NovelToon NovelToon

Tentang Diana

Senyuman Palsu

Namanya Diana Starla Saskia, bunda dan ayahnya memanggilnya dengan nama Sasa. Dipanggil Dian oleh satpam sekolah dan 'Sigagap' oleh teman-teman yang biasa membully-nya. Tak ada rasa enggan sedikitpun ketika orang memanggilnya 'Sigagap' ya memang benar, dirinya memang memiliki kekurangan itu lalu kenapa harus berteriak pada takdir kalau sebenernya dia tak menyukai dirinya yang serba kekurangan. Berkali-kali dirinya menyerah tetapi berkali-kali juga dia bangkit, melawan semua kekurangan yang ada di dalam dirinya.

'Gagap' gangguan berbicara, membuat siapapun yang mengalaminya akan merasa terganggu. Dari umur 5 tahun ia mengalami gangguan berbicara dan sampai saat ini penyakit itu masih saja melekat dalam dirinya.

Sakit. Itulah yang dirasakan Diana saat melihat tawa orang-orang setelah mendengar suaranya. Sebegitu lucu kah mereka sampai tidak tahu kalau dibalik senyumnya ini menyimpan beribu-ribu luka yang disebabkan oleh mereka.

Semilir angin mengibaskan rambut panjangnya. Air matanya mengalir begitu saja bagai derasnya air sungai, segala kepedihan yang dia pendam berhari-hari dia keluarkan disini, di bawah langit gelap dibawah bintang-bintang, sendirian tanpa ada orang disini.

"Bin-bin-bintang! Bu-bulan! Ka-kalian te-teman ku k-kan! Arghhh-"

Diana menjambak rambutnya sendiri. Dia meringis, sulit sekali dia mengeluarkan suaranya. Kakinya bergetar, tubuhnya roboh tak sanggup menahan semua ini.

"Bu-bulan hiks ... Kia ga-gak ta-tau ha-harus a-a-apa bu-bulan."

Diana menggeleng-gelengkan kepalanya, mengeluarkan secarik kertas dalam ransel kecil berwarna hijau tosca. Dia menulis, menulis semua apa yang ada dipikirannya saat ini. Setiap malam sabtu dia rutin curhat pada gelapnya malam, meluapkan emosi dan kesedihannya lewat surat yang diterbangkan melalui balon, berharap surat itu menembus gelapnya malam.

Bulan, bintang? Kalian tidak menertawai suaraku kan?

Kalian masih mau kan? Menjadi temanku?

Mereka telah menyakitiku bulan,

Mereka telah menyakitiku bintang,

Aku sakit! Setiap hari aku selalu tersenyum! Menyembunyikan air mata yang ingin sekali terjatuh...

Andai aku punya teman selain kalian, teman berwujud manusia, teman yang mengerti akan keadaanku...

Aku akan sangat berterimakasih

Pada tuhan sang pencipta semuanya

Seperti biasa bulan, bintang, ini dari aku,

Diana

 

                                                                               OoO

.

 

Kalau dikata Diana lemah, dia menolak keras fakta yang sebenarnya. Berusaha untuk bersikap kuat seolah biasa saja menghadapi masalah yang setiap hari dia rasakan padahal, setiap malam dia menangis memeluk boneka di balkon sambil menatap gelapnya langit.

Diana tak mempunyai sahabat satupun, yang dia tahu bulan dan bintang adalah sahabatnya. Teman pun hanya dirinya yang menganggap mereka teman tapi mereka tak menganggap Diana sebagai teman melainkan bahan bullyan yang menyenangkan.

Hari semakin siang, 5 menit lagi bel masuk dibunyikan. Cuaca tak mendukung membuatnya duduk termenung di halte dekat gerbang sekolah. Tak bisa masuk kedalam sekolahan karena hujan yang cukup deras. Kakinya mengetuk-ngetuk pelan aspal yang mulai tergenang oleh air, berfikir bagaimana cara untuk mencapai sekolah tanpa kebasahan.

"Neng Dian?" panggil seseorang membuat Diana terlonjak kaget, pasalnya suara itu tiba-tiba muncul tanpa wujud.

Diana menoleh mendapati pak satpam yang sedang tersenyum padanya.

"Bapak tahu kamu tidak bisa masuk karena hujan kan? Nih Bapak bawain nak Diyan payung"kata pak satpam menyodorkan sebuah payung lipat berwarna navy pada Diana.

Diana tersenyum, menerima payung itu. Menyiapkan kata terimakasih untuk pak satpam dan ketahuilah betapa sulitnya dia mengatakan terimakasih.

