerti ke khawatirannya. Belum lagi dosa yang kian hari semakin menumpuk, bahkan menyebut nama Allah saja Melati merasa malu.
"Baiklah, kau persiapkan foto copy ijazahmu untuk melengkapi surat lamaran, yang lain biar aku yang mengurusnya." ucap Adi sambil beranjak dari duduknya.
"Terimakasih Paman." ungkap Melati sangat bahagia.
Belum jauh Adi meninggalkan rumah Melati, suara motor Arka terdengar berhenti di depan rumah Melati.
"Mas Arka." sapa Melati tak jadi menutup pintu.
"Ada perlu apa Adi datang kemari?" tanya Arka penuh selidik, ia tidak suka ada laki-laki datang ke rumah Melati walaupun itu masih keluarga.
"Paman mengajakku bekerja di dealer sepeda motor. Dia bersedia membantuku untuk masuk tanpa harus wawancara, Mas Arka tahu sendiri jika aku tak memiliki ijazah SMA." ungkap Melati halus sekali, ia mulai resah melihat wajah masam Arka. Dan lagi-lagi Melati tak mampu mengungkapkan perasaan kesalnya, padahal jauh di dalam hati ia benci sekali melihat tingkah Arka yang selalu saja cemburu buta, merajuk dan marah hanya karena hal sepele, bahkan terkadang Arka sanggup berdiam dan merajuk berjam-jam hanya karena cemburu yang tak beralasan. Sekali lagi, Melati akan merayu dan membujuknya agar Arka tidak merajuk, tak hanya sekali bujuk langsung berhasil, tapi berkali-kali merayu hingga akhirnya Melati putus asa dan menangis, barulah pria itu berhenti merajuk.
Lelah, tentu saja Melati lelah, tapi entah mengapa Melati tak sanggup membantah atau juga melawan Arka.
Sudah jam Empat sore, Melati masih saja mencari cara untuk membujuk Arka. Hingga akhirnya pria itu luluh dan mau menerima genggaman tangan Melati.
Dan lagi, Arka meminta dosa itu lagi. Dan entah mengapa Melati tak sanggup menolaknya.
Dia tidak peduli, degan penuh semangat dia mulai aksinya.
Tapi berbeda dengan Melati, gadis itu hanya menerima apa yang di lakukan Arka, tanpa ada rasa nyaman tapi terbawa juga pada akhirnya, hati yang ingin memberontak, tapi lagi-lagi ia tak memiliki keberanian untuk menolak, pasrah.
Kembali pemandangan menjijikkan itu di saksikan Melati. Pria itu menyandar dengan rasa nikmat masih membayang di dalam otaknya. Memandangi Melati yang juga merapikan rok juga kemeja yang kusut.
"Pulanglah Mas, aku ingin mandi dan masak. Karena Ibu sebentar lagi akan pulang." ungkap Melati.
Belum juga ia beranjak, seolah menunggu sesuatu yang entah Melati tidak tahu, hatinya kesal sekali. Jika cemburu maka dia cemburu dengan siapa, pria itu sungguh aneh. Dia malah merokok dan menghembus-hembuskan asapnya di sekitar mereka duduk. Melati sudah tak heran lagi, itu sering Arka lakukan di setiap datang bertamu ke rumah Melati.
Melihat wajah merajuk itu Melati juga tak berani beranjak, entah mengapa ia seakan terikat dan tak bisa berpikir kecuali jauh dari Arka. Sesekali Melati melirik jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul Lima sore, ia semakin gelisah karena belum masak juga belum mandi, ia takut Ibu pulang dan sudah pasti sangat lapar.
Melati malas untuk bicara, sekalipun bicara ia tak akan di dengarkan Arka, mata pria itu sesekali menutup dengan bibir tebalnya sedikit bergerak. Mungkin pria itu memang suka membuat gaya pada bibirnya, boleh di bilang bibir itu memang menggoda, belum lagi penampilan Mas Arka yang selalu bersih dan rapi, maklum saja dia anak seorang kepala sekolah dengan banyak aset dan juga lahan di kecamatan mereka. Dia tergolong orang berada, jauh sekali bila di bandingkan Melati, hanya anak seorang petani dan hidup serba pas-pasan bahkan boleh di bilang kekurangan, tentu alasan itu membuat sebagian orang tidak suka dengan hubungan mereka.
Dari tempat duduk Melati tampak wanita tua itu berjalan pelan, dengan langkah gontai ciri khas ibu petani yang lelah. Melati beranjak segera membukakan pintu belakang, karena kaki ibu yang kotor sehingga ia mencucinya dahulu.
Melati kembali ke ruang tamu menemui Arka, tampak pria itu sedang mengambil rokok dan dan korek api yang ia letakkan di atas meja, ia menyimpannya di saku celana jelas sekali jika dia akan segera pulang.
"Pulang." pamitnya dengan muka masam.
