"Tidak, mana mungkin aku mau menjadi yang kedua sedangkan kita telah bertunangan selama tiga tahun ini! Lebih baik batalkan saja rencana pernikahan ini!" seru Amora marah.
Dia berada di sebuah perjamuan makan antara dua keluarga besar Candra dan Liu. Mereka duduk di sebuah meja panjang yang mewah. Ada sekitar 30 orang yang mengelilingi meja itu. Mereka membicarakan tentang pernikahan Amora dan Prince yang rencananya akan diadakan bulan depan.
Amora dan Prince telah bertunangan selama tiga tahun karena perjodohan yang dilakukan oleh orang tua mereka dahulu. Mereka bertunangan ketika Amora belum genap berusia 18 tahun sedangkan Prince sudah berumur 27 tahun. Alasan utama terjadinya perjodohan ini agar saham kedua keluarga di Mounth Corp tidak terpecah dan menjadi satu kesatuan.
Selama tiga tahun ini Prince lebih sering menghabiskan waktunya di London mengurus pusat bisnis di sana. Sedangkan Amora menyelesaikan pendidikannya di dalam negeri.
Namun, beberapa bulan sekali Prince datang untuk menengoknya. Mereka sengaja bertemu dan berbicara walau hanya untuk waktu yang sebentar. Setelah itu, dia akan kembali lagi pergi.
Sudah satu tahun ayah Amora meninggal dunia, tetapi hubungan mereka tidak pernah putus. Amora pun berusaha untuk tetap setia walau dia belum mengenal Prince secara dalam. Baginya Prince adalah masa depan yang akan diraihnya.
Namun, kepulangan Prince kali ini membawa kabar yang membuat hati Amora patah. Pria itu membawa wanita lain dalam hubungan mereka. Amora yang sakit hati tidak bisa menerimanya. Penantiannya selama tiga tahun ini terasa sia-sia.
"Amora, kita tidak bisa membatalkannya begitu saja. Ayah kita telah saling mengikat janji dan aku pun sudah berjanji akan selalu menjagamu." Prince menyeringai penuh kemenangan pada Amora. Dia tidak menyangka Amora yang lemah dan sering sakit itu berani untuk melawannya. Padahal selama ini tidak ada yang berani untuk menyelanya.
"Menjaga tidak harus menjadi milikmu. Bukankah katamu kau ingin menikah dengan Luna terlebih dahulu? Silahkan, aku tidak akan melarang kau menikah dengannya, tapi lepaskan aku! Aku tidak terima dengan pengkhianatan yang kau lakukan Prince. Jadi jangan memaksaku untuk menikah denganmu," ujar Amora lantang.
Semua orang menatap Amora penuh ejekan mendengar Amora melawan Prince yang penuh kekuatan dan kekuasaan. Mereka tahu jika posisi Amora malah akan beruntung jika menikah dengan Prince, sang pangeran keluarga Liu. Ayah dan ibunya telah tiada, sedangkan dia hidup bersama dengan Nenek tiri yang tidak peduli dengannya.
"Amora tenanglah," kata Kakek Liu pada Amora. "Kembali duduk. Kita bicarakan ini baik-baik." Kharismanya yang terpancar membuat orang akan segan dan hormat padanya, tidak terkecuali Amora.
"Tapi Kakek," tolak Amora keberatan. Namun, melihat tatapan Kakek Liu membuat ciut nyali Amora. Gadis itu kembali duduk di kursinya.
Kakek Liu adalah Kakek dari Prince. Orang yang paling dihormati oleh keluarga Candra dan Keluarga Liu.
"Kakek tahu kan pernikahanku dengan Luna itu penting untuk kerja sama bisnis kita dengan keluarga Perkasa" ujar Prince dengan pembenarannya. "Dari pada kita bersaing dengan perusahaannya dan tidak menghasilkan apapun. Kita bisa menjalin kerjasama yang lebih erat dengan mereka."
Beberapa orang terlihat menganggukkan kepala, memahami alasan masuk akal dari Prince. Pikiran mereka hanya berkisar harta kekayaan. Bukan hal lainnya.