"Sama-sama nak," balas pak satpam seolah tahu apa yang ingin Diana katakan.

Lagi lagi Diana tersenyum. Pak Jeno itu nama pak satpam si penjaga sekolah. Pak Jeno atau kerap disapa pak Jen ini, selalu mengerti kondisi dirinya, beliau tidak pernah menertawai ataupun membicarakan kekurangannya ini.

"Ayo Nak masuk, Bapak mau nutup gerbang," Ajak Pak Jen, diangguki oleh Diana.

Betapa baiknya pak Jen terhadapnya, semoga suatu saat nanti dia akan membalas semua kebaikannya.

Baru saja Diana menapaki koridor kelas 12, ia sudah mendapatkan banyak tatapan dari banyak murid-murid. Ini sudah biasa, setelah ini pasti ia akan mendapatkan ejekan manis yang langsung menembus hatinya. Terbiasa memang, tapi tetap saja setiap ucapan yang keluar dari mulut mereka berhasil membuat senyuman paslu tercetak di wajahnya.

"Si gagap datang guays!"

"Wah dapet lawakan nih pagi ini."

"Ngomong dong!! Buat kita ketawa!!"

"Eh, Des! Buat dia ngomong dong kan gak seru kalau dia diem doang."

Tahan Kia kamu pasti kuat,

Diana berusaha untuk menghindari mereka tapi langkahnya terhenti ketika seseorang menarik tasnya. Dengan ragu, Diana membalikan badannya, melihat siapa yang menarik tasnya.

Dessi

Itu Dessi teman sekelasnya, dia jahat! Sangat jahat! Melebihi apapun. Ia bersumpah jika ia diberikan kesempatan untuk berbicara lancar ia akan beradu mulut dengan Dessi.

Dessi menempelkan secarik kertas di wajahnya. Demi apapun, dia menempelkan kertas itu mengunakan lem kertas. Mereka tertawa sangat keras, air matanya ia tahan sekuat mungkin agar tidak keluar, mereka pasti senang melihatnya menangis.

"Di situ ada puisi! Sekarang juga lo baca yang kenceng dihadapan kita!" teriak Dessi.

Lambat laun, siswa siswi yang baru saja datang ikut serta menonton kejadian ini. Dirinya bagaikan pelawak nasyonal hingga melihat wajahnya saja akan membuat orang tertawa. Tangannya bergetar, mengambil kertas yang menempel di wajahnya.

"CEPETAN DIANA!!"

"I-iya D-d-dessi," lirihnya.

"Apa gak kedengaran! Lo ngomong apa!"

"I-i-iya D-d-dessi."

Hening. Suara orang berlalu lalang pun terdengar nyaring saat ini. Sedetik kemudian tawa mereka pecah, mendengar suara Diana yang terbata-bata.

"Aduh perut gue sakit ****... lanjut Des!!" teriak seorang cowo yang berdesak-desakan dengan penonton.

Dessi menghentikan tawanya, tangannya mengeprak kertas yang dipegang Diana. "CEPETAN BACA!!"

Keringat didahinya bercucuran, tangannya bergetar hebat. Ia menggigit bibir bawahnya pelan, sungguh untuk saat ini ia tidak bisa mengeluarkan suaranya.

"A-a-aku--"

Diana belum menyelesaikan satu kalimat tapi tawa mereka meledak bagai petasan neraka yang berkoar-koar. Ia diam, menunggu tawa mereka selesai.

Sabar pasti tuhan membalas mereka.

Kata-kata motivasi dari pak Jen selalu menguatkan dirinya agar tidak terlihat lemah dimata orang-orang. Tawa mereka perlahan surut, ia mulai membaca puisi itu lagi.

"S-s-s--"

"Si Thapki mau jadi uler wei!!"

 

'Thapki' panggilan terbaru dari teman-temannya. Ia tahu kenapa mereka memanggilnya 'Thapki' karena dulu ia pernah menonton film serial India yang pemeran utamannya bernama Thapki dan si pemeran utamanya itu bernasib sama sepertinya.

 

 

"S-si Tha-tha-thap-ki y-yang ga-gap hm---"

"HEI HEI NGAPAIN KALIAN BERKUMPUL DISITU! MASUK CEPAT!"

Suara yang berasal dari mikrofon TU terdengar, menghentikan aksi tawa mereka. Diana bersyukur kepada pak Baron, karena intrupsi pak Baron Diana dapat melihat kekecewaan dari raut wajah mereka dan karena pak Baron ia tidak harus membacakan puisi sialan itu lagi.

"BUBAR!! Diana! Dessi! Kenapa kalian masih disitu!"teriak pak Baron mengunakan mikrofon.