"Iya Mas Arka." sahut Melati lembut sekali, ia menghantar hingga di pintu, kemudian menutupnya setelah Arka berlalu.
Melati segera masuk, mandi dan memasak terburu-buru, jangan sampai Ibu marah karena lelah dan lapar tapi tak ada makanan.
"Belum masak Mel?" tanya Ibu melihat Melati masak sekaligus membuat sambal bersamaan di tungku dari tanah itu.
"Belum Bu." jawabnya terus mengaduk beras yang sedang mendidih.
"Bilang sama si Arka, kalau main kesini pulangnya jangan sore-sore, anak perempuan itu harus mandi dan masak di sore hari, lagi pula ketemu setiap hari, yang kalian obrolkan itu apalagi?" Ibu menatap Melati masih sibuk dengan nasi dan sambel yang belum matang.
"Iya Bu." jawabnya tak bisa menjelaskan lebih banyak.
Melati sudah lelah sekali dengan Arka, tiga tahun berpacaran malah ia masih saja egois dan sulit di mengerti. Belum lagi wajah pria itu sering berubah-ubah, jika suasana hatinya senang maka ia akan terlihat tampan dan manis, tapi jika sedang marah dan merajuk, wajahnya seram dan memerah.
Malam yang gelap itu ia habiskan dengan melamun, ia sedang berpikir bagaimana caranya keluar dari kejenuhan ini. Pernah ia mengatakan ingin berpisah, tapi malah pria itu semakin gila, wajah merajuknya itu sungguh membuat Melati muak, walau berkali-kali upaya untuk berpisah tapi tak pernah berhasil.
Hingga di hari seterusnya Melati mulai masuk bekerja, dia menjadi SPG di sebuah Dealer sepeda motor seperti yang di janjikan pamannya. Hari pertama itu membuatnya sedikit bernafas lega, tapi lagi-lagi Arka datang mengawasi, melewati jalan itu berkali-kali, dan menjemputnya di sore hari. Mereka seperti sepasang kekasih yang serasi, tampan dan cantik, sungguh pas sekali menurut orang yang melihatnya.
Cinta? Ya Melati memang mencintainya, bahkan pada awalnya ia sungguh ingin hidup bersama seorang Arka. Wanita mana yang tidak menyukai pria seperti Arka, tampan dan berasal dari keluarga terhormat. Pria yang pernah kuliah di sebuah fakultas seni rupa itu memang mempesona, berkulit putih, mempunyai perawakan tinggi dan gagah, bahkan dia menjadi sosok perhatian para gadis-gadis yang berpendidikan, dan banyak mengundang rasa iri ketika Arka memilih Melati untuk menjadi kekasihnya. Ingatan itu membuat Melati kembali merasa beruntung memiliki kekasih seperti Arka, artinya banyak saingan yang sudah ia kalahkan dan berhasil menjadi milik Arka.
Tapi kembali kesal karena Arka tak kunjung melamar.
"Mas pulang ya." ucap Arka ketika sudah sampai di depan rumah Melati, pria itu tidak mematikan mesin sepeda motornya. Biasanya dia akan ngotot untuk ikut masuk jika sehari tidak bertemu dan mengobrol dengan Melati.
"Terimakasih Mas Arka." Melati menunggu Arka berlalu.
"Masuklah!" perintahnya tak ingin Melati berlama-lama ada di luar, entah jika ia takut ada laki-laki lain yang akan melihat kekasihnya yang cantik dan mengejarnya. Kekhawatiran berlebihan Arka memang sudah sudah biasa, Melati hafal betul wajah dan seringai Arka jika sudah merasa khawatir atas kecemburuan tak beralasan.
"Melati masuk Mas." Melati hanya menurut, karena keinginan Arka yang tak ingin Melati banyak bergaul menjadikan sosok Melati pendiam dan tidak banyak bicara.
Soal orang yang menyukainya, tentu ada banyak lelaki yang menyukai Melati. Bahkan pernah di suatu malam laki-laki tampan dan mapan, seorang dosen di sebuah kampus swasta sedang pulang kampung dan mendengar jika di desa tersebut ada seorang gadis cantik, cukup menghebohkan dan membuat penasaran baginya jika seorang gadis berusia muda dapat membuat para lelaki di desa itu menyebut namanya, mengagumi kecantikannya. Karena penasaran laki-laki muda itu mengajak teman sekelas Melati dahulu untuk bertamu ke rumahnya. Namun sayang disayang, di depan rumah Melati sudah terparkir jelas sepeda motor milik Arka.
Malam semakin larut, entah mengapa kali ini Melati sangat sulit sekali memejamkan mata, gelisah, gerah dan entah apalagi. Rasa mengantuk itu jelas menyerang tapi matanya seperti tertahan sesuatu sehingga menimbulkan rasa lelah ditubuh Melati. Barulah setelah lewat tengah malam Melati tertidur dengan rasa bercampur aduk, disamping ia memang mengantuk, rasa takut juga menghampiri gadis yang tidur sendirian itu. Dari beberapa jam yang lalu selepas isya Anjing melolong mengelilingi rumah Melati, sehingga ia berpikiran yang macam-macam.