"Apakah kau akan selalu memakai cara menikah untuk keuntungan bisnis. Seperti yang ingin kita lakukan? Kau ingin menguasai Mountain sehingga rela menikah denganku. Namun, kau merasa tidak cukup jadi kau menemukan wanita lain yang bisa dijerat agar jaringan bisnismu semakin lebar. Nanti jika ada wanita lain lagi yang lebih menguntungkan kau juga akan menambah istrimu lagi. Selalu seperti itu, hingga kau menjadi King, bukan Prince lagi," sindir Amora.
"Amora!" seru Nenek Tara. "Bicaralah dengan sopan jangan menyela pembicaraan orang."
"Nenek, cucumu akan dijadikan istri kedua. Apakah bagimu uang itu lebih penting dari kebahagiaan cucumu sendiri?"
"Kita tidak bisa memutuskan hubungan yang telah lama dibuat begitu saja, bukan begitu Liu?" ujar Nenek Tara. "Kau harus menjalani wasiat orang tuamu."
"Aku tidak sebodoh itu untuk menjadi tumbal keserakahan kalian. Aku bisa mendapatkan pria lain yang lebih kaya dari Prince," ujar Amora sombong. Hanya karena orang tuanya sudah tiada maka saat ini tidak ada satu orang pun yang membelanya. Bahkan seakan ingin menjatuhkannya.
Prince menggebrak meja tidak senang dengan kalimat yang Amora lontarkan.
Luna yang duduk di sebelah Prince nampak menikmati adegan ini. Melihatnya membuat Amora muak. Bagaimana bisa seorang wanita dari keluarga bangsawan mau menerima wanita lain dalam kehidupan suaminya? Seperti tidak ada pria lain saja. Pikir Amora.
"Amora, kau tidak akan menjadi tumbalnya. Status kita akan sama menjadi istri Prince nantinya, kita hanya perlu menikah bersama lantas status istri pertama itu hanya ada di atas kertas saja," ujar Luna dengan gaya yang terlihat lemah lembut dan anggun. Sangat berbeda dengan gaya Amora yang frontal.
"Aku tidak tahu alasanmu ingin kita berdua menikah dengan satu pria. Padahal kau bisa memilih Prince yang lainnya dan kau juga lahir dari keluarga terpandang. Jika itu karena cinta, maka cinta mana yang membuatmu buta hingga rela dimadu atau menjadi madu."
Semua terhenyak oleh perkataan Amora. Selama ini tidak ada yang berani berkata kasar pada keturunan dari keluarga Perkasa. Luna lahir dari keluarga terkaya di daerah Timur.
"Apakah tidak ada pria lain selain Prince, sehingga kau bersikeras ingin menikahinya walau tahu jika Prince akan menikah denganku? Tapi jika kau memang menyukainya dan ingin menikah dengannya maka akan kusedekahkan Prince untukmu," ejek Amora berani, menyeringai penuh kemenangan. Dia tidak perduli ketika semua orang menatapnya tajam.
Tangan Prince terlihat sudah mengepal erat hingga otot yang mengelilinginya nampak terlihat membesar di sekitar lengan kemeja pendeknya. Rahangnya yang tinggi nampak berkedut cepat.
"Pada kenyataannya Prince tidak mau melepaskanmu," lanjut Luna melirik ke arah Prince. "Aku bisa apa? Aku terlalu mencintainya hingga rela nantinya berbagi suami denganmu."
"Sayangnya aku tidak jatuh cinta padanya, jadi aku rela untuk memutuskan hubungan dengannya," tandas Amora membuat kesabaran Prince hilang.
Dirinya seperti barang yang tidak berharga bagi gadis cilik itu. Gadis yang dia tinggalkan masih ingusan kini telah berubah dewasa.
Wanita itu telah patah hati tapi dia masih punya harga diri yang tidak bisa diinjak orang lain seenaknya sendiri. Walau dia menyukai Prince bukan berarti pria itu bisa menghina dirinya untuk menjadi yang kedua.Amora, aku tidak bisa melepaskan Luna. Dia sedang hamil anakku, aku juga tidak akan pernah melepaskanmu untuk menikah dengan pria lain," ungkap Prince jujur. Hal itu membuat kegaduhan di meja makan.
Seketika hati Amora terasa seperti tersayat sebilah pisau tajam. Sakit hingga terasa menusuk dari depan ke bagian belakang tulang punggungnya. Penantian dan kesetiaannya selama ini seperti sebuah lelucon bagi Prince.