Dessi melirik Diana sinis. "Urusan lo sama gue belum selesai Thapki!"

Diana tersenyum tipis kemudian masuk kedalam kelasnya. Hanya tersenyum yang ia bisa tampilkan, ingin marah pun tak bisa karena kekurangannya selalu menahannya untuk melawan.

OoO

Diana duduk sendirian dan juga paling belakang. Tidak ada satupun yang ingin berdekatan dengannya apalagi satu kelompok dengannya. Hidupnya memang menyedihkan tapi Diana berusaha untuk tetap kuat dan tegar menjalaninya.

Keheningan terjadi dikelas XI MIPA 2, hanya ada suara guru yang sedang menerangkan. Setiap pelajaran bahasa Indonesia, murid-murid dikelas XI MIPA 2 tidak berani untuk tidur, mengobrol atau sekedar memikirkan sesuatu di luar tema pembahasannya. Bukan karena gurunya galak tapi guru bahasa Indonesia selalu membuat siapapun tegang ketika pelajarannya dimulai.

Bu Nindi itulah nama guru bahasa Indonesia, dia tegas dan sangat bijak dalam menyampaikan sesuatu. Pengocokan absen, melihat kalender dan menghitung berapa jumlah benda selalu dilakukan Bu Nindi untuk menjawab pertanyaannya, itulah hal yang membuat siapapun tegang. Bu Nindi mengajar Bahasa Indonesia sekaligus menjadi wali kelas XI MIPA 2, ya. Itu kelasnya.

"Apa yang dimaksud dengan ceramah, pidato dan khutbah? Akan dijawab oleh,"tanya Bu Nindi.

"Sekarang tanggal berapa ya?" tanya Bu Nindi sambil melihat kalender yang terpajang tepat di belakangnya.

"13 bu!" jawab salah satu murid.

"Felicia nugroho!" panggil Bu Nindi.

Seorang siswi bernama Felicia itu pun berdiri panik, berbisik-bisik pada teman sebangkunya meminta jawaban. Setelah cukup lama teman sebangku Felicia menjelaskan, Felicia pun menjawab pertanyaan itu dengan sangat lancar tanpa hambatan.

"Oke Felicia kamu boleh duduk kembali. Nah! Kita sudah mendengar pengertian ceramah, pidato dan khutbah, sekarang ibu mau tanya apakah diantara ceramah, khutbah dan pidato ada perbedaannya? Kalau ada sebutkan dimana letak perbedaannya."

Bu Nindi menatap ke tempat Dessi. Dessi yang tahu sedang ditatap oleh Bu Nindi pun langsung menunduk, takut tiba-tiba Bu Nindi memberikan pertanyaan kepadanya.

"Dessi! Hitung buku yang ada dimeja kamu!" perintah Bu Nindi.

"I-iya Bu," ujar Dessi mulai menghitung semua buku yang ada dimejanya.

Dessi tersenyum miring, otak liciknya mulai bekerja, tanpa sepengetahuan Bu Nindi dia memasukan satu bukunya kekolong meja. Yang seharusnya ada 10 buku, kini hanya ada 9 buku.

"Rasain lo!" gumam Dessi.

"Ada berapa Dessi??"

"Ada sembilan bu!"

Bu Nindi mengangguk. "Nomor absen 9 siapa?" tanya bu Nindi.

Diana menelan salivanya kasar. Ia yakin sekali ini hanya akal-akalan Dessi yang ingin sekali mempermalukannya. Dessi menoleh kearahnya, menatapnya seakan mengatakan'syukurin!!!'

"Thapki bu!" jawab mereka kompak.

Bu Nindi mengerutkan keningnya, tidak mengerti dan tidak tahu siapa itu'Thapki'

"Maksud saya Diana Saskia Bu," ralat Dessi.

Diana sudah siap dengan jawaban atas pertanyaan Bu Nindi tapi ia sangat sulit membuka mulutnya. Tangannya berkeringat dingin, berusaha untuk membuka mulutnya dan lagi-lagi gagal.

"Diana kamu tidak perlu memaksakannya, ibu tahu kamu sudah tahu kan jawabannya?" kata Bu Nindi sambil tersenyum pada Diana.

Ia menghela nafasnya, bersyukur lagi-lagi ia terselamatkan sementara Dessi tidak terima kalau Diana dibiarkan begitu saja. Dessi berdiri, mengacungkan sebelah tangannya keatas.

"BU! Saya tidak terima bu! Seharusnya Diana menjawab pertanyaan dari ibu bukan malah melepaskannya begitu saja! Ibu memang tidak adil pada kami, kalau kami tidak bisa menjawab pertanyaan dari ibu kami pasti dihukum!" Protes Dessi.