"Melati!" suara seorang lelaki memanggilnya dengan lembut sekali.
Melati menoleh mencari sumber suara yang memanggilnya. Lorong sepi dan tak berpenghuni namun jelas baru saja terdengar seorang lelaki memanggil namanya.
"Melati!"
Suara itu kembali terdengar ketika Melati melanjutkan langkahnya, ia berbalik dengan cepat berharap dapat melihat siapa pemilik suara merdu itu.
Seorang wanita cantik bermahkota emas, berpakaian ala kerajaan dengan kulit putih bersih, mata indah dan bibir merah mengembang.
Dan
Disampingnya seorang laki-laki tampan sedang tersenyum manis, menatap mesra seolah memanggil untuk mendekat, tatapan itu seperti tak asing, hangat dan penuh rindu.
Seketika jantung Melati berdetak seperti sedang gugup karena jatuh cinta, tapi dia siapa? Enggan berkedip ketika mata mereka bertemu pandang, indah, sejuk, hangat menjalar di sekujur tubuh melati, belum lagi dekat dan di sentuh olehnya bahkan tatapan mesra laki-laki itu sudah membuat Melati melayang jauh jatuh dalam pesonanya.
"Selamat datang Melati Sayang." suara halus seorang wanita di sampingnya menyapa. Senyum tak henti mengembang menatap dengan penuh kasih sayang. "Mandilah!" perintah namun terdengar lembut.
Melati melihat ada gentong air dengan bermacam-macam bunga wangi semerbak menghanyutkan jiwa ketika menghirupnya. Entah sejak kapan Melati baru menyadari jika tubuh moleknya hanya memakai kain jarik berwarna coklat muda terlilit menutup dada. Rambut Melati tergerai lepas begitu saja dengan kulit mulus mempesona membuat pria tampan itu sulit berkedip mengagumi sosok Melati. Pria itu tak meninggalkan Melati juga tak berpaling ketika Melati duduk dengan berlutut, bersiap-siap untuk mandi di air bunga yang mewangi.
Perlahan guyuran air bunga itu membasahi tubuh Melati, tak merasa dingin di tengah malam ini, tapi juga tak merasa hangat ketika air itu membasahi seluruh tubuh Melati. Larut dalam rasa nyaman diperlakukan seperti seorang putri, di layani dua orang pelayan yang memakai kain sebatas dada dengan rambut tersanggul seperti film legenda. Nafas Melati mulai teratur, memejamkan mata dengan perlahan.
Halus dan lembut.
Rasa sesuatu itu menyentuh dan mengelilingi tubuh melati tanpa terlewatkan, menelusur dari kakinya yang di tekuk, terus ke pinggang rampingnya dan sepertinya sedang membelai, melewati seluruh lekuk tubuh Melati hingga naik ke leher dan terasa begitu lega, Melati membuka mata.
"Ular!" begitu gumam Melati di dalam hati, namun Tak ada rasa takut ketika
menyaksikan ular itu perlahan meninggalkan tubuh Melati, dia hanya melewati tak menyentuh atau menyakiti. Padahal jika di lihat dari ukurannya ular itu bahkan mampu menelan dirinya.
Wanita cantik itu tersenyum manis sekali, entah bagaimana mengungkapkan kecantikannya, bisa di bilang dia seperti bidadari.
"Kau juga cantik sekali Melati." ia berkata seakan menjawab kata-kata Melati di dalam hati.
Namun ia tak menjawab wanita yang baru saja memujinya, ia mencari keberadaan laki-laki tampan yang tadi menemani dirinya, dia sudah tidak ada.
Rasanya setelah mandi tubuh Melati menjadi dingin dan sungguh rasa lelah itu masih menyerang. Tangan lentiknya terulur ke belakang, meraih dan memijat pundaknya sendiri. Ah sepertinya salah bantal!
Matanya terbuka lebar ketika menyadari jika dia sedang berada di kamarnya. Tak ada siapapun dan bahkan posisinya sedang di atas ranjang sederhana miliknya.
"Aku bermimpi." gumamnya berusaha bangun tapi lemas dan berat sekali di sekujur tubuhnya, sehingga ia memutuskan untuk kembali tidur sebentar lagi.
Tok
Tok
"Melati!"
Suara panggilan itu terdengar berkali-kali. Membuat Melati terpaksa bangun karena sepertinya ibu sudah pergi ke ladang sayur.
"Mas Arka." Melati mengusap-usap matanya yang memang belum mandi.
"Kau telat, cepatlah bersiap aku akan mengantarmu." ucap Arka baik sekali.
"Iya Mas Arka." Melati bergegas masuk ke kamar dan segera mandi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!