"Jika begitu nikahi dia, aku tidak keberatan. Aku malah akan menolak jika kau ingin memiliki kami berdua. Aku bukan wanita koleksimu," tolaknya mentah-mentah dan dengan suara yang rendah, penuh ketegasan.
"Sampai kapanpun aku tidak akan melepaskanmu, Amora. Pernikahan kita akan tetap dilangsungkan bulan ini," tegas Prince.
"Terserah, bagiku kau telah mati!" balas Amora meninggalkan Prince sendiri.
Di sini tidak ada yang mendukungnya sama sekali. Nenek dan Paman Bibinya seolah tidak perduli jika dia masuk ke dalam neraka jika hidup bersama dengan pasangan kurang waras itu.
"Kakek, maafkan aku. Aku tidak bisa meneruskan pernikahan ini. Walau ini sudah disetujui oleh orang tua kami tapi aku sebagai calon mempelainya menolak. Urusan pekerjaan dan perusahaan akan tetap kuserahkan pada Kakek karena aku mempercayainya."
Amora memundurkan kursinya dan bangkit. Dia keluar dari meja panjang makan malam itu. Dia berjalan ke arah pintu, keluar ruangan. Dengan gerakan cepat, Prince menangkap tangannya.
"Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu. Mulai saat ini aku memutuskan hubungan apapun denganmu!"
"Amora kau tidak bisa pergi begitu saja. Pertemuan ini belum selesai," ujar Prince.
"Apanya yang perlu dibicarakan lagi, semua sudah jelas. Kau sudah memilihnya dan aku mengucapkan selamat padamu karena akan punya anak." ujar Amora.
Dia menepis tangan Prince keras.namun genggaman itu semakin kuat. Mata tajam pria itu juga menatap marah pada Amora seakan ingin memakannya hidup-hidup.
Bukannya takut, Amora malah melawan. Padahal selama ini tidak ada seorang pun yang berani menatap pria itu apalagi melawannya. Itu sama saja mati bagi mereka.
"Kau sudah menodai hubungan kita jadi anggap saja sudah berakhir."
"Aku yang akan menentukan akan bisa berakhir atau tidak!" ujar Prince.
"Sudah hancur ketika kau membawa dia ke dalam hubungan kita. Mulai saat ini hubungan kita hanya sebagai relasi bisnis saja tidak lebih!" ujar Amora.
"Amora kau tidak bisa memutuskan hubungan ini sendiri," ujar Nenek Tara mendekati pasangan itu.
"Kalau begitu, nenek bawa Laras untuk jadi penggantiku. Bukankah mereka juga bagian dari keluarga Candra?" balik Amora.
"Dan kau sampai kapan pun aku tidak akan melupakan pengkhianatanmu karena bagiku itu adalah suatu penghinaan besar untukku dan nama keluarga Candra."
Nenek Tara terdiam. Tidak mungkin membawa Laras untuk menikah dengan pria sekejam Prince. Allena adalah cucu kesayangannya yang tidak akan dia biarkan menangis dan terluka karena dijadikan kedua. Itu sama saja hinaan untuk Laras.
Amora pulang ke mansion Pallace dengan wajah yang sedih. Pikirannya sangat kacau saat ini. Orang yang dia kira akan mencintainya seumur hidupnya malah mengkhianati dengan wanita yang baru dia kenal. Kenapa? Apakah karena dia masih terlihat kecil sehingga tidak layak untuk dicintai oleh Prince.
Pria itu memang telah dewasa. Ketika mereka mulai dijodohkan, umur Amora masih 18 tahun dan Prince sudah menginjak 27 tahun. Amora masih sangat lugu saat itu sehingga dia hanya bisa menyetujuinya.
Ayahnya dari Amora berumur 17 tahun selalu mendoktrinnya bahwa hanya Prince yang bisa melindunginya dan mencintainya. Dia harus menyerahkan hati dan pikirannya untuk pria itu. Tidak boleh dia memikirkan pria lain walau sejenak.
Nyatanya, sekarang pria itu yang mengkhianatinya. Jika seperti ini apa yang harus dia lakukan?
'Ayah, andaikan kau masih hidup, aku tidak akan mengalami nasib ini?"
Amora sendiri tidak tahu alasan apa yang membuat dia harus menikah dengan Prince. Ayahnya hanya mengatakan jika ayah Prince dan Kakeknya bersahabat. Mereka mendirikan sebuah perusahaan otomotif terbesar di dunia dan tidak ingin jika perusahaan itu jatuh ke pihak lain karena adanya perpecahan nantinya. Untuk itu, harus terjadi penyatuan dari kedua keluarga yaitu dengan menikahkan anggota keluarga mereka.