Diana mengacungkan sebelah tangannya keatas kemudian berdiri. "Sa-sa-saya--"

Semburan tawa murid-murid kelas XI MIPA 2 menyeruak didalam ruangan. Bu Nindi menatap datar Dessi, bertanya-tanya dalam hati, terbuat dari apakah hati anak itu hingga dia tidak pernah mengerti dan tidak pernah memposisikan dirinya menjadi Diana.

"DIAM SEMUA!!! Diana itu teman kalian!"

"Diana bukan teman kami Bu! Kami malu punya teman sekelas seperti dia!"

Deg

Hari-harinya akan seperti ini dan selalu seperti ini. Tidak akan pernah berubah, merengek pada takdir dan tuhan pun tak ada gunanya. Hanya menyesali pada dirinya sendiri, kenapa ibunya melahirkannya kedunia ini kalau tidak ada yang mau melihatnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Turunnya Bulan Bintang?

Malam sabtu kembali hadir, waktunya Diana menumpahkan kesedihannya bersama bulan dan bintang. Di atas karpet ia tidur, memandang indahnya pemandangan malam hari. Ia memejamkan matanya, disekitar karpet sudah tergenang air matanya.

Kepalanya pusing, ia memegangi kepalanya. Terlalu banyak menangis membuatnya pusing dan juga menangis tidak baik untuk kesehatan. Sudah berhari-hari ia sengaja memendam semua rasa sakitnya untuk ia tunjukan pada bintang dan bulan di malam sabtu.

'Bunda, Ayah, kalian pasti malu mempunyai anak seperti Sasa ini. Saking malunya kalian pergi ninggalin Sasa sendirian dirumah, kalian tidak jahat kok kalian baik telah mengirimkan semua kebutuhan Sasa tapi sebenarnya Bun, yah, Sasa membutuhkan kasih sayang kalian' batinnya.

Waktu berumur 9 tahun, Ayah dan Bunda-nya pergi dari rumah meninggalkannya seorang diri. Setelah kejadian kelam beberapa tahun yang lalu.

"Bu-bu-bunda ma-ma-maafin S-sasa hiks," ucap Sasa memeluk bunda dari belakang.

"A-ayah j-j-jangan pergi."

Bunda mendorong tubuh Sasa keras, membuat Sasa tersungkur dilantai.

"Kamu tahu Sasa!? Kami malu punya anak seperti kamu!! Kamu hanya bisa mempermalukan kami, enyahlah kau dari dunia ini!"teriak bunda.

"Sasa kami akan mengirimkan semua kebutuhan kamu, cukup ketikan pesan pada kami semua kemauanmu akan datang kesini"kata Ayah.

"Hiks... t-t-tapi S-s-s--"

"Cukup Sa! Ayah gak mau dengar suaramu lagi!" sela ayah kemudian pergi meninggalkan Sasa sendirian.

Hidupnya indah bukan? Seindah api yang sudah melahap kertas dengan sangat cepat. Membakar semua kebahagiannya tak tersisa, kini hanya kesedihan, kesedihan dan kesedihan.

Pernah ia sesekali untuk mencoba loncat dari balkon apartemen dilantai 31 milik ayahnya, yang sudah resmi menjadi miliknya sekarang. Saat kakinya hampir saja menaiki perhalang, hatinya kembali mengatakan kalau bunuh diri bukan cara yang terbaik. Hanya menambah beban orang ketika jasadnya hancur tak dikenali.

Ia tersenyum miris kembali menatap langit. Mengambil secarik kertas dan menuliskan sesuatu disana.

Bulan aku lelah,

Bintang aku lelah,

Bisakah kalian menghiburku?

Bisakah kau menarikku keatas langit?

Buat aku menghilang bulbin

Buat aku benar-benar pergi dari dunia ini!

                                                 -Dianas

Tanpa sepengetahuan Diana, dibalik pohon seseorang sedang mengawasinya. Orang itu membidikan kamera ke arah Diana setelah itu dia tersenyum manis, bukan! Bukan karena dia bahagia melihat Diana menangis tapi dia sangat kagum melihat orang sekuat Diana.

"Diana,"gumamnya.

OoO

Angin pagi menepis kulitnya, walau begitu Diana tetap bersemangat kesekolah menaiki motor matic kesayangannya. Sebenarnya ia malas untuk mengendari sepeda motor, ia takut mereka membuat ulah pada motornya. Bulan lalu saat ia membawa motor ke sekolah, pulang-pulang dua ban-nya kempis, mangkanya sekarang ia sedikit trauma akan kejadian itu.

Sesampainya di gerbang, ia tersenyum pada pak Jen. Ingin menyapa tapi ia tidak bisa, rasanya sangat konyol jika pagi-pagi ia sudah mengeluarkan suara buruknya.

"Selamat pagi nak Dian, tumben neng Dian bawa motor?" tanya Pak Jen pada Diana.

"Pe-pe-pengen aja," jawabnya singkat sambil tersenyum.

"Tenang saja nak Dian, pak Jen gak akan biarin motor nak Dian kenapa-kenapa lagi"

"Ma-makasih p-pak."

Diana memakirkan motornya di samping motor pak Jen. Ia yakin kali ini tidak ada yang berani merusak motornya lagi.

Sekolah masih sepi, ia sengaja datang pagi sekali untuk mengulang materi fisika untuk berjaga-jaga siapa tahu hari ini fisika ulangan mendadak.

Bruakk

Diana menelan salivanya kasar, ia telah menabrak orang. Matanya tertutup karena tidak ingin melihat wajah orang yang memarahinya. Mulutnya berusaha untuk mengucapkan kata maaf.

'Maaf'

'Maaf'

'Maaf'

'Maaf aku ngak sengaja'

"M-m-maaf," ucapnya kemudian langsung berlari sekencang mungkin menghindari orang yang telah ia tabrak.

"Aneh," gumamnya.

OoO

"Hei Thapki!! Ayo nyanyi di depan!"

Diana menggeleng, tanda ia tidak mau mempermalukan dirinya sendiri. Ia bangkit dari duduknya, melenggangkan kakinya berniat untuk kabur dari mereka namun seseorang menarik lengannya keras.

"Mau kabur lo huh!!!" teriak Dessi.

Ia hanya tersenyum, menatap Dessi.

"Jangan sok manis deh lo! Coba Rin, gimana cara dia ngomong!" kata Dessi menoleh ke salah satu temannya.

"A-a-aku T-t-thapki y-y-yang g-gagap." Salah satu dari mereka memperagakan bagaimana Diana berbicara.

Semua orang yang menonton tertawa terbahak-bahak. Karin memperagakan cara berbicara Diana dengan sangat baik, mirip sekali seperti Diana yang sedang berbicara. Diana tersenyum manis, ia sangat beruntung bisa menghibur mereka walau mereka tertawa diatas penderitaannya.

Diana berlari keluar dari ruang kelasnya. Menahan air mata yang ingin sekali menerobos keluar. Tangannya bergetar, menaiki satu persatu tangga tanpa memikirkan apa yang akan terjadi pada dirinya kalau berlari sambil menaiki tangga.

Rooftop, di sinilah dirinya berada. Kadang, seseorang bisa lelah karena menanggung terlalu banyak masalah yang dipikulnya. Terlintas kata 'loncat' menari-nari di otaknya. Diana menggeleng, sia-sia saja kalau ia melompat di sini karena gedung sekolah ini hanya ada tiga lantai, tak akan membuatnya meninggal jika ia nekat untuk melompat dari sini.

"Kak!" panggil seseorang dari arah belakang.

Diana membalikan tubuhnya, menatap sendu kearah orang itu. Orang itu mendekatinya, memberikan sebatang bunga mawar putih kepada Diana.

"Ini kak, ada yang ngasih bunga ini buat kakak, katanya pengagum rahasia," ujar orang itu kemudian pergi begitu saja.

Ia mengamati bunga mawar putih itu. Hatinya bertanya-tanya, siapa yang telah memberikannya bungga? Apa ini hanya sebuah jebakan untuknya? Ia mengambil  Sebuah surat berwarna biru muda tergulung bersama pita merah.

Hai cantik, ini aku bulbin, sahabat kamu...

Bunganya cantik kan? Iya cantik seperti hati dan wajah yang sedang membaca surat ini...

Semangat ya:) bubin yakin kamu pasti kuat

Sahabatmu

-BulBin

Diana tersenyum senang, menghirup aroma bungga mawar itu dalam-dalam. Apakah benar ini dari bulan dan bintang? Rasanya tidak mungkin, bulan dan bintang hanya ada diatas mereka tidak mungkin mereka turun kebawah hanya untuk menitipkan sebatang bunga mawar.

Hanya sebatang bunga mawar dan secarik surat, ia sudah bahagia melebihi apapun sekarang. Senyumnya terus terpancar pada wajah cantiknya, menyinari sorot kebahagian bagi siapa pun yang melihatnya.