Ketika dia sampai ke depan kamar almarhum orang tuanya. Dia mendengar bisik-bisik dari dalam ruangan itu. Amora mengintip untuk melihat siapa orang yang berani masuk ke kamar orang tuanya.
"Aku suka ini, aku akan mengambilnya," ujar Laras menunjukkan anting dengan permata berwarna hijau.
"Kau selalu memilih yang bagus, lalu untukku mana?" tanya Denise. "Aku juga ingin cantik di acara pesta besok."
Wajah Amora nampak memerah. Dia membuka pintu dengan keras sehingga membuat suara tabrakan antara kayu pintu yang membentur tembok.
Kedua gadis di depannya nampak terkejut. Mereka melihat ke arah Amora dan menyembunyikan barang yang mereka ambil dari brankas.
"Apa yang kalian lakukan di kamar orang tuaku!" seru Amora. Tatapannya sangat tajam sehingga membuat udara di sekitarnya menjadi dingin.
"Kenapa dia sudah pulang, Kak," bisik Denise pada kakaknya. Dia sudah panas dingin karena ketahuan mengambil perhiasan ibu Amora.
"A-aku hanya meminjam anting-anting ini," alibi Laras dengan suara gugup.
"Iya, kami hanya ingin meminjamnya. Kenapa kau pelit sekali," imbuh Denise.
Wajah Amora yang biasa terlihat lembut berubah menjadi garang. Dia mendekat ke arah dua orang pencuri itu dan mengambil barang-barang punya ibunya yang diwariskan untuknya.
"Ini, ini adalah milik ibuku," ujar Amora merebut gelang yang sedang dipakai oleh Laras. "Kalian tidak bisa mengambilnya dengan sesuka hati."
"Kau berani pada kami? Aku akan mengadukan pada Nenek!" ujar Denise melawan. Mereka tidak menyangka Amora yang biasanya terlihat lemah kini nampak berbeda.
"Ini memang barang punya orang tuaku dan diwariskan padaku. Kau tidak berhak mengambilnya.''
"Bukankah ini warisan milik keluarga Candra? Kami pun berhak!"
"Ini semua milik ibuku, bukan perhiasan warisan keluarga. Ada beberapa barang mahar yang diberikan ayah untuk ibuku yang masih di simpan. Sedangkan barang warisan keluarga di simpan sendiri oleh bendahara keluarga yang akan diberikan pada cucu wanita tertua keluarga ini yang menikah terlebih dahulu."
Laras dan Denise nampak tidak mau menyerah, mereka masih mau memiliki perhiasan ibu Amora.
"Kalian lihat, ada beberapa yang hilang. Aku masih ingat kau memakai kalung permata merah api milik ibuku dan kau juga mengambil gelang merak milik ibuku juga, Denise."
"Kau jangan menuduh kami dengan sembarangan. Aku akan mengadukan perlakuanmu pada Kakak Bian dan Nenek."
Amora tersenyum sinis. "Kalian bisanya hanya berlindung pada Nenek saja. Padahal Nenek tidak punya hak apapun di rumah ini."
"Amora!" bentak Tara dari arah pintu yang membuat kaget semua yang ada di sana.
Laras dan Denise langsung tersenyum penuh kemenangan. Mereka mendekat ke arah Nenek Tara yang baru saja pulang dari acara jamuan makan.
"Amora kau selalu buat masalah, di rumah keluarga Liu kau menolak perjodohan ini secara sepihak padahal sudah dibicarakan semenjak orang tuamu masih ada. Aku harus menenangkan mereka agar kisruh ini tidak terjadi. Sekarang ketika aku pulang kau membuat masalah lagi!" ujar Tara.
Amora menegakkan kepalanya. Sudah saatnya dia membela dirinya sendiri. Selama ini, mereka selalu menginjaknya karena berpikir dirinya lemah.
"Pulang? Ini bukan rumahmu. Aku berhak melakukan apapun di rumahku!" ungkapnya dengan penuh penekanan dalam setiap kata.
Wajah Nenek Tara memerah. Dia maju ke depan sambil mengayunkan tangannya ke wajah Amora.