Setelah Diana benar-benar turun, seseorang keluar dari tempat persembunyiannya. Dia tersenyum bahagia, akhirnya dia berhasil membuat wanita kuat itu tersenyum nyata bukan palsu lagi. Dia berdoa, semoga dia bisa membuat wanita itu terus tersenyum, bukan senyum palsu melainkan senyum ketulusan.

Dia mengambil handphonenya, mencari-cari nomor untuk dihubungi. Tak butuh waktu lama, nomor itu sudah ditemukannya.

"Halo paman Jaya, paman bisa kan? Mengawasi gadis itu pulang ke rumah dengan selamat?"

"........"

"Paman aku ingin paman mengawasi dia sampai benar-benar masuk ke dalam rumah."

"......."

"Baiklah paman terimakasih banyak."

Tut

"Aku datang Diana Saskia, aku datang sebagai Langitmu," gumamnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Langit

Rumah yang lumayan besar hanya dihuni oleh Diana dan 2 orang asisten rumah tangga. Diana merasa sangat sendirian, tak ada yang bisa ajak ngobrol ataupun bercanda gurau bersamanya. Lagipula, siapa yang ingin mengobrol dengannya? Bahkan orang tuanya pun kabur karena tak sanggup menahan malu karena suaranya.

Dirinya tidak berguna! Dirinya hanya bisa menyusahkan banyak orang saja! Tidak seharusnya dirinya masih ada didunia ini. Ia melihat dirinya sendiri di balik pantulan cermin, menepuk-nepuk kedua pipinya keras.

Selucu itukah dirinya sampai membuat orang tertawa?

Tok. Tok. Tok

Suara ketukan pintu kamarnya terdengar, ia menoleh dan membuka pintunya, melihat siapa yang mengetuk pintunya malam-malam seperti ini.

"Non, ini ada paket katanya paket ini buat non,"ucap Asiaten rumah tangga padanya sambil menyodorkan kotak kecil berbungkus kertas coffe.

Diana mengambil kotak itu kemudian tersenyum, sebagai ucapan terimakasih.

"Yaudah Non, Bibi masuk kedalam kamar bibi dulu ya"

Ia tersenyum sedari menutup pintu kamarnya. Mengamati sebuah kotak kecil berwarna hitam dengan pita merah yang mengikat anggun kotak itu. Apa kotak itu ada hubungannya dengan bunga mawar yang ia dapat? Karena penasaran, ia membuka kotak itu.

Alahkah terkejutnya Diana melihat isi dalam kotak itu. Sebuah gantungan kunci berbentuk bintang yang terbuat dari kayu. Tanpa sengaja ia tersenyum, mengambil secarik kertas berwarna biru muda dibawah gantungan kunci.

Tersenyumlah, senyummu indah

Bagai bintang yang memancarkan cahayanya...

Tersenyumlah, kuingin melihat senyum tulusmu...

Gelapnya langit ingin melihat senyummu, apakah kau bersedia tersenyum untuknya?

Aku disini bersamamu, jangan kau pikir kau sendirian...

Lihatlah keluar aku selalu bersamamu...

                           -Sang langit malam

Diana tersenyum bahagia, langit, bulan dan bintang, mereka akan menemaninya. Ia menggenggam erat gantungan bintang kemudian menempelkan kedada-nya. Kakinya melangkah menuju balkon, disurat itu, ia diperintahkan untuk keluar, melihat gelapnya langit.

Diatas langit ada bulan dan bintang. Bulan hanya satu, tetapi tanpa bulan dunia ini akan menjadi gelap gulita, beda halnya dengan bintang, bintang jumlahnya sangat banyak tetapi seberapapun banyaknya bintang tidak akan bisa menyaingi bulan. Ada keistimewaan dari bintang, yaitu memancarkan cahayanya sendiri tanpa bantuan siapapun sedangkan bulan, dia mendapatkan cahaya dari matahari.

Ia tersenyum tersenyum bahagia, memandang keatas langit.

"Ma-ma-makasih L-l-l-langit."lirihnya setelah itu ia masuk kedalam kamar.

Makasih langit, engkau telah membuatku tersenyum tanpa kepalsuan.

Dibawah sini, seseorang sedang mengamati pergerakan Diana. Orang itu tersenyum tipis, sangat tipis, jika ada yang melihatnya mungkin mengira kalau itu bukan senyum melainkan smirk.

"Stars, Langitmu segera datang."

OoO

Pagi haripun tiba, rasa ketakutan yang menjalar keseluruh tubuh tiba-tiba menyerang dirinya. Sekolah, adalah tempat untuk mencari ilmu dan mendapatkan ilmu tapi bagi dirinya sekolah adalah neraka.