Tangan Amora memegang tangan tangan Nenek Tara. Dia menatap berani padanya.
"Mungkin kau dulu bisa semena-mena dengan aku sewaktu kecil, tapi tidak sekarang!" ujar Amora. Ini adalah rumah ayahku dan tinggalan dari nenekku. Kau sudah punya jatah rumah sendiri dari Kakek jadi rumah ini bukan hak milikmu. Semua yang ada di sini pun punyaku karena sudah diwariskan padaku."
Wajah nenek Tara memucat melihat perlawanan dari Amora. Dia kira selama setahun ini sudah bisa menundukkan anak ini, nyatanya dia berani melawan seperti almarhum ibunya, padahal penampilannya nampak kurus dan lemah seperti orang yang tidak berdaya.
"Apa begini caranya kau memperlakukan nenekmu?"
"Sebelum kau mulai berkata, ajari dulu cucumu yang lain bagaimana caranya untuk jadi baik, bukan menjadi pencuri dan kau malah selalu membela keburukan mereka. Aku tahu niatmu menemaniku selama beberapa bulan disini. Kau ingin agar aku segera menikah dan menguasai rumah ini beserta isinya kan? Jangan mimpi, sampai kapan pun rumah ini tidak akan jadi milikmu!"
"Amora, Lancang bicaramu!" seru Nenek Tara.l geram.
"Tidak usah berpura-pura padaku karena aku tahu kau sedang menjualku pada Prince, berapa harga yang kau dapat jika aku menikah dengannya?"
"Kau sangat keterlaluan!" ujar Nenek Tara. "Kau sama seperti ibumu yang tidak punya sopan santun."
"Jangan bawa-bawa nama ibuku karena dia hanya mempertahankan apa yang jadi hak milik ayahku. Jika tidak dapat dipastikan kau dan anakmu akan menguasai semua milik Papa." Papanya sangat baik sehingga acap kali tidak bisa melihat niat buruk Nenek tirinya itu semasa hidup. Hal itu pernah ibunya keluhkan pada Amora dulu.
"Laras, Danise, lebih baik kita kembali ke rumah kita saja, percuma saja kita menemani dia di sini. Dia adalah wanita yang tidak tahu diuntung. Biarkan dia membusuk di rumah ini sendiri," ujar Nenek Tara menarik dua cucu kesayangannya. Lalu berjalan meninggalkan ruangan itu.
"Tunggu. Sebelum pergi, aku ingin mengatakan jika kalian harus mengembalikan semua perhiasan milik ibuku dalam waktu dua hari. Jika tidak bendahara keluarga akan mencatat apa saja yang hilang dari kotak penyimpanan dan melaporkannya ke polisi," ujar Amora santai.
"Kau tidak bisa menuduh kami sebagai pencuri," ujar Laras dengan percaya diri.
"Aku diam bukan karena tidak tahu. Hanya menunggu saat yang tepat untuk bisa menangkap kalian basah dan mendapatkan bukti cukup." Amora memperlihatkan sebuah kamera yang tersembunyi di balik hiasan meja.
Laras dan Denise membuka mulutnya lebar.
"Setelah tiga bulan kematian Ayah dan ibuku kalian mulai mencuri semua barang yang ada di sini. Kalian mengira rumah ini aman karena tidak terlihat CCTV-nya. Padahal semua ruangan punya itu dan diletakkan di tempat tersembunyi yang tidak semua orang tahu."
"Nenek yang menyuruh karena katanya ini hak kita, itu adalah warisan keluarga," ucap Denise jujur membuat Nenek Tara kesal dan Laras menutup wajahnya.
"Warisan keluarga hanya diberikan kepada istri sah sedangkan nenek kalian hanya istri kedua kakek maka dari itu, buyut menyerahkan semuanya pada almarhum Nenek. Setelahnya, diberikan pada almarhum Ibuku jadi Nenek kalian dan anak turunannya tidak berhak mengambil barang apapun yang ada di rumah ini," ujar Amora.
Wajah Nenek Tara memucat dengan sorotan mata tajam seakan ingin membunuh Amora.
"Sabar, Nenek jangan marah di umurmu yang sudah tua ini. Jika kau sering marah-marahnya maka darahmu akan naik dan bisa-bisa pembuluh darahmu akan pecah dan membuat kau mati dini. Padahal cucumu masih butuh bantuanmu untuk berdiri. Bukan begitu?"
Mereka bertiga lantas memalingkan muka dengan sebal pada Amora dan meninggalkan rumah dengan hati yang panas.
"Pelayan, siapkan semua barangku karena aku akan pergi dari neraka ini sekarang!" perintah Nenek Tara.
Para pelayan menganggukkan kepala. Amora yang ada di tas balkon lantai kedua menatap ketiganya dengan perasaan sebal.
"Kalian pergi saja sekarang, biar nanti pelayan yang akan mengantarkan barang kalian ke rumah kalian yang ada di Moonlight. Aku takut akan ada barang berharga lainnya yang hilang," ujar Amora.
"Amora kau akan menerima akibat buruk dari penghinaan ini," ujar Nenek Tara.
"Aku hanya mempertahankan apa yang menjadi hakku. Walau aku mati pun aku rela," ujar Amora.
Setelah itu, ketiga orang itu keluar dari rumah dengan rasa malu. Amora benar-benar mempermalukan mereka di depan para pelayan.
Setelah mereka pergi, Bik Yuni datang. Dia adalah wanita paruh baya bertubuh gemuk. Pengasuh Amora dari kecil.
"Nona, apakah kau baik-baik saja?" tanya Bik Yuni.
"Buruk," ujar Amora menjatuhkan diri di salah satu kursi single.
"Kenapa?" tanya Bik Yuni mendekat.
Amora memijit kepalanya yang sakit. "Prince berkhianat, dia menghamili wanita lain."
Bik Yuni menutup mulutnya. "Tuan Prince?"
Dia tahu rumor yang beredar jika di manapun tempat Prince selalu dikelilingi wanita. Hal itu sebenarnya yang membuat dia tidak menyukai perjodohan yang Almarhum Tuannya pernah lakukan. Sebagai seorang abdi dia tidak berani untuk memberi saran karena semua sudah dipikirkan matang oleh Tuannya.
"Lantas apakah Anda membatalkan rencana pernikahan yang tinggal satu bulan lagi?"
"Ya, aku membatalkannya."
"Syukurlah kalau begitu."
"Tapi Prince ingin tetap melanjutkan rencana itu. Dia akan menikahi Luna, wanita yang sedang hamil anaknya dan aku. Benar-benar serakah kan?" tutur Amora.
Bik Yuni mengeram keras sambil mengepalkan tangan. "Apa alasannya dia melakukan itu pada Anda Nona? Bukankah Anda juga datang dari kalangan terhormat bukan seorang dari kalangan wanita biasa."
"Alasannya karena perusahaan. Keluarga besar juga tidak ingin dirugikan karena pembatalan pernikahan kami. Semua rencana yang sudah di susun akan gagal. Bahkan bisa menimbulkan perpecahan di perusahaan Mountain nantinya."
"Andai Tuan Dirgantara masih hidup pasti keluarga Liu tidak akan membiarkan ini terjadi."
Amora menganggukkan kepalanya.
"Sungguh pria yang menjijikkan," ujar Bik Yuni geram. Dia tidak terima jika nona yang dia asih dari kecil seperti putrinya sendiri akan diperlakukan buruk oleh Prince. Pria itu terkenal kasar dan mau menang sendiri. Dia sangat berbahaya, makanya semua lawan segan dan takut padanya.
"Nona, tidak mudah melawan Tuan Prince," ujar Bik Yuni. "Apalagi Nona tidak ada yang mendukung sama sekali."..
"Apakah aku terlihat seperti orang lemah yang butuh dukungan?"
Bik Yuni terdiam tidak berani memberikan jawaban jujur. Nyatanya, sudah lima tahun ini majikannya menderita penyakit aneh yang tidak terdeteksi oleh Dokter. Mereka tahunya Amora keracunan dan harus minum obat khusus ketika penyakitnya kambuh.
"Akh, aku tahu kau juga meragukan aku. Tapi jangan takut Bi. Aku akan menjalaninya."
Bik Yuni mengangguk.
"Sekarang yang harus kita pikirkan terlebih dahulu adalah mendata barang apa saja yang hilang dari tempat ini, terutama perhiasan ibuku. Setelahnya minta Nenek Tara dan cucunya untuk mengembalikan semuanya. Jika tidak kita akan memanggil pengacara untuk mengurus semuanya."
"Baik, Nona."
"Minta bendahara keluar untuk membantu."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!