Pandangan hanya tertuju pada sepatu hitam bertalinya, sesekali ia mendongkak itupun hanya untuk melihat kearah mana ia harus belok.

Tiba saja langkahnya terhenti, ia melihat sepatu bukan! Tapi seseorang yang sedang berdiri dihadapannya. Kepalanya mendongkak, menatap sekilas wajah orang itu kemudian ia lari begitu saja tanpa ada kata-kata sedikitpun. Terlihat tidak sopan memang, tapi pikiran negatifnya selalu muncul kepada siapapun tanpa terkecuali. Semua orang itu sama saja, semua orang didunia ini jahat kecuali pak Jen, semua orang akan menertawakan kelemahannya. Ia benci, ia sangat membenci orang yang menindas kelemahannya.

"Yayaya, kau pikir kau bisa lepas dari Dessintha Humayra huh!?"

Sial! Baru saja ia ingin bersembunyi di kolong meja, Dessi sudah menemukannya dengan cepat. Diam dan menundukan kepala, itulah hal yang dilakukan Diana saat berhadapan dengan orang.

"A-a-apa ma-ma-m-maumu Des!!!!"tanyanya dengan terbata-bata.

Dessi mengibaskan rambutnya, berjalan mendekati Diana. "Baca puisi!"

Diana menggeleng keras, siapa dia berani memerintahnya? Mentang-mentang dirinya seperti ini, dia berani menindasnya? Demi tuhan, orang seperti Dessi ini seharusnya dihilangkan saja dari bumi.

Karena kesal, Dessi menjambak rambut Diana. Diana meringis kesakitan, jambakan Dessi benar-benar kuat hingga beberapa helai rambutnya rontok.

"Lo berani sama gue!?"

"I-iya a-a-aku b-b-baca"

Dessi tersenyum, melepaskan jambakannya. Dia menyerahkan secarik kertas kepada Diana dan dengan ragu, Diana pun mengambilnya.

"Baca! nanti gue vidioin!"

"Ja-ja-jangan D-des."

"CEPET!!!!!"teriak Dessi.

"Selamat pagi kak, maaf menganggu, saya ingin menyampaikan sesuatu pada kak Dessi kalau bu Nindi ingin bertemu dengan kakak"ucap seseorang yang baru saja datang.

Dessi melirik sinis Diana. "Kali ini lo lolos! Tapi nanti, gue gak akan biarin lo lolos!"

Lagi dan lagi keberuntungan berpihak kepadanya, disaat Dessi ingin memulai aksinya, ada saja hal yang membuat Dessi mundur. Ia berdoa semoga saja, hal ini selalu terjadi padanya.

-OoO-

Diana mencoret-coret hasil hitungan matematika. Setelah Dessi keluar dari ruang kelas tadi, ia malah menyibukan diri dengan bab matematika yang akan dipelajari di bab selanjutnya. Di jam pertama, sebenarnya pelajaran Kimia tapi menurut info yang ia dengar kalau guru kimia sedang tidak masuk dikerenakan sakit. Murid bersorak bahagia, sementara dirinya tidak! Bagaimana ia bisa bahagia kalau gurunya sudah beberapa kali tidak masuk kekelas ini? Kelas lain sudah mencapai bab baru dan kelas ini benar-benar tertinggal.

"Assalamualaikum!"

Mendengar suara guru masuk kekelas ini, semua orang panik. Suara gaduh hampir saja memecahkan gendang telinganya. Diana sebal! Bukannya langsung duduk rapih ditempat duduknya masing-masing ini malah teriak-teriak tidak jelas seakan ruang kelas ini adalah kamarnya.

"DIAM SEMUA!!!"

hening. Tak ada yang bersuara lagi, ketika bu Nindi marah semua orang akan diam tidak berani berkata sepatah katapun dihadapan bu Nindi.

"Sekarang pelajaran apa?"tanya bu Nindi.

"Kimia bu,"jawab serempak.

"Gurunya sakit, tidak bisa masuk jadi ibu kesini hanya ingin memberikan tugas dari bu Iren dan satu lagi-"ucap bu nindi menggantung.

Seorang pria berambut hitam pekat dengan alis sedikit tebal dan hidung mancung, masuk kedalam kelas. Semua orang terbengong-bengong melihat ketampanan orang itu terkecuali Diana, Diana malah menatap was-was pada orang itu.

Pria itu menyalimi bu Nindi kemudian menatap para siswa siswi kelas XI Mipa 2.

"Hari ini kita murid baru di kelas ini. Ayo silahkan Alter, perkenalkan diri kamu,"jelas bu Nindi.

"Selamat pagi semua, perkenalkan nama saya Alterio Langit, kalian bisa memanggil saya Alter atau Rio. Terimakasih,"ucap orang itu memperkenalkan dirinya.

"Baiklah Alter, kamu bisa duduk dikursi kosong. Kebetulan disini ada dua buah kursi kosong, kamu bisa pilih dengan siapa kamu akan duduk"kata Bu Nindi pada Alter.

Alter tersenyum tipis. "Terimakasih Bu,"ucap Alter sambil melangkahkan kakinya, mencari-cari tempat duduk kosong.

Diana terlihat gelisah saat anak baru itu hendak menghampiri kursi kosong yang ada disebelahnya. Tidak tidak! Dia tidak boleh duduk disini, ia takut jika dia akan membulynya ketika dia tahu dirinya itu 'gagap'

Ia menunduk, tatapan teman-teman sekelasnya tertuju pada dirinya. Diana menelan saliva kasarnya, dengan santainya Alterio duduk dikursi kosong yang ada disebelahnya.

"Perhatian semua! Tugas yang diberikan bu Iren, harus dikumpulkan hari ini juga dan setelah selesai nanti, ibu harap tidak ada yang keluar-keluar kelas!"tegas Bu Nindi setelah itu keluar kelas.

"Eh Alter! Jangan deketin dia! Dia gagap,"ejek seorang wanita berambut sebahu sambil melirik Diana.

Alterio mengangkat sebelah alisnya bingung, kemudian dia menatap Diana sejenak.

"So?"

"Dia cuma bisa malu-maluin lo doang! Kalau lo duduk bareng dia!"pungkas Dessi.

"So? Apa urusan lo?"

Skak. Ucapan Alterio membuat Dessi bungkam. Tidak biasanya ada orang yang mau berdekatan dengan Diana setelah orang itu tahu fakta tentang Diana.

"Gue yakin lo pasti nyesel duduk sama dia," ucap Dessi penuh penekan.

Alterio berdecak. Dia tidak memperdulikan ucapan-ucapan sampah dari orang, tidak seharusnya ucapan itu dilontarkan padanya, karena dirinya selalu menjujung tinggi nilai kemanusian. Semua orang itu mempunyai kekurangan dan kelebihan, disetiap kekurangan yang kita punya pasti ada sedikit kelebihan yang tersembunyi dan kelebihan yang tersembunyi itu harus segera dikeluarkan untuk menutup kekurangannya.

"Hai, nama aku Langit"

Langit

Langit

Langit

Langit

Nama itu tiba-tiba terngiang-ngiang dikepala Diana. Kenapa bisa Alterio mengenalkan kepada dirinya sebagai Langit? Kenapa tidak dengan Alterio? Ia jadi teringat dengan sosok langit yang selalu mendengarkan curhatannya.

Diana membuka bagian belakang buku, menuliskan beberapa kata di buku itu dan menyerahkannya pada Alterio. Alterio mengambil buku itu dan langsung membacanya.

Kamu lebih baik pindah, karena aku ini gagap. Sebelum kamu mencaciku lebih baik kamu pergi dari meja ini!

"Lalu kenapa? Aku punya hak untuk duduk disini"

Diana mengambil bukunya dari tangan Alterio, kemudian menulis lagi. Alterio mengintip Diana menulis, kata demi kata pun dapat ia baca.

Aku ini gagap!! Kamu tahu! Kamu pasti akan tertawa mendengar suaraku

"Bersuaralah, jika aku memang tertawa bahkan untuk sedikitpun maka aku pergi dan jika aku tidak  tertawa maka aku bisa duduk disini, bagaimana?"tanya Alterio.

Diana mengigit bibir bawahnya. Alterio memang keras kepala, anak ini tidak mau pindah sebelum tahu sendiri kalau dirinya ini gagap. Ia yakin setelah dia mendengar suaranya, dia akan pindah ketempat duduk Shila.

"Kamu tidak perlu mencari kata apa yang ingin kamu ucapkan, cukup beritahu namamu saja"

"N-na-nama a-a-aku Di-d-d-diana"

Satu detik

Dua detik

Tiga detik

Diana tidak melihat Alterio tertawa malahan dia menatap lembut kearah dirinya. Ia menggeleng, mungkin saja Alterio tidak mendengar saat ia berbicara jadi dia tidak tertawa.

"Ke-ke-kenapa ka-kamu t-tidak t-tertawa?"tanya Diana.

Alterio mengerutkan keningnya. "Untuk apa aku tertawa? Emang ada yang lucu?"

Alterio berbeda. Ia tersenyum, meneteskan air matanya. Inikah langit berwujud manusia?

"L-l-l-langit?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!